Siapakah yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara melalui kesenian

Cara Masuknya Islam Melalui Pendidikan dan Kesenian. Foto: wayangku.id

Saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama Islam paling banyak di dunia. Kondisi ini dimungkinkan oleh serangkaian proses Islamisasi selama berabad-abad. Umumnya, terdapat gagasan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang.

Peran pedagang dalam penyebaran agama Islam memang sentral, namun peran pengembara sufi dan tokoh agama juga tidak kalah penting. Mereka turut menyebarkan ajaran Islam, khususnya melalui pendidikan dan kesenian. Berikut penjelasan cara masuknya Islam di Nusantara melalui media pendidikan dan kesenian.

Masuknya Islam Melalui Pendidikan

Dikutip dari jurnal Islamisasi Nusantara dan Sejarah Sosial Pendidikan Islam karya M. Miftah Alfiani dkk, pengembara sufi dan tokoh agama ikut andil dalam proses masuknya Islam di Indonesia, terutama melalui pendidikan.

Proses pendidikan Islam pada awalnya tidak hanya pada satu tempat dan waktu tertentu. Di mana pun dan kapan pun ketika terjadi pertemuan antar muballigh, pedagang, dan penduduk pribumi, maka pada saat itu pula pendidikan Islam berlangsung.

Penyebaran Islam melalui pendidikan awalnya terjadi di lingkungan keluarga, kemudian berkembang di surau, masjid, pesantren, dan akhirnya masuk di rumah para bangsawan.

Menurut catatan Ibnu Batutah, pendidikan Islam di Nusantara telah dilakukan pada masa kerajaan Islam pertama di Nusantara, yaitu di Perlak (840–1292 M), dan Kerajaan Samudera Pasai (1267-1521 M).

Di Pulau Jawa, penyebaran Islam melalui pendidikan dilakukan oleh Wali Songo. Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, pesantren disinyalir merupakan hasil Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Saat itu, lembaga pendidikan lokal berupa padepokan dan dukuh banyak didirikan untuk mendidik para cantrik.

Oleh Wali Songo, padepokan tersebut diakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Materi yang diajarkan pun diganti menjadi ilmu-ilmu Islam. Seiring dengan berjalannya waktu, padepokan berganti nama menjadi pesantren.

Di pesantren, para ulama mendidik santri tentang agama Islam. Diharapkan, setelah selesai menuntut Ilmu, mereka dapat pulang ke kampung halaman untuk berdakwah menyebarkan Islam.

Pondok Pesantren. Foto: tebuireng.org

Masuknya Islam Melalui Kesenian

Selain pendidikan, kesenian juga menjadi media dakwah Islam. Hal tersebut diiringi dengan pemahaman terhadap kebudayaan masyarakat lokal.

Sebab, ketika agama Islam masuk ke wilayah Indonesia, kebudayaan Hindu masih berakar sangat kuat, khususnya di Pulau Jawa. Para penyebar agama Islam tidak mengubah kebudayaan tersebut, namun menggunakan kebudayaan yang telah ada sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam.

Penyebaran Islam melalui seni ini juga tidak lepas dari Wali Songo. Sunan Giri misalnya, berdakwah dengan menciptakan permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng, serta beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi gamelan khas Jawa yang menggunakan instrumen bonang. Beliau pula yang merupakan sosok di balik tembang "Tombo Ati”. Selain itu, Sunan Bonang juga seorang dalang yang menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.

Sementara itu, Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai media dakwah. Beliau juga merupakan tokoh pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, dan lakon wayang Petruk Jadi Raja.

Seni tersebut membuat banyak orang tertarik, bahkan berhasil membuat sebagian besar adipati di Jawa untuk memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.

Wayang Kulit di Museum Wayang Indonesia (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)

Latar belakang penelitian ini adalah proses penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Walisongo. Salah satu anggota Walisongo yang terkenal akan dakwahnya adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga terkenal karena model dan media dakwah yang dipakai berbeda dengan model dan media dakwah anggota Walisongo lainnya. Sunan Kalijaga memakai model dakwah kultural yang berkaitan erat dengan kebudayaan rakyat setempat. Alasan Sunan Kalijaga memakai model dakwah kultural sebagai jalan dakwahnya karena beranggapan bahwa lebih mudah menyebarkan agama Islam dengan cara memadukan dengan unsur kebudayaan masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pelaksanaan dakwah kultural ini diharapkan dapat segera menarik hati masyarakat setempat yang masih banyak memeluk agama lama yaitu Hindu dan Buddha. Selain itu diharapkan masyarakat setempat bersedia memeluk agama Islam dengan senang hati dan tanpa adanya paksaan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: (1) Apa yang melatarbelakangi Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa? (2) Bagaimana bentuk usaha yang dilakukan oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam dengan media wayang kulit dan suluk?. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah: (1) Untuk menganalisis latar belakang Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa; (2) Untuk mengkaji bentuk usaha yang dilakukan oleh Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam dengan media wayang kulit dan suluk. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu: (1) bagi peneliti,sebagai sarana latihan dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, latihan berfikir dan memecahkan masalah secara kritis dan logis memperdalam pengetahuan tentang peranan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam penyebaran agama Islam melalui seni budaya wayang kulit dan suluk. (2) bagi Mahasiswa dan calon guru sejarah dapat menambah wawasan mengenai peranan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam penyebaran agama Islam melalui seni budaya wayang kulit dan suluk; (3) bagi almamater dapat menambah koleksi perpustakaan mengenai peranan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam penyebaran agama Islam melalui seni budaya wayang kulit dan suluk ; (4) bagi Pembaca dapat menambah wawasan mengenai peranan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam penyebaran agama Islam melalui seni budaya wayang kulit dan suluk. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari beberapa langkah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Sosiologi Agama. Penelitian ini juga menggunakan teori Otoritas atau Legitimasi Kekuasaan dari Max Weber sebagai dasar dalam pemecahan masalah yang akan dikaji. Simpulan dari pembahasan dalam penelitian ini antara lain; (1) faktor yang melatar belakangi Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa adalah ingin meraih kesejatian hidup dan ingin membebaskan masyarakat dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh pemerintah yang lalai pada saat itu. (2) Sedangkan tindakan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam melalui media wayang kulit dan suluk adalah dengan menjadi penanggung jawab perubahan segala aspek tentang pertunjukkan wayang sehingga tidak bertentangan dengan agama Islam. Selain itu pada budaya suluk, Raden Sahid (Sunan Kalijaga) membuat beberapa suluk yang ditujukan untuk menambah keimananan dan ketakwaan masyarakat yang telah memeluk Islam. Salah satu suluk ciptaan Raden Sahid (Sunan Kalijaga) yang paling terkenal adalah Suluk Linglung.