Oleh: Dr. Agus Priyatno, M.Sn. KRITIKUS dalam dunia senirupa adalah orang yang membuat penilaian tentang baik buruknya karya seni. Kritikus menjembatani apresiasi antara seniman dan publik seni. Peranan lebih jauh kritikus, mendorong seniman menciptakan karya yang lebih baik, melalui berbagai kritik yang disampaikannya. Kritikus menyampaikan kritik tidak untuk menjatuhkan seniman, tetapi untuk membangun pemahaman baru lebih baik. Kritikus memiliki pemahaman baik, tentang teori senirupa, sejarah senirupa, estetika dan berbagai pengetahuan, mendukung pekerjaannya sebagai tukang kritik. Selain itu, kritikus memiliki kemampuan menyampaikan pendapatnya secara tertulis dengan struktur bahasa yang baik. Struktur bahasa yang efektif, efisien dan sopan. Di Indonesia profesi kritikus jarang ditekuni orang. Populasi penduduk yang besar, lebih dari 250 juta orang, jumlah kritikus senirupa bisa dihitung dengan jari. Kritikus Indonesia pertama dalam dunia senirupa di Indonesia adalah Sudjojono. Lahir di Kisaran Sumut 1917, wafat 1985 di Jakarta, berprofesi sebagai pelukis. Dia dianggap sebagai kritikus. Sejumlah pendapatnya, dia sampaikan secara tertulis. Terutama opininya yang keras tentang pelukis Mooi Indie dan konsep senirupa jiwo ketok (jiwa tampak) Indonesia yang dia diperjuangkan. Kritikus generasi berikutnya, seorang aktivis seni juga dikenal sebagai pelukis dan pematung. Jim Supangkat kelahiran Makasar 1948, pernah belajar senirupa di departemen senirupa ITB Bandung tahun 1970an. Tokoh dalam gerakan senirupa baru Indonesia ini, dikenal kritis terhadap genre senirupa yang berkembang pada zamannya. Keinginannya menggebu-gebu untuk merubah kemapanan dalam cara pandang berkesenian. Dia mendobrak kemapanan cara pandang waktu itu dengan mendirikan gerakan senirupa baru bersama sejumlah seniman lainnya. Dia dan teman-temannya menyelenggarakan pameran. Mengekspresikan kebebasan berkarya, dengan melewati batas-batas definisi senirupa. Kritikus sezaman dengannya, Agus Dermawan. Lahir di Rogojampi Jawa Timur 1952. Berpendidikan Sekolah Tinggi Seni Rupa (STRSI ASRI) Yogyakarta. Dia sering menulis senirupa di sebuah harian nasional di Jakarta. Penulis seni, sudah menghasilkan beberapa buku ini, sangat populer di kalangan pelukis. Tulisan-tulisannya mencerahkan dan meluaskan pandangan tentang karya seni. Artikelnya memperluas wawasan publik terhadap bagaimana melihat karya seni, sangat bijak dan menunjukkan kearifan. Sejumlah kritikus lainnya, kini aktif menghasilkan tulisan-tulisan kritik antara lain Kuss Indarto, Adi Wicaksono, Aminudin Siregar, Siwarmo Wisetrotomo dan Mikke Susanto. Pendidikan mereka dari ISI Yogyakarta dan ITB Bandung. Tulisan kritik mereka seringkali sangat tajam. Menimbulkan polemik, juga berdampak sangat serius terhadap dunia senirupa. Kritik mereka kadang ditujukan terhadap seniman, kolektor atau dunia bisnis senirupa, yang kadang bagaikan fatamorgana. Kritik tajam Kuss Indarto terhadap karya seni publik seniman kriya Timbul Raharjo. Beberapa waktu lalu sempat memanaskan dunia senirupa Yogyakarta. Dalam pandangan Kuss, karya seni publik karya Timbul yang dipajang di ruang publik di Yogyakarta dianggap tidak tepat. Karyanya tidak memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan untuk dipajang di ruang publik. Kritikus Adi Wicaksono beberapa tahun lampau menulis di harian nasional, mengkritik lukisan karya Made Sukadana, dianggap sebagai souvenir. Kritiknya berdampak serius terhadap aktivitas sang pelukis, juga memancing kritikus lainnya berpolemik panjang. Dalam dunia akademis, tulisan kritikus senirupa digolongkan ke dalam empat kategori. Kritikus yang menulis di media masa seperti surat kabar dan majalah, tulisannya dikategorikan dalam tulisan kritik jurnalistik. Tulisan kritik jurnalistik ditujukan untuk masyarakat luas dari berbagai latar belakang berbeda-beda. Bahasa yang digunakan, bahasa yang mudah dipahami. Umum dan memberikan pandangan atau pengetahuan baru tentang senirupa. Kritikus menyampaikan tulisan secara aktual dan populer, kritiknya dikategorikan sebagai kritik populer. Kritik populer membahas tentang masalah-masalah aktual di masyarakt, ramai diperbincangan orang. Kritik populer tidak jauh berbeda dengan kritik jurnalistik. Bahasa digunakan, bahasa yang mudah dipahami masyarakat banyak. Disampaikan dengan cara santun, serta mencerdaskan masyarakat. Kritikus yang menyampaikan kritik edukatif di kalangan pendidikan, kritiknya disebut kritik pedagogik. Tujuannya untuk mendidik, meningkatkan kreativitas dan memotivasi siswa untuk berkarya. Kritik-kritik disampaikan secara santun, memuji, menyemangati, sehingga siswa terdorong menciptakan karya seni. Dihindari kritik pedas yang bisa mematahkan semangat siswa dalam berkarya. Kritik yang disampaikan tidak menggunakan kalimat-kalimat negatif atau pernyataan-pernyataan negatif. Di lingkungan akademis, kritikus menyampaikan kritiknya secara logis dengan argumentasi ilmiah, kritiknya disebut kritik ilmiah. Tujuan mengkritik, untuk memberi pandangan-pandangan dari sudut pandang ilmiah, berdasarkan teori dengan dukungan literatur sebanyak-banyaknya. Kritik ilmiah untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi para mahasiswa senirupa. Kritik ilmiah menggunakan bahasa formal akademis, istilah-istilah akademis yang jarang digunakan oleh masyarakat umum banyak muncul. Kategori apapun tulisan yang disampaikan kritikus, tulisan kritikus bertujuan mencerahkan dan mencerdaskan. Kritikus ibarat cahaya yang menerangi kegelapan, bukan sebaliknya membawa ke dalam kegelapan dan kesesatan. Penulis dosen pendidikan seni rupa FBS Unimed dan Pengelola Pusat Dokumentasi Seni rupa Sumatera Utara.
Dalam seni tari, terdapat beberapa tokoh-tokoh yang cukup terkenal dalam jangkauan nusantara. Berikut diantaranya: Koreografer dan pelukis kenamaan yang digelari begawan seni ini lahir di Yogyakarta, 9 Oktober 1928. Dalam dunia tari Indonesia, muncul aliran ‘Bagongisme’, yang merujuk pada karakter tarian-tarian khas Bagong. Sebagai pencipta tari dan koreografer, Bagong mampu melahirkan dan membawakan tari-tarian dengan gerak-gerak yang manis, energik, dan hidup. Karya tari Bagong antara lain tari Layang-layang (1954), tari Satria Tangguh, dan Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih (1968), juga Bedaya Gendeng (1980-an). Menari bagi Sujana Arja merupakan pekerjaan pokok dan hidupnya. Sujana Arja merupakan sosok seniman topeng (maestro topeng) Cirebon yang serba terampil. Usahanya untuk memperkenalkan seni budaya Indonesia dimulai sejak ngamen di lorong-lorong kampung hingga pertunjukan panggung bergengsi internasional. Ketika remaja (pada tahun 1940an), ia sering ikut bersama grup kesenian pimpinan ayahnya untuk “ngamen” (dalam istilah Cirebon, disebut bebarang). Ia memimpin grup kesenian Panji Asmara. Sasminta Mardawa atau akrab dipanggil Romo Sas, lahir di Yogyakarta, 9 April 1929. Ia digelari sebagai empu seni tari klasik gaya Yogyakarta. Dia menghadirkan nuansa tersendiri dalam dunia tari klasik Indonesia, khususnya dalam pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta. Dia telah menciptakan lebih dari 100 gubahan tari-tarian klasik gaya Yogyakarta, baik tari tunggal untuk putra dan putri, maupun tari berpasangan dan tari fragmen. 4. Gugun GumbiraSeorang penata tari yang berasal dari Jawa Barat ini mengembangkan tari rakyat Ketuk Tilu hingga menjadi sebuah tontonan menarik yaitu tari Jaipongan. Bahkan tari ini sampai dikenal hingga ke mancanegara. Gugun juga mempunyai sanggar tari yaitu Sanggar Tari Jugala yang di khususkan untuk membuat tari-tarian jaipongan. Karyanya antara lain Tari Daun Pulus, Tari Serat Salira, dan Tari Kameutmeut. 5. Didik Nini ThowokDidik Nini Thowok terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Ia lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954. Didik dikenal sebagai penari, koreografer, komedian, pemain seni pantomim, penyanyi, dan pengajar dalam pendidikan. Koreografi tari ciptaan Didik yang pertama dibuat pada pertengahan tahun 1971, diberi judul “Tari Persembahan”, yang merupakan gabungan gerak tari Bali dan Jawa. Selain diangkat menjadi dosen di ASTI, ia juga diminta jadi pengajar Tata Rias di Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogyakarta. |