Sumber utama dari berbagai sumber hukum di suatu negara disebut

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer sebagaimana contoh hukuman disiplin ringan .

Secara umum terlihat ada dua sumber hukum yaitu sumber hukum dalam arti materiil dan formil. Pengertian Hukum Materil adalah menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan.Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.  Sedangkan pengertian HukumFormil menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim sebagai contoh hukum kebiasaan .

Selsin dilihat dari pengertiaanya, hukum formil dan hukum materiil sebagai contoh hukum positif  dapat dibedakan berdasarkan hal berikut ini :

Perbedaan Hukum Formil dan Materil

Secara yuridis sumber hukum terediri dari sumber hukum formal dan materil:

Sumber hukum materiil ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya, misalnya : KUHP segi materilnya adalah pidana umum, kejahatan dan pelanggaran. KUHPerdata mengatur masalah orang sebagai subjek hukum, benda sebagai objek, perikatan, perjanjian, pembuktian dan daluarsa sebagaimana fungsi hukum menurut para ahli .

Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang. Sumber hukum materiil berasal dari perasaan hukum masyarakat pendapat umum, kondisi sosial-ekonomi,  se!arah,  sosiologi,  hasil penelitian ilmiah,  filsafat tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain. “dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum  pengaruh terhadap pembuat keputusan hakim dan sebagainya.

Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materiisi dari aturan-aturan hukum  atau tempat dari mana materi hukum itu diambil untuk membantu pembentukan hukum sebagai contoh hukum yang mendidik . & faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.

Faktor Idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya.

Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk  pada aturan aturan yang berlaku sebagai petun!uk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain. faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:

  1. Stuktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antara lain: kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan perusahaan, dan pembagian kerja.
  2. Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan tingkah laku yang tetap.
  3. Hukum yang berlaku.
  4. Tata hukum negara-negara lain.
  5. Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.
  6. Kesadaran hukum

Sumber hukum formil adalah dalah sumber hukum yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan (kaidah hukum). Peraturan perundang-undangan ini memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai legalisasi dan legislasi. Yang dimaksud dengan legalisasi adalah mengesahkan fenomena yang telah ada di dalam masyarakat, sedangkan yang dimaksud dengan legislasi adalah proses untuk melakukan pembaruan hukum sebagaimana juga tujuan hukum acara pidana .

Faktor yang dapat memengaruhi proses pembentukan peraturan perundang-undangan ini dibedakan menjadi dua hal. Pertama, struktur sosial yang mencakup aspek (unsur sosial baku) sebagai dasar eksistensi masyarakat, seperti stratifikasi sosial, lembaga sosial, kebudayaan, serta kekuasaan dan wewenang. Kedua, sistem nilai-nilai mengenai apa yang baik dan yang tidak baik (buruk) yang merupakan pasangan nilai-nilai yang harus diselaraskan (diserasikan). Pasangan nilai-nilai inilah yang seharusnya tercermin di dalam peraturan perundang-undangan agar memiliki makna komprehensip sebagai asas hukum pidana , antara lain kebebasan dengan ketertiban, umum dan khusus, perlindungan dengan pembatasan, kebebasan dan ketertiban, dan lain sebagainya.

Faktor yang menjadi sumber hukum formil merupakan sumber hukum dalam bentuknya yang tertentu, yang menjadi dasar sah dan berlakunya hukum secara formal. Ia menjadi dasar kekuatan yang dilihat dari bentuknya, mengikat baik itu bagi warga masyarakat maupun para pelaksana hukum (penegak hukum) itu sendiri. Sumber hukum formil yang dikenal di dalam ilmu hukum berasal dari enam jenis, yaitu Undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktrat, doktrin.

Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah.

Kebiasaan adalah salah satu hal yang menjadi sumber hukum menurut sistem hukum di Indonesia. Kebiasaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, menurut tingkah laku yang tetap, lazim, dan normal sehingga orang banyak menyukai perbuatan tersebut.

Traktat (Treaty) adalah perjanjian yang dibuat antarnegara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Pasal 11 UUD menentukan: “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”

Yurisprudensi adalah keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur di dalam UU dan dijadikan sebagai pedoman bagi para hakim yang lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama. Lahirnya Yurisprudensi karena adanya peraturan peraturan UU yang tidak jelas atau masih kabur, sehingga menyulitkan hakim dalam membuat keputusan mengenai suatu perkara. Hakim dalam hal ini membuat suatu hukum baru dengan mempelajari putusan hakim yang terdahulu untuk mengatasi perkara yang sedang dihadapi. Jadi, putusan dari hakim terdahulu ini yang disebut dengan yurisprudensi.

Doktrin hukum adalah Suatu pernyataan yang dituangkan kedalam bahasa oleh semua ahli hukum. dan hasil pernyataannyapun disepakati oleh seluruh pihak.

Hukum Agama adalah hukum yang mengatur keseluruhan persoalan dalam kehidupan berdasarkan atas ketentuan agama tertentu. Jika seseorang tidak memiliki iman atau kepercayaan yang kuat maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut telah melanggar norma atau hukum agama.

itulah tadi, perbedaan hukum formil dan materiil berdasarlan sumber hukumnya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

Penulis : Joni Kasim

Editor : Nora Listiawati

Publisher : Radhes Langgeng

PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI

PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI

Oleh: Wigati Pujiningrum, S.H., M.H. (Hakim Yustisial/Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata)

Hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi yaitu hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sebagaimana Sunaryati Hartono mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal: An Introduction to the Philosophy of Law, yang menyatakan: “The first and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to keep the peace at all events and at any price. This is the conception of what may be called the stage of primitive law. Hukum juga sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan dan hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Hukum, institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan peranan yang sangat penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Agenda pemerintah saat ini adalah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memulihkan kondisi perekonomian secara bertahap dan berkesinambungan serta keluar dari keadaan yang sangat tidak menentu seperti saat sekarang ini.

 Hukum muncul karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut “hukum perdata material”, sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal lazim disebut hukum acara perdata.[1]

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat karena manusia itu adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian, hukum perdata materiel pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban itu.

Keadaan hukum perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman (pluralisme). Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan berlaku di Indonesia. Adapun dasar hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah Pasal 1 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, selain itu, hukum tertulis (undang-undang) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat,[2] sehingga seringkali tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, untuk itu undang-undang tersebut perlu selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan jaman (up to date).

Untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak terlalu tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Peranan kekuasaan yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebagai corong dari peraturan perundang-undangan, namun hakim mampu menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat, sehingga diharapkan apabila peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut.  Hal tersebut sejalan dengan mandat dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mewujudkan rasa keadilan di tengah masyarakat walaupun tidak terdapat peraturan perundangan yang memadai. Namun prinsip sebagaimana disebut pada pasal 5 Undang-Undang Kehakiman sering disalahgunakan dengan mengubah tatanan hukum yang ada sehingga akibatnya kepastian hukum sangat susah untuk diperoleh.

Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui peradilan dengan putusan hakim. Apabila dikaitkan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti  law reform. Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang  Kekuasaan  Kehakiman, yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang jelas dalam hukum tertulis.[3]

Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992 telah dikumpulkan beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:

  1. Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi Poerbatjaraka dan Soerjono Soekanto);
  2. Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (kamus Fockema Andrea);
  3. Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam soal yang sama (Kamus Fockema Andrea);
  4. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsgeleerheid rechtsspraak, rechtsopvatting gehudligde door de (hoogste) rechtscolleges, rechtslichamen blijklende uitgenomende beslisstingen (kamus koenen endepols);
  5. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsopvatting van de rechterlijke macht, blijkende uitgenomen beslisstingen toegepasrecht de jurisprudentie van de Hoge Raad (kamus van Dale);

Menurut R Soebekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap.

Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3) memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi  stagnasi  pemerintahan  dalam keadaan  tertentu  guna kemanfaatan dan kepentingan umum,[4] hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.[5] Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman.[6]

Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim peradilan umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta  dalam perkara-perkara sebelumnya.

Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pembangunan Hukum Perdata Indonesia melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, perlu dilakukan inventarisasi putusan pengadilan yang memenuhi unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung, Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan peradilan.

Putusan-putusan tersebut dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Kelayakan suatu yurisprudensi dapat menjamin adanya nilai kemanfaatan adalah putusan mengandung nilai terobosan dan putusan diikuti oleh hakim secara konstan sehingga menjadi yurisprudensi tetap yang memaksimalkan kepastian hukum. Apabila mengenai suatu persoalan sudah ada suatu yurisprudensi tetap, maka dianggap bahwa yurisprudensi itu telah melahirkan suatu peraturan hukum yang melengkapi undang-undang.Pemantapan asas-asas hukum pertama-tama bisa dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui proses perundang-undangan (legislation). Tetapi pada tahap penerapannya, asas-asas itu dimantapkan melalui yurisprudensi.

Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman.

[1] Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Forum Keadilan No. 08 (18 Juni 2006), hal. 46-47, lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto dalam Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford Foundation & HuMa, 2007, hal. 94.

[2] J.L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hal. 112

[3] Hasan Wargakusumah, Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, dalam Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992, hal. 64.

[4] Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[5] Pasal 23 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[6] Paulus Effendi Lotulung, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1997, hal. 24