Instrumen Internasional dan Peraturan Perundangan Indonesia tentang Kebebasan dan Perlindungan Beragama Oleh: M. Atho Mudzhar Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama Pendahuluan Komitmen Indonesia untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah komitmen nasional dan internasional. Sejumlah konvensi internasional telah diratifikasi oleh Indonesia, dan sejumlah UU terkait dengan HAM telah diberlakukan di Indonesia. Pelaksanaan HAM secara umum di Indonesia juga telah mendapat penilaian baik dari sebagian pengamat internasional, seperti yang diungkapkan oleh Mr. Raghavan Vasudevan Pillai. Dalam sebuah sesi side-event pada tanggal 22 April 2009, yang diselenggarakan dalam rangkaian Durban Review Conference PBB, tanggal 20-24 April 2009 di Jenewa, Swiss, Mr. Pillai mengatakan bahwa sejumlah contoh baik telah dilakukan di Indonesia dalam upayanya menghapus segala bentuk diskriminasi, xenophobia, dan berbagai intoleransi lainnya. Pillai menunjukkan sejumlah bukti. Pertama, kesadaran dan pengakuan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa Indoensia adalah suatu masyarakat yang multietnik dan multirelijius. Kedua, sejumlah kovenan internasional terkait HAM telah diratifikasi. Ketiga, sejumlah undang-undang telah disahkan dan sebagian lainnya sedang dipersiapkan agar sejalan dengan ketentuan internasional. Keempat, semakin meningkatnya peranan komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dan kelima, semakin meningkatnya peran NGO di bidang HAM. Pillai memang tidak secara khusus mengamati soal HAM agama. Karena itu, mengenai kebebasan dan perlindungan HAM agama perlu pencermatan lebih lanjut pada tataran implementasinya. Dokumen Internasional tentang Kebebasan Beragama Banyak dokumen internasional tentang HAM telah menyebut tentang kebebasan beragama. Dalam Deklarasi Universal tentang HAM yang diadopsi PBB tahun 1948, pasal 18, 26, dan 29, disebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama itu. Untuk lengkapnya, ketiga pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 1 Pasal 18 menyatakan: Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan seseorang untuk merubah agama atau kepercayaannya dan kebebasan untuk secara pribadi atau bersama-sama yang lain dalam masyarakat dalam ruang publik atau privat, menyatakan agamanya atau kepercayaannya dalam peribadatan, ketaatan, dan pengajaran pengamalannya. Pasal 26 butir (2) berbunyi sebagai berikut: Pendidikan harus diarahkan untuk perkembangan penuh kepribadian manusia untuk memperkuat penghormatan terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia. Pendidikan harus mendorong pemahaman, toleransi, dan persaudaraan diantara seluruh bangsa, kelompok ras atau agama, dan harus menyebarluaskan kegiatan PBB untuk pemeliharaan perdamaian. Sedangkan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut: Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan keadilan tentang moralitas, ketentraman umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokrasi. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan PBB pada tanggal 16 Desember 1966, pada Pasal 18 juga dinyatakan hal yang sama dengan apa yang disebutkan dalam Pasal 18 Deklarasi Universal tentang HAM PBB tersebut. Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik itu selengkapnya berbunyi: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. 2 4. Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966, pada Pasal 13 dinyatakan bahwa semua negara pihak yang meratifikasi kovenan itu harus menghormati kebebasan orang tua atau wali, jika ada, untuk menjamin bahwa pendidikan anak mereka di sekolah-sekolah dilakukan sesuai dengan agama mereka. Pasal 13 itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali, jika ada, untuk memilih sekolah bagi anak mereka di luar sekolah-sekolah negeri, yang memenuhi standar pendidikan minimal sesuai ketentuan negara yang bersangkutan, dan untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. Sementara dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981, pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya. Pasal 1 itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1. Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau kepercayaan apapun yang dipilihnya, dan kebebasan baik secara perorangan maupun bersama-sama dalam masyarakat dalam ruang publik atau privat, untuk menyatakan agama atau keprcayaannya itu dalam peribadatan, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Anak yang diadopsi PBB tanggal 30 November 1989, khususnya pasal 14, 29 dan 30, dinyatakan bahwa negara-negara pihak, maksudnya negara-negara yang telah meratifikasi kovenan 3 itu, harus menghormati hak agama anak. Pasal-pasal itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 berbunyi: 1. Para negara pihak harus menghormati hak-hak anak untuk memperoleh kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. 2. Para negara pihak harus menghormati hak-hak dan kewajiban orang tua dan wali, bila ada, untuk memberikan arahan kepada anak untuk menjalankan hak-haknya sesuai dengan perkembangan kemampuan anak. 3. Kebebasan seseorang untuk menyatakan agama atau kepercayaannya hanya dapat tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dalam undangundang, dan diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau moralitas umum, atau hak-hak dan kebebasan dasar orang lain. Pasal 29 Kovenan anak itu berbunyi sbb: 1. Para negara pihak setuju bahwa pendidikan anak harus diarahkan untuk ... (...) (d) mempersiapkan anak untuk hidup secara bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas dalam semangat memahami perdamaian, toleransi, kesamaan jender, dan persaudaraan diantara semua orang dan semua kelompok etnik, kebangsaan, dan keagamaan, dan orang- orang penduduk asli. Pasal 30 kovenan itu berbunyi sbb; “Di negara-negara dimana terdapat kelompok minoritas baik karena etnik, agama, bahasa, atau asal-usul, anak-anak mereka tidak boleh ditolak untuk memperoleh hak-hak mereka dalam masyarakat bersama yang lain, untuk menikmati budayanya sendiri, memeluk dan mengamalkan agamanya, atau ikut menggunakan bahasanya. Dalam dokumen Durban Review Conference bulan April 2009, paragraf 13, juga dinyatakan bahwa negara-negara anggota PBB memperteguh komitmen mereka bahwa semua penyataan yang bersifat kebencian keagamaan, termasuk diskriminasi berdasarkan agama, harus dilarang dengan hukum. Paragraf 13 itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Para peserta konferensi menegaskan kembali komitmen mereka bahwa setiap penganjuran kebencian, baik yang bersifat kebangsaan, ras, atau agama, yang memicu diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan, harus dilarang dengan undang-undang; selanjutnya, memperteguh komitmen bahwa penyebaran ide-ide yang didasarkan pada superioritas rasial atau kebencian, pernyataan yang memicu diskriminasi rasial dan juga semua aksi kekerasan atau memicu diskriminasi dan kekerasan, harus dinyatakan sebagai pelanggaran yang dapat 4 dikenai hukuman sesuai undang-undang, sesuai dengan kewajiban internasional nagara-pihak dan larangan itu harus sesuai pula dengan kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Demikianlah beberapa dokumen internasional yang merupakan kesepakatan bangsa-bangsa anggota PBB untuk menegakkan HAM di bidang agama. Sebagian dari isi dokumen itu telah diambil dan dituangkan ke dalam berbagai peraturan perundangan Indonesia, dan sebagian lainnya telah diratifikasi secara penuh tanpa catatan. Pengaturan HAM Agama di Indonesia Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan mulai memiliki Undang-Undang Dasar pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian dikenal dengan UUD 1945. Meskipun UUD itu singkat yakni hanya terdiri atas 37 pasal, tetapi UUD itu telah memuat satu pasal yang intinya mengatur tentang HAM agama. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Perlu dicatat, bahwa UUD ini disahkan sekitar tiga tahun sebelum Deklarasi Universal HAM PBB diadopsi, tahun 1948. Pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang kemudian diangkat menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 UU itu, bahwa terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tetapi tidaklah berarti bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa agama-agama lainnya, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945. Dengan kata lain, UU No. 1/PNPS/1965 ternyata sangat terbuka di dalam menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Perlu juga dicatat bahwa UU No. 1/PNPS/1965 itu lahir sebelum Kovenan Internasional PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik PBB tahun 1966. 5 Penjelasan Pasal 1 UU itu selengkapnya berbunyi: Agama-agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Pada tahun 1999, Indonesia sekali lagi menegaskan jaminan kebebasan beragama dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 22 dan 70. Pasal 22 UU HAM tersebut selengkapnya sebagai berikut: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 70 UU ini selangkapnya sebagai berikut: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pada tahun 2000, tepatnya 18 Agustus 2000, Indonesia bahkan melakukan amandemen UUD 1945 dengan menambahkan beberapa pasal, khususnya Pasal 28E, 28I, dan 28J, yang juga mengatur tentang kebebasan beragama dan pembatasannya yang hanya dapat dilakukan melalui undang-undang. Selengkapnya ketiga pasal tersebut adalah sebagai berikut: 6 Pasal 28E berbunyi: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 berbunyi: (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamaan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pada tahun 2002, Indonesia mengesahkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU itu ditegaskan bahwa setiap anak harus mendapat perlindungan untuk beribadat menurut agamanya. Dan sebelum anak menentukan pilihannya maka agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orangtua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. Pengasuhan anak oleh seseorang seyogyanya dilakukan oleh orang yang seagama. Pengangkatan anak juga harus dilakukan oleh orang yang seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Hal-hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 42, 43, 37 dan 39 UU tersebut. Bunyi pasal-pasal itu selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 42 berbunyi: (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. 7 Pasal 43 berbunyi: (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya. (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Pasal 37 berbunyi: (1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. (3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. (4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan. (5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. (6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Pasal 39 berbunyi: (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. 8 Pada tahun 2003, Indonesia mengesahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalam Pasal 12 ayat 1a Undang-Undang itu disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya. Diatur pula bahwa guru yang mengajarkan agama itu harus memeluk agama yang sama dengan agama yang diajarkannya itu dan agama muridnya. Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Sisdiknas itu selengkapnya berbunyi: (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. .... Ditegaskan pula dalam Penjelasannya bahwa bagi sekolah-sekolah (swasta) yang tidak memiliki guru agama dimaksud, maka Pemerintah memfasilitasi penyediaan guru- guru agama itu. Penjelasan Pasal 12 ayat (1)a itu selengkapnya berbunyi: Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3). Aturan ini sangat sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Karena itu, apabila pengajaran pendidikan agama dilakukan di suatu sekolah dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip aturan di atas atau bahkan pendidikan agama itu tidak diberikan sama sekali, adalah melanggar HAM. Pada tahun 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No. 11 Tahun 2005. Pada Pasal 13 kovenan itu berbunyi: “Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali, jika ada, untuk memilih sekolah bagi anak mereka di luar sekolah-sekolah negeri, yang memenuhi standar pendidikan minimal sesuai ketentuan negara yang bersangkutan, dan untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. Pada tahun itu juga, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang tentang Hak-hak Sipil dan Politik PBB melalui UU No. 12 Tahun 2005. Pada Pasal 18 kovenan itu berbunyi: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. 4. Para negara pihak (yang meratifikasi) kovenan ini bertekad untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin pendidikan agama dan budi pekerti anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka. Pada tahun 2006, Indonesia memberlakukan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada Pasal 64 UU itu mengatur tentang data yang termuat dalam KTP seseorang, termasuk tentang agama. Diatur pula bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan atau bagi penghayat kepercayaan, sehingga kolom agama tidak diisi, maka ia tetap harus mendapatkan pelayanan dan dicatat dalam database kependudukan. Selengkapnya bunyi Pasal 64 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut: (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya. (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Penegasan adanya agama yang belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan pada Pasal 64 ayat (2) tersebut di atas, mengisyaratkan adanya agama yang telah diakui oleh peraturan perundangan, dalam hal ini mungkin maksudnya adalah 6 agama sebagaimana termuat dalam UU No. 1/PNPS/1965, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Padahal, 10 kalau kita cermati, UU No.1/PNPS/1965, sebagaimana telah dikutipkan di atas, tidak menyebutkan adanya agama yang diakui itu. Dalam UU No.1/PNPS/1965 penyebutan 6 agama itu sekedar sebagai pemberitahuan kenyataan historis, bahkan secara eksplisit dinyatakan bahwa agama-agama lainpun tidak dilarang di Indonesia. Dari sini nampak bahwa pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bertentangan dengan Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965. Pada tahun 2007, Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam Pasal 81 dinyatakan bahwa Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di muka Pemuka Penghayat Kepercayaan. Ini berarti bahwa pengertian kata kepercayaannyayang disebutkan dalam rangkaian kata agamanya dan kepercayaannya dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah berbeda dari kata agamanya di situ. Dengan demikian, agama dan kepercayaan telah diperlakukan sebagai entitas yang berbeda. Bunyi Pasal 2 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu adalah sebagai berikut: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada tahun 2008, Indonesia terus bergerak maju memberikan kerangka perlindungan bagi semua warga negara dari segala bentuk diskriminasi rasial dan etnik dengan memberlakukan UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi rasial dan etnik, khususnya seperti termuat pada Pasal-pasal 5 dan 6. Pasal 5 UU No. 40 Tahun 2008 itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Penghapusan diskriminasi ras dan etnik, harus dilakukan dengan memberikan: a. perlindungan, jaminan, dan kesamaan di depan hukum bagi semua warga negara agar mereka dapat hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnik. b. jaminan bahwa tidak akan ada hambatan bagi setiap prakarsa yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau lembaga yang sama-sama memerlukan perlindungan dan jaminan untuk terlaksananya hak-hak sebagai warga negara. c. informasi yang mendorong pengertian dalam masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia melalui pelaksanaan program pendidikan nasional. 11 Sedangkan Pasal 6 UU ini berbunyi: Perlindungan warga negara dari segala bentuk diskriminasi ras dan etnik dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat, dengan partisipasi seluruh warga negara sesuai peraturan perundangan. Penutup Demikianlah, Indonesia telah berjalan pada jalur yang benar dalam upayanya untuk menegakkan HAM agama, dilakukan dengan pencantumannya dalam UUD bahkan mengamandemennya ketika dipandang perlu, dengan meratifikasi sejumlah kovenan internasional, dan dengan memberlakukan UU baru yang dipandang perlu untuk menjamin tegaknya HAM. Indonesia juga telah memiliki Komisi Nasional HAM yang menurut UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 40 Tahun 2008 antara lain bertugas memantau dan memonitor pelaksanaan HAM di Indonesia. Memang perlu dilakukan kajian lebih lanjut, mungkin beberapa peraturan perundangan memerlukan penjelasan atau sinkronisasi satu sama lain. Jakarta, 21 Juli 2009 |