Terangkan bagaimana ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah mengenai fiqih

Terangkan bagaimana ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah mengenai fiqih

Oleh : H. Noor Rohman FZ, B.Ed., M.A

(Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi)

Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.

Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir rasionalistik.

Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi SAW; di mana Nabi SAW  berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya, dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).

Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para sahabat Nabi mengenai  kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Setelah itu persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari ranah yang terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai perbedaan pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia, termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.

Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin (warga NU) adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum Sunni. Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka tidaklah bersifat ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi tidak ada warga NU, misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah yang sah, seperti teroris. Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para ulama NU, terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat membawa umatnya – baik secara individual maupun komunal – ke jalan yang benar, sejahtera lahir dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridloi Allah SWT, termasuk cara kebersamaan hidup  berbangsa dan bernegara yang diliputi dengan kedamaian. Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah sikap at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Kata at-tawassuth mempunyai arti mengambil posisi di pertengahan, kata al-i’tidal berarti tegak lurus, tidak memihak, karena kata ini berasal dari kata al-‘adl yang berarti keadilan, kata at-tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu dan tidak menguranginya dan kata at-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan.  Semuanya itu diintisarikan  dari al-Qur’an dan Hadits/Sunnah. Nilai-nilai tersebut diamalkan dalam pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Inilah ciri-ciri penting yang melekat pada kehidupan kaum Sunni. Dan nilai-nilai inilah yang senantiasa disandang oleh para ulama NU semenjak kelahirannya hingga kini. Semua itu tiada lain adalah merupakan warisan para wali (pendakwah Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islam di Tanah Air kita ini.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari dengan nilai-nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling efektif, feasible, akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU, baik secara kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah), ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan kemasyarakatannya dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.   Hal ini terbukti dengan penilaian positif dari para pemimpin pemerintahan Republik Indonesia. Berita terakhir yang patut dikemukakan di sini adalah tawaran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di saat kunjungan Rais Am dan Ketua Umum PBNU di Istana Negara, 2 Juni 2010, kepada PBNU untuk bekerjasama (MoU) dalam  5 bidang.  Pertama, adalah masalah penanggulangan gerakan radikalisasi. Menurut penilaian beliau pendekatan kultural dan keagamaan yang dilakukan NU sangatlah efektif. Kedua, adalah di bidang peningkatan ekonomi, terutama dalam peningkatan ketahanan pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro dan ketahanan energi. Program ini perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan rakyat yang paling bawah. Ketiga, kerjasama dalam bidang pendidikan, terutama dengan pendidikan moral dan penguatan character building. Dikatakan, agenda ini sangat penting mengingat saat ini pendidikan telah kehilangan aturan dan tata nilai. ”Kita bisa kembali menata moral bangsa dengan pendidikan moral dan dengan penguatan character building. ” Demikian kata Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Keempat, adalah penanggulangan climate change. Peran ulama dalam masalah ini sangat penting. Sebab hal ini amat berkaitan dengan pembinaan moral bangsa. Dengan penanaman nilai-nilai moral yang luhur diharapkan masyarakat akan lebih bisa menghormati lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kelima, adalah  pengembangan dialog peradaban untuk mewujudkan perdamaian dunia. Saat ini Indonesia dan NU diminta lebih aktif dalam forum internasional dan diharapkan menjadi leader dalam semua bidang.

Dari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa simpulan. Di antaranya (a) faham Aswaja adalah faham yang benar karena didasari dengan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) dan ‘aqli, maka faham Aswaja wajib dipertahankan dan  dilestarikan, (b) at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun dan at-tasamuh adalah nilai-nilai ajaran luhur yang ternyata sangat efektif dalam mendakwahkan Islam di mana saja, termasuk di Indonesia, maka kita kaum Nahdliyyin, terutama kaum mudanya, berkewajiban mengaplikasikannya dalam memperjuangkan faham Aswaja yang sebenarnya sehingga eksistensi NU dapat menjadi rahmatan lil-‘alamien, dan (c) penilaian positif dari Kepala Negara RI wajib direspon secara aktif, proaktif dan sungguh-sungguh sehingga cita-cita bangsa kita dalam masa yang tidak begitu lama dapat menjadi realita yang nyata.  .

Illustrasi Ahlussunnah Wal Jamaah. Foto: Pixabay

Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan pemahaman tentang akidah yang berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Paham ini terus berkelanjutan hingga saat ini dan diikuti oleh sebagian besar umat Muslim di dunia.

Imam Ibn Hazm dalam kitabnya yang berjudul Al-Fashl Bainal Milal wan Nihal mengatakan, kelompok yang masuk dalam kategori Ahlussunnah Wal Jamaah adalah yang berpijak kepada kebenaran, termasuk didalamnya adalah ahli hadits, fikih, dan lainnya dari masa ke masa. Selain dari golongan mereka berarti merupakan kelompok pelaku bid’ah.

Lantas, apa sajakah ajaran pokok Ahlussunnah Wal Jamaah?

Ajaran Pokok Ahlussunnah Wal Jamaah

Masjid. Foto: Pixabay

A. Fatih Syuhud menjelaskan dalam buku Ahlussunnah Wal Jamaah, ideologi dan perilaku Ahlussunnah Wal Jamaah dapat terangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu iman, islam, dan ihsan. Berikut jabaran dari ketiga ajaran pokok Ahlussunnah Wal Jamaah:

Iman adalah keyakinan hati seorang mukmin terhadap kebenaran ajaran-ajaran Islam. Baik itu meliputi hal-hal tentang ketuhanan, tentang kenabian, dan tentang hal-hal gaib yang telah dijelaskan dalam Alquran dan Al-Hadits.

Islam dapat terwujud dengan melaksanakan hukum dan aturan fikih yang telah ditetapkan oleh Alquran dan Al-Hadits dengan berbagai perangkat pemahamannya. Untuk saat ini, dari sekian banyak madzhab yang berkembang di masa awal Islam, hanya ada 4 madzhab yang sanggup bertahan, yaitu:

Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sedangkan yang lain sudah tidak ada generasi yang meneruskan, maka madzhabnya tidak terjaga keasliannya.

Tasawuf adalah usaha untuk menjaga hati agar dalam berperilaku dan bertingkah laku selalu menuju satu harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai wujud dari ihsan. Hal itu terwujud dengan mengetahui seluk-beluk penyakit hati dan mengobatinya dengan senantiasa bermujahadah dengan amal baik serta selalu bermunajat kepada Allah SWT.

Posisi Ahlussunnah Wal Jamaah di antara Aliran Lain

Illustrasi Ahlussunnah Wal Jamaah. Foto: Freepik

Mengutip buku Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah Kajian Tradisi Islam Nusantara karya Subaidi, munculnya aliran-aliran dalam Islam cenderung disebabkan oleh aspek politik daripada unsur agama. Ini terlihat dari pertentangan ketika pergantian khalifah dari Utsman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib.

Pihak pertama, Thalhah dan Zubair (Mekkah) mendapat dukungan dari Aisyah. Tantangan dari Thalhah-Zubair-Aisyah ini dapat dipatahkan oleh Ali dalam perang Siffin di Irak pada tahun 656 M. Dalam pertempuran tersebut, Tholhah dan Zubair mati terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.

Pihak kedua adalah Muawiyah, Gubernur Damaskus yang tidak mau mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Hal ini didasarkan pada pembunuh Utsman bin Affan, yang tidak lain adalah anak angkat Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Ali tidak memberi hukuman yang setimpal kepada para pembunuh Utsman.

Kekecewaan Muawiyah terhadap kebijakan Ali bin Abi Thalib itu, menyebabkan perang antara keduanya. Dalam perang tersebut, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah. Karena merasa terdesak, kemudian Amr bin Ash yang terkenal licik minta berdamai dengan mengangkat Alquran.

Para ahli Alquran dari pihak Ali mendesak Ali supaya menerima dengan menggunakan tahkim. Dalam perundingan tersebut, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari, sedangkan pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash.

Hasil perundingan tersebut, Abu Musa dipersilahkan mengumumkan dengan menurunkan kedua pemuka yang bertentangan (Ali dan Muawiyah). Setelah itu, giliran Amr bin Ash mengumumkan. Namun ternyata yang diumumkan berbeda dengan hasil saat perundingan, yakni mengangkat Muawiyah sebagai khalifah.

Peristiwa tersebut jelas merugikan pihak Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah. Dengan adanya tahkim ini, kedudukan Muawiyah pun akhirnya naik menjadi khalifah. Melihat proses tahkim ini, sebagian tentara Ali bin Abi Thalib ada yang tidak menyetujuinya.

Sebagian tentara Ali itu berpendapat bahwa tahkim tidak dapat dilakukan oleh manusia melainkan Allah SWT dengan kembali kepada Alquran. Karenanya mereka menganggap Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah. Mereka inilah dikenal dengan istilah kelompok Khawarij (orang-orang yang keluar dan memisahkan diri dari pihak Ali bin Abi Thalib).


Page 2