Apa yang menyebabkan BPSK sulit untuk melaksanakan kekuasaan eksekutorial?

Perkembangan Indonesia dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi dewasa ini sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa memberikan variasi terhadap produk barang / jasa yang dapat dikonsumsi oleh konsumen sesuai dengan kemauannya, sehingga pelaku usaha bersaing untuk dapat mempengaruhi masyarakat konsumen. Persaingan diantara pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya membawa perilaku untuk persaingan secara tidak sehat untuk memproduksi barang / jasa kualitas rendah dengan harga murah sehingga dapat dikonsumsi oleh mayoritas konsumen. Putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekuatan eksekutorial namun berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK, Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Dengan kata lain Putusan BPSK memiliki kekuatan Eksekutorial, namun pelaksanaan eksekusinya dilakukan oleh pengadilan negeri karena hanya pengadilanlah yang memiliki kewenangan melakukan eksekusi. Jadi secara kelembagaan BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan Eksekusi karena BPSK bukan lembaga peradilan. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menganalisis dan menulis karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “ Kekuatan Hukum Eksekutorial Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Perlindungan Konsumen Ditinjau Dari Undang – Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Kekuatan eksekutorial putusan badan penyelesaian sengketa konsumen harus diatur dengan tegas dan jelas dalam aturan Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen agar eksekusi dan kekuatan hukum terhadap Putusan Majelis BPSK tidak berbelit dan membutuhkan waktu yang lama sehingga esensi untuk perlindungan konsumen tidak tercapai. Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah, terhadap Putusan arbitrase lembaga BPSK harus ada ketegasan dalam pencantuman irah – irah “ Demi Keadilan berdasarkan ketuhanan yang masa esa”. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 54 ayat 1 Undang – Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang mengharuskan putusan arbitrase memuat kepala putusan atau irah – irah. Undang – Undang Perlindungan Konsumen seharusnya tunduk dan patuh terhadap Undang – Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, terkhusus dalam penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Dalam mengajukan penetapan eksekusi pada Pasal 57 UUPK memiliki konsekuensi penolakan penetapan eksekusi oleh pengadilan negeri. Pengadilan Negeri menolak penetapan eksekusi yang dimintakan oleh konsumen terkait dengan penetapan eksekutorial putusan BPSK sehingga konsumen kembali dirugikan terhadap hak – hak konsumen. Saran dalam penyusunan skripsi ini adalah kepada pemerintah untuk merevisi Undang - Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan memberikan ketegasan dalam putusan majelis BPSK dengan memberikan irah – irah pada kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk memberikan kepastian hukum terhadap putusan tersebut. serta Undang – Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus tunduk dan sesuai dengan Undang – Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait dengan proses penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. menegakkan keadilan terhadap perlindungan konsumen pemerintah mengeluarkan regulasi aturan yang jelas mengenai kekuatan hukum terhadap putusan yang dihasilkan oleh lembaga BPSK agar nantinya putusan yang dimintakan penetapan kepada pengadilan negeri meminimalisir konsekuensi penolakan penetapan oleh Pengadilan negeri dan dari pihak konsumen juga harus lebih selektif dan juga mandiri dalam menentukan penggunaan barang dan/atau jasa guna melindungi hak – hak konsumen.