Apa yang dimaksud dengan miskin

Ilustrasi Perbedaan Fakir dan Miskin Foto: Unsplash

Fakir dan miskin merupakan dua golongan yang berhak menerima zakat fitrah. Kewajiban memberikan zakat fitrah dimuat dengan jelas dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas oaring muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri,” (HR Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan informasi dari buku Manajemen Zakat: Histori, Konsepsi, dan Implementasi karangan Rahmad Hakim (2020), al-Mawardi mengatakan bahwa fakir miskin harus diberikan zakat hingga berada pada posisi kaya terendah. Adapun jumlah pemberian zakat disesuaikan dengan kondisi dan kompetensi muzakki.

Berbicara soal fakir miskin, kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki perbedaan. Namun, sebelum membahas perbedaannya, ada baiknya Anda menyimak pengertian fakir dan miskin melalui artikel berikut.

Ilustrasi Perbedaan Fakir dan Miskin Foto: Unsplash

Pengertian Fakir dan Miskin

Kata fakir atau faqir berasal dari kata faqrun yang artinya hal yang lepas dari sesuatu atau yang patah tulang punggungnya. Dengan kata lain, fakir mengandung makna seseorang yang patah tulang punggungnya karena tergelincir dari kehinaan dan kemiskinan.

Maswan Abdullah dalam buku Obat Anti Susah: Ibadah-ibadah Terbaik saat Engkau Diuji Kesusahan dan Kesulitan, Imam Abu Hanifah mengartikan fakir sebagai orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Kemudian, mayoritas ulama mendefinisikan fakir sebagai orang-orang yang tidak memiliki mempunyai harta untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan lainnya untuk diri sendiri, keluarga, ataupun orang lain.

Sementara itu, miskin berasal dari kata as-sakan yang berarti orang yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya. Miskin juga bisa diartikan sebagai seseorang yang memiliki pekerjaan, namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ilustrasi Perbedaan Fakir dan Miskin Foto: Unsplash

Perbedaan Fakir dan Miskin

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa fakir lebih membutuhkan dibanding orang miskin. Sebab, fakir tidak memiliki pekerjaan dan harta apa pun. Sedangkan orang miskin masih memiliki pekerjaan, namun tidak bisa mencukupi kebutuhan.

Pernyataan ini diperkuatan dengan surat Al-Kahfi ayat 79, di mana Allah SWT berfirman:

"Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera."

Pengertian fakir juga dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’ dalam tafsirnya, yaitu:

"Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai."

Jakarta, 12 September 2013
Definisi Miskin dan Kemiskinan yang Tidak Mengakar
Apa yang dimaksud dengan miskin
Oleh:
Anita Patunru   Pemerhati Pemberdayaan/Relawan PNPM Mandiri Perkotaan 

Provinsi DKI Jakarta

Beberapa tulisan dari para pemerhati dan praktisi program penanggulangan kemiskinan yang saya baca, mengawali paparannya dengan paragraf yang mengandung frase “memerangi kemiskinan”. Ehem, sudah berapa lama program-program penanggulangan dan peperangan kemiskinan dijalankan? Apakah angka kemiskinan berkurang secara signifikan, atau bahkan bertambah? Mungkin kita perlu berpikir ulang.

Dari berbagai definisi kemiskinan yang pernah saya baca, hampir semuanya menitikberatkan kemiskinan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Baik itu ketidakmampuan individual, keluarga, struktural akibat faktor sosial-budaya suatu komunitas lokal, atau agensi. Yaitu, akibat dari aksi orang/pihak lain, termasuk perang, bencana atau korupsi.

Yang bisa dituliskan kembali di sini adalah, antara lain, pertama, kemiskinan artinya ketidakmampuan memenuhi hak-hak dasar dan terjadinya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan yang bermartabat (TNP2K, Penanggulangan Kemiskinan, Situasi Terkini, Target Pemerintah, dan Program Percepatan, 2010)

Kedua, kemiskinan artinya tidak terpenuhinya hak-hak dasar: pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dlm kehidupan sosial, politik, bagi perempuan maupun laki-laki (HDI, HPI, UNDP, Amartya Sen, Human Scale Development).

Ketiga, miskin artinya berada di bawah garis kemiskinan, yaitu tingkat konsumsi dan pengeluaran non-makanan Rp232,989 per kapita per bln per kota; Rp192,3 per kapita per bln per desa (Bank Dunia, PPP USD 1,25 per hari, Pemerintah Indonesia).

Apakah definisi-definisi ini sudah menggambarkan esensi kemiskinan itu secara mendasar dan mengakar? Mungkin iya, ada yang mengakar—akar gantung, belum merupakan akar serabut, apalagi tunggang.

Lantas, saya kembali berpikir, apa iya, definisi miskin dan kemiskinan yang dibuat dunia sekarang bisa ditanggulangi, ditangani, dikurangi dan mencapai apa yang dicita-citakan sebagai zero poverty? Mengapa memberi kesan yang sangat anti-kemiskinan? Dan mengapa kemiskinan justru menjadi komoditi politik? Jadi sarana bagi si kaya yang murah hati untuk menambah ketenaran dan semakin kaya? Jadi program yang banyak menyerap anggaran negara dan daerah yang mudah diselewengkan? Jangan-jangan kebanyakan kita malah menikmati “kemiskinan” mereka yang tetap berada di tingkat kesadaran rendah.  

Permasalahan ditambah dengan adanya indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), yang salah satu parameter indikatornya adalah “penghitungan daya beli” atau Purchasing Power Parity (PPP) terhadap 12 bahan pokok untuk dikonsumsi.

Jadi, pembangunan manusia diukur karena konsumerisme-nya? Bukan produktivitasnya? Padahal, bahan pokok itu, sebagian bisa diupayakan sendiri di setiap rumah tangga jika kita manusia atau masyarakat yang bersyukur. Misalnya, sayuran yang ditanam di pekarangan atau di pot. Telur dengan beternak ayam—teringat masa kecil saya. Bahkan, ikan air tawar bisa dibudidayakan oleh keluarga atau komunitas kecil. Para environmentalis menyebutnya “ketahanan pangan skala rumah tangga” atau “ketahanan pangan skala komunitas”.

Refleksi Diri sebagai Manusia yang Berkembang

Mencoba memahami hal ini secara internal dengan panduan diri, Al Quran—Al Quran tidak harus selalu dihubungkan dengan agama Islam, karena kitab ini adalah petunjuk universal bagi siapa saja. Ada Tony Blair, mantan PM Britania Raya yang non-muslim, namun setiap hari membacanya. Dan, kehidupan para nabi dan rasul yang di alam bawah sadar saya sudah terpatri, karena seringnya dikisahkan oleh nenek tercinta di masa kecil. Bahwa pada umumnya nabi, rasul dan keluarganya hidup prihatin. Muhammad biasa lapar karena dapur tidak berasap. Bahkan, Yesus dilahirkan di kandang ternak, dan dunia sekarang menyebut keadaan itu sebagai “miskin”. Hanya Nabi Sulaiman saja yang sepanjang hidupnya bisa disebut kaya-raya (dalam pemahaman duniawi). Namun, inilah ujian terbesarnya, bahwa beliau siap setiap saat untuk kehilangan semua kerajaan dan kekayaannya.

Bukankah hidup prihatin, atau lebih tepatnya disebut hidup sederhana, atau hidup pas-pasan dicontohkan dan diteladankan oleh pada umumnya nabi dan rasul? Namun, dengan standar hidup ini, mereka bisa berbuat banyak untuk membantu membangun kesadaran diri masyarakatnya, dan tidak harus selalu secara materi kebendaan. Para nabi dan rasul ini bukanlah orang-orang yang miskin dengan kondisi yang perlu ditanggulangi atau ditangani.

Dalam taoisme, ada dua perubahan besar yang timbul dalam kehidupan individu yang mencapai kekuatan pribadi. Yaitu, peningkatan kebebasan intelektual dan kebutuhan akan kesederhanaan. Tidak usah jauh-jauh, saya menemukan sosok ini di suatu kampung kota. Dari seorang warga, komunitas lokal, aktivis PNPM Mandiri Perkotaan, di BKM Jatipulo Mandiri. Beliau hidup sederhana, bisa dibilang pas-pasan, menafkahi keluarga dan bisa menyediakan waktu untuk membimbing ibu-ibu dan anak-anak membaca Al Quran dan membimbing remaja mushala membuat karya kerajinan dari bahan daur ulang. Kehadirannya menyenangkan bagi banyak orang, termasuk bagi kedua anak tirinya yang kembali menemukan figur ayah yang baik.

Konsep Syukur

Kata miskin biasanya disandingkan dengan kata fakir. Kata “miskin” berasal dari akar kata sin – ka - nun, yang berarti orang yang kekurangan materi. Namun, dengan akar kata yang sama terbentuk kata sakinah, yang artinya tentram, damai dan harmoni. Kata “fakir” berasal dari akar kata fa – ka - ra, artinya orang yang kurang berpikir, terpeleset menjadi “kafir”, yang artinya tertutup pikirannya atau salah berpikir, akibatnya menjadi kufur nikmat, alias tidak bersyukur.

Konsep syukur yang terpadu dan menyeluruh digambarkan dalam Al Quran, yaitu menggunakan penglihatan, pendengaran, akal pikiran dan hati nurani secara haq (benar, ilahiyah), disebutkan secara ironis dalam Surat Al - A’raff : ayat 179 sebagai berikut.

َلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Artinya:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Atau dalam terjemahan Holy Qur’an oleh Abdullah Yusuf Ali, many are the jinns and men we have made for hell: They have hearts wherewith they understand not, eyes wherewith they see not, and ears wherewith they hear not. They are like cattle,- nay more misguided: for they are heedless (of warning).

Karena tidak bersyukur, manusia bukan saja tidak punya kemampuan, tapi lebih tepat disebut tidak punya kemauan untuk hidup tentram, damai dan harmoni. Tentram, kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan spiritual dan makna hidup sebagai bagian dari Sang Keberadaan. Damai, kaitannya dengan kenyamanan hidup emosional, dalam berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain. Harmoni, kaitannya dengan cara menjalani hidup yang serasi dengan lingkungan dan semesta alam. Pemenuhan kebutuhan dasar materi kebendaan secukupnya adalah efek samping dari kemauan tersebut.

Karena tidak bersyukur, manusia jadi tidak tahu diri, tapi lebih mementingkan diri sendiri. Karena tidak bersyukur, manusia jadi lebih mendominasi orang lain, tapi tidak peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya. Karena tidak bersyukur, manusia bisa pintar menasehati, mengajari bahkan menakut-nakuti orang lain dengan dosa dan siksaan neraka, tapi tidak meneladani amal saleh. Karena tidak bersyukur, manusia bisa jadi ahli teknologi, tapi mengeksploitasi dan mencemari alam. Karena tidak bersyukur, manusia bisa jadi punya jabatan, tapi melakukan korupsi. Bahkan, jika ditelusuri bencana alam pun, yang dituding sebagai salah satu penyebab kemiskinan, disebabkan oleh manusia-manusia yang tidak bersyukur.

Jadi, ada benarnya juga Ibu Wardah Hafidz (UP-Link) yang mengatakan bahwa akar kemiskinan adalah eksploitasi, dominasi dan penindasan. Dan, ini semua dilakukan oleh individu-individu yang tidak mampu bersyukur.

Berangkat dari akar tunggang ini, saya merekomendasikan agar dalam pembangunan manusia dan pemberdayaan masyarakat perlu diawali dan didasari tahap “pengenalan diri” yang dilakukan dalam pendidikan formal, maupun pendidikan informal dalam program pembangunan apapun, termasuk dan terlebih dalam program pemberdayaan masyarakat. Pada dasarnya, semua agama dan semua kitab suci mengajarkan hal ini, tapi mengapa kebanyakan kita tidak kenal diri?

Padahal mengenal diri adalah perintah pertama yang turun, “iqra’ kitaabaka”, bacalah kitab dirimu. Dengan mengenal diri, kita bisa memfungsikan diri secara benar, memfungsikan penglihatan, pendengaran, akal pikiran dan hati nurani secara haq. Dengan mengenal diri, kita bisa berlatih bersyukur dan kemudian bisa menjalani hidup dengan kesyukuran. Membangun manusia seutuhnya dengan nilai-nilai competence, compassion dan conscience.

Kepemimpinan Partisipatif pada LKM

Dari berbagai program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang saya amati, baik yang diinisiasi oleh pemerintah, LSM ataupun dunia usaha, adalah PNPM Mandiri, khususnya PNPM Mandiri Perkotaan, yang rasa saya cukup mendekati ideal—mungkin ini lebih merupakan persepsi subyektif saya. Namun, ada alasan kuat dan mendasari rasio yang saya rasakan ini. Bahwa ada siklus pembelajaran dimana beberapa warga berkomitmen membentuk suatu lembaga kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar dan kondusif bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang, bersifat participative leadership. Lembaga ini bisa diandalkan membangun kemandirian komunitas dengan kegiatan-kegiatan yang partisipatif dan inklusif, bertolak dari refleksi kemiskinan yang diutarakan oleh setiap warga yang berpartisipasi.

Lembaga ini disebut Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM), berorientasi moral dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, yakni terutama keikhlasan, keadilan dan kejujuran. Hal ini sudah merupakan permulaan yang baik untuk membangun jalan hidup dengan kesyukuran. Bahkan program ini punya potensi mengubah indikator IPM, dari manusia konsumtif menjadi manusia yang produktif secara kolektif, misalnya dengan kegiatan dan program-program berbasis komunitas, antara lain, community-based farming, community-based waste management, community-based food and nutrition programmes, community-based housing development, dan lain-lain. [PL-DKI]

Editor: Nina Firstavina

(dibaca 6776)


Page 2

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 3

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 4

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 5

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 6

Total pengunjung hari ini: 44, akses halaman: 55,
pengunjung online: 61, waktu akses: 0,015 detik.

Apa yang dimaksud dengan miskin
Apa yang dimaksud dengan miskin
Apa yang dimaksud dengan miskin