Apakah Alquran sesuai dengan perkembangan zaman

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol. 2 No. 1 (2016) /
  4. Articles

https://doi.org/10.32459/nun.v2i1.1
mekanisme interpretasi baru, humanis, interdisipliner, kontekstual
Umat Islam dari generasi manapun selalu dihadapkan pada pertanyaan seputar makna Alquran. Jarak antara realitas yang terus berubah dan berkembang, dan teks yang diturunkan pada abad awal ke-7 di Jazirah Arab menjadi perhatian utama para pemikir Muslim dan ulama. Menafsirkan Alquran di era di mana kebebasan manusia mendapat apresiasi yang tinggi, sarjana Muslim modern dituntut untuk menemukan mekanisme interpretasi baru yang mampu menghadirkan pemahaman kegamaan yang tidak selalu ‘dogmatik’, namun juga dinamis, peka zaman dan pada level tertentu juga ‘humanis’. Artikel ini berargumen bahwa membaca kitab suci di era modern akan lebih kaya dan bermakna dengan mengadopsi pendekatan interdisipliner, yaitu dengan mengadopsi temuan-temuan studi sejarah, sosiologi agama, hubungan lintas budaya, termasuk kritik tradisi (riwayat). Hal ini didasari akan pemahaman tentang perlunya menghadirkan makna dan signifikansi pesan kitab suci yang merespon nilai dan cara berpikir umat Islam pada zaman
yang berbeda dari generasi Muslim pertama.

Al-Qur'an kerap dibenturkan dengan problematika zaman sekarang.

Abadi, terjaga, dan tidak dapat dirubah merupakan nilai absolut dari kemukjizatan Al-Qur’an. Tetapi akan muncul pertanyaan terkait konsekuensi dari kemukjizatan tersebut, terutama relevansinya terhadap zaman. Karena memang dunia ini terus berputar dan zaman terus berkembang. Maka dipastikan banyak peristiwa dan permasalahan baru yang muncul. Sedangkan Al-Qur’an yang dijadikan sebagai rujukan itu masih dalam bahasa yang sudah berabad-abad lamanya. Lalu kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan, apakah Al-Qur’an masih relevan dengan berbagai problematika zaman sekarang?

Bermula dari "iqro", yang artinya "Baca, Membaca". Peristiwa ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad di Gua Hiro. Tetapi dalam riwayat tidak dijelaskan di sana ada yang tertulis. Tak ada huruf, infografis atau teks aksara. Kenyataannya memang Muhammad sebagai penerima tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi hal itulah yang menjadikan Al-Qur’an abadi dan terjaga di setiap katanya. Karena kitab suci merupakan firman-firman tuhan yang dituangkan dalam bahasa manusia.

Namun yang perlu kita pahami tentang Al-Qur’an adalah, setiap kitab suci memiliki dua dimensi, yaitu ideal immateril (mempresentasikan Tuhan) dan empirik materil (mempresentasikan manusia). Dengan karakteristik tersebut, Al-Qur’an mempersyaratkan adanya kompatibilitas. Maka dari itu, manusia butuh upgrading diri agar kompatibel dengan Al-Qur’an, sehingga dapat menemukan titik terang dalam menyelesaikan atau menghukumi problematika yang ada pada zaman sekarang.

Meski begitu, Al-Qur'an nyatanya tetap relevan hingga melewati puluhan abad.

Para ulama tentunya sudah membicarakan tentang keselarasan Al-Qur’an dengan zaman sekarang yang terus berkembang. Syekh Abdul Halim Mahmud begitu detail ketika membicarakan tentang perkembangan zaman. Beliau mengungkapkan bahwa zaman boleh berkembang tapi islam tidak. Syekh Abdul Halim Mahmud menjelaskan kesalahpahaman terhadap pemaknaan kata "berkembang". Dalam artian, tidak semua kata cocok jika disandingkan dengan kata “berkembang”. Jadi ketika kata berkembang disandingkan dengan islam, maka ada yang perlu dipertanyakan, yaitu apa yang berkembang (dari islam). Karena jika kata tersebut disandingkan dengan islam, ada beberapa konsekuensi terutama berkaitan dengan hukum dan Al-Qur’an sendiri sudah memberikan keputusan final tentang hukum-hukum Islam.

Tetapi di antara para ulama ada yang memberikan konsep pemecahan masalah terhadap hukum-hukum tertentu yang belum pernah terjadi pada masa Al-Qur’an diturunkan, yaitu dengan cara menggunakan kejernihan akal dan ketajaman analisis pemikiran ilmiah untuk memahami dan mengembangkan dari sumber baku yaitu Al-Qur’an dan Sunah, lalu mengkorelasikan sesuai dengan tuntutan dan perubahan zamannya hingga bertemu benang merah masalah tersebut. Para ulama mengistilahkan proses tersebut dengan ijtihad. Hasil ijtihad atas dasar para ulama berupa fatwa, yang bersifat relatif, sementara, dan dhonni (pendapat yang beralasan kuat), bukan merupakan hasil keputusan yang mutlak.

Namun Al-Qur’an tetap menjadi prioritas utama dalam menentukan kebijakan hukum yang terjadi pada masa kini, karena memang ilmu Tuhan dalam Al-Qur’an itu teramat luasnya, seandainya air laut sebagai tintanya yang tak akan cukup untuk menulisnya. Bahkan Syekh Abdullah Sahl Attustariy dalam kitab Mafatihu Tadabbur Al-Qur’an mengungkapkan walaupun seorang hamba diberi seribu pemahaman pada setiap huruf dalam Al-Qur’an maka tidak akan sampai pada puncaknya kepada firman-firman Allah yang tersimpan dalam kitab-Nya, karena firman-firman-Nya adalah sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat-Nya tidak terbatas.

Ijtihad ulama menjadi pemecah masalah relevansi Al-Qur'an terhadap perkembangan zaman.

Jadi tidak ada akhir dalam memahami Al-Qur’an. Karena sebenarnya ilmu Tuhan yang dituang dalam Al-Qur’an memang hanya Tuhan sendiri yang mengetahuinya secara utuh dan umat manusia sepanjang sejarah kehidupannya hanya bisa memahami sebagian dari aspek-aspek ilmu Tuhan sesuai dengan latar belakang budaya yang melingkupi hidupnya dan problematika kehidupan yang ada.

Oleh karena itu, ijtihad berfungsi sebagai sumber dinamika yang menerima perkembangan pemikiran yang menjadikan Al-Qur’an selalu relevan pada setiap zaman. Walaupun hasil ijtihad para ulama bersifat sementara dan relatif, tetap perlu dipegang selama belum ada pendapat yang lebih kuat lagi.

Ditulis oleh: Nizar Nurfadillah, santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur'an angkatan 10 yang sedang menempuh studi Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.

KENDAL – Senyum bahagia terpancar dari wajah sejumlah santri dan santriwati Pondok Pesantren Nurul Quran usai prosesi wisuda Haflah Khotmil Quran ke-14, Kamis (29/8/2019) sore.

Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen pun turut hadir menyaksikan prosesi wisuda serta memberikan apresiasi atas prestasi yang mereka raih.

“Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mempunyai program bahwa siapa saja yang hafal Alquran 30 juz, diwisuda oleh Pak Kiai atau Bu Nyai, maka pemerintah provinsi memberi hadiah. Ini bentuk provinsi ingin bumi Jawa Tengah ini mendapat barokah,” terangnya.

Gus Yasin, sapaan akrab wakil gubernur mengatakan, pondok pesantren tidak hanya mendorong santri untuk rajin membaca dan mempelajari isi Alquran serta menanamkan akhlakul karimah pada diri mereka. Pondok pesantren juga menumbuhkan budaya gotong royong, kebersamaan, dan kesederhanaan pada diri santri. Budaya itulah yang mesti terus dirawat di tengah masyarakat.

Putera ulama kharismatik Alm KH Maimoen Zubair itu berpesan agar para santri terus rajin membaca dan mempelajari Alquran, karena isinya selaras dengan perkembangan zaman. Ketika santri mempelajarinya, jangan hanya dipersepsikan pada zaman nabi, karena tafsir Alquran terus berkembang.

“Jangan pernah berhenti membaca Alquran, meski satu atau dua lembar saja, syukur-syukur bisa lebih. Ulang terus ilmu itulah yang manfaat. Alquran itu selaras dengan perkembangan zaman, tafsirnya terus berkembang. Alquran juga mengarahkan pada masyarakat madani,” pesannya. (Humas Jateng)