Siapa saja ahli waris dari pihak laki-laki?

Siapa saja ahli waris dari pihak laki-laki?

Sebagaimana diketahui bahwa syariat Islam telah menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan warisan baik dari kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan berikut dengan bagiannya masing-masing.

Dari golongan laki-laki yang berhak mendapat warisan adalah anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman dari bapak, anak laki-lakinya paman dari bapak, suami dan laki-laki yang memerdekakan budak. Sedangkan dari golongan perempuan orang-orang yang berhak menerima warisan adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek, saudara perempuan, istri, dan perempuan yang memerdekakan budak.

Tentunya masing-masing pihak tersebut bisa mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat untuk mendapatkannya. Perlu diketahui bahwa di antara orang-orang yang berhak menerima warisan itu ada yang bisa menjadi penghalang bagi pihak lain untuk menerima warisan. Artinya ketika ada dua atau lebih ahli waris berkumpul sebagiannya bisa menjadikan sebagian yang lain terhalang untuk mendapatkan bagiannya. Dengan demikian maka ketika seseorang meninggal dunia tidak semua ahli waris yang ada bisa mendapatkan harta warisan peninggalannya.

Di kalangan ahli waris laki-laki yang berjumlah sepuluh orang bila semuanya berkumpul maka sebagiannya terhalang oleh sebagian yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Mereka yang tetap bisa mendapatkan warisan hanyalah tiga orang yakni:

Sebagaimana disampaikan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn:

إِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ الْوَارِثُونَ وَرِثَ مِنْهُمُ الِابْنُ، وَالْأَبُ، وَالزَّوْجُ فَقَطْ

Artinya: “Bila para ahli waris laki-laki berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi dari mereka adalah anak laki-laki, bapak, dan suami saja.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, Beirut, Al-Maktab Al-Islami, 1991, juz VI, hal. 5)

Sedangkan di kalangan ahli waris perempuan yang berjumlah tujuh orang bila semuanya berkumpul maka sebagiannya terhalang oleh yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Mereka yang tetap bisa mendapatkan warisan hanyalah lima orang saja, yakni:

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki

5. Saudara perempuan sekandung.

Dalam hal ini di kitab yang sama Imam Nawawi menjelaskan:

وَإِذَا اجْتَمَعَ النِّسَاءُ، فَالْبِنْتُ، وَبِنْتُ الِابْنِ، وَالْأُمُّ، وَالزَّوْجَةُ، وَالْأُخْتُ لِلْأَبَوَيْنِ

Artinya: “Bila para ahli waris perempuan berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri, dan saudara perempuan sekandung.”

Lalu bagaimana bila semua ahli waris dari kedua belah pihak berkumpul semua, siapa yang berhak menerima harta waris? Lebih lanjut Imam Nawawi menuturkan:

وَإِذَا اجْتَمَعَ الصِّنْفَانِ غَيْرَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ، وَرِثَ خَمْسَةٌ: الْأَبَوَانِ، وَالِابْنُ، وَالْبِنْتُ، وَأَحَدُ الزَّوْجَيْنِ

Artinya: “Dan apabila kedua belah pihak berkumpul selain salah satu dari pasangan suami istri maka yang mewarisi adalah lima orang, yaitu kedua orang tua (bapak dan ibu), anak laki-laki, anak perempuan, salah satu pasangan (suami atau istri).”

Wallâhu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Siapa saja ahli waris dari pihak laki-laki?

Penjelasan Lengkap seputar Lailatul Qadar

Siapa saja ahli waris dari pihak laki-laki?

Imam Muhammad bin Ali Ar-Rahabi dalam kitab Matnur Rahabiyyah menuturkan ada 10 (sepuluh) orang dari pihak laki-laki yang berhak menerima warisan. Kesepuluh orang tersebut beliau rinci dalam beberapa bait berikut ini:

والوارثون من الرجال عشرة ... أسماؤهم معروفة مشتهره

الإبن وابن الإبن مهما نزلا ... والأب والجد له وإن علا

والاخ من أى الجهات كانا ... قد أنزل الله به القرآنا

وابن الاخ المدلي إليه بالأب ... فاسمع مقالاً ليس بالمكذب

والعم وابن العم من أبيه ... فاشكر لذي الإيجاز والتنبيه

والزوج والمعتق ذو الولاء ... فجملة الذكور هؤلاء

1. Anak laki-laki (ibnun)

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnul ibni) terus ke bawah

4. Kakek dari bapak (jaddun atau abul ab) terus ke atas

5. Saudara laki-laki (akhun) dari arah mana pun

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ibnul akhi syaqîq) dan anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ibnul akhi li ab)

7. Paman sekandung (‘ammun syaqîq) dan paman sebapak (‘ammun li ab)

8. Anak laki-laki dari paman sekandung (ibnul ‘amm syaqîq) dan anak laki-laki dari paman sebapak (ibnul ‘amm li ab)

10. Orang laki-laki yang memerdekakan budak (mu’tiqun)

(Muhammad bin Ali Ar-Rahabi, Matnur Rahabiyyah dalam Ar-Rabahiyyatud Dîniyyah, [Semarang: Toha Putra, tanpa tahun], hal. 12-13)

Berbeda dengan Syekh Rahabi, Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thâlibîn (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1991, juz VI, hal. 4) menyebutkan ada 13 (tiga belas) orang dari golongan laki-laki yang berhak mendapat warisan. Namun sesungguhnya perbedaan ini tidaklah prinsipiil, melainkan sekadar Imam Nawawi lebih memerinci beberapa ahli waris yang disebutkan Imam Rahabi di atas. Di antaranya saudara laki-laki dirinci menjadi tiga yakni saudara laki-laki sekandung, sebapak, dan seibu. Demikian pula anak laki-laki dari saudara laki-laki (ibnul akhi), paman (‘ammun), dan anak laki-laki paman (ibnul ‘amm) juga dirinci yang sekandung dan yang sebapak.

Perlu dipahami bahwa kesepuluh ahli waris laki-laki tersebut adalah orang-orang yang berhubungan dengan si mayit. Semisal seorang meninggal dunia dengan ahli waris seorang anak laki-laki, seorang bapak, dan seorang saudara laki-laki. Maka itu artinya anak laki-laki tersebut adalah anak laki-lakinya si mayit, bapak adalah bapaknya si mayit, dan saudara laki-laki adalah saudara laki-lakinya si mayit.

Untuk lebih jelasnya kesepuluh ahli waris dari kelompok laki-laki di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan anak laki-laki adalah anak laki-laki kandung si mayit, bukan anak laki-laki angkat atau tirinya, karena anak angkat tidak mendapat bagian warisan.

2. Yang dimaksud cucu laki-laki dari anak laki-laki adalah cucu kandung dari anak laki-laki kandungnya si mayit, bukan cucu angkat atau tirinya si mayit, bukan juga cucu kandung dari anak angkat atau anak tirinya si mayit.

3. Yang dimaksud bapak adalah ayah kandung yang melahirkan si mayit dalam sebuah perkawinan yang sah menurut agama. Seorang bapak tiri dan bapak angkat tidak berhak menerima warisan dari si mayit. Demikian pula seorang bapak biologis yang melahirkan si mayit dalam perkawinan yang tidak sah juga tidak berhak mendapatkan harta warisan.

4. Yang dimaksud kakek dari bapak adalah kakek dari bapak kandungnya si mayit. Ini tidak berhenti pada kakek saja tapi juga bisa terus ke atas seperti buyut dan canggah dari bapak kandungnya si mayit.

5. Yang dimaksud saudara laki-laki di sini adalah adik atau kakak laki-lakinya si mayit. Saudara laki-laki si mayit yang bisa mendapatkan warisan bersifat mutlak, artinya mencakup saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki sebapak, atau saudara laki-laki seibu semuanya bisa mendapatkan warisan tentunya bila memenuhi persyaratan yang ada.

6. Yang dimaksud anak laki-laki dari saudara laki-laki adalah anak laki-laki dari adik atau kakak laki-lakinya si mayit. Dalam bahasa Indoesia ini sering disebut dengan keponakan. Keponakan ini bisa mendapatkan harta warisan bila ia merupakan anak kandung dari saudara laki-laki si mayit baik sekandung atau sebapak. Sedangkan keponakan laki-laki dari saudara laki-lakinya si mayit yang seibu tidak berhak mendapatkan warisan.

7. Kata paman atau yang dalam bahasa Arab disebut ’Ammun di sini memiliki arti yang tidak sama dengan kata paman dalam bahasa Indonesia. Bila dalam bahasa Indonesia paman berarti adik laki-lakinya orang tua, maka di sini yang dimaksud paman adalah saudaranya orang tua baik adik ataupun kakaknya, atau dalam bahasa Indonesia—Jawa khususnya—baik paman ataupun pakde. Yang bisa mendapatkan warisan hanyalah paman dari pihak bapaknya si mayit, sedangkan paman dari pihak ibunya si mayit tidak berhak menerima warisan.

8. Yang dimaksud anak laki-laki dari paman sekandung adalah anak laki-lakinya pamannya si mayit atau dalam kata lain saudara sepupu laki-lakinya si mayit dari pihak bapak, sedangkan dari pihak ibu tidak bisa menerima warisan.

9. Yang dimaksud suami adalah suami si mayit dalam pernikahan yang sah menurut agama.

10. Yang dimaksud mu’tiqun adalah seorang laki-laki yang memiliki budak, lalu ia memerdekakannya. Ketika si budak yang telah dimerdekakan itu meninggal maka sang tuan yang memerdekakannya itu berhak mendapat bagian ashabah (keseluruhan atau sisa) dari harta peninggalannya.

Untuk menegaskan, bahwa semua ahli waris di atas selain suami dan mu’tiq adalah ahli waris kandung atau yang memiliki garis nasab dengan si mayit dengan berdasar pada sebuah ikatan perkawinan yang sah menurut agama. Hubungan keluarga karena angkat atau tiri dan hubungan keluarga yang bukan berdasar pada ikatan perkawinan yang sah menurut agama tidak berhak menerima harta waris. (Yazid Muttaqin)

Siapa saja ahli waris dari pihak laki-laki?

Penjelasan Lengkap seputar Lailatul Qadar