4 jelaskan aspek kritik sastra berdasarkan penghakiman kritik sastra

4 jelaskan aspek kritik sastra berdasarkan penghakiman kritik sastra


  Sebuah karya sastra, sebagaimana setiap karya seni lainnya, merupakan suatu kebulatan yang utuh, khas, dan berdiri sendiri. Pertama kritik sastra merupakan satu dunia keindahan dalam wujud bahasa yang dari dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas. Kedua kritis sastra juga merupakan satu fenomena atau gejala sejarah - yakni sebagai hasil karya seseorang seniman tertentu, dari aliran tertentu, jaman tertentu dan kebudaaan tertentu pula yang tidak lepas dari rangkaian sejarah. Kemudian ketiga kritik sastra merupakan satu pengejawantahan gaya yang juga dimiliki oleh karya-karya lain dari seniman itu, di samping juga gaya yang menandai karya-karya lain termasuk aliran, zaman dan kebudayaan yang sama dengan karya tersebut. Akhirnya karya sastra, sebagaimanajuga setiap karya seni lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya seni, begitu pula tentang kebenaran dan arti kepentingannya. Tegasnya setiap karya mempunyai tingkatnya tersendiri dalam hal kesempurnaan, punya ukurannya tersendiri tentang kebenaran atau kepalsuannya serta keagungan ataupun keremehannya.

 Karenanya setiap kritikus yang cakap pastilah akan memperhatikan ketiga aspek daripada setiap karya sastra tersebut. (Dan sebenarnva begitulah pula hendaknya setiap pembaca biasa. Hanya saja hal ini akan tergantung pada tingkat ketajaman perasaan hatinya. Dan tentu tingkat sistematiknya pastilah akan lebih rendah, dan secara historisnya tentu akan kaku sifatnya). Ia menangkap kepribadian karya itu di dalam kepenuhan keistimewaannva lewat sebuah rekreasi artistik yang disebabkan oleh halusnya perasaan hatinya. Tetapi untuk mengadakan rekreasi itu dia harus tahu "bahasa" yang dipergunakan oleh seniman itu. Ini berarti menuntut adanva suatu keakraban dengan jenis-jenis gaya daripada komposisi serta latar belakang tentang kebudayaannva. Tetapi Suatu rekreasi yang berorientasi historis itu secara mutlak menuntut suatu jawaban kritis. Yakni jawaban yang berarti pengkajian terhadap karya tersebut dengan mengingat baik terhadap kadar seninya maupun pada kebenaran serta arti rohaninya. Karenanya kritik sastra pun memiliki tiga aspek pula, yakni aspek historis, aspek rekreatif dan aspek penghakiman. Masing-masing aspek berhubungan sejalan dengan aspek-aspek yang terdapat pada karya sastra itu. Kritik historis berhubungan dengan watak dan orientasi historisnya; Kritik rekreatif berhubungan dengan kepribadian artistiknya yang istimewa, dan kritik penghakiman berhubungan dengan nilai atau kadar artistiknya. Aspek-aspek kritik ini sepenuhnya merupakan faktor-faktor persyaratan bagi satu proses organis. Hubungan antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya jelaslah bahwa bersifat analog (sejalan dengan hubungan yang terdapat pada gaya, kepribadian dan nilai di dalam setiap karya sastra).

Karena hubungan masing-masing aspek kritik bersifat analog dengan hubungan masing-masing aspek di dalam karya, maka dengan sendirinya masing-masing aspek punya tugas jalinan tersendiri di antara wawasan dan karyanya. Kritik historis secara khusus mempunyai tugas untuk mencari dan menentukan hakekat dan ketajaman pengungkapan karya itu di dalam jalinan historisnya. Di satu pihak menyangkut keaslian teks dan dokumen, dan di lain pihak menyangkut penafsiran yang didasarkan atas macam-macam alat yang bisa diperoleh yang sifatnya biografis, sosial, budaya dan lain sebagainya. Hanya dengan demikianlah, pada hemat kami, orang bisa mengharap untuk menangkap apa yang oleh penulis atau penciptanya mau diungkapkan dan bisa menafsirkan pula hasrat kemauan itu berdasarkan minat-minat pengarang itu sendiri serta latar belakang budayanya.

Kemudian kritik rekreatif tugas khususnya adalah, dengan daya angan-angannya lewat jawaban artistik yang telah dihasilkan oleh kehalusan hatinya, menemukan apa yang telah diungkapkan oleh pengarang itu dengan benar-benar berhasil di dalam satu bentuk karya tertentu. Sudah barang tentu seorang kritikus yang tidak mengabaikan segi rekreatif daripada kritik, akan - dan memang sudah selayaknya pula menghubungkan apa yang ditangkapnya itu dengan minat-minat dan kebutuhan-kebutuhan diri pribadinya sendiri. Tetapi hal ini tidaklah bersifat integral dengan kritik rekreatif itu. Hal itu hanya dilakukan sejauh masih secara positif turut menentukan pengertian kritikus itu tentang karya tersebut dan isi yang diungkapkannya.

Sebagai catatan harap diperhatikan bahwa awalan re- dalam istilah kami di sini perlu secara mutlak disadari artinya, karenanya tidak dapat dihubungkan hingga kata rekreatif ataupun rekreasi itu menjelma menjadi istilah yang oleh orang modern diartikan sebagai "pemulihan tenaga dan penyegaran kembali" seperti dalam kalimat: "Selama waktu rekreasi para mahasiswa bermain bridge, sepakbola, tenis meja dan ada pula yang cuma duduk-duduk bergurauan di bawah pohon di halaman asrama." Atau "Di dalam pendidikan Indonesia di jaman kuno rekreasi sama sekali tidak mendapat tempat, tetapi di jaman sekarang ini rekreasi sudah disadari kepentingannya, karena baik tenaga rohani maupun jasmani memang tidak dapat dipaksa untuk terus bertekun tanpa henti-hentinya."

1.    Pengertian KRITIK SASTRA

Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Studi sastra meliputi tiga bidang: teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra (Wellek dan Warren, 1968 : 27). Kritik sastra merupakan studi satra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya (Wellek, 1978 : 35). Untuk pengertian kritik sastra di dalam kesusasteraan Indonesia sering disebut istilah lainnya, yaitu “sorotan” atau “ulasan”. Namun pada waktu sekarang ini secara resmi digunakan istilah sastra untuk bidang studi sastra dalam bidang pembahasan sastra.

Kata kritik sastra berasal dari bahasa Yunani Kuno krites yang berarti hakim, dan kata kerja krinein yang artinya dasar menghakimi (Hardjana, 1981:2), yang merupakan pangkal kritikos yang berarti penghakiman, dan dari ini mulai timbul kata kritikos yang berarti hakim karya sastra. Jadi, berdasar hal tersebut di atas kritik sastra itu berarti penghakiman karya sastra. Menghakimi berarti menentukan baik buruk sesuatu hasil kesusastraan, begitulah pengertian kritik sastra.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh H. B. Jassin bahwasanya kritik sastra merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra (H.B. Jassin, 1959 : 44-45). Graham Hough (1966 : 3) juga mengemukakan pendapatnya bahwa kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi, dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.

Sesungguhnya mengkritik karya sastra itu bukan hanya terbatas pada pertimbangan baik dan buruknya karya sastra saja, melainkan ada aktivitas lainnya juga yang sangat penting. Bahkan, ada salah satu macam kritik sastra yang tanpa memberikan pertimbangan baik atau buruk sebuah karya sastra, misalnya, kritik induktif.

Ada bermacam-macam definisi kritik sastra, tetapi pada umumnya definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya persamaan. Kritik sastra ialah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya satra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya. Secara mudahnya kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk karya sastra, atau seperti pendapat William Henry Hudson, “Perkataan kritik (criticism) dalam artinya yang tajam adalah penghakiman (judgement), dan dalam pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu,meskipun bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang luas. Karena itu kritikus pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra, atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya dan menyatakan pendapatnya tentang hal itu.”

  Begitu pula pengertian kritik sastra ini dapat kita bandingkan dengan pengertian yang diberikan I.A. Richards, “Kritik, seperti yang diketahui, adalah usaha untuk membeda-bedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya.”

Jadi ilmu kritik sastra itu ilmu untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian, dan memberi keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus. Akan tetapi kritik sastra itu sesungguhnya bukan hanya menilai saja, melainkan masih ada aktivitas lainnya juga, yaitu analisis, dan aktivitas lainnya. Hal ini kelihatan seperti yang dikemukakan oleh M.H. Abrams, kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan pendefinisian, penggolongan (pengklasan), penguraian (analisis), dan penilaian (evakuasi).  

Dalam kritik sastra suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidik, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra, bernilai atau tidak bernialaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra yang diselidik atau yang dianalisis itu. Baru sesudah itu, dengan pertimbangan-pertimbangan seluruh penilaian terhadap bagian-bagian yang merupakan kesatuan yang erat, dengan menimbang mana yang bernilai dan mana yang tidak atau kurang bernilai, maka kritikus baru menentukan karya tersebut bernilai tinggi, sedang, kurang bernilai, atau tidak bernilai sastra.

Jadi, dalam melakukan kritik terhadap sebuah karya sastra itu, kritikus menetapkan pengertian, menggolong-golongkan, menguraikan atau memecah-mecah sebuah karya sastra ke dalam unsur-unsur pembentuknya atau norma-normanya, disertai tafsiran-tafsiran, dan pada akhirnya menerangkan karya sastra yang dikritik tersebut, bagaimana kelebihan-kelebihan dan bagaimana cacat-cacat atau kekurangannya, dengan alasan dan komentar-komentar yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kegunaan kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga (Pradopo, 1988 : 17), yaitu, pertama untuk perkembangan ilmu sastra itu sendiri, membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Kedua, untuk perkembangan kesusastraan. Kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik dan buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan demikian para sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra, maka mereka dapat mengembangkan penulisan karya-karya sastra mereka yang kemudian mengakibatkan perkembangan kesusastraan. Ketiga, untuk  penerangan masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra. Kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 1988 : 17-23).

Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interperetasi (penafsiran), dan evaluasi atau penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analisis (Hill, 1966 : 6), yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sesungguhnya, analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah karya sastra itu struktur yang kompleks, berisi pemikiran-pemikiran rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu karya sastra perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981 : 84). Dalam arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa-bahasa kiasannya. Karya sastra adalah karya seni. Oleh karena itu, diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya sastra itu. Analisis dan penafsiran karya sastra harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1968 : 156). Ketiga aktivitas kritik sastra tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.

Seperti pendapat Horace, fungsi seni sastra ialah dulce et utile (menyenangkan dan berguna), maka dalam membaca karya sastra yang baik, para pembaca akan mendapatkan kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra itu, yang berupa keindahan dan pengalaman-pengalaman jiwa yang bernilai tinggi, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya lewat para penafsirnya.

2.     Kritik sastra di indonesia

Kritik sastra di Indonesia merupakan tradisi baru, yaitu baru sekitar  50-60 tahunan. Hal ini dilihat dari munculnya sastra Nusantara modern sekitar 1920-an. Untuk tradisi kebudayaan/sastra, waktu 50-60 tahun itu tergolong masih muda. Sejajar dengan sastra Indonesia/Nusantara modern, kritik sastra itu masih merupakan pengaruh sastra Barat dan bersifat Barat. Hal ini akibat dominasi Barat dalam segala bidang: sosial, ekonomi, dan budaya. Kesusastraan Indonesia modern/Nusantara modern berdasarkan pada poetika Barat, maka ilmu sastra pun bersifat Barat. Ilmu sastra/studi sastra itu meliputi tiga bidang (Wellek, 1976:39) : teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra adalah studi sastra yang menyangkut bidang teori, seperti, bidang yang membicarakan masalah definisi sastra, hakikat sastra, teori penelitian sastra, teori gaya, jenis sastra, sampai pada teori penilaian sastra. Sejarah sastra ialah studi sastra yang berhubungan dengan penyusunan sejarah sastra, seperti membicarakan masalah angkatan, perkembangan sastra, dan yang sejenisnya. Kritik sastra adalah bidang studi sastra yang berhubungan dengan pertimbangan karya sastra, mengenai bernilai seni atau tidaknya sebuah karya sastra. Ketiga bidang studi tersebut saling berhubungan dengan erat, dalam arti ketiganya saling membantu, isi-mengisi.

Di atas telah dikatakan bahwa kritik sastra Indonesia merupakan tradisi baru. Sesungguhnya sebelumnya sudah ada kritik juga di dalam sastra Nusantara dalam arti yang seluas-luasnya, khususnya dalam sastra Jawa, yang secara luas meliputi pula dunia pewayangan. Hanya saja kritik tersebut tidak berbentuk tulisan dan tidak mempunyai teori yang tersusun sistematik dan lengkap. Kritik berbentuk lisan, yang terwujud dalam sarasehan-sarasehan maupun bersifat pribadi, yang seringkali tersebar dari mulut ke mulut. Misalnya saja, masyarakat sering mengkritik, menguraikan, mengomentari sebuah karya sastra yang dibaca bersama maupun ditembangkan. Diuraikan baik mengenai isi pikiran yang dikemukakan, disertai tafsiran-tafsiran, komentar-komentar, maupun diuraikan dalam bidang “nilai seni”-nya sebagai karya seni sastra. Begitu juga dalang wayang kulit mendapat sorotan masyarakat,  dipercakapkan tentang sabetan (cara memainkan wayang), suluk (nyanyian untuk membentuk suasana), dan sebagainya.

Jadi, sesungguhnya masyarakat Nusantara sudah terbiasa dengan kritik, bahkan dapat dikatakan hampir tiao penonton (hadirin) itu “pengkritik yang baik”. Dengan demikian, karya-karya yang bernilai seni (atau entah nilai apa lagi) menjadi terkenal, begitu juga pengarangnya bila tak anonim, seperti, Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Paku Buwana IV, Yasadipura I dan II, dan yang lainnya. Begitu juga dalang yang baik yang baru muncul segera mendapat tanggapan yang positif, misalnya dalang Ki Timbul Hadiprayitno yang mulai terkenal pada awal tahun 60-an di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Namun, meskipun sudah ada semacam kritik, tetapi belum dituliskan teori-teorinya secara sistematik dan lengkap sehingga belum timbul poetika (tertulis) dalam sastra Nusantara, meskipun “poetika” itu telah dilaksanakan oleh para pengarang dalam karya-karyanya. Baru sesudah ada pengaruh Barat tadi, timbullah kritik sastra dalam sastra Indonesia modern, khususnya, sastra Nusantara pada umumnya, dalam arti sudah mempunyai teori kritik yang berdasarkan pada poetika Barat, yang sudah mempunyai teori poetika yang tersusun secara sistematik dan boleh dikatakan lengkap. Poetika Barat tersebut paling sedikit sudah mulai sejak Aristoteles (± abad ke-4 SM) dan diteruskan dengan diberi tambahan-tambahan hingga kini.

3.     Kegunaan Kritik Sastra

Setelah kita ketahui sedikit tentang pengertian kritik sastra, timbul pertanyaan apakah guna kritik sastra itu. Adapun kritik sastra mempunyai tiga kegunaan (Pradopo, 1967:11-14), yaitu untuk perkembangan sastra, untuk penerangan pembaca, dan untuk ilmu sastra itu sendiri.

Kritik sastra sangat berguna pula bagi sastrawan, lebih-lebih sastrawan muda yang baru mulai mengembangkan bakatnya. Mereka dapat belajar dari kritik sastra yang baik, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan karya sastra yang dikritiknya secara objektif. Pun seorang kritikus yang baik kerapkali dapat menjadi pengarah kesusastraan, dengan mempertinggi selera sastra yang baik. Di samping itu, ia dapat menunjukkan daerah-daerah atau lapangan-lapangan baru yang belum pernah digarap sastrawan.

Kritik sastra berguna untuk perkembangan sastra, dalam hubungannya dengan hal bahwa dalam mengkritik karya sastra, kritik menunjukkan struktur karya sastra, memberikan penilaian, menunjukkan hal-hal yang bernilai  dan yang tidak atau kurang bernilai. Kritikus membicarakan berhasil-tidaknya pengarang mengungkapkan pengalaman jiwanya dalam bentuk seni. Di samping itu, kritikus menunjukkan kebaruan-kebaruan dalam karya sastra yang dikritiknya, mengingat bahwa sastrawan itu selalu berusaha membuat pembaharuan, karya seni itu selalu berada dalam ketegangan antara yang lama dan yang baru, antara konvensi dan inovasi (A. Teeuw, 1980:12). Di samping itu dalam mengkritik kritikus juga menunjukkan “daerah-daerah baru” yang belum pernah dijelajah oleh para pengarang, baik yang berwujud pikiran, gambaran kehidupan, maupun gaya pengungkapan (Pradopo, 1967:13). Dengan hal yang demikian itu, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya, ataupu mengembangkan/memperluas daerah garapannya. Dengan begitu, kesusastraan akan dapat berkembang, baik corak, gaya, maupun mutunya.

Kritik sastra berguna bagi penerangan masyarakat pembaca. Dalam mengkritik karya sastra, kritikus menganalisis struktur karya sastra, memberikan komentar, dan interpretasi, menerangkan hubungan antara unsur-unsurnya. Oleh uraian dan keterangan yang diberikan oleh kritikus tentang suatu karya sastra, maka masyarakat pembaca dapat lebih terang dan mudah dalam memahami karya sastra. Sering kali masyarakat pembaca mendapat kesukaran dalam menangkap maksud sastrawan yang terungkap dalam karya sastranya, tak dapat memahami ataupun kurang dapat memahaminya, padahal mungkin karya sastra tersebut bernilai tinggi, baik mengenai pikiran yang dikemukakan maupun keindahannya yang tersembunyi. Baru setelah membaca kritik tentang karya sastra tersebut, masyarakat pembaca dapat mengerti dengan jelas, maka seakan-akan ia mendapatkan permata yang sangat berharga dari karya sastra yang tadinya kurang dipahami. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hudson (1955:266-7)

Fungsi yang terutama bagi kritik ialah memperjelas dan memberi dorongan. Bila seorang penyair besar menjadikan kita jadi orang yang turut mengalami (memiliki) perasaannya yang luas tentang arti hidup, seorang kritikus mungkin menjadikan kita orang yang turut mengambil bagian perasaannya yang luas tentang arti kesusastraan ... Seorang kritikus sering memberikan kepada kita suatu pandangan yang sama sekali segar, baru. Kritikus menerjemahkan kerumitan karya sastra ke dalam bentuk yang terbatas, yang masih secara samar-samar dikenal pembaca, masih sukar menjadi nilai yang praktis. Juga ia kadang-kadang sebagai teman yang ramah, yang menunjukkan aspek-aspek yang sampai sekarang belum terungkap, bahkan mengenai hal-hal yang paling biasa kita alami.

Di samping hal-hal tersebut tadi, dengan adanya kritik sastra itu, masyarakat akan dapat memilih karya-karya sastra yang bernilai sastra, yang mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang tinggi, dengan secara tak langsung akan dapat mempertinggi taraf kehidupan masyarakat, memperhalus budi, perasaan, mempertajam pikiran, mempertinggi kejujuran, mencintai kebenaran, dan memperdalam perikemanusiaannya (Pradopo, 1967:14)

Kritik sastra berguna bagi ilmu sastra sendiri. Untuk menyusun teori sastra perlu bantuan kritik sastra. Kritikus dalam kritiknya menganalisis karya sastra, menganalisis struktur cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dan sebagainya. Dengan demikian, para teoritiskus sastra dapat mengambil hasil analisis tersebut untuk menyusun teori tentang jenis sastra, struktur cerita, penokohan, gaya bahasa, dan sebagainya. Kritik sastra berhubungan langsung dengan karya sastra, sedangkan teori sastra hubungannya dengan karya sastra tidak langsung, padahal teori sastra ini harus berdasarkan pada karya sastra sendiri. Untuk mengerti struktur karya sastra dan seluk beluknya, harus dianalisis karya sastra. Aktivitas tersebut adalah aktivitas kritik sastra. Jadi, teori sastra memerlukan kritik sastra. Begitu juga untuk menyusun sejarah sastra, perlu dukungan kritik sastra (Wellek, 1976:43). Dalam menyusun sejarah sastra, tak dapat ditinggalkan usaha untuk memberi ciri sastra dan penilaian. Tidak semua karya sastra dapat dimasukkan dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak menunjukkan perkembangan ataupun bila tidak mempunyai nilai sastra. Jadi, sejarah sastra memerlukan kritik sastra.

4.     Analisis, Penafsiran, dan penilaian

Dalam kritik sastra terdapat tiga aktivitas yang saling berjalinan, yaitu analisis, penafsiran, penilaian. Karya sastra adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur atau lapis-lapis norma menurut  Roman Ingarden (Wellek, 1976:130). Dengan demikian, perlu dianalisis untuk dapat memahaminya. Seperti dikemukakan oleh Knox C. Hill (1966:6) bahwa suatu tulisan yang kompleks dapat dimengerti dengan baik hanya jika dianalisis. Di samping itu dalam kritik sastra perlu adanya penafsiran (interpretasi). Penafsiran ini menjelaskan hingga karya sastra dapat dipahami. Hal ini disebabkan bahwa karya sastra itu sesuatu yang kompleks, mempergunakan bahasa sastra yang penuh ambiguitas. Dengan analisis itu unsur-unsur atau lapis norma yang membentuk karya sastra dapat dimengerti secara menyeluruh. Begitu juga hubungan antara bagian-bagian, unsur-unsur, atau lapis-lapis normanya tersebut.  Seperti dikemukakan oleh Abrams (1981:84) bahwa interpretasi karya sastra itu dalam arti sempitnya untuk memperjelas (menjernihkan) arti bahasa dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar; biasanya interpretasi terutama dipusatkan pada kegelapan, ambiguitas, atau kiasan-kiasan. Dalam arti luasnya, menginterpretasi adalah membuat jelas arti karya sastra yang bermedium bahasa itu. Secara keseluruhan interpretasi dalam arti ini meliputi eksplikasi (penjelasan) aspek-aspek, seperti, jenis karya, unsur-unsur, struktur, tema, dan efek-efeknya.

Dengan adanya analisis dan interpretasi orang akan dapat memberikan penilaian kepada karya sastra dengan setepat-tepatnya. Karya sastra itu adalah karya imaginatif bermedium bahasa yang unsur estetiknya dominan (Wellek, 1976:24-5), maka perlu adanya penilaian. Penilaian ini menunjukkan nilai seni karya sastra yang dikritik. Analisis karya sastra tanpa dihubungkan dengan penilaian akan mengurangi nialai analisis itu bagaimanapun bagus atau majunya (Wellek, 1976:156). Masalah yang berhubungan dengan penilaian ini sesungguhnya sangat rumit, tak dapat dibicarakan secara sepintas lalu saja. Masalahnya di antaranya menyangkut aliran-aliran penilaian, jenis-jenis penilaian, dasar-dasar penilaian, dan sebagainya.

Analisis, interpretasi, dan penilaian itu (harus) didasarkan pada hakikat karya sastra sendiri, berdasarkan pada kenyataan yang ada, dan sifat-sifat karya sastra sendiri; bertolak dari pernyataan apakah (karya) sastra itu (Hazard Adams, 1969:1,3). Jadi, berpangkal juga pada teori sastra. Seperti di depan sudah dikemukakan bahwa sesungguhnya tiga bidang studi sastra : teori, kritik, dan sejarah itu erat berhubungan.

Dalam lapangan keilmuan sastra, kritikus dapat memberikan sumbangannya yang penting. Misalnya dalam menyusun teori sastra perlulah orang mengambil hasil-hasil yang dicapai oleh kritik sastra. Demikian pula bagi ilmu sejarah sastra, kritik sastra dapat menyumbangkan hasilnya, misalnya dalam menggolongkan seorang sastrawan ke dalam angkatan-angkatan atau periode-periode, berdasarkan mutu karya sastranya.

Penyelidikan karya sastra di bidang kritik sastra hampir belum diusahakan oleh para ahli, peminat, atau para penyelidik sastra. Selain itu penyelidikan kritik yang masih sedikit itu kebanyakan belum sampai kepada penerapan yang semestinya menurut metode ilmu sastra. Misalnya saja Asrul Sani pernah menggerutu dalam tulisannya yang disitir oleh A. Teeuw, katanya “Seperti juga dalam kehidupan politik dimana tokoh terlebih penting dari pekerjaannya, demikian juga kritik kesusastraan kita (sekiranya ada) lebih berpusat pada pengarang tidak kepada karangannya.”

Sesuai kritik sastra seharusnya membahas karya sastra, menganalisis karya sastra sendiri, sedang pembicaraan mengenai sastrawan penulisnya, seharusnya dijatuhkan pada nomor dua, yaitu sebagai penerang kepada segi-segi yang masih gelap dalam karyanya, dengan menguraikan pikiran-pikiran yang pernah dikemukakan atau menggunakan biografinya. Jadi, pembicaraan mengenai pengarang terutama berguna bagi penafsiran-penafsiran karya-karyanya sehingga dapat dinilai setepat-tepatnya.

5.     Aliran-aliran penilaian

Paham memberi penilaian karya sastra itu ada bermacam-macam. Rene Wellek (1976:41-3) mengemukakan tiga paham penilaian yang didasarka pada pikiran (ide) yang berlainan : paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme.

Paham relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra. Penilaian karya sastra itu relatif, tak sama di semua tempat dan di semua waktu. Tiap-tiap tempat dan waktu mempunyai kaidah-kaidah dan kebiasaan-kebiasaan sendiri, mempunyai tradisi dan konvensi sendiri-sendiri. Bila suatu karya sastra dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat (negara) dan pada waktu atau periode tertentu, maka karya sastra itu haruslah dianggap bernilai di tempat dan jaman lain. Jadi, paham ini sudah tidak menghendaki penilaian lagi. Paham relativisme ini juga mencakup paham bahwa nilai sastra itu sudah melekat pada karya sastra sendiri. Jadi, dalam mengkritik karya sastra tak perlu dikemukakan penilaian, seperti kritik induktif. Kritik induktif ini memandang tiap karya sastra itu mempunyai struktur norma sendiri, tidak ada saling hubungan dan persamaannya dengan karya sastra lainnya, maka tak boleh orang membandingkan dengan karya lain dalam hal memberi nilai.

Paham absolutisme adalah paham penilaian karya sastra didasarkan pada paham-paham, politik, moral, ataupun ukuran-ukuran tertentu. Penilaian ini tidak didasarkan pada hakikat sastra sendiri. Dengan didasarkan pada hal-hal mutlak itu, penilaiannya bersifat statistik dan dogmatik. Rene Wellek (1976:43) memberi contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra berdasarkan paham absolutisme ini diantaranya kaum komunis, humanis baru, marxis, dan Neo Thomis. Di Indonesia pada jaman pra-Gestapu, Lekralah yang berpaham bahwa politik adalah panglima itu adalah paham absolutisme.

Paham perspektivisme adalah paham penilaian yang meilai karya sastra dari berbagai perspektif, tempat dan waktu; menilai karya sastra dari berbagai sudut pandangan, yaitu menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan pada masa-masa berikutnya. Karya sastra itu bersifat abadi dan historis. Abadi dalam arti memelihara suatu ciri, misalnya, karya sastra lama mestilah memelihara ciri-ciri sastra lama. Historis berarti karya sastra itu telah melampaui suatu proses yang dapat dirunut atau dicari jejaknya. Penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibanding-bandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan dalam penilaiannya. Karya sastra itu strukturnya dinamis melalui para penafsirnya sepanjang zaman, dalam arti berubah-ubah menurut tanggapan para penafsir. Nilai tumbuh dari proses sejarah penilaian (Wellek, 1976:43). Rene Wellek mengemukakan hendaknya orang memilih perspektivisme ini untuk menilai karya sastra, yaitu menerangkan nilai pada waktu terbitnya dan juga nilainya pada waktu-waktu berikutnya sampai sekarang.

6.     Penilaian karya sastra

Apakah yang harus dinilai kalau orang mengkritik karya sastra? Karya sastra terjalin dari bahan-bahan dan “bentuk”nya. Maka penilaian dikenakan kepada semua unsur pembentuk (penyusun) karya sastra tersebut sebagai suatu kesatuan dan keseluruhan. Penilaian itu menggunakan kriteria estetik dan ekstra estetik bersama-sama. Kriteria estetik dikenakan pada struktur estetik karya sastra. Karya sastra itu obyek estetik yang dapat menimbulkan pengalaman estetik (Wellek, 1976:241). Kriteria ekstra estetik dikenakan pada “bahan-bahan” karya sastra, yaitu kata-kata dan tingkah laku manusia yang dikemukakan, serta gagasan-gagasan (idea), dan sikap-sikap manusia. Semuanya itu, termasuk bahasa, berada di luar karya sastra, tetapi dalam sebuah puisi atau novel yang berhasil baha-bahan tersebut terjalin dalam hubungan-hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan estetik (Wellek. 1976:241).

Struktur estetika itu semua “usaha” yang tersusun untuk mendapatkan nilai estetik (seni) karya sastra, seperti pemilihan kata yang tepat, kombinasi kata (kalimat) yang menimbulkan efek puitis, juga penyusunan alur (plot), konflik-konflik, humor, dan sebagainya, yang kesemuanya untuk mendapatkan efek estetik. Termasuk juga dalam kriteria estetik ini ialah kebaruan, dan kemampuan untuk membuat orang terpesonanatau kekaguman (Wellek, 1976:242). Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu karya imaginatif, karya yang menghendak adanya daya cipta (kreativitas).

Sebuah karya yang bernilai itu dikatakan indah. Pengertian indah ini menurut Bosanquet (via Wellek, 1976:243-4) dibedakan antara “keindahan mudah” (easy beauty) dan “keindahan sukar” (difficult beauty). Keindahan mudah dicapai dengan bahan-bahan yang mudah dikerjakan (kemerduan, citra-citra visual yang menyenangkan, “pokok yang puitik”). Keindahan sukar diperas dari bahan-bahan yang sebagai material adalah berlawanan : kesakitan, kejelekan, didaktif. Keindahan sukar itu membuat estetik hal-hal yang tampaknya tidak estetik. Keindahan sukar disebut juga yang sublim.

Kriteria ekstra estetik meliputi keagungan (greatness). Karya seni disebut besar (agung) bila dapat mengekspresikan nilai-nilai kehidupan yang besar (Wellek, 1976:244). Hal tersebut meliputi di antaranya pikiran-pikiran yang tinggi/cemerlang, perwatakan yang kompleks, cerita yang hebat, dan gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan (kontemplasi).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra yang bernilai sastra adalah karya yang indah, mengandung kreativitas, yang memuat pikiran-pikiran tinggi, dan gambaran-gambaran kehidupan yang mempesonakan.

7.     Jenis-jenis kritik sastra

Kritik sastra ada bermacam-macam, dapat digolongkan menurut jenis bentuknya, pelaksanaan, atau praktik kritik, dan menurut dasar pendekatan kritik sastra terhadap karya sastra.

A.    Berdasarkan bentuknya

1.      Kritik Sastra Teoritis (Theoritical Criticism)

Yaitu bidang kritik sastra yang berusaha (bekerja) untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah yang tali-temali, pembedaan-pembedaan, dan kategori-kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya-karya sastra ataupun penerapan “kriteria” (standar-standar atau norma-norma) yang dengan hal-hal tersebut karya-karya sastra dan para pengarangnya dinilai.

2.      Kritik Terapan (Practical Criticism atau Applied Criticism)

Yaitu diskusi karya-karya sastra tertentu dan penulis-penulisnya. Kritik praktik berupa penerapan teori-teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implisit berdasarkan keperluannya. 

B.     Berdasarkan metode

1.      Kritik Induktif

Kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomenanya yang ada secara objektif.

2.      Kritik Judisial

Kritik sastra yang berusaha menerangkan dan menganalisa efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, dan gayanya, dan mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra.

Hudson menunjukkan ada tiga perbedaan pokok antara kedua macam kritik itu, yaitu pertama, kritik judisial mengakui adanya perbedaan tingkat antara karya-karya sastra yang disebabkan susunan norma-normanya berbeda, sedangkan kritik induktif tak mengakui adanya perbedaan tingkat antara karya-karya sastra, yang ada hanya perbedaan jenis.

Kedua, kritik judisial mengakui adanya hukum sastra yang diletakkan di luar dirinya dari belum ada sebelumnya. Hukum-hukum tersebut mengikat para sastrawan dalam menciptakan karya sastranya, sedangkan kritik induktif tak mengakui adanya hukum  yang dibuat manusia untuk  “menghakimi” karya sastra. Hukum atau norma-norma sastra seperti itu sama halnya dengan hukum alam sudah ada pada karya sastra sendiri, yang berupa pernyataan umum dari susunan yang secara nyata diselidiki di antara fenomena-fenomena sastra. Ketiga, kritik judisial bersandar pada standar-standar yang tetap, yang dipergunakan untuk “menghakimi” karya sastra. Kritik induktif tidak mengakui adanya standar tersebut. kritikus induktif meneliti karya sastra seperti halnya ahli ilmu alam meneliti alam-alam secara obyektif, tanpa menggunakan standar-standar yang tetap yang berasal dari luar dirinya.

3.      Kritik Impresionistik

Kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata menggambarkan sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra, dan mengkespresikan tanggapan-tanggapan (impresi kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut) (Abrams, 1981 : 35). Kritik impresionistik disebut juga sebagai kritik yang estetik (Ellot, 1960:3-4)

C.     Berdasarkan Pendekatannya

1.      Kritik Mimetik

Kritik Mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, cerminan, atau representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan ataupun hendaknya digambarkan.

2.      Kritik Pragmatik

Kritik Pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun pendidikan). Kritik ini cenderung menimbang nilai berdasarkan berhasilnya mencapai tujuan.

3.      Kritik Ekspresif

Memandang karya sastra sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan, sebagai hasil imajinasi pengarang,  pikiran-pikiran, dan perasaannya. Kritik ini cenderung menimbang karya sastra dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visium atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang.

4.      Kritik Objektif

Kritik Objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, otanam, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya. Kritik ini cenderung menerangkan karya sastra atas kompleksitas, koherensi, keseimbangan,  integritas, dan saling hubungan antar unsur yang membentuk karya sastra.

Dalam kenyataannya sebuah kritik sastra jarang yang hanya mempergunaakan satu pendekatan secara mutlak. Keempat pendekatan itu sering tercampur. Bahkan kritik sastra hendaknya memperhatikan keempat pendekatan tersebut demi kesempurnaan/ketepatannya dalam menimbang karya sastra.

8.                 Penerapan kritik sastra

Di depan telah dikemukakan bahwa kritik berhubungan erat dengan teori dan sejarah sastra. Maka dalam mengkritik karya sastra orang hendaknya memperhatikan sejarah sastra untuk melihat kreativitas karya sastra berdasar kesejatian dan keasliannya, penyimpangan-penyimpangannyanterhadap tradisi (sastra) yang sudah kovensional. Karya seni (sastra) selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, sastra yang lama dan yang baru (Teeuw, 1980:12).

Untuk memberikan penilaian tentang keasliannya, kritikus harus tahu karya-karya yang terdahulu, dalam arti, mengetahui hal-hal yang terdapat dalam karya sastra yang dikritik. Misalnya mengkritik roman atau novel, kritikus harus didasarkan pada hakikat/sifat-sifat (hakikat) roman/novel : Novel adalah karya rekaan (fiksional/imaginatif) seperti dikemukakan Stanton (1965:11) novel itu terdiri dari unsur-unsur : a) tema, b) fakta cerita (tokoh, plot, latar), dan c) sarana-sarana cerita (literary devices).

Di samping itu karya sastra juga merupakan karya kebahasaan, yaitu bahasa sebagai sarana pembeberannya, sebagai sarana pembeberan, hal ini berhubungan erat dengan teknik penceritaan (literary devices) tersebut.

Berdasarkan teori tersebut, maka dalam menganalisis karya sastra dan memberikan penilaian, haruslah hal itu dikenakan kepada unsur-unsur pembentuknya tersebut.

Dengan cara demikian itu, maka kritik sastra akan dapat memberikan penerangan sebaik-baiknya, baik kepada sastrawan, masyarakat pembaca, maupun untuk kepentingan penyusunan ilmu sastra sendiri yang berguna untuk studi sastra.

Daftar pustaka

1.      Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra.

2.      Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Kritik Sastra. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

3.      Pradopo, Rachmat Djoko.1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

4.      Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.