Berapa persen mengambil keuntungan dari kredit barang

Adakah batasan keuntungan dalam berdagang? Bolehkah kita mengambil keuntungan berlipat-lipat?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Keuntungan itu tidak dibatasi. Boleh saja diambil keuntungan 10, 20, 25% atau lebih dari itu, asalkan tidak ada pengelabuan dalam jual belinya. Besarnya keuntungan di sini dibolehkan selama tidak ada ghoban (pengelabuan).”[1]

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –semoga Allah senantiasa merahmati beliau– ditanya mengenai standar keuntungan syar’i dalam berdagang. Kemudian bolehkah seseorang membeli suatu barang dengan harga 50 riyal lalu ia jual 80 atau lebih dari itu?

Jawab beliau rahimahullah:

Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan keuntungan (menurut syari’at). Keuntungan bisa saja banyak, bisa pula sedikit. Kecuali jika sudah ada batasan harga di pasaran dengan harga tertentu, maka tidak boleh konsumen dikelabui saat itu. Bahkan sudah sepantasnya si pedagang memberitahukan pada pelanggannya bahwa barang ini ada dengan harga sekian dan sekian, namun harga yang ia patok adalah demikian. Jika si pelanggan berminat dengan harga seperti itu, maka tidaklah masalah. Akan tetapi lebih baik memberikan harga seperti yang telah ada di pasaran. Adapun jika harga barang tersebut belum ada di pasaran dan belum ada standarnya, maka ia boleh menjual barang tersebut sesukanya dengan harga yang ia inginkan walau dengan keuntungan 30%, 50% atau semisal itu. Ini jika barang tersebut tidak ada standar harga.

Sekali lagi syari’at tidak menetapkan besarnya keuntungan bagi si pedagang. Akan tetapi seorang mukmin hendaknya memudahkan saudaranya. Hendaknya ia tetap suka walau mendapatkan keuntungan sedikit. Kecuali jika suatu saat kondisi berubah, barang yang ada berubah atau naiknya harga barang karena sedikitnya pasokan atau ada sebab lainnya sehingga keuntungan mesti ia tambah.

Adapun jika seorang pedagang mengelabui orang yang tidak berdaya apa-apa atau ia menipu orang miskin dan ia menjual dengan harga yang terlalu tinggi, maka itu tidak boleh. Hendaknya ia menetapkan harga dengan harga standar seperti yang orang-orang jual. Kecuali jika ia menjual dengan ia katakan bahwa harga standar demikian dan demikian, sedangkan ia jual dengan harga seperti ini, maka seperti itu tidaklah masalah asalkan ia telah jelaskan sesuai realita atau karena alasan pasar yang jauh. Ketika ia naikkan harga seperti itu, ia sudah jelaskan  alasannya. [2]

Lantas bagaimana hukum membatasi harga barang di pasaran? Apakah dibolehkan?

Dalam syari’at Islam dikenal istilah tas’iir. Yang dimaksud tas’iir adalah membatasi harga barang di pasaran, tidak boleh dijual selain dari harga yang telah ditetapkan.

Ada dua macam tas’iir:

1- Bila harga barang di pasaran dibatasi dengan zalim. Padahal para pedagang menjual dengan harga yang wajar. Kalaupun ada kenaikan harga, maka itu terjadi karena keterbatasan stok atau karena besarnya demand (permintaan). Membatasi harga dalam kondisi ini termasuk bentuk kezaliman karena terdapat paksaan tanpa jalan yang benar.

Dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ

“Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dialah yang menahan dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman pada darah dan harta.”[3]

2- Bila harga barang dibatasi di pasaran dengan adil. Pembatasan harga di sini dapat terjadi ketika masyarakat sangat butuh dengan barang tersebut, lalu barang dijual dengan harga yang tinggi dan tidak logis. Maka orang yang punya wewenang di pasar berhak membatasi harga supaya tidak melonjak tinggi. Pembatasan di sini bertujuan untuk tidak menyusahkan khalayak ramai lantaran kenaikan harga hajat penting mereka. Dibatasilah dengan harga tertentu, jadinya setiap pedagang harus menjual dengan harga semisal itu. Tatkala harga dibatasi demikian, maka wajib diikuti. [4]

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jika harga barang tidak dibatasi oleh yang berkompeten berarti sah-sah saja mengambil keuntungan berlipat-lipat.

Semoga bermanfaat.

[1] Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 9: 280. [2] Sumber fatwa: http://www.binbaz.org.sa/mat/19167. [3] HR. Abu Daud no. 3451, Tirmidzi no. 1314, Ibnu Majah no. 2200. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. [4] Al Mukhtashor fil Mu’amalaat, hal. 25-26.

Penjelasan di atas dicuplik dari buku Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang terbaru, “Bermodalkan Ilmu Sebelum Berdagang (Serian Panduan Fikih Muamalah)

Disusun selepas Zhuhur, 3 Rajab 1435 H di Pesantren Darush Sholihin

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Segera pesan satu paket buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal berisi 6 buku dengan format: Paket 6 buku# nama pemesan# alamat# no HP# jumlah paket, lalu kirim sms ke 0852 00 171 222 atau via PIN BB 2A04EA0F. Harga paket Rp.80.000,- untuk Pulau Jawa, sudah termasuk ongkos kirim. Salah satu buku yang terdapat dalam paket tersebut adalah buku “Kenapa Masih Enggan Shalat?”. Info selengkapnya di Ruwaifi.Com.

Berapa persen mengambil keuntungan dari kredit barang

Istilah 'bunga' yang digunakan sama sekali tidak berpengaruh pada keabsahan transaksi selama maksudnya adalah sesuatu yang dibenarkan syariat. (Ilustrasi: NU Online) Istilah 'bunga' yang digunakan sama sekali tidak berpengaruh pada keabsahan transaksi selama maksudnya adalah sesuatu yang dibenarkan syariat. (Ilustrasi: NU Online)

Pak Anton (A) seorang pengusaha dealer sepeda motor. Hari ini, ia kedatangan teman lamanya bernama Pak Bahar (B). Pak Bahar mengagumi pesatnya laju usaha kawannya yang satu ini. 

Di tengah obrolan penuh keakraban, Pak Bahar tertegun dengan sebuah spanduk yang dipasang di salah satu sudut ruangan. Tertulis di sana, beberapa ketentuan jual beli. Dia tertegun dengan kata-kata Bunga 20% dengan tenor 1 tahun.

Tak lupa ia juga mengamati spanduk itu sambil mengklasifikasikannya. Kira-kira seperti ini klasifikasinya:

● Harga cash-nya sudah pasti. 

● Harga cicilannya sudah pasti. 

● Harga jadi kreditnya sudah pasti. 

● Tapi ada catatan, kok ada kata-kata "bunga 20%”. 

Apakah sahabatnya ini telah terjebak dalam riba? Terjadilah dialog.

B: Berapa harga cash masing-masing sepeda motor 1, 2, 3 dan 4 ini?


A: Sepeda motor 1 harga Rp10 juta, sepeda motor 2 harga Rp12 juta, sepeda motor 3 harga Rp14 juta, dan sepeda motor 4 Rp16 juta.

B: Berapa persen kau mau ambil keuntungan dengan jual kreditnya?
 

A: Masing-masing saya ambil keuntungan sebesar 20% dari harga kontannya, dengan jangka waktu pelunasan 1 tahun.

B: Jadi sepeda 1, harga kreditnya menjadi berapa?
 

A: Keuntungan saya 20% dari Rp10 juta itu sama dengan Rp2 juta. Jadi, harga kreditnya Rp12 juta dengan tenggat waktu pelunasan 1 tahun. 

B: O… jadi kau tulis bunga 20% itu untuk maksud bahwa setiap unit sepeda yang kau jual ini, bila dibeli oleh konsumen dengan cara kredit, keuntungan itu sebesar 20% dari harga cash?

A: Iya. Apakah dengan mencantumkan kata-kata bunga itu, saya terjebak dalam riba?

B: Jika "bunga" bermakna sebagai margin pengambilan keuntungan, maka ia tidak disebut sebagai riba. Karena ada kaidah yang mengatakan: 

العبرة في العقود بالمقاصد والمباني لابالألفاظ والمعاني

Artinya: "Ungkapan akad itu bergantung pada maksud dan bangunannya, bukan tergantung pada lafal dan maknanya."


Dari contoh gambaran dialog di atas, ada dua hal yang patut kita cermati, yaitu:

1. Pak Anton (A), melakukan strategi penjualan produknya dengan dua jalan, yaitu pembelian secara kontan dan secara kredit. 
 

2. Pak Anton menginginkan selisih penjualan antara kontan dengan kredit adalah sebesar 20%. Selisih ini ia namakan sebagai bunga. Bunga ini digunakan untuk mempermudah hitungan bahwa setiap produk yang ada di dealernya, ia jual secara kredit dengan ketentuan keuntungan untuk kredit dalam satu tahunnya sebesar 20% berlaku untuk tiap unit merk kendaraan.

Penjualan Barang secara Kredit dan Kontan

Strategi penjualan kontan dan kredit yang dikenakan pada satu objek materi jual, hukumnya adalah boleh secara syariat. Ada catatan bagi kebolehan pelaksanaan strategi ini, yaitu antara penjual dan pembeli harus sudah terjadi kesepakatan bahwa barang yang dibeli pembeli, diambil dengan melalui kontrak jual beli kontan, atau kontrak jual beli kredit. 

Baca: Jual Beli Kredit, Apakah Sama dengan Riba?

Yang dilarang dalam strategi penjualan seperti ini adalah, ketika pembeli membawa barang lalu berpisah majelis dengan penjual, pembeli tidak menetapkan akad kontrak yang diambilnya. Jika hal ini terjadi, maka telah berlaku jual beli jahalah (ketidaktahuan harga), sehingga memungkinkan terjadinya kecurangan (ghabn) dan merugikan salah satu pihak (dlarar). 

Bunga yang dimaksudkan dalam dialog di atas adalah bunga yang berlaku sebagai rumus penentuan keuntungan jual beli kredit untuk semua merk kendaraan. Jadi, sama sekali berbeda dengan bunga yang berasal dari akan pinjaman (utang-piutang). Istilah atau lafal yang digunakan sama sekali tidak berpengaruh pada keabsahan transaksi selama maksudnya adalah sesuatu yang dibenarkan syariat.

Jika ada bunga yang diperoleh dari utang piutang uang, maka bunga semacam ini sepakat hukumnya adalah haram. Mengapa? Karena mengutangkan uang dengan kembalian lebih, tanpa ada wasilah barang, utang piutang semacam ini termasuk riba qardli. Kita biasa menyebutnya sebagai rentenir.

Adapun mengutangkan barang secara kredit, dengan wasilah berupa harga, dengan besaran harga yang sudah diketahui di akhir masa pelunasan, maka utang piutang seperti ini adalah masuk kategori jual beli dengan harga tunda/harga kredit. Hukumnya boleh, selagi tidak ditemui adanya tambahan akibat penundaan. Wallahu a'lam bish shawab.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Kumpulan Khutbah Jumat Bulan Safar