29/11/2018 | Pendidikan | |
oleh : Hasan Asyhari, S.Pd., Gr. (Alumni PPG SM-3T V Sosiologi UPI Bandung) Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri atas berbagai suku, bangsa, agama, adat istiadat dan lain-lain. Hal itu terlihat dalam kehidupan sehari-hari di sekitar lingkungan kita, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah nasional, kita menjumpai beragam agama, suku, bangsa ataupun adat istiadatnya. Ini membuktikan bahwa bangsa ini memang merupakan bangsa yang majemuk dan harus kita junjung tinggi keberagaman yang ada dengan ruh yang bernama toleransi. Kondisi seperti ini mendorong terciptanya sebuah konsep yang bernama pendidikan multikural. Pendidikan multikural sebagai wawasan dan sikap akan kemajemukan budaya baik dari latar suku bangsa, latar agama, latar profesi atau pekerjaan, latar daerah yang berbeda namun tetap menjunjung tinggi sikap toleransi. Sarana atau media yang dirasa cukup ampuh dalam mensosialisasikan pendidikan multikultural adalah lembaga pendidikan yakni sekolah, baik sekolah formal, informal maupun nonformal. Guru dan seluruh civitas akademika di sekolah harus turut berperan dalam menerapkan pendidikan ini. Apalagi dengan posisi berada pada sekolah yang terdiri atas etnis dan agama yang beragam. Sikap toleransi sebagai alternatif sikap yang harus ditonjolkan dalam keseharian di sekolah. Guru (pendidik) yang merupakan bagian dari anggota lingkungan sekolah sangat berperan penting dalam menanam, menumbuhkan dan melestarikan keeragaman itu dengan selalu mengingatkan jiwa toleransi dan menghindari sikap diskriminatif. Melalui pendekatan dan model pembelajaran yang asyik, peserta didik (siswa) perlu diajak berdiskusi, berdialog bahkan bersimulasi bagaimana cara hidup saling menghormati dengan tulus dan toleran terhadap keberagaman agama dan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat yang plural. Peserta didik diajak berdialog untuk menimbulkan kepekaan terhadap aksi-aksi kekerasan yang ada, sehingga dapat menjadi feedback bagi sekolah untuk proses pembelajaran pendidikan multikultural. Juga sekolah perlu mendesain pendidikan multikultural ini agar tidak menjadi tanggungjawab guru mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran PPKn, Sosiologi dan Pendidikan Agama yang menjadi fundamental mata pelajaran berkarakter sikap spiritual dan sosial pada Kurikulum 2013 yang dipakai di negara Indonesia saat ini. Namun, goresan pendidikan multikultural harus terintegrasi dengan semua mata pelajaran. Desain ini diharapkan dapat menjadi wadah praktik atau simulasi siswa bahkan guru di tengah kehidupan yang plural. Guru sebagai agen sosialisasi, fasilitator dan mediator dalam proses pendidikan multikultural harus memberikan penguatan, penegasan, dan motivasi agar menjadi suatu proses yang melekat dan tertanam kuat dalam pribadi siswa, sehingga bisa dikontruksikan menjadi pengalaman dan pengetahuan yang baru tentang nilai-nilai multikultural. Sadar keberagaman di tengah pluralitas yang dilandasi jiwa toleransi yang kuat, jujur, ikhlas dan menghargai orang lain atau kelompok lain, akan menjadi benih yang indah dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, guru sebagai pendidik yang dilihat dan dicontoh oleh anak didik, tentunya juga harus memiliki karakter yang kuat dalam membangun sikap multikultural di tengah-tengah pergaulannya. Guru harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang mengakui keberagaman atau kemajemukan di Indonesia. Akan berbahaya jika seorang guru menciderai semangat pluralitas. Paradigma pendidikan multikultual ini sangat berguna dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa dan negara yang diikat dengan semboyan bhinneka tunggal ika. Sebuah pertanyaan besar, apakah kita sebagai guru tega dan rela apabila sikap kebencian dan diskriminatif merajalela di tengah pluralitas kita?
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Tugas ini disusun untuk memenuhi: Mata Kuliah : Pendidikan Mutikulturaisme dalam Islam Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Munir Mulkhan, S.U. MAKALAH Disusun Oleh: Famella Muti Septiana (1420411047) 3 PAI C-Mandiri PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015 PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL Pendidikan menurut Sisdiknas No 20 tahun 2005 merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. [1] Multicultural berasal dari kata multi yang artinya banyak, lebih dari satu dan kultural artinya berhubungan dengan kebudayaan. Multikultural artinya bersifat keberagaman budaya.[2] Pendidikan multicultural adalah adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis agama, bahasa, gender, khas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.[3] Pendapat Banks yang dikutip Farida Hanum, pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural adalah ide, gerakan, pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.[4] Gollnick & Chim (2007) dalam Iwan Supardi menyebutkan enam asumsi dasar mengapa pendidikan multikultural perlu dikembangkan disekolah, yaitu:
Konsep multikulturalisme menekankanp entingnya memandang dunia dari bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global. Multikulturakisme menegaskan perlunya menciptakan perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual, keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar.[6]
Pengertian agama menurut agama-agama monoteistik seperti Kristen, Islam dan Yahudi menyimpulkan arti agama sebagai sebuah pengakuan adanya Tuhan dan sebagai wadah untuk penyerahan diri terhadapNya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan segala keterbatasannya harus mentaati segala yang diperintaahkan Tuhannya dan meninggalkan segala yang dilarang. Manusia harus selalu berada pada jalan kebenaran, menjunjung tinggi moral, etika dan menegakkan keadilan.[7] Di Indonesia, terdapat 6 agama yang di akui oleh pemerintah. Selama ini, kebanyakan dari masyarakat Indonesia menganggap agama sebagai Tuhan. Meskipun juga tidak bisa dikatakan bahwa mereka mengesampingkan ajaran agama. Padahal, menegakan ajaran agama yang penuh dengan nila-nilai kemanusiaan, menegakan kebenaran dan menjauhi perbuatan yang merugikan diri sendiri tau orang lain. Adalah inti dari ajaran dalam sebuah agama. Di sekolah-sekolah yang berbasis negeri, terdapat siswa-siswi yang mempunyai keyakinan yang berbeda-beda. Maka, di situlah peran sekolah terutama guru, untuk menjaga toleransi agar tidak terjadi benturan antara siswa yang berbeda agama. Peran guru penting untuk menerapkan secara langsung beberapa aksi guna membangun keberagaman siswa, guru merupakan faktor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman disekolah, diantaranya:
Seorang guru, harus mampu menjelaskan inti dari ajaran agama adalah menciptakan perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dialog dan musyawarah adalah cara-cara penyelesaian segala bentuk masalah yang sangat dianjurkan oleh agama dan segala kepercayaan yang ada. Bahasa merupakan alat manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara yang satu dengan lainnya. Namun, pada perkembangannya bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi tetapi bahasa juga mampu memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas yakni politik, sosial dan budaya.[8] Dalam masyarakat saat ini, akan timbul rasa bahwa kelompok kita lebih baik dari kelompok bahasa-bahasa lainnya seperti tumbuhnya diskriminasi terhadap bahasa-bahasa yang di gunakan orang lain. Hal ini salah satunya di pengaruhi oleh penggunaan bahasa yang ada dalam sinetron diberbagai stasiun televisi. Dalam beberapa kisah sinetron ada pelebelan dalam bahasa atau dialek tertentu yang membedakan status sosial. Misalnya, dialek jawa, Madura dan betawi di identikkan dengan bahasa orang-orang pinggiran yang berstatus sosial rendah seperti pembantu rumah tangga, penjual sate dan orang-orang yang tinggal di komplek perkampungan. Hal ini, tentu merambah kepada siswa yang tidak lepas pada penggunaan televisi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, peran guru penting untuk membangun kesadaran kepada peserta didik agar mampu melihat secara postif tentang keberagaman bahasa yang ada. Dalam hal ini, ada dua poin penting yang dapat dilakukan guru:
Gender adalah peran, sifat dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari (bagi perempuan atau laki-laki). Dalam prakteknya peran, sifat dan perilaku ini sangat dipengaruhi oleh anggapan-anggapan terhadap apa yang layak diperankan atau dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Ataupun sebaliknya apa yang tidak boleh diperankan atau dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari.[9] Meskipun saat ini hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan di anggap sama. Namun, dalam realitanya kita masih melihat adanya peminggiran hak-hak perempuan seperti jumlah wanita yang masih sedikit di lembaga legislatif (DPR) sekitar 97 orang atau 17,32%[10] dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, citra negatif yang lebih mudah melekat pada perempuan yang memiliki status tertentu. Misalnya, perempuan lebih mudah di cap negatif jika selesai bekerja tengah malam atau bekerja di malam hari. Perempuan juga lebih banyak menjadi obyek kekerasan dan kejahatan. Perbedaan perlakuan juga sering terjadi di sekolah, misalnya seorang guru lebih lembut jika berbicara dengan murid perempuan di banding laki-laki. Padahal disini peran guru sangat strategis dalam membangun kesadaran peserta didik untuk menjunjung hak yang sama dan membangun sikap anti diskriminatif. Agar dapat mewujudkan sikap seperti itu, guru mempunya peran:
Dalam Negara yang sedang dilanda krisis sosoial seperti Indonesia, timbulnya kesenjangan social di dalam kelompok masyarakat yang miskin dan kaya sulit dihindari. Hal ini menimbulkan berbagai kelompok social di dalam masyarakat. Seperti, kelompok masyarakat kelas atas yang mempunyai sumber penghasilan yang lebih. Kelompok masyarakat kelas menengah yakni yang mempunyai penghasilan tetap yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Dan kelompok masyarakat kelas bawah, yakni golongan masyarakat yang yang tidak mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan.[11] Dari realitas yang ada, biasanya kelompok masyarakat kelas atas cenderung lebih berkuasa. Misalnya, siswa yang berstatus sebagai anak pejabat atau orang kaya di perlakukan berbeda dengan siswa yang termasuk kelompok masyarakat kelas bawah. Disini guru mempunyai peran pokok terhadap pengembangan sikap siswa yang peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan sosial, ekonomi dan politik yang ada disekitarnya. Guru mempunyai peran penting dalam menumbuhkan sikap kepedulian sosial siswa antara lain;
Adanya keberagaman etnis dan ras yang berbeda di Indonesia seharusnya tidak membuat masyarakat terpecah belah dan saling memusuhi. Dalam sejarah banyak kisah yang menceritakan pernah terjadi konflik antar etnis di Indonesia seperti yang terjadi di Kalimantan barat sejak tahun 1933 dan di Sampit Kalimantan Tengah akhir tahun 2000 terjadi kerusuhan antara etnis Madura dan Dayak yang menyebabkan banyak korban sia-sia. [12] Perlakuan diskriminasi juga kerap terjadi di sekolah misalnya, anak dengan etnis tertentu sering di bully karena dianggap beda dengan teman-temannya. Peran guru sangat penting unuk menghindari hal ini, antara lain:
Manusia dilahirkan dengan kemampuan berbeda, ada yang dilahirkan berbeda secara fisik seperti diffable, tuna netra dan lain-lain. Dan aja juga yang berbeda secara non fisik seperti gangguan mental dan tingkat kecerdasan yang rendah. Perbedaan kemampuan tersebut, dapat menyebabkan timbulnya diskriminasi dan pengurangan hak-hak individu terhadap seseorang yang mempunyai kemampuan berbeda. Hal ini akan memberikan hambatan bagi mereka untuk menjalankan aktifitasnya dan berperanserta di masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, pendidikan multicultural perlu memberikan adanya upaya-upaya untuk menumbuhkan pemahaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai dan melindungi hak-hak orang lain yang mempunyai perbedaan kemampuan.
Kesalah pahaman dalam memahami dan mengartikan apa yang diucapkan oleh lawan bicara, kadang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sering terjadi diakibatkan oleh perbedaan umur menyebabkan perbedaan pengetahuan antara individu. Misalnya, kemampuan berbicara, memahami dan menganalisa siswa kelas satu SD yang masih berusia 6 tahun berbeda dengan kemapuan siswa kelas empat yang terusia 10 tahun. Apabila perbedaan umur ini tidak dipahami oleh peserta didik maka akan terjadi kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan peserta didik. Selain terjadi kesalahpahaman, perbedaan umur juga dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anak dibawah umur dan orang yang berusia lanjut. Bentuk diskrimanasi yang terjadi beragam. Seperti pengesampingan hak-hak anak untuk berkembang, untuk mendapatkan perlindungan hukum, umtuk mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan untuk mendapatkan pendidian yang layak. Leih lanjut diskriminasi ini dapat juga berbentuk kekerasan terhadap anak dibawah umur, pelecehan seksual erhadap anak dan pemaksaan terhadap anak dibawah umur untuk bekerja.[13] Sekolah harus menerapkan peraturan atau undang-undang yang menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadp umur tertentu dilarang. Dan guru memberikan pemahaman untuk saling menghormati dan memahami perbedaan umur yang ada disekitar mereka. Serta memberikan contoh sikap yang tidak diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda umur dengannya dan bagaimana bersikap dengan orang yang umurnya berbeda. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Naional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. Freire, Paulo & Shor, Ira.Menjadi Guru Merdeka. Yogyakarta: LKiS, 2001. Saudagar, Fachrudin, Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta: GP Press, 2011. Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Undersatanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005. UU No. 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional Al Arifin, Akhmad Hidayatulloh. Implementasi Pendidikan Mutikultural dalam Praktis Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pengembangan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi, Vol.1 No.1, Juni 2012. Supardi, Iwan. Model Pendidikan Multikultural Ramah di Kota Pontianak, Disertasi UNY tahun 2014. Hanum, pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, makalah, diakses 5 Oktober 2015. Aritonang, Deytri Robeka. Ini 97 Perempuan Anggota DPR Periode 2014-2019, dalam Kompas, 14 Mei 2014 [1] UU No. 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1. [2]Departemen Pendidikan Naional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 937. [3] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross Cultural Undersatanding untuk Demokrasi dan Keadilan. (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 25. [4] Farida Hanum, pendidikan Multikultural dalam Pluralisme Bangsa, Makalah, diakses 5 Oktober 2015 [5] Iwan Supardi, Model Pendidikan Multikultural Ramah di Kota Pontianak, Disertasi UNY tahun 2014, hlm. 119. [6] Akhmad Hidayatulloh Al Arifin, Implementasi Pendidikan Mutikultural dalam Praktis Pendidikan di Indonesia, Jurnal Pengembangan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi , Vol.1 No.1 Juni 2012. [7] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 36. [8] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 74. [9] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 115. [10] Deytri Robeka Aritonang, Ini 97 Perempuan Anggota DPR Periode 2014-2019, dalam Kompas, 14 Mei 2014 [11] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 147. [12] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 191. [13] Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural…, hlm. 260. |