Apa tujuan dibuatnya jalan raya anyer sampai panarukan

Fakta yang belum banyak diketahui masyarakat Indonesia mengenai pembangunan Jalan Anyer-Panarukan, apakah benar kerja paksa atau bukan? Simak penjelasannya!

Nama Daendels atau Herman Willem Daendels, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda tentu sudah sering kita temukan dalam buku sejarah, geng. Ya, nama Daendels yang pernah menjabat sebagai Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dikenal atas prakarsanya membangun jalan raya Anyer-Panarukan.

Tak hanya di buku sejarah, nama Daendels juga pernah trending di Twitter lantaran beredar fakta bahwa pembangunan Jalan Anyer-Panarukan ternyata menyediakan upah untuk para pekerjanya.

Naiknya Daendels sebagai trending topic di Twitter ini bermula dari cuitan @mazzini_gsp yang menjawab salah satu cuitan netizen yang menanyakan kebenaran dari sebuah gambar.

Sumber foto: Twitter.com/@mazzini_gsp

Gambar tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya, pembangunan Jalan Anyer-Panarukan menyediakan upah bagi pekerja, mandor, dan bahkan sampai konsumsi pekerja! Sayangnya, data penyerahan dana dari bupati ke pekerja belum pernah ditemukan.

Menjawab cuitan itu Mazzini mengiyakan bahwa Daendels menyediakan uang senilai 30 ribu ringgit sebagai gaji dan konsumsi. Namun, ketika uang ini diberikan kepada bupati, uang tersebut tidak pernah sampai ke pekerja.

Dari sini munculah berbagai asumsi netizen yang menganggap kalau penyebab munculnya istilah 'kerja paksa' lantaran bupati pribumi yang justru tidak menyerahkan upah kepada pekerja. Seperti apa fakta yang sebenarnya?

Tujuan Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan

Berdasarkan penjelasan Pramoedya Ananta Toer, penulis "Bumi Manusia", sebelum adanya jalan Anyer-Panarukan, sistem yang berlaku di Priangan (Jawa Barat) dikenal sebagai koffie-stelsel atau tanam wajib kopi dan diwajibkan untuk menjualnya kepada Belanda.

Sehingga untuk melancarkan sistem itu, dimulailah pembangunan jalan ini yang bertujuan untuk melancarkan kepentingan ekonomi dan militer.

ADVERTISEMENT

Pramoedya pun menjelaskan fakta pahit dari momen paling bersejarah itu, setidaknya 12.000 orang tewas selama pengerjaan Jalan Raya Pos tersebut. Hal ini dikarenakan belum adanya teknologi dinamit untuk membelah gunung, sehingga tenaga manusia terpaksa digunakan dan mengakibatkan banyak korban.

Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan Bersistem Kerja Rodi

Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan yang kurang lebih sepanjang 1.000 km itu, diperuntukkan sebagai Jalan Raya Pos di masa Hindia Belanda yang dikerjakan dalam waktu satu tahun.

Pembangunan ini dilakukan atas perintah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda waktu itu, Herman Willem Daendels (1808-1811) yang bersistemkan kerja rodi (kerja wajib) atau heerendiensten.

Sistem tersebut yang kemudian, dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah, dikenal sebagai kerja paksa (tanpa upah).

Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono menjelaskan pada tahap pertama pembangunan, dari Bogor ke Cirebon, pemerintah kolonial menyiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum.

"Untuk membangun jalan dari Cisarua, Bogor, sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000 ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar," terang Djoko.

Dalam penelusuran Djoko, pembayaran dari residen ke bupati pribumi memiliki catatan dokumennya. Namun, pembayaran dari bupati ke pekerja ini yang justru belum ditemukan buktinya. Sehingga menjadi pertanyaan apakah bupati membayarkan upah ini ke pekerja?

Persoalan itu didukung dengan masalah pembangunan yang mulai memasuki wilayah Jawa Tengah menuju Jawa Timur tepatnya di Karangsembung. Dana yang digunakan sudah mulai habis untuk membayar pekerja dan perawatan jalan.

Mengakali hal tersebut, Daendels melakukan pertemuan dengan seluruh penguasa pribumi dan bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur di rumah Residen Semarang.

Daendels meminta kepada mereka agar menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja.

Sebagai informasi, prinsip kerja wajib itu dibuat lantaran penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti kepada raja. Prinsip ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar mengerahkan penduduknya untuk bekerja.

Dari situ, atas kesediaan para bupati, rakyat dikenakan wajib kerja oleh para bupati tersebut untuk melanjutkan proyek penggarapan Jalan Raya Pos ini.

Sehingga bisa dikatakan, bahwa lahirnya istilah 'kerja paksa' dan ribuan korban tewas dalam pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan adalah hasil dari misi kolonialisme Pemerintahan Hindia Belanda ditambah feodalisme korup para pejabat pribumi di waktu itu.

Fakta yang cukup menyedihkan bukan? Seharusnya fakta ini diikutkan dalam pelajaran sejarah agar kita bisa belajar dari kesalahan sendiri.

Baca juga artikel seputar Sejarah atau artikel menarik lainnya dari Ilham Fariq Maulana.

ARTIKEL TERKAIT

8 Gorila di Kebun Binatang Ternyata Positif COVID-19, Kok Bisa?

WHO: Pandemi COVID-19 di 2021 Bisa Lebih Buruk dari 2020

Vaksin COVID-19 Bisa Memperbesar Penis, Hoaks atau Bukan?

Lukisan Goa Tertua di Dunia Ditemukan di Indonesia, Begini Penampakannya!

undefined

Jalan Anyer-Panarukan membentang dari ujung barat (Banten) sampai ujung timur (Jawa Timur) Pulau Jawa. Jalan ini dianggap sebagai salah satu jalur penting di negara ini. Namun, keberadaannya meninggalkan sejarah kelam penderitaan rakyat Indonesia pada era kolonial.

Dalam buku Napak Tilas Jalan Daendels karya Angga Indrawan (2017), pembangunan De Groote Postweg (jalan raya pos) Anyer-Panarukan ini disebut sebagai salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendels, menyebut jalan seribu kilometer ini merupakan hamparan kuburan pekerja yang tewas di sepanjang jalan tersebut.

Belasan ribu pekerja tewas kelelahan dan beberapa terserang penyakit malaria karena kondisi Pulau Jawa saat itu penuh rawa dan hutan belantara. Selain itu, mereka juga dipaksa bekerja rodi tanpa upah.

Kejadian kelam tersebut menjadi bukti kolonialisme yang terjadi di Pulau Jawa. Proyek ini sendiri dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 Herman Willem Daendels pada 1808.

Jalan tersebut dibangun sebagai langkah Hindia Belanda untuk menjaga Pulau Jawa dari serangan Inggris. Kemudian, jalan ini juga sering digunakan untuk distribusi surat- menyurat, sehingga dikenal luas sebagai Jalan Raya Pos.

Advertising

Advertising

Kini, jalur pesisir utara yang menghubungkan antar wilayah di Pulau Jawa tersebut masih berfungsi penting, khususnya sebagai jalur mudik dan distribusi barang serta jasa.

Tujuan Daendels Bangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan

Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan disebut erat berkaitan dengan kepentingan militer Daendels. Secara teoritis, keberadaan jalan ini dapat mempersingkat pergerakan tentara dari ujung barat hingga timur Pulau Jawa, apabila Inggris menyerang.

Sementara, masih dalam buku Napak Tilas Jalan Daendels, menurut Sejarawan Universitas Indonesia Djoko Marihandono, pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya militer.

Djoko mengungkapkan, Daendels mengeluarkan keputusan tujuan jalan tersebut dibangun atas dua kepentingan. Pertama, membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan. Kedua, untuk kepentingan militer.

“Tapi, dia mendahulukan kepentingan pertama karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial,” ujar Djoko. Namun, jalan dari Batavia hanya sampai Cisarua. Dari Cisarua pun hanya jalan kecil, banyak belokan, dan sebagainya.

Selain untuk mempertahankan Jawa, Daendels juga harus mendanai pemerintahannya. Komoditas andalannya adalah kopi yang ditanam di Priangan.

Sosok Daendels, Pencetus Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan

Herman Willem Daendels, merupakan Gubernur Hindia Belanda ke-36, saat itu, jabatan tersebut setara dengan jabatan presiden saat ini. Ia menjabat selama tiga tahun, pada 1808 hingga 1811.

Anak dari Burchard Johan Daendels dan Josina Christina Tulleken ini pernah menimba ilmu di Universitas Harderwijk, Belanda dan memperoleh gelar doktor pada 10 april 1783.

Kemudian, ia melanjutkan kariernya sebagai seorang politikus Belanda. Daendels pertama kali tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Atas rekomendasi Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, ia ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa. Belanda kala itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Prancis. 

Dari Mana Inspirasi Daendels?

Saat pertama kali menjabat sebagai gubernur, ada dua tugas yang diembannya. Keduanya adalah melindungi Pulau Jawa dari serangan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahan.

Ketika itu, menurut dia, Jawa adalah satu-satunya daerah yang masih bisa dipertahankan. Titah tersebut yang menginspirasi Daendels membangun jalan yang membentang luas di Pulau Jawa.

Daendels menyoroti minimnya infrastruktur khususnya jalan untuk pergerakan tentara. Ia membandingkan kerusakan infrastruktur jalan di Jawa dengan kokohnya infrastruktur di jalan Paris-Amsterdam.

Hal tersebut menginspirasi Daendels untuk memperbaiki jalan di Jawa. Ia lalu mengumpulkan 38 pejabat daerah setingkat bupati di Pulau Jawa, untuk bersama melakukan pembenahan jalan dengan sistem kerja upah.

Apa Pencapaian Setelah Jalan Dibangun?

Setelah pembangunan jalan Anyer-Panarukan selesai, perjalanan dapat ditempuh lebih cepat dan tanpa kesulitan. “Sejak dapat dipergunakan pada 1809, (jalan tersebut) telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Kemudian, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809. Isinya terkait aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan.

Peraturan kedua, keluar pada 16 Mei 1810, tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga, pada 21 November 1810, tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya.

Kendati tujuan awalnya terutama untuk kepentingan ekonomi, jalan ini kemudian digunakan untuk distribusi surat menyurat. Daendels kemudian membentuk Dinas Pos pada 3 Agustus 1808.

Dinas Pos berada di bawah Komisaris Urusan Jalan Raya dan Pos yang dipimpin oleh Van Breeuchem. Tugasnya mengoordinasikan pelayanan komunikasi dalam bentuk pengiriman paket pos dan bertanggungjawab atas perbaikan dan perawatan jalan, serta fasilitas yang berkaitan dengan pos. 

Perusahaan kemudian mengangkat petugas administratif dibantu petugas pribumi. Dinas Pos dibagi ke dalam empat distrik sekaligus sebagai kantor pos besar: Banten, Batavia, Semarang dan Surabaya. Kantor pos besar tersebut menampung paket dan surat dari sekitar 47 kantor pos lokal.

Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (Magang)