Untuk dapat melaksanakan PENDIDIKAN multikultural seorang guru haruslah brainly

Untuk dapat melaksanakan PENDIDIKAN multikultural seorang guru haruslah brainly

oleh :

Hasan Asyhari, S.Pd., Gr.

(Alumni PPG SM-3T V Sosiologi UPI Bandung)

Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai suku, bangsa, agama, adat istiadat dan lain-lain. Hal itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar lingkungan kita, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah nasional, kita menjumpai beragam agama, suku,  bangsa ataupun adat istiadatnya. Ini membuktikan bahwa bangsa ini memang merupakan bangsa yang majemuk dan harus kita junjung tinggi keberagaman yang ada dengan ruh yang bernama toleransi. Kondisi seperti ini mendorong terciptanya sebuah konsep yang bernama pendidikan multikural.

Pendidikan multikural sebagai wawasan dan sikap akan kemajemukan budaya baik dari latar suku bangsa, latar agama, latar profesi atau pekerjaan, latar daerah yang berbeda namun tetap menjunjung tinggi sikap toleransi. Sarana atau media yang dirasa cukup ampuh dalam mensosialisasikan pendidikan multikultural adalah lembaga pendidikan yakni sekolah, baik sekolah formal, informal maupun nonformal. Guru dan seluruh civitas akademika di sekolah harus turut berperan dalam menerapkan pendidikan ini. Apalagi dengan posisi berada pada sekolah yang terdiri atas etnis dan agama yang beragam. Sikap toleransi sebagai alternatif sikap yang harus ditonjolkan dalam keseharian di sekolah.

Guru (pendidik) yang merupakan bagian dari anggota lingkungan sekolah sangat berperan penting dalam menanam, menumbuhkan dan melestarikan keeragaman itu dengan selalu mengingatkan jiwa toleransi dan menghindari sikap diskriminatif. Melalui pendekatan dan model pembelajaran yang asyik, peserta didik (siswa) perlu diajak berdiskusi, berdialog bahkan bersimulasi bagaimana cara hidup saling menghormati dengan tulus dan toleran terhadap keberagaman agama dan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat yang plural.

Peserta didik diajak berdialog untuk menimbulkan kepekaan terhadap aksi-aksi kekerasan yang ada, sehingga dapat menjadi feedback bagi sekolah untuk proses pembelajaran pendidikan multikultural. Juga sekolah perlu mendesain pendidikan multikultural ini agar tidak menjadi tanggungjawab guru mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran PPKn, Sosiologi dan Pendidikan Agama yang menjadi fundamental mata pelajaran berkarakter sikap spiritual dan sosial pada Kurikulum 2013 yang dipakai di negara Indonesia saat ini. Namun, goresan pendidikan multikultural harus terintegrasi dengan semua mata pelajaran. Desain ini diharapkan dapat menjadi wadah praktik atau simulasi siswa bahkan guru di tengah kehidupan yang plural.

Guru sebagai agen sosialisasi, fasilitator dan mediator dalam proses pendidikan multikultural harus memberikan penguatan, penegasan, dan motivasi agar menjadi suatu proses yang melekat dan tertanam kuat dalam pribadi siswa, sehingga bisa dikontruksikan menjadi pengalaman dan pengetahuan yang baru tentang nilai-nilai multikultural. Sadar keberagaman di tengah pluralitas yang dilandasi jiwa toleransi yang kuat, jujur, ikhlas dan menghargai orang lain atau kelompok lain, akan menjadi benih yang indah dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, guru sebagai pendidik yang dilihat dan dicontoh oleh anak didik, tentunya juga harus memiliki karakter yang kuat dalam membangun sikap multikultural di tengah-tengah pergaulannya. Guru harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang mengakui keberagaman atau kemajemukan di Indonesia. Akan berbahaya jika seorang guru menciderai semangat pluralitas. Paradigma pendidikan multikultual ini sangat berguna dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa dan negara yang diikat dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Sebuah pertanyaan besar, apakah kita sebagai guru tega dan rela apabila sikap kebencian dan diskriminatif merajalela di tengah pluralitas kita?

PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Tugas ini disusun untuk memenuhi:

Mata Kuliah : Pendidikan Mutikulturaisme dalam Islam

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Munir Mulkhan, S.U.

MAKALAH

Disusun Oleh:

                         Famella Muti Septiana   (1420411047)

3 PAI C-Mandiri

PROGRAM PASCASARJANA

KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2015

PERAN GURU

DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Pendidikan menurut Sisdiknas No 20 tahun 2005 merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. [1]

Multicultural berasal dari kata multi yang artinya banyak, lebih dari satu dan kultural artinya berhubungan dengan kebudayaan. Multikultural artinya bersifat keberagaman budaya.[2]

Pendidikan multicultural adalah adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis agama, bahasa, gender, khas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.[3]

Pendapat Banks yang dikutip Farida Hanum, pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan   etnis di dalam bentuk   gaya   hidup, pengalaman   sosial,   identitas     pribadi,   kesempatan     pendidikan   dari   individu,   kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural   adalah   ide,   gerakan, pembaharuan   pendidikan   dan   proses   pendidikan   yang   tujuan   utamanya   adalah   untuk mengubah   struktur   lembaga   pendidikan   supaya   siswa   baik   pria   maupun   wanita,   siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.[4]

Gollnick & Chim (2007) dalam Iwan Supardi menyebutkan enam asumsi dasar mengapa pendidikan multikultural perlu dikembangkan disekolah, yaitu:

  1. Perbedaan budaya memiliki kekauatan dan nilai
  2. Sekolah harus menjadi model penyampaian HAM dan penghormatan terhadap perbedaan-perbedaan budaya.
  3. Keadilan dan kesetaraan bagi semua di sekolah harus menjadi perhatian penting dalam rancangan dan pelaksanaan kurikulum.
  4. Perilaku dan nilai yang perlu untuk kelangsungan masyarakat demokratis dapat dipromosikan di sekolah.
  5. Lembaga sekolah dapat sebagai tempat untuk pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap nilai, perilaku, dan komitmen untuk membantu siswa dari berbagai kelompok yang beragam.
  6. Kerjasama guru dengan pihak keluarga dan masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung multikulturalisme.[5]

Konsep multikulturalisme menekankanp entingnya memandang       dunia dari bingkai referensi   budaya   yang   berbeda, dan   mengenali serta   manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam   komunitas   global. Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan       perbedaan   yang   berkaitan   dengan ras,   etnis, gender, orientasi seksual,   keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai sumber   yang   berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar.[6]

  1. Peran Guru dalam Pendidikan Mutikultural
  2. Perbedaan Agama

Pengertian agama menurut agama-agama monoteistik seperti Kristen, Islam dan Yahudi menyimpulkan arti agama sebagai sebuah pengakuan adanya Tuhan dan sebagai wadah untuk penyerahan diri terhadapNya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan segala keterbatasannya harus mentaati segala yang diperintaahkan Tuhannya dan meninggalkan segala yang dilarang. Manusia harus selalu berada pada jalan kebenaran, menjunjung tinggi moral, etika dan menegakkan keadilan.[7] Di Indonesia, terdapat 6 agama yang di akui oleh pemerintah.

Selama ini, kebanyakan dari masyarakat Indonesia menganggap agama sebagai Tuhan. Meskipun juga tidak bisa dikatakan bahwa mereka mengesampingkan ajaran agama. Padahal, menegakan ajaran agama yang penuh dengan nila-nilai kemanusiaan, menegakan kebenaran dan menjauhi perbuatan yang merugikan diri sendiri tau orang lain. Adalah inti dari ajaran dalam sebuah agama.

Di sekolah-sekolah yang berbasis negeri, terdapat siswa-siswi yang mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Maka, di situlah peran sekolah terutama guru, untuk menjaga toleransi agar tidak terjadi benturan antara siswa yang berbeda agama.

Peran guru penting untuk menerapkan secara langsung beberapa aksi guna membangun keberagaman siswa, guru merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman disekolah, diantaranya:

  1. Seorang guru harus mampu untuk bersikap demokratis, artinya dalam setiap tingkah launya, baik sikap maupun perkataanya tidak diskriminatif (bersikap adil dan tidak menyinggung) murid-murid yang berbeda agama dengannya. Misalnya, ketika pelajaran sejarah guru menjelaskan tentang materi perang salib yang melibatkan kelompok islam dan Kristen, maka ia harus bersikap tidak memihak kelompok agama yang terlibat didalamnya. Apabila guru memihak terhadap salah satu agama yang terlibat dalam perang tersebut, maka analisa dan penjelasan akan menjadi subyektif, akibatnya, akan melikai hati murid yng menganut agama yang berbeda, selain itu, juga dapat meimbulkan permusuhan dalam diri diantara murid-muridnya.
  2. Guru harus mempunyi kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Contohnya, dalam peristiwa bom Bali (2003), maka seorang guru harus menjelaskan bahwa sebaiknya kejadian tersebut jangan sampai terjadi. Didalam semua agama jelas dikatakan bahwa penggunaan segala macam bentuk kekerasan tidak dibenarkan.

Seorang guru, harus mampu menjelaskan inti dari ajaran agama adalah menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dialog dan musyawarah adalah cara-cara penyelesaian segala bentuk masalah yang sangat dianjurkan oleh agama dan segala kepercayaan yang ada.

Bahasa merupakan alat manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Namun, pada perkembangannya bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi tetapi bahasa juga mampu memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas yakni politik, sosial dan budaya.[8]

Dalam masyarakat saat ini, akan timbul rasa bahwa kelompok kita lebih baik dari kelompok bahasa-bahasa lainnya seperti tumbuhnya diskriminasi terhadap bahasa-bahasa yang di gunakan orang lain. Hal ini salah satunya di pengaruhi oleh penggunaan bahasa yang ada dalam sinetron diberbagai stasiun televisi. Dalam beberapa kisah sinetron ada pelebelan dalam bahasa atau dialek tertentu yang membedakan status sosial. Misalnya, dialek jawa, Madura dan betawi di identikkan dengan bahasa orang-orang pinggiran yang berstatus sosial rendah seperti pembantu rumah tangga, penjual sate dan orang-orang yang tinggal di komplek perkampungan. Hal ini, tentu merambah kepada siswa yang tidak lepas pada penggunaan televisi dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, peran guru penting untuk membangun kesadaran kepada peserta didik agar mampu melihat secara postif tentang keberagaman bahasa yang ada. Dalam hal ini, ada dua poin penting yang dapat dilakukan guru:

  1. Guru harus mempunyai wawasan yang cukup tentang bagaimana seharusnya menghargai keberagaman bahasa. Wawasan ini adalah dasar seorang guru agar sikap dan tingkah lakunya menunjukan sikap yang sama dan selalu menghargai perbedaan bahasa yang ada.
  2. Guru harus mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap masalah-masalah yang menyangkut adanya dikriminasi bahasa yang terjadi di dalam dan di luar kelas. Contohnya, ketika ada kejadian mayoritas peserta didik menertawakan salah satu dialek dan aksen bahasa salah seorang siswa yang sedang mengungkapkan pendapatnya di kelas, maka guru harus segera mengambil tindakan seperti menghentikan tindakan siswa yang sedang mentertawakan dan memberikan penjelasan bahwa mentertawakan aksen dan dialek orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji dan dalam dunia akademis tidak dibenarkan karena seharusnya penuh dengan nuansa saling menghargai antar sesama.

Gender adalah peran, sifat dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari (bagi perempuan atau laki-laki). Dalam prakteknya peran, sifat dan perilaku ini sangat dipengaruhi oleh anggapan-anggapan terhadap apa yang layak diperankan atau dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Ataupun sebaliknya apa yang tidak boleh diperankan atau dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.[9]

Meskipun saat ini hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di anggap sama. Namun, dalam realitanya kita masih melihat adanya peminggiran hak-hak perempuan seperti jumlah wanita yang masih sedikit di lembaga legislatif (DPR) sekitar 97 orang atau 17,32%[10] dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, citra negatif yang lebih mudah melekat pada perempuan yang memiliki status tertentu. Misalnya, perempuan lebih mudah di cap negatif jika selesai bekerja tengah malam atau bekerja di malam hari. Perempuan juga lebih banyak menjadi obyek kekerasan dan kejahatan.

Perbedaan perlakuan juga sering terjadi di sekolah, misalnya seorang guru lebih lembut jika berbicara dengan murid perempuan di banding laki-laki. Padahal disini peran guru sangat strategis dalam membangun kesadaran peserta didik untuk menjunjung hak yang sama dan membangun sikap anti diskriminatif. Agar dapat mewujudkan sikap seperti itu, guru mempunya peran:

  1. Guru mempunyai wawasan yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini penting karena guru adalah figur utama yang menjadi pusat perhatian siswa dikelas, maka harus mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap peserta didik perempuan maupun laki-laki.
  2. Sensitif terhadap permasalahan gender. Seorang guru harus sensitive terhadap prmasalahan gender yang terjadi di dalam maupun diluar kelas seorang guru harus bisa mencegah dan memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa tindakan mereka adalah tindakan diskriminatif yang tidak dibenarkan.

Dalam Negara yang sedang dilanda krisis sosoial seperti Indonesia, timbulnya kesenjangan social di dalam kelompok masyarakat yang miskin dan kaya sulit dihindari. Hal ini menimbulkan berbagai kelompok social di dalam masyarakat. Seperti, kelompok masyarakat kelas atas yang mempunyai sumber penghasilan yang lebih. Kelompok masyarakat kelas menengah yakni yang mempunyai penghasilan tetap yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Dan kelompok masyarakat kelas bawah, yakni golongan masyarakat yang yang tidak mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan.[11]

Dari realitas yang ada, biasanya kelompok masyarakat kelas atas cenderung lebih berkuasa. Misalnya, siswa yang berstatus sebagai anak pejabat atau orang kaya di perlakukan berbeda dengan siswa yang termasuk kelompok masyarakat kelas bawah. Disini guru mempunyai peran pokok terhadap pengembangan sikap siswa yang peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada disekitarnya.

Guru mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial siswa antara lain;

  1. Seorang guru sebaiknya mempunyai wawasan yang cukup tentang berbagai macam fenomena social yang ada di lingkungan murid-muridnya. Terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan social, politik, dan ekonomi seperti masalah kemiskinan, pengangguran, korupsi
  2. Guru sebaiknya mempunyai sensitifitas terhadap diskriminiasi dan keyidakadilan social, ekonomi dan politik yang sedang terjadi.
  3. Guru harus menerapkan secara langsung sikap anti diskriminatif, sosial, politik dan ekonomi di kelas. Guru tidak membeda-bedakan antara siswa anak pejabat dan siswa anak tukang becak, semua diperlakukan sama.

Adanya keberagaman etnis dan ras yang berbeda di Indonesia seharusnya tidak membuat masyarakat terpecah belah dan saling memusuhi. Dalam sejarah banyak kisah yang menceritakan pernah terjadi konflik antar etnis di Indonesia seperti yang terjadi di Kalimantan barat sejak tahun 1933 dan di Sampit Kalimantan Tengah akhir tahun 2000 terjadi kerusuhan antara etnis Madura dan Dayak yang menyebabkan banyak korban sia-sia. [12]

Perlakuan diskriminasi juga kerap terjadi di sekolah misalnya, anak dengan etnis tertentu sering di bully karena dianggap beda dengan teman-temannya. Peran guru sangat penting unuk menghindari hal ini, antara lain:

  1. Sebaiknya setiap guru harus mempunyai pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti diskriminasi etnis.
  2. Guru sebaiknya mempunyai sensitifitas yang kuat mengenai gejala-gejala diskriminasi etnis. Sekecil apapun bentuknya yang terjadi didalam dan di luar kelas.
  3. Guru harus mamberikan contoh secara langsung melalui sikap dan tingkah lakunya yang tidak memihak atau berlaku diskriminatif terhadap siswa yang mempunyai latar belakang etnis atau ras tertentu.

Manusia dilahirkan dengan kemampuan berbeda, ada yang dilahirkan berbeda secara fisik seperti diffable, tuna netra dan lain-lain. Dan aja juga yang berbeda secara non fisik seperti gangguan mental dan tingkat kecerdasan yang rendah.

Perbedaan kemampuan tersebut, dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi dan pengurangan hak-hak individu terhadap seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda. Hal ini akan memberikan hambatan bagi mereka untuk menjalankan aktifitasnya dan berperanserta di masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan multicultural perlu memberikan adanya upaya-upaya untuk menumbuhkan pemahaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai dan melindungi hak-hak orang lain yang mempunyai perbedaan kemampuan.

  1. Guru harus mempunyai wawasan dan pemahaman yang baik tentang pentingnya sikap anti diskriminasi terhadap orang-orang yang mempunyai perbedaan kemampuan.
  2. Guru sebagai penggerak utama kesadaran siswa agar selalu mengindari sikap yang diskriminatif, mampu mempraktekan wacana anti diskriminasi langsung di dalam da di luar kelas.
  3. Guru harus tanggap melihat adanya diskriminasi yang berkaitan dengan kemampuan ini dan memberikan pemahaman kepada siswa bahwa semua manusia mempunyai kekurangan tergantung bagaimana dapat mengelola kekurangan tersebut menjadi kelebihan.

Kesalah pahaman dalam memahami dan mengartikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara, kadang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sering terjadi diakibatkan oleh perbedaan umur menyebabkan perbedaan pengetahuan antara individu. Misalnya, kemampuan berbicara, memahami dan menganalisa siswa kelas satu SD yang masih berusia 6 tahun berbeda dengan kemapuan siswa kelas empat yang terusia 10 tahun. Apabila perbedaan umur ini tidak dipahami oleh peserta didik maka akan terjadi kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan peserta didik.

Selain terjadi kesalahpahaman, perbedaan umur juga dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anak dibawah umur dan orang yang berusia lanjut. Bentuk diskrimanasi yang terjadi beragam. Seperti pengesampingan hak-hak anak untuk berkembang, untuk mendapatkan perlindungan hukum, umtuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan untuk mendapatkan pendidian yang layak. Leih lanjut diskriminasi ini dapat juga berbentuk kekerasan terhadap anak dibawah umur, pelecehan seksual erhadap anak dan pemaksaan terhadap anak dibawah umur untuk bekerja.[13]

Sekolah harus menerapkan peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadp umur tertentu dilarang. Dan guru memberikan pemahaman untuk saling menghormati dan memahami perbedaan umur yang ada disekitar mereka. Serta memberikan contoh sikap yang tidak diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda umur dengannya dan bagaimana bersikap dengan orang yang umurnya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Naional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Freire, Paulo & Shor, Ira.Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Saudagar, Fachrudin, Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta: GP Press,

2011.

Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Undersatanding untuk

Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

UU No. 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Al Arifin, Akhmad Hidayatulloh. Implementasi Pendidikan Mutikultural dalam

Praktis Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pengembangan Pendidikan

Fondasi dan Aplikasi, Vol.1 No.1, Juni 2012.

Supardi, Iwan. Model Pendidikan Multikultural Ramah di Kota Pontianak,

Disertasi UNY tahun 2014.

Hanum, pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, makalah,

diakses 5 Oktober 2015.

Aritonang, Deytri Robeka. Ini 97 Perempuan Anggota DPR Periode 2014-2019,

dalam Kompas, 14 Mei 2014

[1] UU No. 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1.

[2]Departemen Pendidikan Naional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 937.

[3] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Undersatanding untuk Demokrasi dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 25.

[4] Farida Hanum, pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, Makalah, diakses 5 Oktober 2015

[5] Iwan Supardi, Model Pendidikan Multikultural Ramah di Kota Pontianak, Disertasi UNY tahun 2014, hlm. 119.

[6] Akhmad Hidayatulloh Al Arifin, Implementasi Pendidikan Mutikultural dalam Praktis Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pengembangan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi , Vol.1 No.1 Juni 2012.

[7] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 36.

[8] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 74.

[9] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 115.

[10] Deytri Robeka Aritonang, Ini 97 Perempuan Anggota DPR Periode 2014-2019, dalam Kompas, 14 Mei 2014

[11] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 147.

[12] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 191.

[13] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 260.