Bagaimana kebijakan pemerintah Mengatasi terjadinya defisit neraca pembayaran

Merdeka.com - Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan mengakui bahwa ekonomi Indonesia saat ini menunjukkan stabilitas yang berkelanjutan. Hal ini tercermin dari beragam indikator makro ekonomi yang ada.

Indikator makro ekonomi yang dimaksud Katarina, yakni pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka pengangguran.

"Produk Domestik Bruto Indonesia terus tumbuh ke level 5,17 persen di tahun 2018 dan angka pengangguran di tahun 2018 yang berada di level 5,34 persen merupakan level yang terendah dalam 20 tahun," kata dia dalam acara 'Market Update Indonesia: The Next Chapter', Kamis (2/5).

"lnflasi terkendali di level 2,48 persen pada Maret 2019, dan investasi tumbuh cukup solid sebesar 6.01 persen di tahun 2018," lanjut dia.

Meskipun demikian, defisit neraca berjalan melebar menjadi 2,98 persen terhadap PDB di tahun 2018, dipengaruhi oleh tingginya impor sejalan dengan kuatnya permintaan domestik di tengah kinerja ekspor yang terbatas.

Karena itu, Katarina menekankan pentingnya perbaikan struktural yang diperlukan untuk memperkecil defisit neraca berjalan. Dia menyebutkan ada tiga perbaikan struktural yang harus dilakukan.

Pertama peningkatan ekspor, sehingga Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor komoditas. Kedua, kebijakan untuk meningkatkan kesiapan supply chain untuk meningkatkan ekspor produk manufaktur, terutama dari pusat-pusat manufaktur yang baru.

"Kebijakan tersebut harus mencakup hal-hal seperti peningkatan akses ke sarana listrik, sumber air, dan penyediaan insentif untuk produksi bahan baku serta barang-barang setengah jadi (intermediary goods)," ujar dia.

Ketiga, peningkatan penanaman modal asing secara berkelanjutan melalui insentif pajak yang efektif dan revisi Daftar Negatif investasi. "Dengan perbaikan ekonomi ke depan. pasar saham akan menikmati keuntungan dari meningkatnya laba korporasi," tandas Katarina. (mdk/idr)

Baca juga:
Defisit APBN per Maret 2019 Naik, Capai Rp 102 Triliun
Akhir Februari 2019, Defisit APBN Capai Rp 54,61 Triliun
Data BPS: Defisit Neraca Perdagangan Januari Terparah Sejak 2014
Bank Indonesia Prediksi Defisit Transaksi Berjalan Masih Terjadi di Triwulan I 2019
BPS: Defisit Perdagangan Indonesia Melebar Jadi USD 1,16 Miliar di Januari 2019
BI: Defisit Transaksi Neraca Berjalan USD 31,1 Miliar Sepanjang 2018

CNN Indonesia

Kamis, 28 Nov 2019 20:18 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan memiliki  sejumlah strategi untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) dalam tiga sampai empat tahun ke depan. Strategi tersebut; menggunakan minyak sawit mentah (Crude Palm Oils/CPO) lebih banyak di dalam negeri dan membangun industri baterai listrik.Strategi disampaikan kepala negara kala menemui para pendiri perusahaan nasional ternama di acara bertajuk 100 CEO Forum Kompas, Kamis (28/11)."Berpuluh tahun agendanya menurunkan CAD, tapi tidak pernah selesai. Tetapi saya meyakini dengan transformasi ekonomi ini, saya yakin kita bisa menyelesaikannya dalam empat tahun yang namanya CAD," ucap Jokowi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Untuk strategi pertama, Jokowi mengatakan Jokowi mengatakan saat ini pemerintah mulai menjalankan program mandatori campuran minyak nabati ke Bahan Bakar Minyak (BBM) alias biodiesel. Saat ini, pemerintah sudah berhasil mengefektifkan penggunaan B20 dan akan dilanjutkan ke tingkat yang lebih besar."Nanti masuk ke B30, B50, dan B100. CPO ini kita gunakan sendiri untuk biodiesel. Target kita ke sana," ujarnya.Ia mengatakan penggunaan CPO untuk BBM bisa membuat nilai dan volume impor dari komoditas mentah ini menurun. Penurunan diharapkan bisa menghemat devisa yang dibelanjakan ke luar negeri.Dampak lain, program ini bisa memberi kepastian bagi petani bahwa hasil produksinya terserap. Selain itu, kebijakan juga bisa meningkatkan harga CPO di pasar internasional karena pasokan berkurang atas peralihan konsumsi nasional yang lebih besar.Di sisi lain, penggunaan CPO yang meningkat di dalam negeri tepat diterapkan saat sentimen diskriminasi dari Uni Eropa tidak kunjung selesai. 

[Gambas:Video CNN]


"Kenapa kita harus bertarung dengan Uni Eropa gara-gara kita di-banned, ada diskriminasi produk CPO kita. Tidak, kita pakai sendiri saja," katanya.Sementara berkaitan dengan strategi kedua, Jokowi mengatakan pemerintah tengah mempercepat pembangunan industri baterai listrik dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Komoditas bijih mineral nikel yang sebelumnya diekspor secara mentah, per 1 Januari 2020 sudah tidak bisa dizinkan lagi.Dengan pelarangan itu, bijih mineral nantinya harus diolah di fasilitas pemurnian alias smelter agar mendapat nilai tambah. Bila sudah berubah, barulah bijih mineral itu boleh diekspor.Selain diekspor, orang nomor satu di Indonesia itu mengatakan bijih mineral nikel bisa disulap menjadi baterai listrik sehingga nilai ekspornya bakal berlipat. Jokowi mengatakan pemerintah sudah mengundang beberapa investor untuk membangun industri baterai listrik di Tanah Air.Selain itu, Jokowi juga akan membangun industri mobil listrik agar bisa menekan kebutuhan impor BBM yang selama ini menjadi 'biang kerok' defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, kebijakan ini membuat Indonesia bisa memiliki sarana transportasi dengan bahan bakar yang lebih ramah."Ini strategi bisnis negara yang kami rancang agar negara kita menjadi hub besar industri mobil listrik. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar nomor satu di dunia dan kami sudah kirim menteri untuk mendekati industri besar, seperti dari Korea, Jerman dalam rangka mengembangkan lithium baterai," jelasnya.Selain strategi tersebut, Jokowi mengatakan agar defisit neraca transaksi berjalan bisa ditekan pemerintah juga ingin mengurangi ekspor komoditas mentah lain, misalnya batu bara. Ia ingin batu bara benar-benar dimaksimalkan penggunaannya di dalam negeri, sehingga bisa menjadi impor gas."Kita tidak mau lagi yang namanya bahan bakar impor mentah. Sayang, sudah setop impor barang mentah," imbuhnya.Jokowi juga mengatakan pemerintah akan mempercepat pembangunan kawasan destinasi wisata baru yang disebut Bali baru, yaitu Mandalika, Borobudur, Manado, Danau Toba, dan Labuan Bajo. Pengembangan dilakukan untuk menambah aliran devisa dari sektor pariwisata.Ia menargetkan para Bali baru itu selesai dibangun pada 2020 dan dilengkapi dengan berbagai kalender acara yang mampu menarik wisatawan mancanegara. "Labuan Bajo ini super premium, hati-hati jangan sampai campur aduk dengan yang menengah ke bawah. Beberapa orang saja yang boleh masuk ke Labuan Bajo dalam setahun," katanya.Selain itu, pemerintah juga akan gencar menarik investasi sebagai modal dari berbagai pembangunan hilirisasi industri. Untuk menarik investasi, pemerintah akan melakukan reformasi besar-besaran di bidang perizinan investasi, perpajakan, birokrasi, dan lainnya.Semuanya dipercepat dengan kebijakan penyatuan undang-undang alias omnibus law. Tercatat, ada sekitar 74 aturan yang akan dilebur jadi satu."Kami harapkan UU yang baru ini memiliki kecepatan di lapangan, tapi masalah cepat atau tidaknya masih tergantung keputusan dari DPR. Apabila disetujui saya yakini akan ada perubahan yang besar dari regulasi-regulasi yang kita miliki," pungkasnya.

(agt/agt)

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Terhitung sudah memasuki Tahun ke-7 (tujuh), pertumbuhan Indonesia bertahan di sekitar 5%. Lebih tepatnya setelah Tahun 2012, atau berakhirnya commodity booming, tingkat Pertumbuhan ekonomi negara yang memiliki jumlah populasi terbesar ke-empat di dunia ini sudah tidak pernah di atas 6 persen. Meskipun, kita tetap harus bersyukur pertumbuhan masih bertahan di tengah tekanan ekonomi global.Selain itu, kondisi ekonomi Indonesia juga masih menghadapi tantangan Defisit Neraca Pembayaran (Balance Of Payment/BOP) yang disebabkan oleh Defisitnya Transaksi Berjalan (Current Account/CA) sejak Tahun 2012. Sementara itu, Faktor utama Defisitnya Transaksi Berjalan (dan juga Defisit Neraca Pembayaran) adalah Defisitnya Neraca Perdagangan (Trade Balance) karena Neraca Modal dan Keuangan Indonesia yang masih konsisiten Positif hingga September 2019.Defisitnya Neraca Perdagangan Indonesia terjadi seiring kondisi ekonomi global yang menekan demand negara tujuan utama ekspor, namun di sisi lain besarnya konsumsi dalam negeri diperkirakan lebih dominan terpenuhi dengan cara impor. Pada dasarnya, perdagangan Luar Negeri dengan cara ekspor dan impor barang merupakan sesuatu hal yang penting bagi pertumbuhan negara, khususnya bagi Perekonomiannya terbuka (Open Economy). Hal tersebut dikarenakan suatu negara tidak bisa memproduksi semuanya di dalam negeri. Terdapat constrains dalam sebuah negara, seperti sumber daya alam, manusia, teknologi serta modal. Oleh sebab itu, dirumuskan strateginya agar dapat efisien melalui pendekatan competitive advantages atau comparative advantages. Di mana keduanya, tetap yang dibutuhkan adalah Industri Manufaktur dalam negeri yang kuat.Belajar dari sejarah ekonomi China. Dalam 40 tahun terakhir, Ekonomi China tumbuh dengan cepat dan dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Dunia. Dimana tumpuan dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah Production based atau Sektor Tradable Goods (Sektor Rill), yaitu sektor penghasil barang, terdiri dari Sektor Pertanian, Sektor Pertambangan dan Penggalian, dan yang paling besar adalah Sektor Industri Manufaktur.Sementara, Service (consumption-based) atau Sektor Non Tradable Goods (Sektor jasa) masih tidak dominan. Dengan demikian, selain dapat memenuhi sebagian besar keperluan Jumlah Penduduk yang terbesar di Dunia, kemajuan Industri Manufakur China dapat menyuplai produk atau ekspor ke berbagai negara lainnya.Seiring dengan perubahan demografi, baik jumlah usia produktif, maupun pendidikan, tingkat kesejahteraan (welfare) dan lainnya, Struktur ekonomi China berubah dari Tradable Goods (Sektor Rill) menjadi ke Non Tradable Goods (Sektor Jasa).Kondisi tersebut terjadi sekitar tahun 2013 dimana akibat yang paling nyata adalah turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi China. Pada tahun 2019 diperkirakan pertumbuhannya hanya sekitar 6,5%. Ke depan trennya akan terus menurun menjadi sekitar 4,5-5,5% hingga 2030.Lalu bagaimana dengan Indonesia? Perubahan struktur ekonomi dari production based atau Tradable Goods (Sektor Rill) menjadi ke service/consumption-based atau Non Tradable Goods (Sektor Jasa) sudah terjadi di Indonesia sejak Tahun 2009. Khususnya Industri Manufaktur, saat ini Porsi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara rata-rata di bawah 20 persen dari sebelumnya sekitar 26 persen. Hal tersebut terjadi seiring dengan tingkat pertumbuhan Tradable Goods yang sejak tahun 2000 konsisten di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional atau sering disebut pertumbuhan yang kurang berkualitas.Dengan demikian, sama halnya dengan China, tren pertumbuhan Indonesia akan cenderung menurun bila tetap dibiarkan. Oleh sebab itu, bila ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan, menyelesaikan Defisit Perdagangan, Defisit Neraca Berjalan, Defisit Neraca Pembayaran, dan Pengangguran, Ekonomi Indonesia harus kembali ke Struktur Ekonomi yang berbasis production based atau Tradable Goods (Sektor Rill), khususnya memperbaiki Sektor Industri Manufaktur.Terlebih lagi, Indonesia baru akan memasuki Bonus Demografi di Tahun 2030-2045. Di mana populasi usia produktif diperkirakan akan bertambah sebanyak 30 juta orang pada tahun 2030, sehingga akan menjadi penting bagi pemerintah untuk membuka dan memastikan lahan pekerjaan bagi mereka. Apabila tidak dilakukan dari sekarang, Indonesia akan menghadapi permasalahan struktural lainnya yang sering disebut adalah jebakan negara berpenghasilan menengah atau middle income trap.Middle income trap sendiri adalah situasi ketika suatu negara sudah mampu mencapai kelas pendapatan menengah, tapi tidak dapat naik ke kelas negara maju. Dimana puncak atau kondisi Indonesia tersebut akan terlihat pada akhir tahun Bonus Demografi, yaitu Tahun 2045. Pada tahun tersebut Indonesia akan berada di jajaran negara dengan ekonomi terbesar dengan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar USD 7 triliun.Terdapat beberapa faktor yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung Sektor Tradable, khususnya Industri Manufaktur dalam negeri. Pertama, Menganggarkan lebih besar untuk penelitian dan pengembangan Industri. Hal tersebut sangat diperlukan untuk pengembangan, desain dan inovasi industri dalam negeri dalam penguasaan teknologi. Selain itu, dengan terus berinovasi diharapkan juga bahwa Indonesia dapat mengekspor hasil industri manufaktur dengan produk berteknologi tinggi (high tech).Kedua, Insentif dari pemerintah bagi pelaku dan perbankan. Insentif terkait perizinan dan Perpajakan, baik kepada pelaku industri, maupun perbankan yang pembiayaan fokus ke Industri yang berorientasi ekspor. Ketiga, Fokus kepada Industri Subsitusi Impor, khususnya keunggulan Indonesia terkait Sumber Daya Alam dan Manusia, serta sekaligus menjadi konsumen potensial (Captive Market). Sektor tersebut antara lain Industri Makanan dan Minuman, Tekstil dan pakaian, Otomotif, Kimia, dan Elektronik. Keempat, Momentum Omnibus Law, dengan fokus untuk mempercepat terkait aturan ketenagakerjaan, penyederhanaan izin, kemudahan berusaha, dan pengadaan lahan, maka peluang untuk meningkatkan Industri Manufaktur sangat besarKelima, Mengarahkan Perkembangan Platform E-commerce untuk kemajuan Industri Manufaktur dalam negeri. E-commerce merupakan peluang karena dapat menjadi sebagai penghubung penjual dengan pembeli di dalam negeri dan luar negeri. Namun disisi lain, kehadiran E-commerce dapat menjadi hambatan Industri dalam negeri, bila tidak ada batasan atau regulasi yang melindungi Industri dalam negeri. Untuk itu penurunan nilai ambang batas pembebasan bea masuk untuk barang impor dari 75 USD menjadi 3 USD yang sudah efektif per 1 Januari 2020, sangat perlu diapresiasi.

Kembali Struktur ekonomi yang didominasi oleh Tradable Goods (Sektor Rill), khususnya Industri Manufaktur adalah solusi permasalahan struktural yang terjadi saat ini. Dengan fokus yang dilakukan oleh Pemerintah dalam lima tahun terakhir dan akan tetap dilanjutkan ke depannya, yaitu Pembangunan Infrastruktur, kemudahan perizinan, serta terjaganya konsumsi dalam negeri, maka kebangkitan atau penguatan Industri Manufaktur Indonesia Optimistis dapat segera direalisasikan. (dob/dob)