Bagaimana proses pengangkatan khalifah umar bin khattab jelaskan secara singkat

Jakarta -

Setelah Abu Bakar Ash Shidiq wafat pada 21 Jumadilakhir tahun ke-13 hijrah atau 22 Agustus 634 Masehi, Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah ke-2. Di hari ketiga pengangkatan, Umar menyampaikan pidato pertamanya.

Dalam pidatonya, tergambar bagaimana takutnya memikul beban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin ketika itu. Dan bukan saat itu saja Umar merasa hal itu disampaikan Umar. Sesaat setelah Abu Bakar dimakamkan, Umar sudah merasakan ketakutan itu.

"Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul. Sungguh enkau tak tertandingi, bagaimana pula hendak menyusulmu," kata Umar sesaat setelah Abu Bakar Asd Siddiq dimakamkan.

Terpilihnya Umar bin Khattab sebagai khalifah ke-2 berdasarkan keputusan Abu Bakar. Sebelum meninggal Abu Bakar menunjuk Umar sebagai gantinya. Keputusan tersebut bahkan telah tertulis dalam wasiat yang ditulis oleh Utsman bin Affan.

Berikut ini isi pidato Umar bin Khattab ketika diangkat menjadi khalifah seperti dikutip dari buku, Biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal. Ada tiga poin dalam pidato Umar.

1. Keras tapi Lembut

Saat Umar terpilih menjadi pengganti khalifah setelah Abu Bakar, sebagian besar masyarakat Madinah rupanya khawatir akan dipimpin oleh seseorang yang sudah terkenal dengan sikap kerasnya. Oleh karena itu, pidato pertama Umar bin Khattab disampaikan guna menanggapi keresahan masyarakat Mekah.

"Ketahuilah saudara-saudaraku, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu (keras) hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin," kata Umar.

"Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua," Umar melanjutkan.

Umar pun berdoa agar Allah melunakkan hati dan memberikan kekuatan di saat hatinya sedang lemah.

"Ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Ya Allah, saya sangat lemah, maka berilah saya kekuatan! Ya Allah, saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan!"

2. Jabatan adalah Ujian dari Allah SWT

Pidato Umar bin Khattab mengingatkan seorang pemimpin untuk tetap memiliki sikap rendah hati dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Ia sendiri bahkan menganggap bahwa jabatan ialah ujian.

"Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku (Abu Bakar Ash Shiddiq), sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka."

3. Saling Mendukung dan Mengingatkan antara Pemimpin Negara dengan masyarakat

Dalam pidatonya Umar meminta masyarakat Mekah tak ragu untuk menegurnya dalam beberapa hal kalau dia salah. Bahkan Umar meminta rakyat tak ragu menuntutnya jika rakyat tak terhindar dari bencana, pasukan terperangkap ke tangan musuh.

"Bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar makruf naih munkar dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara-saudara sekalian," kata Umar menutup pidatonya.

Setelah berpidato, Umar bin Khattab turun dari mimbar dan memimpin sholat.

(erd/erd)

Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Khalifah Abu Bakar. Dalam kepemimpinannya sebagai Khalifah, Umar bin Khattab selalu menjunjung tinggi nilai keadilan. Selain itu, beliau juga memiliki sifat sederhana walaupun ia menjabat sebagai khalifah. Sebelum Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, masa pemerintahan khalifah pertama kali oleh Abu Bakar pasca wafatnya Nabi. Lalu, bagaimana proses pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah? Mari kita simak tulisan berikut ini!

Pasca wafatnya Nabi Muhammad, terjadi perselisihan di kalangan kaum muslim mengenai berbagai masalah besar salah satunya yaitu mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara. Hingga akhirnya terpilih Abu Bakar sebagai calon yang secara umum semua kalangan menerimanya dengan melalui berbagai perdebatan kaum Muslim saat itu. Terpilihnya Abu Bakar menunjukkan kesadaran politik yang baik dalam umat dan cepatnya proses pemilihan menunjukkan bahwa umat muslim bertekad untuk bersatu melanjutkan tugas Nabi Muhammad saw. sebagai khalifah. Abu Bakar menjabat sebagai pemimpin Agama (khalifah) sekaligus merangkap sebagai kepala negara. 

Baca juga: Tips Menjadi Cantik Luar dan Dalam

Pada hari Senin, 21 Jumadil Akhir tahun 13 H/634 M, Abu Bakar wafat dan pemakaman pada malam itu juga. Ketika Abu Bakar jatuh sakit, Umar bin Khattab yang menggantikan Abu Bakar melakukan tugas sebagai imam shalat. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Usman bin Affan untuk menuliskan wasiat. Isi wasiat tersebut adalah mewasiatkan jabatan khalifah kepada Umar bin Khattab. 

Pengangkatan Umar bin Khattab merupakan fenomena baru yang berbeda dengan proses pengangkatan sebelumnya di mana dengan melewati perdebatan yang sangat keras. Pengangkatan Umar bin Khattab melalui rekomendasi atau wasiat dari Khalifah Abu Bakar. Walaupun melalui rekomendasi tetap saja Abu Bakar memusyawarahkan keputusannya tersebt kepada para sahabat. Di antara sahabat yang terlibat dalam musyawarah, yakni Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, dan Ali bin Thalib. Dalam musyawarah tersebut Abu Bakar menanyakan kepada semua sahabat yang terlibat tentang Umar.

Baca juga: Bukan Menghindar, Merangkul Pasien Pengidap HIV/AIDS Juga Bisa Jadi Pilihan

Menurut Abdurrahman, Umar bin Khattab merupakan orang yang mempunyai pandangan terbaik, namun terlalu keras. Menurut Usman, Umar bin Khattab merupakan orang yang mempunyai isi hati yang baik daripada lahiriahnya dan tidak ada orang yang sepertinya di kalangan umat Islam. Kemudian, menurut Ali, Umar bin Khattab merupakan orang yang keras. 

Setelah itu, Abu Bakar mengumpulkan umat Islam untuk membaiat Umar bin Khattab. Umat Islam kemudian membaiat Umar bin Khattab dengan penuh ketaatan. Dalam sambutan pertamanya sebagai khalifah, Umar bin Khattab memohon kepada Allah agar Allah dapat memberinya kekuatan dalam menjalankan pemerintahan. 

Menurut Al-Baihani, Abu Bakar memilih Umar sebagai penggantinya berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu sebagai berikut:

  • Umar pada saat itu merupakan wakil dari Khalifah Abu Bakar. Ia mempunyai peran yang sangat besar dalam pemerintahan Abu Bakar dan merupakan orang kepercayaan Abu Bakar. 
  • Umar adalah orang yang selalu patuh akan perintah Abu Bakar. Menurut Umar, apa yang diperintahkan Abu Bakar adalah sebuah kebijakan yang tepat dan disukai Nabi. Sehingga jiwa Abu Bakar dan Umar itu seolah-olah satu walau berada dalam dua jasad.
  • Umar merupakan orang yang paling dipercayai oleh Abu Bakar daripada sahabat yang lain. Menurut Abu Bakar, Umar merupakan orang yang memiliki pemikiran yang cemerlang, kekuasaan ilmu, keimanan yang kuat dan sikap yang tegas. Walaupun begitu, Umar bin Khattab adalah orang yang memiliki jiwa yang lembut. 

Oleh: Eka Novitha

Sumber:

pecihitam.org

Pictured by islam.nu.or.id

Bagaimana proses pengangkatan khalifah umar bin khattab jelaskan secara singkat

BincangSyariah.Com – Setelah para sahabat Nabi mengangkat khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, dua setengah tahun adalah usia kekhalifahannya. Memang, usia perjalanan pemerintahan yang tidak lama. Cerita pengangkatan khalifah setelahnya, banyak terdapat dalam tarikh Islam di antaranya al-Bidayah wa al-Nihayah.

Ibnu al-Atsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah menceritakan bahwa proses pengangkatan pemimpin khalifah (istikhlaf) Umar bin Khatthab Ra. berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar Ra. Abu Bakar Ra. terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah yang sah.

Bagaimana proses pengangkatan khalifah umar bin khattab jelaskan secara singkat

Sedangkan Umar bin Khatthab Ra. diangkat melalui “penunjukan”, semacam surat wasiat yang dititahkan oleh Abu Bakar Ra. Melalui juru tulis Usman bin Affan Ra. Ini cukup mendefinisikan makna kata istakhlafa, yang artinya meminta untuk menjadi khalifah, pemimpin.

Hal itu dilakukan khalifah guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri. Beliau khawatir kalau pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi keruh karena kemungkinan terdapat banyak kepentingan yang ada di antara mereka yang membuat umat Islam tidak stabil, sehingga pengembangan Islam akan terhambat.

Sebelum meninggal, Khalifah Abu bakar bertanya kepada para sahabatnya tentang penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Beliau menanyakan hal itu kepada Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Asid bin Hudhair Al-Anshary, Said bin Zaid serta sahabat-sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar. Pada umumnya mereka setuju dengan Abu Bakar dan kemudian disetujui oleh kaum muslim secara serempak.

Ketika Abu Bakar sakit, beliau memanggil Usman bin Affah untuk menulis wasiat yang berisi tentang penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Tujuannya agar ketika sepeninggal beliau tidak ada kemungkinan perselisihan di kalangan umat Islam untuk masalah khalifah.

Badri Yatim dalam buku Sejarah Peradaban Islam menukil pandangan bahwa keputusan Abu Bakar tersebut diterima oleh umat Islam sehingga mereka secara beramai-ramai membaiat Umar sebagai khalifah. Dengan demikian keputusan tersebut bukan keputusan Abu Bakar sendiri namun persetujuan umat Muslim semua.

Umar mengumumkan dirinya bukan sebagai khulafaur rasul atau pengganti rasul tapi sebagai amirulmukminin atau pemimpin orang-orang mukmin. Umar menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun.

Para sejarawan Islam mencatat bahwa gelar khalifah, tidak lagi disematkan kepada Umar bin Khattab. Pasalnya, awalnya Umar bin Khattab memilih gelar khalifatu khalifati rasulillah (pengganti dari pengganti rasulullah). Akan tetapi, pada satu waktu gelar tersebut diubah menjadi amirul mu’minin (pemimpin kaum muslimin). Kata amir, kala itu sangat berkaitan dengan kata al-jays (tentara), karena pada masa itu, ekspansi penyebaran Islam sangat massif.

Pada konteks saat itu, bahasa kekuasaan menjadi instrumen penting untuk melacak fungsi makna sosialnya. Bisa dikatakan tidak ada gelar yang tetap melekat pada satu pemimpin kala itu. Hal ini cukup jelas untuk menyatakan bahwa hal tersebut adalah biasa dalam konteks pemerintahan klasik.

Wallahu A’lam