Sistem penyerangan dalam sepak bola yang menggunakan pola wm disebut dengan istilah

Jakarta - Di masa-masa awal evolusi sepakbola, permainan menyerang adalah raja, dengan mencetak gol sebagai tujuan utama. Piramida 2-3-5 dengan keberadaan 5 orang penyerang di depan pun seakan jadi bukti. Taktik inilah yang digunakan oleh hampir semua klub di Inggris di awal abad 19. Kala itu, masing-masing pemain melaksanakan peran tunggal. onsep penyerang yang bertahan, atau pemain bertahan yang menyerang, tidaklah dikenal Bahkan sistem bertahan juga tergolong sederhana, yaitu satu pemain menjaga seorang pemain lainnya. Cara bermain berupa pressing ketat atau bertahan zona pun sama sekali belum diketahui.Bahwa sepakbola lalu berevolusi hingga menjadi permainan yang di kenal saat ini, dengan segala macam kerumitan taktik, formasi, peran pemain, sehingga kemudian bentuk piramidanya terbalik, tentu melalui suatu proses metamorfosis yang panjang dan berulang. Ada ide yang (selalu) ditemukan, entah melalui ketidaksengajaan, suatu kekalahan, atau lewat desain yang dirancang dengan matang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu perubahan mendasar yang terjadi mula-mula dalam sepakbola adalah bergantinya formasi 2-3-5 jadi strategi W-M. Adanya revisi aturan offside yang terjadi pada tahun 1925 jadi faktor utama terjadinya hal ini. (lihat tulisan sebelumnya: "Chapman dan Sacchi: Offside Sebagai Kemungkinan Taktikal").

2-3-5 ke 3-2-2-3 (W-M)

Terdapat perubahan di dua ujung lapangan dalam menuju formasi W-M, yaitu di sisi penyerangan dan bertahan. Di ujung satu, dua orang inside forward, yang semula menemani center forward dan dua orang winger untuk menyerang, ditarik untuk bermain lebih dalam. Sementara pergantian di ujung satunya adalah "mundurnya" center-half dan menjadi bek ketiga (lihat grafik).

Sistem penyerangan dalam sepak bola yang menggunakan pola wm disebut dengan istilah

Salah satu efek dari perubahan posisi ini adalah kacaunya susunan nomor punggung di Inggris. Dalam bukunya, The Inverting Piramid, Jonathan Wilson menyatakan bahwa dulu pada 1939, FA telah menetapkan aturan baku penomoran pemain, yaitu: 1-Kiper, 2-bek kanan, 3-bek kiri, 4-right-half, 5- centre half, 6-left half, 7-right winger, 8-inside right, 9-centre forward, 10-inside left, dan 11-left-winger.

Saat formasi W-M mulai digunakan, aturan penomoran ini tidak disesuaikan lagi dan dilazimkan saja, baik oleh klub, FA, maupun media massa. Akibatnya, ada saja pelatih yang memanfaatkan hal ini untuk menimbulkan kebingungan untuk musuh-musuhnya. Misalnya saja Pete Doherty, sang pelatih Doncaster Rovers. Terkadang ia menyuruh anak-anak asuhannya untuk saling bertukar nomor punggung untuk mengacaukan sistem pertahanan lawan. Para pemain yang kala itu lebih sering mengenali lawan dari nomor punggung, daripada posisi atau muka, pun kebingungan dalam mencari pemain mana yang akan ia jaga. Mereka juga sibuk menerka-nerka apakah tim Pete Doherty menggunakan formasi 2-3-5 atau formasi W-M.

Tentang penciptaan formasi W-M sendiri tidak berlangsung dalam waktu singkat dan melalui dua tahapan. Pertama adalah saat dua inside forward bermain lebih ke dalam, sementara perubahan kedua adalah saat munculnya bek ketiga.

Formasi W: Pra Aturan Offside Baru

Sistem penyerangan dalam sepak bola yang menggunakan pola wm disebut dengan istilah
Banyak orang mengidentikkan penciptaan formasi W-M dengan salah satu pelatih legendaris Arsenal, Herbert Chapman. Bagaimana tidak. Dengan menggunakan taktik inilah Arsenal berhasil mendapatkan 5 gelar Divisi Utama serta dua kali merebut Piala FA.

Keberhasilan Arsenal ini kemudian membuat formasi W-M ditiru oleh banyak klub, sehingga sempat jadi platform untuk klub-klub di Inggris selama lebih dari 25 tahun.

Namun, dalam kolom "The Question" di The Guardian, Jonathan Wilson kembali mempertanyakan hal ini terutama karena adanya bukti-bukti baru. Melalui tulisan salah seorang jurnalis sepakbola Inggris di kala itu, Cherry Blossom, Wilson menemukan bahwa formasi W telah menyebar di Inggris sebelum era Arsenal-nya Chapman. Tapi perubahan ini hanya berada di satu ujung lapangan saja, yaitu menarik inside forward untuk bermain lebih dalam.

Salah satu bukti yang mendukung hal ini adalah sedikitnya jumlah gol yang dicetak oleh inside forward, sementara center forward dan pemain sayap sangat sering terlibat dalam proses mencetak gol.

Menurut tulisan Cherry Blossom lagi, ada perubahan peran inside forward dalam bermain. Jika sebelumnya para pemain ini berperan seperti striker untuk mencetak gol, maka kini tugasnya bertambah jadi ikut bertahan saat timnya sedang diserang. Ini bisa jadi salah satu evolusi peran dan fungsi pemain pertama dalam sepak bola. Dengan inside forward yang bermain lebih ke dalam, center-forward serta kedua pemain sayap akan bermain sejajar di depan, dengan jarak kurang lebih 1 meter dari posisi offside.

Perubahan ini tidak terjadi hanya di Inggris. Baik negara-negara di dataran Eropa maupun Amerika Tengah juga memulai proses evolusi dari 2-3-5 jadi W-M dengan menurunkan posisi inside forward.

Hal ini berbeda dengan klaim yang dilakukan Willy Meisl, salah seorang jurnalis olahraga terkemuka di Inggris, terhadap terbentuknya taktik W-M. Ia mengatakan bahwa inside forward yang bermain lebih dalam adalah untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan center-half karena pindah jadi bek ketiga.

Transformasi Jadi W-M: Bek Ketiga

Jika Chapman dan Arsenal tidak menjadi pelopor bergantinya posisi inside forward, maka penyempurnaan penggunaan bek ketiga bisa ditujukan pada pelatih legendaris ini.

Chapman sebenarnya tidak menemukan ide adanya bek ketiga ini sendirian. Saat aturan offside baru diterapkan, ia semula kesulitan dalam beradaptasi sehingga Arsenal acap kali mendapatkan hasil buruk. Saat tim-tim Eropa mulai mencari cara untuk beradaptasi dengan aturan ini, Chapman masih terjebak menggunakan 2-3-5.

Namun, semua berubah saat Newcastle membantai mereka 7-0.

Setelah kekalahan tersebut seorang pemain depan Arsenal, Charlie Buchan, mengancam untuk mengundurkan diri dari tim jika Chapman tidak melakukan perubahan formasi. Buchan sendiri memang semenjak awal musim telah berargumen bahwa dengan berubahnya hukum offside, maka center-half (lihat gambar) mau tidak mau akan mengambil peran yang lebih defensif.

Buchan juga menunjukkan pada Chapman bahwa saat menaklukkan Arsenal, center-half Newcastle juga mengambil tugas seperti itu. Ia tidak membantu penyerangan, namun berkali-kali memutus serangan Arsenal.

Chapman yang mengiyakan hal ini lalu mengubah formasi Arsenal. Ia menyuruh Jack Butler, seorang center-half, untuk meredam insting kreatifnya dan fokus dalam bertahan dan bermain lebih dalam. Dua hari setelah kekalahan 7-0 dari Newcastle, dengan menggunakan strategi baru ini Arsenal menang 4-1 dari West Ham. Tim asal kota London ini pun di akhir musim berhasil bercokor di posisi dua klasemen, di bawah Huddersfield.

Sistem penyerangan dalam sepak bola yang menggunakan pola wm disebut dengan istilah

Di musim selanjutnya Chapman pun mulai menyempurnakan formasi. Bagaimanapun juga perubahan fungsi center-half berarti ada pergantian peran-peran lainnya dalam tim.

Kedua full-back yang semula bermain di poros tengah dipasang mendekati sayap lapangan untuk menjegal winger-winger lawan. Demikian pula dengan dua orang inside forward yang masing-masing diberinya peran berbeda. Buchan yang memiliki kemampuan mumpuni untuk mencetak gol tetap ia plot untuk membantu 3 orang di depan dalam menyerang. Sementara Andy Neil lebih difungsikan untuk membantu right-half dan left-half di tengah.

Hal ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan permainan. Dengan ditariknya center-half untuk bermain lebih dalam, maka lapangan tengah yang semula dihuni oleh 3 orang jadi hanya 2 orang. Disinilah peran Andy Neil sebagai inside forward sebagai penyeimbang, terutama dalam bertahan.

Walau jadi orang pertama yang menyadari kebutuhan untuk mengganti taktik, uniknya puncak penampilan Arsenal dengan formasi W-M datang setelah Buchan pensiun. Kuncinya terletak pada diri dua orang, yaitu Alex James sang inside forward dan Herbie Robert, seorang center-back murni.

Dalam diri Alex James, ironisnya direkrut untuk menggantikan Buchan, Chapman menemukan seorang pemain cerdas yang mampu mendistribusi bola saat menyerang. Saat melakukan serangan balik, James dengan kecepatannya mampu melihat ruang kosong lawan dan mengalirkan bola ke arah tersebut. Sementara dalam Herbie Robert, Chapman menemukan seorang bek tengah yang bisa tampil tanpa kompromi. Saat mempercayakan posisi ini pada Jack Butler, Arsenal sering kali dibobol melalui area yang dijaganya. Butler memang memiliki kemampuan teknik yang lebih mumpuni dibanding Roberts, terutama dalam mendistribusi bola, tapi ia lemah secara defensif.

Beda halnya dengan Robert. Dengan tekel dan kemampuan memotong bola di udaranya ia seakan jadi benteng Arsenal. Ia mampu tampil di bawah tekanan dan mengorganisir lini pertahanan Arsenal. Kelemahannya hanya satu. Ia tak bisa mengirimkan umpan-umpan panjang. Boleh dikatakan Robert inilah yang jadi prototipe center-back modern ala Inggris saat ini.

Dengan kehadiran dua orang ini Arsenal kemudian meraih sukses. Di tahun kelimanya, pada 1930, setelah menyempurnakan formasi W-M, Chapman pun mengantarkan tropi pertamanya sebagai pelatih dalam bentuk Piala FA.

Empat tahun kemudian, pada 6 Januari 1934 Chapman meninggal dunia karena pneumonia. Saat itu ia masih menjadi pelatih Arsenal dan masih berusia 56 tahun. Formasi W-M yang ia populerkan akhirnya merajai Inggris dan mengubah peta persepakbolaan negara tersebut. (Lihat tulisan Genealogi Winger (Bagian 1)).

===* Akun twitter penulis: @vetriciawizach dari @panditfootball

(mfi/a2s)