Uraikan pendapatmu kenapa sifat Sad Ripu perlu dikendalikan

Membaca artikel “Six Inside Enemies” oleh narablog TuSuda, membuat saya berjalan lagi melalui jalur ingatan ke masa bangku sekolah dengan buku-buku agama terbuka lebar. Saya termasuk orang yang sering “protes” saat pelajaran agama, dan paling rendah nilai ulangan hariannya – ah…, itu akan membuat saya tersenyum-senyum kembali.

Mengenai Sad Ripu, saya selalu bertanya-tanya mengapa selalu dikatakan sebagai enam musuh, si keinginan, si emosi, si tamak, si mabuk, si bingung, dan si dengki iri hati? Apakah mereka benar-benar musuh? Hmm…, tidak pernah bertanya demikian? Itulah mengapa saya mengkritisi mengapa agama wajib dipercaya tanpa perlu dipertanyakan ulang. Dan kenapa juga orang perlu repot mengkritisi? Jika Anda – kebetulan – tidak tertarik dengan hal-hal mempertanyakan tentang agama, mungkin uraian saya tidak akan banyak berjodoh dengan anda.

Uraikan pendapatmu kenapa sifat Sad Ripu perlu dikendalikan

Saya tidak tahu apakah saya memiliki cukup motif untuk mempertanyakan konsep-konsep agama, namun karena saya mencintai kehidupan ini, maka entah mengapa ada keterdesakan di dalam diri saya untuk memahaminya bukan sekadar meletakkan kepercayaan saya akannya.

Mengapa orang berkata bahwa “itu” adalah musuh? Mengapa “itu” harus dihindari? Mengapa “itu” harus dihilangkan? Inilah hal-hal mendasar yang ingin saya pertanyakan, atau sejenisnya yang tidak jauh berbeda.

Titik pandang agama – sebagaimana yang diajarkan di bangku sekolah – telah menetapkan seperti sedemikian hingga, “itu” adalah sifat buruk yang mesti dihindari bahkan dihilangkan. Dan, wah…, tampaknya saya mentok di sana, karena memang begitu panduannya, atau mungkin saya kurang menyimak saat jam pelajaran dulu, tapi satu hal yang pasti, dengan sudut pandang seperti itu, saya tidak bisa memberikan bedahan yang lebih tajam terhadap pertanyaan-pertanyaan saya.

Mengapa dikatakan musuh? Apa “itu” menyerang kita? Apa “itu” menyakiti kita? Jika “iya”, mengapa dan bagaimana?

“Si keinginan” – misalnya – apakah “itu” selalu buruk? Saya ingin menyayanginya, saya ingin mengasihinya, saya ingin membantunya – hmm…, itu tidak terdengar buruk bukan? Saya ingin memukulnya, saya ingin menuduhnya – atau yang terdengar serupa tentu tidak akan menyenangkan.

Apa “itu” dikatakan buruk jika berlebihan? Ah…, tidak, tunggu dulu, secara leksikalitas, “kama” hanya bermakna “keinginan” setahu saya, tidak lebih tidak kurang. Jadi jangan paksakan menjadi “keinginan yang berlebih” dalam penerjemahannya, saya rasa itu agak tidak adil. Tapi kemudian, buku-buku sudah jelas ada yang menyebutkan keinginan yang berlebihan, atau menerjemahkannya sebagai “hawa nafsu”.

Nah, saya tidak mau memperdebatkan buku, jika itu diutak-atik lagi, ya semuanya akan mentok di sana.

Mari kita coba telusuri asal katanya, Kama, dalam bahasa Sanskerta, bisa diartikan banyak, namun yang paling mendekati menurut saya adalah “segala gerak pikiran yang mengarah pada pencarian sukha (lawan dari kata dukha)”. Dan kata yang paling sederhana dalam bahasa Indonesia untuk itu adalah “keinginan”, jadi itulah mengapa saya menyebutnya “si keinginan”.

Apa yang saya lihat, keinginan bukanlah musuh, “itu” adalah bagian dari saya. Baik atau buruk adalah penilaian yang tercipta akan “itu” dari masing-masing pandangan. “Si keinginan” dan saya bukanlah hal yang terpisah, namun tampak terpisah, ada saya dan ada keinginan saya. Namun bagaimana kita bisa memisahkannya? Lalu bagaimana dengan konsep membuang Sad Ripu melalui upcara potong gigi (Bali: mapendes, masangih)?

Jika susah membayangkan semua seluk beluk itu, dan bagaimana menjawabnya, mari kita lihat analogi sederhana ini, digunakan para ahli fisika dari yang klasik hingga modern.

Si A ada pada suatu titik, dan hanya itu. Apakah yang ada di sana? Ya, hanya si A, tidak ada ruang dan tidak ada waktu.

Lalu si B muncul di hadapannya, dan hanya itu. Apakah yang ada di sana? Ya, ada si A, ada si B, dan ada jarak, ruang telah muncul, namun waktu tidak.

Lalu si A bergerak mendekati si B, dan hanya itu. Apakah yang ada di sana? Ya, kini ada si A, si B, ruang dan terciptanya waktu, dari satuan lama tempuh yang diperlukan A menuju B dalam ruang itu.

Analogi di atas rasanya bisa dipahami, karena analogi sederhana untuk menjelaskan penciptaan ruang dan waktu hingga penciptaan alam semesta (katanya). Namun analogi yang sama, bisa diterapkan membantu memahami alur Sad Ripu, pun itu hanya sebatas konseptual dan bukan faktual, mengapa, mari kita lanjutkan….

Suatu sore saya duduk di pinggiran sungai yang tenang dan damai, belum ada apapun yang terlintas di dalam benak saya, hingga tiba-tiba sesuatu melintas di pandangan saya. Pertama kali, saya hanya melihat “itu”, ya… hanya seperti itu! Hanya melihat “itu”, pada awalnya. Namun berkat kecanggihan sistem memori yang ditempel di otak saya, saya mengenal “itu” sebagai kucing yang sedang muntah-muntah.

Arrghh…, saya tidak suka kucing yang muntah-muntah, itu menjijikkan. Saya suka ketenangan pinggiran sungai di sore hari, dan kini mesti diganggu oleh suasana ini. Padahal saya ingin lebih lama lagi menikmati kedamaian saya, ini adalah suasana yang tidak bisa ditawar, bahkan mahal untuk bisa didapatkan di era super sibuk seperti sekarang. Saya tidak tahu harus bagaimana, kucing itu pergi dan meninggalkan rasa jengkel pada saya.

Nah, dapatkah Anda melihat Sad Ripu di atas sana? semuanya jelas terbaur menjadi satu. Saya “si keinginan” terhadap suasana damai, saya “si emosi” pada kucing yang malang itu, saya “si tamak” yang berharap waktu kembali atau terhenti sebelum si kucing malang muncul dengan muntahannya, saya “si mabuk” suasana damai dan tidak bisa melihat kemalangan kucing itu, saya “si bingung” yang tidak tahu bagaimana mesti menenangkan hati saya, saya “si dengki” yang dengan mudahnya membenci kucing dan termasuk muntahannya, yang kemudian bisa saja saya jadi benci semua yang ada ketika itu.

Dapatkah Anda melihat semua itu? Dan lihatlah, ternyata semua itu tidak lain dari saya, jadi yang mananya Sad Ripu? Semuanya adalah saya, saya adalah awal dan akhir semua itu. Kini, orang bilang itu musuh, haruskah saya memusuhinya? Ah…, itu berarti memusuhi diri saya sendiri? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat ulang.

Mari kita kembali pada si A dan si B. Batin kita beroperasi dengan cara serupa. Ketika awalnya (jika kita asumsikan ia memiliki awal), maka di sana tidak ada apa-apa. Namun ketika persepsi ditangkap dari luar (semisal melihat kucing muntah), batin memunculkan “aku” dan si “aku” ini menerima persepsi tersebut sebagai sesuatu yang tidak dikenal (“itu”), namun dengan sistem ingatan, si “aku” mengenalnya sebagai kucing, dan demikian juga dengan rangkaian persepsi selanjutnya, si “aku” mengakses banyak data, dan menghasilkan interaksi dengan dimensi di dalam dirinya sendiri. Si “aku” bisa memutuskan bahwa ia akan suka atau tidak suka, kemudian jika ia suka ia akan menginginkannya, setelah menginginkannya ia akan memutuskan apa yang harus dilakukan, dan demikianlah setiap interaksi berkembang.

Karena aku berpikir karena itu aku ada…

Si “aku” adalah pencipta segalanya di dalam batin seseorang. Keinginan, rasa bersalah, rasa suka, kemarahan, kesedihan, dengki dan lain sebagainya. Si “aku” adalah awal mula segalanya. Karena “aku” berinteraksilah keinginan itu muncul.

Si “aku” (ahamkara), adalah awal dan juga akhir semuanya itu.

Si “aku” sedemikian hingga merupakan sumber yang menghidupi Sad Ripu (atau apapun istilah lainnya). Si “aku” adalah kesadaran tentang saya. Dan bagaimana bisa menghilangkan itu? Selama kesadaran akan saya masih ada, selama si “aku” masih hidup, maka Sad Ripu tidak bisa dihilangkan.

Malangnya, buku-buku pelajaran agama di sekolah tidak menyebutkan tentang ini (atau saya melewatkan sesuatu saat pelajaran berlangsung). Hanya dikatakan bahwa manusia harus mengendalikan dirinya dengan baik – merujuk pada konsep Panca Yama Bhrata dan Panca Nyama Bhrata atau sejenisnya – dan dengan tuntunan itulah orang mesti hidup. Jadi seakan-akan anak-anak diminta mengikuti suatu pola hidup tertentu, dan menghindari pola hidup yang lainnya.

Sementara orang diminta menjauhi diri dari Sad Ripu mereka dihimbau mendekatkan diri pada konsep lainnya. Ya, dan jadilah orang-orang yang selalu ingin dan berharap, jauh dari Sad Ripu.

Tapi, setiap keinginan adalah bagian dari Sad Ripu, bahkan keinginan untuk melenyapkan Sad Ripu itu sendiri adalah Sad Ripu. Karena saya adalah Sad Ripu, itu bukanlah sesuatu yang bisa disangkal.

Jadi haruskah saya menjadi manusia cetakkan yang tanpa sadar setiap harinya dicetak untuk berusaha menjauhi diri saya sendiri? Ataukah saya manusia yang hidup dan dapat memberikan segenap hati saya untuk bisa mengenali siapa saya sesungguhnya?

Ketika saya tahu bahwa si “aku” masih ada, maka saya melihat bahwa Sad Ripu akan masih ada juga, karena semua itu adalah saya juga, maka jika saya menghindarinya berarti saya lari dari saya sendiri, dan bagaimana itu bisa? Mengapa saya tidak menyelaminya dan mengenal lebih dekat diri saya sendiri dan semua yang melekat pada diri saya? Menyelami siapakah si “aku” ini sesungguhnya?

Apa yang terjadi kemudian? Ah…, itu akan menjadi masing-masing orang untuk menemukan bagi dirinya.

Kembali pada Sad Ripu, kini saya tahu, orang boleh mengatakannya musuh, tapi saya menemukan bahwa itu adalah saya sendiri. Orang boleh berkata, kita harus menjauhi Sad Ripu, namun saya melihat saya tak akan pernah dapat lari dari diri saya. Orang boleh protes pada saya, karena saya belum melakukan upacara mapendes, maka Sad Ripu masih melekat, namun kalau saya bilang itu sia-sia, maka bisa-bisa saya dilempari batu (untung-untung cuma dilempar api emosi) oleh mereka yang telah menjalaninya, ups…, jangan bilang-bilang, ternyata di sana masih ada “si emosi”.

Tidak ada ritual yang pernah saya lihat dapat memupus si “aku” dari dalam batin manusia, karenanya tidak ada ritual yang saya temukan dapat mengusir Sad Ripu, apalagi ritual menjalankan Panca Yama Bhrata dan lain sebagainya.

Jadi apa tidak ada cara melenyapkan Sad Ripu?

Jangan tanya saya, kalau saya tahu, mungkin saya sudah jadi orang super suci saat ini, he he…

Jika hendak memadamkan nyala, maka api yang memberikan kehidupan pada nyala itu mesti padam, dan dengan sendirinya nyala akan padam.

Jika si “aku” padam, maka di sana Sad Ripu akan padam dengan sendirinya.

“Aku” yang padam, maka di sana ada batin tanpa “aku” (anatta, anatman – tanpa atma), dan jika “aku” padam (Nibbana atau Nirvana = padam) maka di situ ada batin yang polos dan hening, batin tanpa gerak pikiran, tanpa gerak si “aku”, dalam Veda ini mendekati simbologis Nirgunam Brahman (Brahman tanpa gerak) atau asal mula Tuhan. Karena ketika Brahman bergerak, maka penciptaan dan lingkaran kehidupan dan kematian dimulai. Ketika batin bereaksi maka, si “aku” lahir, dan lingkaran awal dan akhir pikiran pun dimulai.

Secara konseptual dalam Veda, Sad Ripu dapat hilang bersama lenyapnya si aku. Tapi apa itu berarti orang mesti mokhsa (penyatuan antara insan dan Ilahi) hingga ke relung Nirgunam Brahman? Bagaimana, sedangkan setiap gerak pikiran kita, bahkan untuk memikirkan itu pun menciptakan “perangkap”?

Jika dilanjutkan, bahasannya akan bertambah berat bagi tubuh saya yang sudah kelelahan. Mari dilanjutkan lain kesempatan, atau dilanjutkan via diskusi di bawah. Toh ini bukan tulisan yang penting. Dan uraian saya hanya sebatas konseptual, sedangkan hidup adalah tentang segala sesuatu yang faktual, kita sendiri mesti menemukan apa yang faktual itu.