Teknologi yang dipergunakan oleh masyarakat awal indonesia untuk membuat alat-alat tulang disebut

Kebudayaan Ngandong merupakan kebudayaan praaksara pada zaman Paleolitikum atau zaman Batu tua yang tersebar di kawasan Blora, Jawa Tengah. Kebudayaan ini dicirikan dengan penggunaan tulang yang umumnya berasal dari tulang binatang yang berukuran sedang hingga besar. Manusia praaksara pada masa ini banyak memanfaatkan tulang binatang dan duri yang diruncingkan pada salah satu bagiannya. Alat-alat tersebut digunakan untuk menjadi belati, sebagai mata pada ujung tombak, alat penusuk, untuk merobek daging, dan lainnya. Selain itu, juga digunakan tanduk binatang seperti rusa yang diruncingkan pada salah satu bagiannya. Alat ini digunakan untuk berburu, memotong, mengolah makanan, hingga dijadikan alat untuk melindungi diri dari musuh dan binatang buas.

Dengan demikian, jawaban yang paling benar adalah C.

Versi materi oleh Marwan S

Pada kehidupan berburu dan meramu pada tahap awal, penguasaan manusia terhadap teknologi masih sangat sederhana dan berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia pada saat itu. Setelah manusia menetap di goa-goa, mereka mempunyai kesempatan untuk mengembangkan daya imajinasinya dan keterampilan membuat alat-alat.

Pembuatan alat-alat dari bahan batu, kayu, maupun tulang-tulang hewan masih sangat sederhana dalam bentuk maupun cara pembuatannya. Hasil budaya fisik pada saat itu berupa alat-alat dari batu oleh para ahli dianggap sebagai tahap awal dari manusia menguasai satu bentuk teknologi sederhana yang disebut teknologi paleolitik. Di Indonesia, alat-alat yang terbuat dari batu dengan berbagai bentuk itu dikelompokkan dalam dua tradisi kapak perimbas dan tradisi alat serpih.

Pada tingkat permulaan budaya, manusia membuat alat-alat yang sangat sederhana dan bahannya dari batu, tulang, duri ikan, dan kayu. Alat-alat yang terbuat dari bahan kayu sukar ditemukan bekas-bekasnya karena kayu tidak tahan lama. Alat-alat dari zaman prasejarah itu mula-mula ditemukan di atas permukaan tanah, sehingga para peneliti tidak dapat memastikan pada lapisan manakah asal alat-alat tersebut.

Teknologi yang dipergunakan oleh masyarakat awal indonesia untuk membuat alat-alat tulang disebut

Dalam sistem berburu dan meramu ini diutamakan cara-cara memburu dan menangkap hewan dengan alat-alat yang diciptakan secara sederhana. Alatalat perburuan yang memainkan peranan penting pada masa itu, tetapi tidak dapat ditemukan kembali karena telah musnah, misalnya gada dari kayu atau tulang, tombak kayu dan jebakan-jebakan kayu. Cara-cara lain dengan membuat jebakan berupa lubang-lubang atau dengan cara menggiring hewan buruan ke arah jurang yang terjal. Perburuan biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Kelompok berburu terdiri dari keluarga

kecil, yaitu orang laki-laki melakukan perburuan dan para perempuan mengumpulkan makanan (tumbuh-tumbuhan). Di samping itu, para perempuan juga memelihara anak-anak. Peranan para perempuan penting sekali dalam memilih (seleksi) tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan dan membimbing anak-anak dalam meramu makanan. Setelah ditemukan penggunaan api, maka perempuan menemukan cara-cara memasak makanan, memperluas pengetahuan tentang jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan dan cara memasaknya.

Dengan melihat ciri-ciri tertentu, alat-alat yang terbuat dari batu ini digolongkan menjadi empat, yaitu kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, dan kapak genggam awal. Kapak perimbas mempunyai ciri-ciri antara lain bagian tajamnya berbentuk cembung atau lurus dengan memangkas satu sisi pinggiran batu dan kulit batu masih melekat dipermukaan. Kapak penetak mempunyai ciri-ciri ketajamannya dibentuk liku-liku dengan cara penyerpihan yang dilakukan berselang-seling pada kedua sisi ketajamannya. Pahat genggam mempunyai ciri-ciri tajamannya berbentuk terjal mulai dari permukaan atas batu sampai pinggirannya dan dibuat juga dengan cara penyerpihan. Kapak genggam awal mempunyai ciri-ciri bentuknya meruncing dan kulit batu masih melekat pada pangkal alatnya serta tajamannya dibentuk melalui pemangkasan pada satu permukaan batu.

Dari empat jenis utama kapak itu terdapat jenis-jenis lain dengan bentuk dan variasinya sendiri. Hal itu terlihat, misalnya jenis kapak perimbas tipe setrika, kura-kura, dan serut samping di daerah Punung, (Pacitan). Sementara itu, alat-alat serpih yang paling umum ditemukan mempunyai ciri-ciri kerucut pukulnya menonjol dan dataran pukulnya lebar dan rata. Ciri-ciri itu digolongkan ke dalam jenis-jenis alat serpih sederhana. Temuan-temuan alat serpih di Indonesia juga menunjukkan variasinya, bahkan terdapat beberapa alat serpih yang menunjukkan teknik pembuatannya yang lebih maju.

Perkakas-perkakas batu yang digunakan pada masa berburu dan meramu tingkat awal ini ditemukan tersebar dibeberapa tempat, terutama daerah-daerah yang banyak mengandung bahan batuan yang cocok untuk pembuatan alat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tradisi kapak perimbas pada masa itu sudah digunakan hampir di seluruh Indonesia.

Ditemukan dua ribu alat batu di Kali Baksoko, kabupaten Pacitan, tempat penemuan itu ditentukan sebagai kompleks kapak perimbas dengan sebutan Budaya pacitan. Semua jenis kapak batu itu umumnya berbentuk besar dan cara pembuatannya kasar. Kulit batu masih melekat pada permukaan alat dan tajamannya berliku atau bergerigi. Sementara itu, satu jenis yang juga penting selain kapak perimbas adalah kapak genggam. Kapak genggam ini pada umumnya dibuat secara kasar, tetapi terdapat beberapa kapak yang diserpih secara teliti dan lebih halus berbentuk bulat atau lonjong. Daerah penyebaran kapak perimbas ini adalah di daerah Punung, Gombong, jampang kulon, dan Parigi (jawa). Di Sumatera kapak perimbas ditemukan di daerah Tambangsawah, Lahat, dan Kalianda. Di Sulawesi kapak ini ditemukan di daerah Cabbenge. Di Bali kapak ini ditemukan di daerah Sembiran dan Trunyan. Di Sumbawa kapak tersebut ditemukan di daerah Batutring. Di Flores kapak tersebut ditemukan di daerah wangka, Soa, Maumere, dan mangeruda, dan di Timor kapak perimbas ditemukan di daerah Atambua dan Ngoelbaki.

Jenis kapak perimbas ini juga ditemukan di negara-neara Asia yang lain, seperti Pakistan, Birma, Malaysia, Cina, Thailand, Filipina dan Vietnam. Ada pula alat-alat serpih yang berukuran kecil yang diduga digunakan sebagai pisau, gurdi atau penusuk. Dengan alat itu manusia purba dapat mengupas, memotong dan mungkin juga menggali umbi-umbi.

Kapak genggam Sumatera atau pebble ditemukan tersebar di pantai timur Sumatera terutama di daerah Lhok Seumawe, Tamiang, Binjai, di bukit-bukit kerang di Aceh, dan di Sangiran Jawa Tengah. Bahan-bahan yang digunakan biasanya dari batu andesit yang dibuat melalui pemangkasan satu sisi atau dua sisi. Para ahli menganggap bahwa kapak genggam Sumatera ini mengikuti tradisi pembuatan kapak genggam di daratan Asia.

Dilihat dari cara pembuatannya, alat-alat batu yang digunakan pada masa berburu dan meramu tingkat awal digolongkan menjadi dua. Pertama, disebut tradisi batu inti, pembuatan alat dilakukan dengan cara pemangkasan segumpal batu atau kerakal untuk memperoleh satu bentuk alat, misalnya kapak perimbas, kapak genggam, atau kapak penetak. Kedua, disebut tradisi serpih yaitu alatalat batu yang dibuat dari serpihan atau pecahan-pecahan batu. Alat-alat serpih ini ditemukan bersama-sama dengan kapak perimbas atau alat-alat batu lainnya dan ditemukan secara terpisah. Di beberapa tempat seperti Sangiran (Jawa Tengah) atau di Sagadat (Timor) alat-alat serpih menjadi unsure pokok perkembangan budaya masyarakat waktu itu.

Tradisi alat-alat serpih yang berkembang pada masa berburu dan meramu tingkat awal bentuk alat-alatnya masih sederhana. Pada masa berikutnya, terutama ketika manusia sudah menetap sementara di goa-goa, tradisi alat serpih menjadi penting dan menjadi perkakas utama dalam kehidupan seharihari. Bentuknya pun beraneka ragam dan teknik pembuatannya lebih maju dibanding masa sebelumnya. Ketika bahan dasar dari alat serpih yang berupa batuan obsidian mulai digunakan, alat-alat ini mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia.

Tradisi alat serpih ini persebarannya juga luas. Di Jawa misalnya, alat serpih ditemukan di daerah Punung, Gombong, Jampangkulon, Parigi, Sangiran, dan Ngandong. Sedangkan di Sumatera, alat serpih hanya ditemukan di daerah Lahat. Di Sulawesi alat serpih tersebut ditemukan juga di satu daerah Cabbenge. Di Sumbawa alat serpih tersebut ditemukan di daerah Wangka, Soa, dan Mangeruda. Di Timor alat serpih tersebut ditemukan di daerah Atambua, Ngoelbaki, Gassi Liu, dan Sagadat.

Pembuatan alat dengan menggunakan bahan tulang dan tanduk agaknya pada masa berburu dan meramu tingkat awal ini masih sangat terbatas. Hal itu terlihat dari temuan alat-alat yang hanya ada di satu tempat, yakni di Ngandong. Alat-alat dari tulang ini biasanya digunakan untuk sudip atau mata tombak yang bergerigi di kedua sisinya. Sedangkan alat-alat dari tanduk menjangan kemungkinan digunakan untuk mengorek tanah karena di bagian ujung terdapat runcingan. Pembuatan alat dari tulang dan tanduk ini terus berlanjut ketika manusia sudah menetap di goa-goa. Bahkan dari beberapa temuan terdapat alat tanduk yang sudah dihaluskan.

Perkembangan Teknologi Manusia Purba – Perlu kita ketahui bersama, meskipun belum mengenal tulisan, manusia purba telah mengembangkan teknologi dan kebudayaan. Teknologi pada masa itu berupa teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam praktiknya, teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna.

Awal mulanya alat yang paling digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and error. Pada awalnya manusia purba hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama bebatuan. Teknologi bebatuan kemudian berkembang dalam kurun waktu yang panjang. Oleh sebab itu, para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau beberapa tahap perkembangan. Pada kebudayaan zaman batu ini kemudian terbagi menjadi tiga yaitu paleolitikum, mesolitikum, dan neolitikum

Hasil kebudayaan manusia zaman praaksara yang masih ada sampai saat ini kebanyakan merupakan hasil budaya masa megalitikum yaitu berupa bangunan batu besar. Contoh, punden berundak masa megalitikum masih digunakan dalam masa Hindu Budha meskipun terdapat hasil akulturasi budaya Hindu Budha yakni bangunan candi seperti Candi Borobudur. Saat ini juga masih bisa ditemui pada susunan bangunan rumah yang ada di Bali, bangunan lain seperti pada atap menara masjid Kudus.

Perkembangan Teknologi Manusia Purba dan Contoh Peninggalannya

Di Sumba pembuatan arca menhir sebagai pemujaan nenek moyang tetap berlangsung hingga saat ini. Arca tersebut dibuat sebagai penghormatan atas meningggalanya raja atau penguasa. Pembuatan arca tersebut dimaksudkan agar masyarakat tetap dekat dengan nenek moyang dan hubungan mereka tidak terputus.

Arca-arca pada masa megalitikum berkembang seiring kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda. Penggunaan arca masa sekarang dapat dijumpai pada masyarakat hindu di Bali. Berbagai macam arca dengan tingkat kegunaannya masih tetap ada sampai sekarang.

Selain bangunan-bangunan megalitikum, terdapat hasil budaya masa praaksara yang masih berkembang sampai sekarang yaitu tembikar. Tembikar pada masa praaksara dapat dilihat pada masa neolitikum. Pembuatan tembikar masa neolitikum sudah halus meskipun pembuatannya masih sederhana, tetapi hasil yang dibuat sudah dihaluskan. Berdasarkan perkembangannya, tembikar masih tetap digunakan sampai sekarang.

Cobek yang merupakan peralatan dari batu tersebut masih digunakan hingga sekarang dan bisa kita temui di rumah tangga Indonesia. Alat tersebut bisa digunakan untuk menghaluskan rempah-rempah, menghaluskan bumbu masak atau juga untuk tempat membuat sambal. Alat bebatuan tersebut sudah dikenal ribuan tahun yang lalu.

1. Antara Batu dan Tulang

Peralatan yang pada awalnya digunakan manusia purba adalah alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman tersier dan awal zaman quartair.

Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan tersebut terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan kasar. Kebudayaan zaman paleolitikum ini secara umum terbagi menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan

Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan-Jawa Timur. Beberapa alat yang terbuat dari batu ditemukan di daerah ini. Von Koenigswald dalam penelitiannya tahun 1935 menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di sungai Baksoka dekat Punung.

Alat batu itu masih kasar dan bentuk ujungnya masih runcing tergantung kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan sebutan kapak genggam atau kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat mencari jenis umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat yang disebut dengan chopper  sebagai alat penetak, dan juga ditemukan alat-alat serpih.

Kapak genggam merupakan sejenis kapak yang terbuat dari batu namun tidak bertangkai, digunakan untuk memukul bahan makanan atau melempar hewan buruan, atau bisa juga untuk mengorek tanah untuk mencari umbi-umbian.

Alat serpih merupakan alat yang terbuat dari batu pipih yang diasah dan berukuran lebih kecil dari kapak genggam berfungsi sebagai alat untuk penusuk atau pisau. Alat-alat yang terbuat dari tulang dan kayu digunakan untuk berburu atau bisa juga untuk menangkap ikan.

Alat-alat tersebut oleh Koeningswald digolongkan sebagai alat “paleolitik” yang bercorak chellean yaitu suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koenigswald ini kemudian dianggap kurang tepat setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur.

Tradisi Kapak perimbas  yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan sebutan Budaya Pacitan. Budaya ini dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu awal di Indonesia.

Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores dan Timor. Daerah Punung adalah daerah yang paling banyak ditemukan  kapak perimbas dan hingga saat ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.

Pendapat ahli condong kepada jenis manusia pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan.  Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur budaya Pacitan yang diperkirakan dari tingkat akhir Pleistosen tengah atau awal permulaan Pleistosen akhir.

b. Kebudayaan Ngandong

Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai belati. Ditemukan juga alat-alat bergerigi. Di Sangiran ditemukan alat-alat dari batu yang bentuknya seperti kalsedon.

Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Halmahera.

2. Antara Pantai dan Gua

Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu tengah atau yang dikenal dengan sebutan zaman mesolitikum. Hasil kebudayaan batu tengah ini sudah lebih maju dibandingkan dengan hasil kebudayaan zaman paleolitikum (batu tua). Walaupun demikian, bentuk dan hasil kebudayaan paleolitikum tidak serta merta punah dan tertap mengalami penyempurnaan. Secara garis besar kebudayaan mesolitikum ini terbagi menjadi dua yang ditandai denangan lingkungan tempat tinggal yaitu di pantai dan gua.

Pelajari sejarah perkembangan umat manusia hingga ke era sosial media saat ini melalui buku Sejarah Umat Manusia – Dari Nenek Moyak Kita Yang Paling Awal Sampai Akhir Era Media Sosial karya Henrik Willem Van Loon.

a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger merupakan istilah yang berasal dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur dan modding artinya sampah sehingga kjokkenmoddinger berarti sampah dapur. Dalam hubungannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra.

Adanya kjokkenmoddinger ini  tentu memberi informasi bahwa manusia purba zaman mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai. Von Stein C pada tahun 1925 melakukan penelitian di bukit kerang dan menemukan jenis kapak genggam.

Yang berbeda dengan kapak genggam zaman paleolitikum. Kapka genggam yang ditemukan di bukit kerang pantai Sumatra timur ini diberi nama Kapak Sumatra.

Kapak Sumatra tersebut dibuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Selain kapak Sumatera juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan. Di daerah Jawa batu pipisan biasanya digunakan untuk menumbuk atau menghaluskan jamu.

b. Kebudayaan Abris Sous Roche

Kebudayaan Abris Sous Roche adalah hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein C (1928-1931) di Gua Lawa-Ponorogo.

Beberapa teknologi bebatuan yang ditemukan antara lain, ujung panah, flake, batu penggilingan, dan juga  ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan Abris Sous Roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.

3. Mengenal Api

Bagi kehidupan manusia, api menjadi faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik, aktivitas manusia sehari-hari hamper dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak.

Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan badan dari cuaca dingin. 

Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Di samping itu, penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata.

Api digunakan untuk menghalau binatang buas yang menyerang. Api juga digunakan sebagai sumber penerangan. Melalui api, manusia juga bisa membuka lahan dengan cara membakar hutan.

Pada mulanya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras, misalnya batu api jika dibenturkan ke batu yang keras lainnya akan menghasilkan percikan api.

Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda yang lain baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya jika digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan tersebut kemudian memunculkan api.

Beberapa penelitian arkeologi di Indonesia sampai saat ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode tersebut. Namun bukan berarti manusia purba belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Tanzania sekitar 1,4 juta tahun yang lalu yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang.

Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam. Hal yang sama juga ditemukan di China dimana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun yang lalu. Tapi juga belum bisa dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia.

4. Sebuah Revolusi Teknologi Manusia Purba

Perkembangan zaman batu yang bisa disebut penting dalam kehidupan manusia adalah neolitikum atau zaman batu baru. Pada masa neolitikum juga dapat dikatakan sebagai zaman batu muda karena pada zaman ini telah terjadi revolusi kebudayaan di mana terjadi perubahan pola hidup manusia.

Pola hidup food gathering berubah menjadi pola hidup food producing. Perubahan ini seiring dengan berubahnya jenis pendukung kebudayaannya. Pada zaman ini telah hidup jenis homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman batu baru.

Cara Homo Sapiens berkembang menjadi penguasa planet Bumi, mampu melakukan berbagai hal luar biasa seperti membelah atom, terbang ke Bulan, dan merekayasa genetika kehidupan dapat Grameds pelajari pada buku Sapiens Grafis: Kelahiran Umat Manusia.

Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak. Sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi makanan. Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar terbagi menjadi dua tahap perkembangan.

a. Kebudayaan Kapak Persegi

Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh Von Heine Geldern yang dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi in memiliki bentuk persegi panjang da nada yang berbentuk trapezium.

Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul, bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di kepulauan Indonesia bagian barat seperti Sumatra, Jawa dan Bali.

Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Palembang, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Pacitan, Madiun, dan di lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Di desa Pasir Kuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan, kapak persegi cocok digunakan sebagai alat pertanian.

b. Kebudayaan Kapak Lonjong

Nama kapak lonjong disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung yang runcing ditempatkan tangkai dan pada ujung yang lain diasah sehingga tajam.

Kapak yang memiliki ukuran besar disebut walzenbeil dan yang kecil disebut kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di kepulauan Indonesia bagian timur seperti di daerah Papua, Minahasa, dan Seram.

Pada masa neolitikum, ditemukan juga barang-barang perhiasan seperti gelang dari batu, dan alat-alat gerabah atau tembikar. Manusia purba masa ini sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan.

Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering digunakan adalah jenis batuan kersikan seperti gamping kersikan, kalsedon, jasper, dan tufa kersikan. Jenis-jenis batuan tersebut selain keras juga sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan tipis sehingga memudahkan dalam pengerjaan.

Beberapa situs yang mengandung fosil kayu seperti di Kali Baksoka-Jawa Timur dan Kali Ogan – Sumatera Selatan. Tampak upaya  pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian walaupun kualitasnya kurang baik.

Contoh semacam ini dapat ditemui di situs Kedung Gamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.

c. Perkembangan Zaman Logam

Mengakhiri masa neolitikum (zaman batu), maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian. Zaman logam di kepulauan Indonesia ini agak berbeda apabila dibandingkan dengan yang ada di Eropa. Di Eropa, zaman logam ini mengalami tiga fase yaitu zaman tembaga, perunggu, dan besi.

Di kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman perunggu adalah fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu antara lain, kapak corong, moko, nekara, dan berbagai macam perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan seperti nekara.

Dalam mempelajari perkembangan ini, akan lebih mudah jika Grameds dapat melihat keterangan gambar untuk memperkuat teks yang ada seperti yang ada pada buku Sejarah-Jejak Peradaban Manusia Dari 500Sm – Abad XX yang dapat membantu kamu dalam membentuk pandangan komprehensif mengenai perubahan terus-menerus umat manusia yang luar biasa da mengagumkan.

Sobat Gramedia, demikian penjelasan mengenai Perkembangan Teknologi Manusia Purba. Hampir semua alat-alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masih sangat sederhana namun bisa membantu pekerjaan mereka. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan sejarah untuk kita. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Baca juga artikel berikut :

Layanan Perpustakaan Digital B2B Dari Gramedia

ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah.

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien