Berikut ini bukan departemen yang dibentuk di Hindia Belanda pada tahun 1932 adalah

Sejarah Pengelolaan Hutan Di Indonesia

Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia  dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1.  Sebelum Penjajahan

Pada  masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwa/semangat rakyat  (volkgeist) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan.[1] Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hukum adat.

Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain,  baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.[2]

Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing (Zaman Malaio Polinesia), kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. [3] Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian.[4] Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman.

Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang (di Grobongan). Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu.[5] Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian  terus populer di sebagian besar wilayah nusantara.

Kerajaan Mataram Hindu tersebut telah ikut dalam jaringan perdagangan internasional, sehingga hutan alam jati Jawa yang menghasilkan kayu dengan nilai tinggi juga mulai dijamah. Serupa dengan kayu oak di Eropa, kayu jati sangat cocok untuk memenuhi berbagai macam kepentingan, termasuk untuk membuat kapal. Oleh karena itu di samping dijual pada pasar internasional, penebangan kayu jati dari hutan Jawa telah pula mendorong tumbuhnya industri perkapalan, sehingga dengan industri kapal para pedagang Jawa mampu mengarungi samudra untuk berdagang ke segenap penjuru Asia dan Afrika yang menjadikan kemakmuran Jawa semakin meningkat. Penebangan kayu jati di Jawa terus berlanjut sampai kedatangan bangsa Belanda di akhir abad ke-16.

Berbeda halnya  dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, [6] maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh  bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang  Maha Kuasa.

Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh  selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah (hak Allah) atau uteun poeteu Allah.  Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya.[7]

Sehubungan dengan hal ini, Snouck Hurgronje menuliskan dalam bukunya de Atjehers, menuliskan tentang pola penguasaan hutan pada masa prakolonial, yaitu : Barang siapa hendak menggarap rimba ataupun hendak mengumpulkan hasil-hasil hutan (termasuk: berburu dan mencari ikan) adalah bebas seluruhnya. Satu-satunya pembatasan kebebasan tersebut itu ialah jika seseorang hendak membuka ladang, kebun atau sawah yang letaknya berdekatan dengan tanah yang telah digarap orang lain haruslah ia meminta keizinan kepadanya atau kepala daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh izin itu tidak perlu dibayar apa-apa; hanya saja di masa dahulu dari penghasilan-penghasilan yang dikumpulkan itu harus dibayar cukai biasa (wasee) kepada ulee balang.

2.  Masa Penjajahan

Perkembangan hukum kehutanan selama masa penjajahan dapat diklasifikasikan dalam dua masa, yaitu masa  penjajahan  oleh Vereenigde Oost  Indische Compagnie (VOC) dan Penjajahan Hindia Belanda.

a.  Masa Penjajahan oleh VOC (1602 – 1799)

Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang lebih populer dengan  sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka.

Pada masa sebelum VOC berkuasa (1619), para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya.  Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan.[8]

Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu (timber extraction), para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut  untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC.

Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen (10%). Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai sepuluh persen.

Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam (hutan dan semua lahannya), baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya.  Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik (domein) dan hak istimewa raja dan para pengusaha (regalita). Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. [9]

Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya pemilikan dan penguasaan (domein) terhadap tanah (lahan) dari domein raja menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya. Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya (gemeente).

Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan (boskhvolkenen), yang bekerja sebagai penebang kayu  untuk kepentingan kompeni.

Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678  tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH (hak pemanfaatan hasil hutan)  dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini.

Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir.

Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat (wewengkon) atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang (petinggi) desa tersebut. [10]

b.  Masa Penjajahan Hindia Belanda  (1850 – 1942)

Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu  dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865.[11] Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati. Koesnadi HHHardjasoemantri mengemukakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Pada tahun 1897 diganti lagi dengan Reglement voor het beheer der bosschen op Java en Madoera, keduanya berlaku sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor de beheer de boscchen van den Lande op java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonantie voor Java en Madoera 1927. [12]

Berdasarkan reglemen 1865 atas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu: Pertama. Reglemen Hutan 1865 tersebut  merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. Sekalipun reglemen tersebut mulanya hanya berlaku untuk wilayah sebagian besar daerah di Pulau Jawa, tetapi pola penguasaan seperti ini yang menghilangkan keberadaan hutan desa gemeente, menjadi model untuk merampas kekuasaan masyarakat adat atas hak ulayat terhadap hutan adatnya.

Kedua, Kekayaan hutan kita telah menjadi komoditi penting dan potensi ekonomi strategis, yang mengundang minat kaum kapitalis dan imperalis untuk melakukan penjajahan. Apalagi kemampuan sumber daya manusia dan kekuatan persenjataan rakyat Jawa pada masa itu berada jauh di bawah kemampuan imperalis dari Eropah, sehingga pada masa itu tak ada perlawanan gigih yang dilakukan oleh raja-raja dan kaula kerajaan Jawa untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah hutan yang dimilikinya.

Setelah diberlakukan selama sembilan tahun, ternyata Reglemen Hutan 1865 ditemukan beberapa kelemahan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen Hutan 1865, yaitu: (1) musnahnya hutan yang dikelola secara tidak teratur, disebabkan adanya pemisahan hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur, dan (2) banyaknya keluhan mengenai pembabatan hutan guna pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar, dan lain-lain.[13]

Berdasarkan dua masalah di atas, Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen Hutan 1865, dan kemudian diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura. Reglemen ini diundangkan pada tanggal 14 April 1874.

Reglemen hutan 1874 pada perkembangan berikutnya diubah dengan reglemen 26 Mei 1882 dan reglemen 21 Nopember 1894, tetapi kemudian diganti sama sekali berdasarkan reglemen tanggal 9 Februari 1897 yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897. Kemudian, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari 1897 ditetapkan pula peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura (dienstreglement). Reglemen ini berisikan ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglemen.[14]

Reglemen Hutan 1897 berlaku selama kurang lebih 16 tahun. Kemudian, dengan diundangkannya reglemen baru tentang hutan Jawa dan Madura pada Tanggal 30 Juli 1913, maka reglemen hutan 1897 tidak berlaku lagi. Reglemen baru ini dikenal dengan nama Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1914.

Sesuai dengan prinsip kemutakhiran tentu saja substansi pengaturan dalam Reglemen Hutan 1913 lebih lengkap dibandingkan dengan tiga reglemen hutan terdahulu. Tetapi karena ditemukan berbagai hambatan dalam implementasinya, maka reglemen tersebut kemudian dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan Ordonansi Hutan 1927.

Ordonansi Hutan  1927 ini sebenarnya bernama Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura. Ordonansi ini diundangkan dalam Lembaran Negara 1927 Nomor 221, dan terakhir diubah dan ditambah dengan Lembaran Negara  1940 Nomor 3.

Hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari hutan dalam Boschodonantie meliputi hak mengambil kayu dan hasil hutan lainnya, menggembala dan mengambil rumput. Kayu-kayu yang boleh diambil oleh penduduk setempat adalah sisa-sisa kayu yang tidak dipungut oleh Jawatan Kehutanan, kayu mati ataupun pohon-pohon yang rebah di hutan rimba sepanjang untuk keperluan sendiri, bukan untuk diperdagangkan.

Adapun peraturan pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor Java en Madoera, yang kemudian diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land Boschbeheer op Java en Madoera (Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura)  yang disingkat menjadi Boschverordening voor Java en Madoera 1932. Peraturan ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939.[15]

c. Masa Penjajahan Jepang 1942-1945

Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 (tiga) wilayah komando, yaitu (1) Jawa dan Madura, (2) Sumatera, dan (3) Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang (Osamu Sirei) Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan-peraturan Militer Jepang.[16]

Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hukum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya (Boschverordening 1932).

3. Masa Kemerdekaan

a. Masa Pemerintahan Orde Lama (1945 –1965)

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang (2009), terdapat tiga pergantian rezim yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum kita,[17] yaitu Rezim Orde Lama,  Rezim Orde Baru, dan Rezim Reformasi. Ketiga-tiga rezim tersebut memiliki karakteristik dan perpsektif masing-masing dalam hubungannya dengan masalah kehutanan. Karenanya, ketiga masa kekuasaan tersebut telah melahirkan tipikal hukum kehutanan yang berbeda-beda.

Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik  segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto. [18]

Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun. Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku.

Dengan demikian, Undang-undang kehutanan yang berlaku dalam masa-masa awal kemerdekaan ini adalah Boschordonantie 1927. Adapun lembaga pelaksananya adalah Jawatan Kehutanan yang memang sudah dibentuk sebelumnya, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh Pemerintahan Jajahan Jepang, yang kemudian dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Mengenai peralihan kekuasaan jawatan tersebut ditentukan dengan Surat Ketetapan Gunsaikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/GKT tanggal 1 September 1945  tentang Peralihan Kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari Jepang kepada Republik Indonesia, yang kemudian disusul dengan Surat Ketetapan Nomor 735A/Keh tanggal 24 Oktober 1945 mengubah susunan Pimpinan Jawatan Kehutanan.[19]

Pemerintah Orde lama memang tidak sempat melahirkan Undang-undang Kehutanan untuk mengganti produk kolonial Belanda. Namun untuk mencapai beberapa kepentingan nasional Pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa peraturan berkaitan dengan kehutanan.

b. Masa Pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998)

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK). Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya.

Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut dinyatakan bahwa, UUPK ini merupakan suatu langkah untuk menuju kepada univikasi hukum nasional di bidang kehutanan, dan merupakan induk peraturan perundangan yang mengatur berbagai bidang dalam kegiatan kehutanan.

Untuk melaksanakan UUPK tersebut, telah dikeluarkan serangkaian peraturan pelaksanaannya. Jika ditelaah terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUPK tersebut dan peraturan pelaksanaannya, dapatlah dipahami bahwa keberadaan undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan upaya konservasi lingkungan. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Penjelasan Umumnya, yaitu; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikarunia oleh Tuhan yang maha Esa tanah air yang kaya raya dengan sumber kekayaan alam, antara lain dengan hutan yang masih sangat luas sekali. Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif merupakan pelaksanaan amanat penderitaan  rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Kebutuhan modal pembangunan merupakan prioritas utama pada saat itu. Pengusahaan hutan tropika dalam beberapa hal telah berhasil menopang pembangunan nasional dalam hal pendapatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan pembangunan regional dan pembangunan industri hasil hutan.[20] Sumber daya alam (hutan, tambang, air, mineral) dipandang dalam konteks economic sense dan belum dipahami sebagai ecological dan sustainable sense.

Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UU Nomor 5 Tahun 1967) dan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU Nomor 11 tahun 1967) dikeluarkan sebagai bagian dari paket kebijaksanaan ”membuka pintu” bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri.[21] Untuk mempercepat pertumbuhan perkonomian Indonesia pada masa awal Orde Baru, pemerintah mengundangkan dua undang-undang untuk menarik minat para usahawan menanamkan investasinya di Indonesia, terutama dalam hal pengusahaan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Undang-undang dimaksud adalah Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967) dan UU tentang penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6 Tahun 1968).

c. Masa Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006)

Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut-turut  (1998 – 2004)   digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, serta oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (2004 – 2009). Rezim pemerintahan baru ini dinamakan dengan Rezim Reformasi.[22]

Rezim Reformasi berupaya  menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang-undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK).

Ditinjau dari bagian menimbang UUK, yang juga merupakan alasan hukum pembentukan suatu undang-undang, disatu sisi, bahwa undang-undang ini dibentuk dengan semangat kesadaran pemihakan kepada lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan dunia. Sementara di lain sisi, adanya pernyataan harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat, menunjukkan keberpihakan undang-undang ini pada masyarakat hukum adat dengan segala kearifan tradisionalnya. Sehingga dari alasan hukum ini dapat dipahami bahwa keberadaan undang-undang ini tidak lagi semata-mata bersifat economicentris, tetapi  bersifat ecologycentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Dalam Undang-undang tentang Kehutanan produk Reformasi, diakui dan diatur secara tegas mengenai hutan adat dan masyarakat hukum adat. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.  Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyaraat hukum adat bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan mengembalikan kualitas hutan, meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dapat dikemukakan bahwa Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Hal-hal yang baru ini adalah (1) adanya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, (2) penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah, (3) penegasan hak masyarakat hukum adat, (4) peran serta masyarakat, (5) terbukanya peluang untuk melakukan gugatan perwakilan, (6) diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa, (7) adanya ketentuan pidana, (8) diaturnya tentang ganti rugi dan sanksi administratif.

Sejak Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru.  Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan. [23] Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi  2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun.[24]

Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah, Pemerintah Pusat meluncurkan kebijakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.  Peraturan ini diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah.

Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) menurut Pasal 1 angka 1 peraturan tersebut adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari.  Pembentukan KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. KPH sesuai dengan  fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efesien dan lestari  bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan.

Sumber : Taqwaddin Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

[13] Salim, Op. Cit., hlm. 22.

[19] Departemen Kehutanan RI, Op. Cit., hlm. 45.