Sejak kapan periodisasi gerakan Muhammadiyah dimulai?

Sejarah pendidikan Muhammadiyah dapat dipahami sebagai rekonstruksi peristiwa masa lalu tentang pemikiran maupun gerakan pendidikan Muhammadiyah yang terentang sejak berdirinya sekolah Muhammadiyah yang pertama dan berlangsung sampai saat ini. Jika tonggak awal berdiri sekolah Muhammadiyah dihitung sejak K.H. Ahmad Dahlan pertama kali mendirikan “Sekolah Agama Modern” bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), 1 Desember 1911, maka usia pendidikan Muhammadiyah sudah  lebih dari satu (1) abad. Bila dihitung mundur dari saat sekarang (baca: 2020), maka pendidikan Muhammadiyah telah berusia 110 tahun.

Bukan perkara mudah menelusuri jejak langkah, lika-liku, dan merekonstruksikan masa lalu pendidikan Muhammadiyah. Bukan hanya karena rentang waktu yang demikian panjang (baca: berusia tua), tetapi juga berkaitan dengan ruang lingkup sebaran keberadaannya yang relatif merata di segenap penjuru tanah air. Untuk mengurai kompleksitas masalah kesejarahan ini, perlu meminjam kerangka penjelasan (analisis) sejarah, terutama konsep periodisasi.

Periodisasi ialah cara membuat waktu yang terus-menerus bergerak tanpa henti menjadi dapat dipahami dengan membaginya ke dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat, dalam babak-babak, dalam periode-periode (Kuntowijoyo, 2008, p. 19). Berdasarkan telaah atas ciri khas pada suatu kurun sejarah dan identifikasi atas perubahan mendasar yang terjadi, rentang perjalanan panjang pendidikan Muhammadiyah dipilah menjadi empat periode, yaitu: masa perintisan (1900—1923), masa pengembangan (1923—1970), masa pelembagaan (1970—1998), dan masa transformasi (1998—sekarang). Uraian ringkas tentang ciri khas masing-masing periode dapat dibaca pada tabel 1.

Perbincangan dimulai dengan masa perintisan, periode pertama yang merentang dari 1900—1923, yaitu masa di mana K.H. Ahmad Dahlan berusaha mencari konsepsi baru sistem pendidikan alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan kehidupan kaum pribumi yang berupa kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran. Tonggak awal berdiri sekolah Muhammadiyah pada saat K.H. Ahmad Dahlan (1868—1923) merintis dan membuka Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), pada tanggal 1 Desember 1911 di ruang tamu rumah beliau. Setahun kemudian, tepatnya 18 Nopember 1912 berdiri Persyarikatan Muhammadiyah, yang pada awalnya dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan lembaga pendidikan yang baru didirikan itu.

Perlu ditambahkan bahwa sebelum mendirikan MIDI, sebenarnya pada tahun 1904—1905 K.H. Ahmad Dahlan berusaha memperbaharui Pondok Langgar Kidul dengan memasukkan kitab-kitab karya pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh (1849—1905) dan M. Farid Wajdi (1875—1958) sebagai referensi dan kurikulum pondok (Ali, 2017, h. 178—198). Bahkan, bila dirunut ke belakang lagi, prakarsa pembaruan berawal ketika mencetuskan gagasan memperbaiki arah kiblat shalat. Memperhatikan kompleksitas kesejarahan tersebut, tonggak awal masaperintisan dimulai sejak 1900, yaitu tatkala K.H. Ahmad Dahlan berusaha mengamalkan dan menerapkan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki dan memajukan kehidupan kaum pribumi. Periode perintisan berakhir saat pendiri Muhammadiyah wafat, 1923.

Permasalahan krusial yang dihadapi kaum pribumi pada perguliran awal abad ke-20 adalah peminggiran dan penyingkiran kaum pribumi dari arus kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan sedemikian rupa, sehingga dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda. Melalui Politik Etis, kolonialis Belanda menempatkan pendidikan Barat sebagai senjata penjajahan baru. Sementara itu, kaum santri tetap bertahan dengan pondok pesantren sembari menolak dan mengharamkan pendidikan Barat. Oleh karena itu, dualisme sistem pendidikan tidak bisa dihindarkan: pendidikan sekuler berhadap-hadapan dengan pendidikan religius. Secara sosiologis sekolah Barat-Belanda berhadap-hadapan dengan pondok pesantren-pendidikan kaum pribumi.

Dihadapkan pada situasi sosio-kultural yang dikotomis ini dan dualisme pendidikan yang demikian kritis, K.H. Ahamd Dahlan mencari jalan keluar dengan bereksperimen merintis sistem pendidikan Islam baru, yaitu dengan mendirikan “Sekolah Agama Modern” bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (MIDI), pada 1 Desember 1911, dengan cara mencangkok sistem persekolahan Barat-Belanda untuk mendinamisir lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 1918 merintis sekolah menengah bernama Al-Qismul Arqo, tahun 1920 berubah nama menjadi Pondok Muhammadiyah yang merupakan cikal bakal pendidikan kader Muhammadiyah Mualimin dan Mualimat. Berani meminjam sistem klasikal dan piranti atau unsur-unsur pendidikan Belanda, termasuk mengintegrasikan ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu agama sekaligus. Eksperimen pendidikan Islam baru ini awalnya mendapat reaksi keras dari kaum santri, karena dianggap “kebelanda-belandaan” dan dapat merusak struktur pendidikan Islam.

Penolakan keras dari sebagian internal umat Islam atas eksperimen pendidikan baru ini tidak membuat K.H. Ahmad Dahlan bergeming, apalagi menyurutkan langkah. Akan tetapi, justru menjadi energi tambahan untuk menggerakkan dan memperluas kancah dakwahnya. Dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, eksperimen “Sekolah Agama Modern” yang dirintisnya merupakan senjata pamungkas untuk mengemansipasi dan memajukan kaum pribumi agar dapat keluar dari pusaran kebodohan, kemelaratan, dan keterbelakangan. Saat beliau wafat, 1923 eksperimen sistem pendidikan baru yang dirintisnya telah tumbuh di luar Yogyakarta, bahkan telah merambah ke daerah-daerah di luar pulau Jawa. Peluasan wilayah dakwah Muhammadiyah identik dengan peluasan sekolah Muhammadiyah.

Periode kedua, masa pengembangan dimulai sejak K.H. Ahamad Dahlan wafat hingga tumbangnya OrdeLama dan kemunculan Orde Baru (1923-1966). Masa ini diwarnai dengan meletusnya perang kemerdekaan dan pergolakan sosial-politik yang berkepanjangan, sehingga urusan pendidikan belum menjadi perhatian utama pemerintah maupun masyarakat.

Permasalahan dualisme pendidikan, yaitu pendidikan sekuler (sekolah umum) berhadap-hadapan dengan pendidikan keagamaan (pondok pesantren) masih menjadi isu penting. Namun demikian, penolakan atas pendidikan Barat-sekuler mulai mengendor, karena secara pelan, namun pasti kaum santri yang awalnya menentang lambat laun dapat menerima pembaruan.

Proses penerimaan atas pengintegrasian sistem pendidikan sekuler ke dalam lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berupa pengintegrasian ilmu-ilmu sekuler dengan ilmu-ilmu agama, sebagaimana sekolah Muhammadiyah, justru memunculkan tantangan baru. Sebab, sekolah Muhammadiyah bukan lagi pemain tunggal dalam penyediaan pendidikan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Dengan kata lain, meski masih dalam skala terbatas, sekolah Muhammadiyah harus berhadapan dengan tantangan dan kompetitor baru dari sesama lembaga pendidikan Islam.

Periode ketiga, masa pelembagaan berlangsung sepanjang pemerintah Orde Baru (1966—1998). Suasana politik yang stabil membuat proses pembangunan (ekonomi) lebih terarah dan terencana, tidak terkecuali pembangunan di bidang pendidikan. Secara umum, arah kebijakan pendidikan pemerintah bercorak sentralistik dan menempatkan sekolah negeri/pemerintah sebagai tolak ukur atau indikator mutu. Sekedar contoh, akreditasi hanya dilakukan kepada sekolah swasta, dan kualifikasi tertinggi mutu sekolah swasta adalah “disamakan” mutunya dengan sekolah negeri.

Dalam masa ini, terjadi proses pengembangan dan peluasan sekolah Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air, bahkan daerah-daerah di mana pemerintah kesulitan mendirikan sekolah. Namun Muhammadiyah dengan kekuatan swadaya masyarakat mampu menembus hal tersebut. Proses peluasan dan penyebaran sekolah Muhammadiyah yang demikian masif ini kemudian memunculkan problem baru, di mana tata kelola dan pola budaya sekolah Muhammadiyah mengikuti pola pengembangan sekolah negeri (pemerintah). Eksperimen “Sekolah Agama Modern” K.H. Ahamad Dahlan pada awal abad ke-20 dengan formula “sekolah pemerintah plus agama” telah terlembagakan sedemikian rupa dan semakin dinamis. Dalam situasi demikian, sekolah Muhammadiyah menjadi alternatif dengan tawaran sekolah plus agama, dan memperluas akses pendidikan anak bangsa untuk daerah-daerah di mana sekolah pemerintah belum mampu menjamahnya.

Memasuki periode keempat, masa transformasi, dimulai sejak Orde Baru berakhir yang segera disusul dengan gerakan reformasi (1998—sekarang). Berbeda dengan era Orde Baru yang sentralistik, arah kebijakan pendidikan pemerintah pada era Reformasi ini bercorak desentralistik-populis, seperti wacana sekolah gratis dan berdirinya unit sekolah baru di daerah-daerah yang dahulu belum terjamah oleh sekolah pemerintah, sehingga daya tampung sekolah pemerintah meningkat. Hal ini menjadi tantangan yang rumit bagi sekolah Muhammadiyah (juga sekolah swasta lain) yang mengharapkan “luapan siswa” yang tidak tertampung di sekolah negeri. Dampaknya , terjadi penurunan siswa secara drastis di sekolah swasta pada jenjang pendidikan menengah terutama di perkotaan, yang mengharapkan luapan siswa sekolah negeri.

Secara sosiologis, sekolah Muhammadiyah di perkotaan (urban) dan sub-urban juga dihadapkan dengan kemunculan sekolah swasta Islam baru yang menawarkan model-model pendidikan alternatif yang berupaya membidik keluarga kelas menengah muslim. Dengan demikian, pada masa transformasi ini, sekolah Muhammadiyah dihadapkan pada dua tantangan sekaligus: secara vertikal berhadapan dengan kebijakan pendidikan populis-desentralistik dengan isu sekolah gratis dan secara horizontal berhadapan dengan kompetitor baru yang memperebutkan kaum muslim menengah ke atas.

Menghadapi kompleksitas masalah di atas, sekolah Muhammadiyah harus berani keluar dari zona “pelembagaan”, “pemapanan”, “aman” yang telah membirokrasikan sekolah sedemikian rupa untuk kemudian bertransformasi menjadi sekolah berkemajuan (the improving school/modern school) yang menjanjikan masa depan dengan jalan menemukan kembali nilai-nilai keunggulan Persyarikatan. Penampilan sekolah berkemajuan yang merupakan produk dari proses transformasi ini memiliki banyak wajah sesuai kebutuhan masyarakat sekitar, tetapi tetap mengedepankan pada mutu layanan yang prima dan proses pembelajaran yang bermakna.