Bagaimana pendapat anda tentang pentingnya pembaharuan dalam dunia Islam

Red:

Kehidupan yang mengalir dinamis telah melahirkan pembaharuan-pembaharuan Islam baik secara pemikiran atau gerakan. Pembaruan di sini bukan penambahan ajaran baru dalam Islam. Namun, proses pengembalian Islam sesuai sumbernya dalam rentang zaman. Termasuk, penyelesaian permasalahan baru yang ditemui dikaitkan dengan rujukan Islam. Dalam Islam, istilah pembaruan dikenal dengan tajdid. Para mujaddid (pelaku pembaru) lahir sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat. Rasulullah SAW sendiri menjamin bahwa Allah SWT akan melahirkan seorang mujaddid dalam kurun waktu satu abad (seratus tahun). Fungsinya, sama seperti nabi yang diutus. Seorang mujaddid akan mengembalikan umat kepada tuntunannya Alquran dan sunah serta membawa umat Islam keluar dari kesesatan. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan setiap abad orang yang akan memperbarui (memperbaiki) urusan agamanya." (HR Abu Dawud). Jadi, istilah tajdid telah mendapatkan pengesahan dari Alquran dan hadis sendiri. Sepeninggal Rasulullah SAW akan ada seorang mujaddid yang tampil setiap seratus tahun sebagai mujaddid yang melakukan pembaruan. Ia akan menyelamatkan umat dari penyimpangan akidah. Istilah mujaddid baru terdengar nyaring setelah muncul gerakan dalam Islam sebagai kontak yang terjadi antara Islam yang dianggap mundur dan Barat yang dianggap maju. Seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, gerakan pembaruan dalam Islam memang terdapat pada periode modern. Namun, sebelum masa itu keinginan untuk mengadakan perubahan juga telah timbul. Misalnya, seperti apa yang dicetuskan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahabi dilatarbelakangi oleh faktor internal Arab Saudi. Saat itu, paham tauhid kaum awam telah dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah. Gerakan ini berhasil berkat bantuan kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud (wafat 1765) yang kemudian mendirikan kerajaan di bawah pimpinan keturunannya. Gerakan Wahabi dijadikan mazhab resmi kerajaan itu. Di samping mempunyai gerakan, Ibnu Abdul Wahhab juga mempunyai pendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka dan ijtihad boleh dilakukan dengan jalan kembali kepada Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Gerakan Wahabi disusul oleh serentetan gerakan di Afrika. Gerakan yang bercorak sufistik itu akhirnya berhasil mendirikan negara-negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal, yakni Usman dan Fonjo (1754-1817) di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi (1787-1859) di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) di Sudan yang gerakannya disebut Mahdiyyah. Di India, pembaruan terutama dilakukan oleh Syekh Ahmad Sirhindi (1564-1624) dan Syah Waliyullah (1702-1762). Mereka melihat bahwa akidah umat Islam India telah dirusak oleh sinkretisme. Oleh sebab itu, mereka mengeluarkan seruan untuk kembali kepada Alquran dan sunah dalam segala lapangan kehidupan. Selanjutnya, Syah Waliyullah berpendapat, untuk memperbaiki masyarakat Muslim di India, mesti diadakan perombakan terhadap kekuasaan Moghul. Sumbangannya yang terutama bagi pemikiran modernis, yaitu kritiknya terhadap taklid (meniru) dan dibukanya kembali pintu ijtihad. Gerakan-gerakan pramodern telah mewariskan bagi Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern, terutama dimotivasi oleh faktor internal, gerakan modern dimotivasi oleh faktor internal dan eksternal, baik oleh kelemahan internal maupun oleh ancaman politis dan religiokultural kolonialisme. Tanggapan para tokoh pembaruan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat bagi masyarakat Muslim terwujud dalam usaha sungguh-sungguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan. Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan dapat menyesuaikan diri yang menjadi ciri kemajuan Islam pada Zaman Klasik (650-1250), terutama kemajuan di bidang hukum, pendidikan, dan sains. Mereka juga menekankan pembaruan internal melalui proses reinterpretasi (ijtihad) dan adaptasi secara selektif (Islamisasi) terhadap ide-ide dan teknologi Barat. Sebab, pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses kritik diri ke dalam dan perjuangan untuk menetapkan Islam kembali guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Beberapa belahan bumi telah melahirkan gerakan-gerakan pembaruan Islam yang tema dan aktivitasnya diilustrasikan di dalam beberapa figur utama, seperti di Timur Tengah Jamaluddin al-Afgani (1838-1897) dengan gerakan Pan-Islamisme serta para pengikutnya, seperti  Muhammad Abduh (1849-1905) dengan gerakan Salafiyah dan Muhammad Rasjid Rida (1865-1935). Selain itu, di Asia Selatan muncul seorang mujaddid, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dan Muhammad Iqbal. Meskipun mereka tidak berhasil melahirkan reinterpretasi terhadap Islam secara sistematis, pandangan mereka telah menerobos ke dalam masyarakat Islam.

Di antara tokoh pembaruan generasi berikutnya, yaitu Hasan al-Banna (1906-1949) dari Mesir dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan Maulana Abu A’la al-Maududi (1903-1979) dari India dengan gerakan Jamiat al-Islam. Di Indonesia, gerakan pembaruan melahirkan organisasi pembaru, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (PERSIS), dan lain-lain. n ed: hafidz muftisany

Bagaimana pendapat anda tentang pentingnya pembaharuan dalam dunia Islam

■ KHAZANAH SEJARAH: Prof DR Ahmad M. Sewang

Cendekia.News — Sudah hampir setahun lewat, pemerintah Mesir menganugerahkan bintang tanda kehormatan tingkat pertama bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni kepada cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab.

Beliau merupakan Menteri Agama Indonesia pada era Soeharto. Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), dikenal sebagai ahli tafsir yang telah melahirkan puluhan karya tulis.

Penganugerahan diberikan oleh Wakil Perdana Menteri Mesir Musthafa Kamal Madbouli, atas nama Presiden Abdul Fattah al-Sisi pada pembukaan Konferensi Internasional tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020.

Bintang tanda kehormatan yang dianugerahkan Pemerintah Mesir itu lazim diberikan kepada tokoh, ulama, dan cendekiawan dunia yang dianggap berjasa dalam melakukan pembaharuan di bidang pemikiran Islam dan menyebarkan pemahaman Islam yang moderat dan toleran.

Apa hasil Komperensi Internasional tentang Pemikiran Pembaharuan Islam itu? Belum tersebat dan belum banyak dikenal. Dalam seri ini saya berusaha memperkenalkan dengan mengedit hasil wawancara Syihab pada jurnal Halal dan Metro.

Shihab menjelaskan, Islam sejatinya memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah purifikasi, dan aspek kedua adalah modernisasi. Aspek pertama mencakup pemurnian hal-hal yang sifatnya tetap, given, dan biasanya sudah terperinci dalam Al-Qur’an dan hadis. Contohnya dalam bidang ibadah mahdah dan akidah.

Sedang, aspek kedua adalah modernisasi atau pembaruan, mencakup hal-hal yang belum terinci dan masih diperlukan penyelesaiannya, atau bahkan masih belum pernah dibahas pada masa dulu. Meskipun demikian, rujukannya harus tetap berpatokan dengan al-Qur’an dan hadis. Biasanya, melingkupi bidang muamalah kemasyakatan.

Apabila dianalogikan, aspek pembaruan kedua ini, ibarat air yang selalu bisa menyesuaikan dengan wadah tempatnya berada. Dalam hubungan ini, wadah yang dimaksud adalah zaman dan tempat di mana muamalah itu berlaku.

Pembaharuan adalah unsur penting dalam penerapan Islam. Tujuannya, agar pesan-pesan Islam bisa tetap dipahami dan dijalani umat manusia meskipun dalam masa, tempat, dan kondisi masyarakat yang berbeda-beda.

“Agama Islam itu seperi sebuah bangunan. Jika sebuah bangunan (rumah) mengalami kebocoran atap, maka yang perlu diperbaiki cukup dengan mengganti satu atau dua buah gentennya saja. Bukan untuk mengubah fondasi. Itulah yang dinamakan pembaruan,” kata Shihab.

Pembaruan Islam hanya bisa dilakukan oleh tokoh atau ulama yang benar-benar paham tentang struktur agama secara keseluruhan. Memahami persis mana yang fundamen dan mana suplemen. Dalam Istilah al Qardawi, bisa membedakan mana yang usul dan mana yang furu’. Jadi seorang pembaharu, harus bersumber dari orang yang sudah selesai dengan pemahaman agamanya dan mengerti mana yang pokok dan rinciannya.

Dalam al-Quran diajarkan, “Bertanyalah pada ahlu zikri (ahlinya), jika tidak mengetahui.” Sebagai contoh, jika ada orang yang mengaku sebagai ustaz dan suka mengafirkan orang lain. Lihat lebih dahulu, apa dia memiliki otoritas dari segi keilmuan?

Sama halnya, jika Anda bertanya tentang penyakit, lihat dahulu, apa orang yang ditanya itu memiliki otoritas keilmuwan? Bahkan sekali pun dia seorang dokter, masih perlu dipertanyakan apa sesuai bidang spesialisasinya dengan penyakit yang ditanyakkan?

Jika dia seorang dokter THT jangan tanyakan padanya penyakit mata. Lebih salah lagi, jika masalah penyakit bertanya pada, engineer. Jadi jika ingin yakin tentang penyakit secara serius, maka bertanyalah pada ahlinya.

Kekurangan umat selama ini, karena sering lebih percaya pada pernyataan di media sosial tanpa ada validasi terhadap keahlian orang yang mengeluarkan pernyataan tersebut, apa dia memiliki otoritas atau tidak?

Banyak masyarakat lebih percaya pada seseorang yang mengaku ustaz daerah yang ilmunya masih terbatas, belum lagi ia lebih suka mencaci maki orang yang tidak sepaham dengannya, daripada mempercayai penjelasan dari seorang ulama besar yang sudah jelas karyanya dan dan telah diakui masyarakat internasional

Akhirnya, saya berpesan kepada umat lewat media ini, jika ingin selamat dari pendapat yang meragukan, maka bertanya pada ahlinya, biasakan juga membuka-buka karya ulama yang memiliki wawasan luas dan dikenal luas reputasinya di dunia.■

Wassalam,
Makassar, 14 Januari 2021