Bagaimana cara pemerintah melakukan pengawasan ketaatan kepada WP dalam pemenuhan administrasi perpajakan tersebut?

"Kita nanti bisa saja tidak terlalu berharap dari windfall ini. Kita waspadai. Karena, tidak selamanya penerimaan pajak kita bergantung pada harga komoditas," katanya dalam Podcast Cermati Episode 5, Selasa (11/10/2022).

Nufransa menuturkan kenaikan harga komoditas bukan menjadi alasan tunggal kinerja penerimaan pajak yang positif. Menurutnya, penerimaan yang positif juga dikarenakan tren pemulihan ekonomi, basis penerimaan yang rendah pada 2021, dan implementasi UU 7/2021.

Faktor harga komoditas dan penyelenggaraan PPS memang tidak akan berulang pada 2023. Namun, sambungnya, masih terdapat sejumlah peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga tren positif penerimaan pajak.

Misal, melalui pengawasan atas kepatuhan wajib pajak. DJP telah memiliki berbagai data yang dapat dipakai untuk menguji kepatuhan wajib pajak, baik yang diperoleh dari penyelenggaraan PPS maupun skema pertukaran data dengan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).

"Makin banyak [data] yang kita kumpulkan, akan menjadi makin bagus database-nya dan menjadi suatu pembanding untuk kepatuhan wajib pajak," ujar Nufransa.

Pemerintah, lanjutnya, juga menggunakan teknologi digital untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, baik dari aspek pelayanan kepada wajib pajak maupun dukungan terhadap para pegawai pajak dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pemeriksaan.

Contoh, dalam hal pengawasan, pegawai DJP bakal dibantu dengan kehadiran sistem inti administrasi perpajakan atau coretax administration system ketika melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak dengan profil risiko tinggi.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan pajak akan dilakukan secara hati-hati di tengah ketidakpastian global. Menurutnya, banyak negara tengah menghadapi risiko lonjakan inflasi yang kemudian diikuti dengan pengetatan kebijakan moneter.

"Ini menjadi tantangan kita, bagaimana menerapkan [upaya optimalisasi penerimaan pajak] nanti tanpa mendistorsi perekonomian secara keseluruhan," jelas Nufransa.

Hingga Agustus 2022, realisasi penerimaan pajak sudah mencapai Rp1.171,8 triliun atau 79% dari target yang tertuang dalam Perpres 98/2022 senilai Rp1.485 triliun. Realisasi tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 58,1% ketimbang periode yang sama tahun lalu.

Pada APBN 2023, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.718 triliun atau tumbuh 6,8% dari outlook penerimaan pajak 2022 sejumlah Rp1.608,1 triliun. Simak juga, Target Penerimaan Perpajakan 2023 Dipasang Moderat, Begini Kata BKF. (rig)

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting bagi penerimaan negara. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 

Pada kenyataannya jumlah realisasi penerimaan pajak yang diperoleh selalu lebih rendah dari penerimaan pajak yang telah ditargetkan. Salah satu jenis pajak yang dipungut oleh negara adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PPN adalah jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh pihak lain Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). 

Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut.  

PPN termasuk jenis pajak yang penting karena jangkauannya lebih luas dari pajak-pajak yang lainnya. Jangkauan PPN meliputi seluruh masyarakat dari berbagai lapisan yang membeli barang kebutuhan hidupnya. 

Hampir semua barang-barang konsumsi merupakan hasil produksi yang dikenai PPN dimana beban PPN dialihkan perusahaan kepada para konsumen (Madjid & Kalangi, 2015).

Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah melakukan upaya penyempurnaan administrasi perpajakan. Undang-undang PPN telah beberapa kali mengalami perubahan dimulai sejak tahun 1983 dikeluarkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah. 

Kemudian disusul oleh perubahan perpajakan kedua pada tahun 1994, dan perubahan ketiga pada tahun 2000 tentang sistem pemungutan pajak menggunakan self assessment system. 

Terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi penerimaan PPN, di antaranya yaitu: self assessment system, pemeriksaan pajak, dan penagihan pajak. 

Self assessment system 

Yaitu memberikan wewenang dan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan sendiri jumlah pajak yang terutang (Yusuf, 2011). 

Self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Resmi, 2011). 

Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan wajib pajak. Wajib pajak dianggap dapat menghitung pajak, mempunyai kejujuran yang tinggi, menyadari arti pentingnya membayar pajak, dan dapat memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku. 

Dalam self assessment system wajib pajak mempertanggungjawabkan pemenuhan kewajiban perpajakannya setiap bulan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.

Peningkatan nilai dari penerimaan PPN diikuti dengan peningkatan nilai self assessment system dan penurunan nilai penerimaan PPN diikuti pula dengan penurunan nilai self assessment system. 

Dengan diterapkannya self assessment system, maka akan mendorong wajib pajak untuk dapat lebih percaya dengan mekanisme perpajakan di DJP sehingga pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dengan baik oleh wajib pajak baik menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dan seluruhnya dipertanggungjawabkan di dalam SPT. Self assessment system menyebabkan timbulnya tunggakan pajak. Dalam mengatasi masalah tersebut maka dilaksanakan pemeriksaan dan penagihan pajak. 

Pemeriksaan pajak 

Menurut UU No. 16 Tahun 2009 pasal 1 angka 25 merupakan serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilakukan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 

DJP dituntut untuk terus melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap wajib pajak. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah dengan melakukan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan oleh wajib pajak dan juga mendorong mereka untuk membayar pajak dengan jujur sesuai ketentuan yang berlaku.

Pemeriksaan pajak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan dalam hal ini merupakan penerimaan PPN. Dengan dilaksanakannya pemeriksaan pajak, DJP dapat menilai sejauh mana pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilakukan oleh wajib pajak.

Sehingga, DJP dapat segera melakukan tindakan yang diperlukan manakala DJP menemukan adanya ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 

Kurang bayar pajak masih sama

Namun, dari berbagai sumber yang dibaca penulis dapat diketahui bahwa ketika pemeriksaan pajak memiliki nilai yang tinggi maka penerimaan PPN dapat mengalami peningkatan maupun penurunan. Hal tersebut dapat disebabkan jumlah nominal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) tetapi tidak diikuti oleh pembayaran pajak kurang bayar tersebut oleh wajib pajak.

Kondisi ini disebabkan oleh terdapat upaya hukum yang masih dapat dilakukan oleh wajib pajak akibat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) yakni dengan mengajukan keberatan ke DJP sesuai dengan Pasal 25 Ayat 1 Undang-Undang KUP No 16 Tahun 2009.

Penagihan pajak menurut UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 9, penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 

Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan disertakan dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.

Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan PPN adalah kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Apabila wajib pajak ternyata tidak membayar pajak, maka wajib pajak perlu diberikan tindakan tegas untuk dapat melunasi utang pajaknya. 

Hal ini diwujudkan dalam kegiatan penagihan pajak tehadap wajib pajak yang tidak melunasi utang perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, tindakan penagihan pajak merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan pemungutan pajak. 

Dengan melakukan penagihan pajak, DJP dapat menghimpun jumlah pajak terutang yang seharusnya diterima dari wajib pajak. Ketika DJP melakukan penagihan pajak maka tentunya akan membuat wajib pajak merasa terpanggil jiwanya untuk wajib melunasi utang yang dimilikinya. Sehingga peningkatan penagihan pajak akan menyebabkan terjadinya peningkatan penerimaan PPN, begitupun sebaliknya.

Kesimpulan

Jadi, dapat disimpulkan pengaruh penerapan self assessment system memiliki dampak positif terhadap penerimaan PPN, pemeriksaan pajak memiliki dampak negatif terhadap penerimaan PPN, dan penagihan pajak memiliki dampak positif terhadap penerimaan PPN.

Dengan dikeluarkannya pajak akan dapat membantu meringankan biaya pembangunan dan dapat mensejahterakan rakyat Indonesia. Pajak tidak hanya pada penjualan produk saja tetapi jasa juga dikenakan biaya pajak.

Selain itu, semua yang menghasilkan keuntungan akan dikenakan pajak. Perubahan struktur ekonomi dari ekonomi agraris ke ekonomi industri mengakibatkan semakin meningkatnya peran pajak, khususnya PPN terhadap pembiayaan pembangunan nasional. 

Menyadari akan hal ini, penggalian dan usaha peningkatan penerimaan pajak harus terus diupayakan. Mari bersama-sama membangun negeri dengan taat membayar pajak.

References:

Aizenman, Joshua. Yothin Jinjarak. 2005. The Collection Efficiency of the Value Added Tax : Theory and International Evidence. National Bureau Working Paper. JEL No. F15, H21. 

Gisijanto, Hantoro Arief. Zakiah M Syahab. 2008. Pengaruh Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Jurnal Ekonomi Bisnis. No.2 Vol.13 : 138-140.

Madjid, O., & Kalangi, L. 2015. Efektivitas Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bitung. Jurnal EMBA, 3(4), 478–487.

Resmi, Siti. 2016. Perpajakan: Teori dan Kasus (Edisi 9 Buku 1). Jakarta: Salemba Empat

Saepudin. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Sumatera Utara. Tesis Pascasarjana Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Sekaran, U. & Bougie, R., 2013. Research Methods for Business. United Kingdom: Jhon Wiley & Sons Ltd.

Siahaan, Marihot P. 2004. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban, dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Trisnayanti, Ida Ayu Ivon, dan I Ketut Jati. 2015. Pengaruh Self Assessment System, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak pada Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. ISSN 2302-8556, 292-310.

Yusuf, Mohammad Ismail. 2011. Analisis Determinan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Sumatera Utara. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Disclaimer:

Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini.