Sumber hukum islam yang kedua setelah alquran dan merupakan penjelasan sebab turunnya alquran adalah

Oleh

KH. Abdul Muiz Ali (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa)

Seluruh umat muslim di dunia harus sepakat bahwasannya hadis menduduki posisi penting dan strategis dalam kajian-kajian keislaman. Hal ini dikarenakan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an di dalam Islam. Namun jika disebut tentang istilah hadis qudsi, belum tentu semua umat muslim tahu akan pengertian dari hadis ini, bahkan mungkin istilah ini masih asing bagi sebagian masyarakat awam.

Hadis sendiri dimaknai sebagai ucapan, perbuatan dan sesuatu yang disetujui oleh Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hadis qudsi disebut hadis karena disampaikan oleh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam. Disebut hadis Qudsi karena dinisbahkan pada kalimat Quddus/Qudsi–salah satu Nama Allah–yang artinya suci karena hakikat hadis Qudsi bersumber dari Allah Yang Maha Suci (Quddus). Jika maknanya adalah demikian, kemudian timbul pertanyaan apa bedanya hadis qudsi dan Al-Qur’an bila keduanya sama-sama berasal dari Allah?

Keduanya hadis atau al-Quran–selain ijma’ dan qiyas– merupakan sumber hukum Islam menurut paham Ahlussunah Waljamaah. Al-Quran disebut wahyu, ada lagi wahyu Allah tapi tidak boleh disebut al-Quran, yaitu hadis qudsi. Meskipun sama-sama bersumber dari Allah, namun keduanya tidak memiliki kedudukan yang sama.

Dalam kitab al-Qawaidul Asasiyah fi Ilmi Mustholah al-Hadits halaman 16-19, Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani menjelaskan;

الحديث القدسي نسبة إلى القدس ، والقدس هو : الطهارة والتنزيه ، ويطلق عليه الحديث الإلهي نسبة للإله والحديث الرباني نسبة للرب جل وعلا

“Hadis Qudsi adalah
hadis yang dinisbahkan pada kata Qudsi. Arti kata Qudsi adalah suci (ath-thoharoh) dan membersihkan (at-tanzih). Selain disebut hadis Qudsi juga disebut hadits ilahi dinisbatkan pada Ilah (Allah), dan juga disebut hadits Robbani dinisbatkan pada Robb (Allah; Penguasa) yang Maha Agung dan Luhur”.

Baca Juga  Milad 46 MUI: Momentum MUI Berkhidmat Hadapi Pandemi

Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwir al-Qulub halaman 551 menjelaskan;

والحديث القدسي أنزل عليه بغير واسطة الملك غالبا بل بالهام أو منام إما باللفظ والمعنى وإما باللفظ فقط يعبر عنه النبي صلى الله عليه و سلم بألفاظ من عنده و ينسبه اليه تعالى لا للتعبد بتلاوته ولا للإعجاز.

“Hadis Qudsi adalah wahyu yang di turunkan kepada Nabi Muhammad dengan tanpa perantara malaikat melainkan dengan ilham atau mimpi. Ada kalanya hadis Qudsi itu turun berupa lafadz dan maknanya dan adakalanya lafadznya saja dan kemudian Nabi sendiri yang mengungkapkan dengan beberapa lafadz dari dirinya sendiri yang di nisbahkan kepada Allah dan membaca hadis Qudsi tersebut tidak di anggap ibadah dan jga tidak mengandung mukjizat”.

Meski hadis qudsi disebut hadis Ilahi atau juga hadis Robbani karena bersumber dari Allah Subhanahu Wata’ala, namun hadis Qudsi bukanlah Al-Qur’an. Tidak boleh menyamakan kedudukan al-Qur’an dengan hadis qudsi.

Dalam kitab at-Tahbir fi Ilmittafsir halaman 39, Imam As-Suyuthi tidak memasukkan hadis Qudsi kepada pengertian al-Quran.

وأما في العرف فهو الكلام المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم للإعجاز بسورة منه، فخرج بالمنزل على محمد صلى الله عليه وسلم: التوراة والإنجيل، وسائر الكتب، وبالإعجاز: الأحاديث الربانية القدسية كحديث الصحيحين

“Adapun pengertian Al-Qur’an secara ‘uruf (definisi umumnya ulama) adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam yang mempunyai muatan mukjizat dalam setiap satu suratnya. Tidak termasuk pada definisi al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah kitab Taurat, Injil dan kitab-kitab yang lain. Tidak termasuk yang mempunyai mukjizat adalah hadis-hadis yang dinisbahkan (seperti hadis qudsi) kepada Allah yang Suci, sebagaimana hadis (yang di riwayatkan) Imam Bukhori dan Muslim”.

Jumlah Hadis Qudsi


Jumlah hadis Qudsi tidak sebanyak hadis nabawi yang jumlahnya menurut sebagian ulama lebih dari seratus ribu hadis. Secara keseluruhan jumlah hadis qudsi masih kisaran ratusan hadis, itupun jika dihitung dengan redaksi atau riwayat yang diulang-ulang. Ulama berbeda pendapat perihal kepastian jumlah hadis qudsi.

Baca Juga  Muharram 1443 Hijriyah, Momentum Hijrah Mengalahkan Pandemi

Menurut Imam Ahmah Ibnu Hajar, ulama yang mensyarahi kitab hadis Araba’in An-Nawaiyah, jumlah hadis qudsi lebih dari 100 hadis. Imam Al-Munawi dalam kitabnya al-Ithafatu as-Saniyah bi al-Ahaditsi al-Qudsiyah menyebutkan jumlah hadis qudsi sebanyak 272 hadis.
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa jumlah hadis qudsi sebanyak 100 hadis atau lebih sedikit.

Terlepas dari perbedaan ulama dalam mendefinisikan jumlah hadis qudsi dan jumlahnya, berikut adalah contoh-contoh hadis qudsi yang sering kita dengar:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” قَالَ اللَّهُ: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ، أُنْفِقْ عَلَيْكَ

“Diriwayatkan dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu sesungguhnya Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda, “Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, berinfaklah wahai anak adam, (jika kamu berbuat demikian) Aku memberi infak kepada kalian”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي..”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu beliau berkata, telah bersabda Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Aku adalah sebagaimana prasangka hambaku kepadaku, dan Aku bersamanya ketika dia mengingatku..”
(HR. Bukhori dan Muslim).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ، قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً”

“Diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Muhammad Shollallahu’alaihi wasallam, Sesungguhnya Allah menulis semua kebaikan dan keburukan. Barangsiapa berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, Allah menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia melakukannya, Allah menulis pahala sepuluh kebaikan sampai 700 kali, sampai berkali lipat banyaknya. Barangsiapa berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia tidak melakukannya, Allah menulis di sisi-Nya pahala satu kebaikan sempurna untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat keburukan, lalu dia melakukannya, Allah menulis satu keburukan saja.
(HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga  Dukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui Fatwa MUI

Selain tiga hadis qudsi diatas, masih banyak hadis qudsi yang lain dimana isinya memuat tentang akidah, motivasi ibadah, akhlak dan lain sebagainya.

Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadis Qudsi

Perbedaan Al-Qur’an dengan Hadis Qudsi, selain prosesnya turunnya beda, kedudukan dan fungsinyapun juga beda;

1. Al-Qur’an adalah mukjizat yang terjaga sepanjang masa dari segala pengubahan, serta lafadznya dan seluruh isinya sampai taraf hurufnya, tersampaikan secara mutawatir.

  1. Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan maknanya saja. Ia harus disampaikan sebagaimana adanya. Berbeda dengan hadits Qudsi, yang bisa sampai kepada kita dalam hadis yang diriwayatkan secara makna saja.
  2. Dalam madzhab Syafi’i, mushaf Al-Qur’an tidak boleh dipegang dalam keadaan berhadats kecil, serta tidak boleh dibaca saat berhadats besar. Sedangkan pada hadis Qudsi, secara hukum, ia boleh dibaca dalam kondisi berhadats.
  3. Hadits Qudsi tentu tidak dibaca saat shalat, berbeda dengan ayat Al-Qur’an.
  4. Membaca Al-Qur’an, membacanya adalah ibadah, dan setiap huruf mendapat sepuluh kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
  5. Al-Qur’an adalah sebutan yang memang berasal dari Allah, beserta nama-nama Al-Qur’an yang lainnya.
  6. Al-Qur’an tersusun dalam susunan ayat dan surat yang telah ditentukan.
  7. Lafadz dan makna Al-Qur’an sudah diwahyukan secara utuh kepada Nabi Muhammad, sedangkan lafaz hadits qudsi bisa hanya diriwayatkan oleh para periwayat secara makna.

Demikian pengetahuan mengenai istilah hadis qudsi, setelah mengetahui pengertian dan perbedaannya dengan Al-Qur’an, tidak ada alasan bagi tiap muslim untuk berpaling atau menolak hadits qudsi. Semoga penjelasan ini dapat menambah ilmu dan manfaat bagi pembacanya.


KH. Abdul Muiz Ali (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat).

Merdeka.com - Hadis merupakan landasan hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Hadis sebagai sumber kedua ditunjukkan oleh tiga hal yaituAlquran, kesepakatan (ijma) ulama, dan logika akal sehat (maqul). Alquran menekankan bahwa Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Oleh karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin.

Sejak masa sahabat sampai dengan hari ini para ulama telah sepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga pada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadis sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwaAlquran hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

Lebih jauh berikut ini informasi mengenai 4 fungsi hadis terhadap Alquran, penting diketahui telah dirangkum merdeka.com melalui Liputan6.com dan media.neliti.com:

2 dari 5 halaman

4 Fungsi hadis terhadap Alquran yang pertama adalah sebagai Bayan At-Taqrir yang berarti memperkuat isi dari Alquran. Dalam hal ini sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima salat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)

Hadits di atas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” - (QS.Al-Maidah:6)

3 dari 5 halaman

4 Fungsi hadis terhadap Alquran yang kedua adalah sebagai Bayan At-Tafsir yang berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Alquran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid).

Contoh hadits sebagai bayan At-tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” - (QS.Al-Maidah: 38)

Dalam Alquran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi Muhammad SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.

4 dari 5 halaman

Sedangkan 4 fungsi hadis terhadap Alquran yang ketiga adalah sebagai Bayan At-tasyri’ atau sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran Islam yang tidak dijelaskan dalam Alquran. Biasanya Alquran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja.
Contohnya hadits mengenai zakat fitrah, dibawah ini:

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan” - (HR. Muslim).

5 dari 5 halaman

4 Fungsi hadits terhadap Alquran yang terakhir adalah Baya Nasakh. Para ulama mendefinisikan Bayan Nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.

Contohnya:“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS. Al-Baqarah ayat 180:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” - (QS.Al-Baqarah:180)

Untuk fungsi hadits sebagai Bayan Nasakh ini ada perdebatan di kalangan ulama. Ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadits.