Show
Indonesia - Sebuah usaha yang berjalan pasti memerlukan lokasi fisik sebagai pusat operasi untuk menjalankan suatu usaha tersebut. Pada dasarnya, sebuah perusahaan membutuhkan biaya pengeluaran agar bisnis atau usahanya dapat berjalan di lokasi tersebut secara legal atau sah secara hukum. Biaya yang diperlukan tersebut adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sebagai perusahaan yang berdiri di lokasi tertentu wajib untuk membayarkan gedung atau tanah yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahanya melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Apa Itu Pajak Bumi dan Bangunan?Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan sebuah biaya yang harus disetorkan atas keberadaan tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang ataupun badan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bersifat kebendaan, maka besaran tarifnya ditentukan dari keadaan objek bumi atau bangunan yang ada. Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Definisi dari objek Pajak Bumi dan Bangunan (objek PBB) sendiri merupakan tanah atau bangunan yang wajib untuk dipungut pajak. Objek bumi dalam Pajak Bumi dan Bangunan meliputi:
Sedangkan untuk objek bangunan dalam Pajak Bumi dan Bangunan meliputi:
Definisi dari subjek Pajak Bumi dan Bangunan (subjek PBB) merupakan orang pribadi atau badan yang secara sah dan nyata memiliki hak atas bumi, memperoleh manfaatnya, memiliki dan menguasai bangunan tersebut, serta merasakan manfaatnya. Bukan Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Setelah mengetahui apa saja yang menjadi objek dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sebenarnya tidak setiap tanah dan bangunan yang ada dapat menjadi objek dalam Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada beberapa juga yang tidak masuk ke dalam objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu dapat dikelompokkan berdasarkan penggunaannya: 1. Dipergunakan untuk kepentingan umum dan tidak memperoleh keuntungan di bidang:
2. Dipergunakan untuk menjaga flora dan fauna:
3. Dipergunakan oleh perwakilan negara atau organisasi internasional: Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada dasarnya diatur dalam beberapa Undang-Undang di Indonesia, yaitu:
Dasar Pengenaan atas Pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Sebagai dasar pengenaan pungutan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat disebut Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan dihitung berdasarkan harga rata-rata atau harga pasar pada saat melakukan transaksi jual beli. Dasar pengenaan pungutan ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Namun, setiap daerah memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berbeda-beda dikarenakan adanya pengaruh dari beberapa dasar penetapan untuk objek bumi dan bangunan, yaitu:
Cara Menentukan Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Terdapat 3 tahap yang dilakukan dalam menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu:
Definisi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sendiri merupakan besarnya harga atas objek baik bumi maupun bangunan atau dapat dikatakan pula sebagai harga untuk properti tanah dan bangunan. Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dibayarkan, maka langkah pertama harus mengetahui terlebih dulu harga dari tanah dan bangunan tersebut.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan suatu dasar dari penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pajak yang terutang. Berikut ini merupakan ketentuan persentase dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan:
Kembali dengan mengacu pada uraian dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut, maka untuk menghitung Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) adalah dengan mengalikan persentase dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) tersebut dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Rumusnya adalah sebagai berikut: NJKP = % NJKP X NJOP
Setelah mengetahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), maka dapat langsung menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan menggunakan rumus berikut ini: PBB = 0,5% X NJKP Jakarta - Air merupakan salah satu hal yang paling dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk dapat tetap bertahan hidup. Keberadaan sumber air bahkan menjadi kebutuhan yang paling utama bagi masyarakat di berbagai negara, khususnya mereka yang mengalami krisis air. Air sendiri digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk berbagai macam jenis kegiatan. Air terdiri dari berbagai macam jenis, mulai dari air laut, air sungai, air hujan, dan air tanah. Air tanah dapat dibilang memiliki peranan yang paling penting bagi kehidupan karena berguna bagi keseimbangan alam, kebutuhan industri, sampai kebutuhan rumah tangga. Lalu apakah air tanah ini dikenakan pajak di Indonesia? Jawabannya adalah iya, di Indonesia sendiri terdapat pajak air tanah. Pajak air tanah sendiri merupakan pajak yang cukup prospektif, dikarenakan pemanfaatan air tanah yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat umum, banyak perusahaan yang mulai memanfaatkan air tanah untuk kebutuhannya. Sehingga pemerintah menetapkan pajak air tanah untuk membatasi penggunaannya. Lalu, bagaimanakah aturan pemungutannya? Pasal 1 angka 33 UU PDRD, menyebutkan pajak air tanah merupakan pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air tanah sendiri didefinisikan sebagai air yang berada dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Objek pajak air tanah berdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU PDRD adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Tetapi tidak semua pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah dapat dikenakan pajak. Ada dua hal yang tidak termasuk objek pajak air tanah. Pertama, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, peribadatan, serta pertanian dan perikanan rakyat. Kedua, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah lainnya yang diatur dalam peraturan daerah. Terkadang pemerintah kabupaten/kota mengecualikan beberapa jenis pajak air tanah sebagai objek pajak. Sebagai contoh, di wilayah DKI Jakarta, selain yang diatur oleh UU, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Air tanah yang digunakan untuk keperluan pemadaman kebakaran juga dikecualikan dari objek pajak air tanah. Subjek pajak air tanah adalah orang atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Sementara itu, wajib pajak air tanah adalah pihak yang melakukannya. Besaran pajak air tanah ditetapkan dalam UU DPRD dengan tarif paling tinggi 20%. Tarif pajak ini ditentukan dengan detail oleh masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan potensi pajak yang dimiliki. Pemerintah daerah sendiri tidak diperbolehkan untuk melebihi batas maksimum tarif yang telah ditentukan dalam UU PDRD. Jika terjadi benturan dikarenakan tarif yang ditetapkan lebih tinggi dari UU PDRD, maka peraturan yang lebih rendah akan dikesampingkan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebijakan pembebasan pajak dan bumi bangunan (PBB) di DKI Jakarta telah resmi dimulai. Namun, peraturan ini tidak berlaku menyeluruh. Hanya lahan dan bangunan dalam kategori tertentu yang dapat menikmati pajak Rp 0 itu. Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Agus Bambang Setyowidodo mengatakan, pembebasan PBB hanya berlaku untuk tanah dan bangunan yang nilai jual objek pajaknya (NJOP)-nya di bawah Rp 1 miliar, atau luas tanah dan bangunannya di bawah 100 meter persegi. Dengan catatan, lokasi tanah dan bangunan tersebut tidak berada di dalam area perumahan ataupun cluster. "Jadi, yang bebas pajak hanya rumah-rumah yang di permukiman biasa, yang bukan perumahan. Kalau perumahan, cluster, ruko, dan apartemen tetap bayar pajak," kata Agus kepada Kompas.com, Senin (15/2/2016). Meski demikian, Agus menyebut ada pula tanah dengan luas 100 meter persegi dan berada di di area non-perumahan yang dapat terkena pajak. Hal itu terjadi apabila luas bangunannnya lebih dari 100 meter persegi. Ia kemudian menyontohkan rumah yang terdiri atas lebih dari satu lantai. "Kalau tanahnya 100 meter persegi, tapi rumahnya tiga lantai, itu akan tetap kena pajak. Karena luas bangunannya dipastikan lebih dari 100 meter persegi," tutur Agus. Pembebasan PBB di DKI Jakarta memang direncanakan dimulai pada tahun 2016. Diberlakukannya kebijakan ini bertujuan untuk membantu warga DKI Jakarta dari kalangan menengah ke bawah, terutama bagi mereka yang menempati rumah yang diwariskan oleh orang tuanya. Menurut Agus, perkembangan yang pesat di suatu kawasan terkadang menyebabkan warga yang menempati rumah warisan orang tuanya harus menanggung PBB yang tinggi akibat peningkatan harga tanah. "Mereka hanya terkena dampak dari pesatnya pembangunan di sekitar tempat tinggalnya. Makanya yang seperti itu yang kita bantu," ucap Agus. Agus menilai, kejadian yang sama hampir dapat dipastikan tidak terjadi bagi pemilik tanah dan bangunan untuk kategori perumahan, cluster, ruko, dan apartemen. |