Contoh penerapan melaksanakan perintah makan makanan yang halal lagi baik adalah

Perintah Makan Makanan yang Halal dan Baik (Surat Al-Baqarah ayat 168-171)

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (169) وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ (170) وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (171)

(168) Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

(169) Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.

(170) Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

(171) Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.

Kelompok ayat ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kelompok ayat sebelumnya, mulai dari ayat 164. Di sana diungkapkan bahwa penciptaan langit dan bumi, siang malam, perjalanan di laut, manfaat air hujan dan berhembusnya angin di atmosfir bumi, semuanya dapat menyadarkan umat manusia akan kekuasaan dan keagungan Allah swt. Namun demikian ada saja, dan bahkan banyak, orang yang tidak mau memetik pelajaran dari peristiwa alam yang sangat nyata itu. Berbahagialah orang yang bertambah imannya dengan meresapi peristiwa alam sebagai bukti keagungan Allah swt. Orang kafir kelak akan menyesal dan ingin rasanya kembali diberi kesempatan hidup lagi di dunia untuk menebus kesalahan mereka, tetapi nasi sudah menjadi bubur.

Pada ayat 168 ini Allah menyebut bumi lagi. Di Bumi ada makanan buat umat manusia. Seperti pada kelompok ayat di atas, di sini Allah menyeru kepada seluruh umat manusia, bukan hanya orang beriman, agar memilih makanan yang halal dan yang bagus (thayyib). Tentu, praktik yang diperintahkan ini oleh Allah dijamin mendatangkan keuntungan dalam kesehatan, baik kesehatan fisik maupun psikis, baik individu maupun sosial.

Kata thayyib yang dinisbahkan kepada makanan sering kali disertai dengan kata halal. Misalnya perintah Allah agar makan rezeki yang halal lagi thayyib yang disebutkan dalam Al-Baqarah: 168, Al-Maidah: 88,

… وكلوا مما رزقكم الله حلالا طيبا واتقوا الله الذى انتم به مؤمنون

Al-Anfal: 69,

فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا واتقوا الله إن الله غفور رحيم

An-Nahl: 114.

فكلوا مما رزقكم الله حلالا طيبا واشكروا نعمة الله إن كنتم إيه تعبدون

Terkadang Allah menyebut makanan atau rezeki dengan label thayyib/thayyibat tidak disertai kata halal. Misalnya firman Allah: “… makanlah dari yang baik-baik (thayyibat) dari apa yang Kami berikan rezeki kepada kalian….”.

…كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ… [البقرة/57, 172, الاعراف: 160, طه: 81]

Contoh lain adalah firman Allah:  “Wahai orang-orang mukmin, keluarkanlah infaq dari yang baik-baik (thayyibat) dari hasil usaha kalian….”

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ [البقرة/267]

Terkadang label thayyib untuk menjelaskan kata halal. Misalnya dalam surah al-Maidah: 4 disebutkan, “Mereka bertanya kepadamu, makanan mana yang halal? Katakanlah, dihalalkan kepadamu makanan yang thayyibat.” Berdasarkan beberapa ayat di atas, tampaknya kata thayyib yang mandiri mengandung pengertian halal.

Kata thayyib dikontraskan dengan khabâits. Misalnya surah Al-A’raf: 157 menyatakan “Allah menghalalkan bagi mereka yang thayyib dan mengharamkan mereka yang khabâits….”

Menurut bahasa, halal berasal dari kata hill (حل) artinya terlepas, terbebas, lawan dari kata ‘aqdun (عقد) artinya terikat. Barang halal adalah barang yang terbebas, terlepas, dibolehkan untuk diperlakukann, sedangkan lawannya adalah barang yang terikat, tidak boleh diperlakukan. Tidak diragukan bahwa halal adalah lawan haram. Rezeki halal adalah rezeki yang zatnya dan cara memperolehnya diperbolehkan oleh Islam. Contoh rezeki yang halal zatnya adalah hewan pada umumnya seperti ayam, kambing, ikan laut. Kemudian, rezeki yang diperoleh dengan cara menipu, korupsi, mencuri, adalah haram meskipun termasuk jenis rezeki halal. Banyak cara memperoleh rezeki yang diharamkan, banyak pula cara yang dihalalkan. Jadi, rezeki halal adalah, rezeki yang, baik zat maupun cara memperolehnya halal.

Thayyib mengandung arti baik, berkualitas dan bermanfaat. Label thayyib dalam Al-Qur’an tidak hanya dinisbatkan kepada jenis makanan, tetapi dinisbatkan juga pada beberapa hal. Ia dinisbatkan kepada keturunan (dzurriyyah) thayyibah, kalimah thayyibah, pohon (syajarah) thayyibah, tempat-tempat (masâkina) thayyibah, negeri (baldah) thayyibah, penghargaan (tahiyyatan) thayyibah, hembusan angin (rîh) thayyibah. Semua kata yang diberi sifat thayyibah adalah berkualitas, baik, dan memberi manfaat.

Perlu dicatat di sini bahwa makanan yang thayyib itu secara subjektif belum tentu baik dan bermanfaat. Misalnya, ada orang tertentu yang karena gangguan kesehatan dilarang minum kopi, makan daging kambing, yang secara obyektif disebut sebagai makanan thayyib dan halal zatnya. Atas pertimbangan tersebut, makanan jenis ini tidak mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi orang tertentu, karenanya harus dihindari. Ada juga orang yang secara subjektif tidak pantang sama sekali, tetapi sekedar membatasi kuantitasnya.

Banyak orang pada usia tertentu mengalami gangguan kesehatan seperti kolesterol, atau diabetes melitus. Oleh dokter mereka tidak dibenarkan mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi dan mengandung kadar gula seperti orang normal mengkonsumsinya. Di sini, meskipun menurut orang yang kesehatannya normal kolesterol dan gula itu jenis makanan yang thayyib, tetapi bagi “si penderita,” jenis makanan itu tidak thayyib. Dengan kesadaran beragama, si penderita harus mengakui bahwa jenis makanan tersebut tidak thayyib, harus disingkiri sesuai petunjuk ilmu kedokteran. Inilah yang dimaksud thayyib subjektif itu.

Perintah Al-Qur’an agar mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib menunjukkan kasih sayang Allah kepada semua umat manusia. Mereka diundang untuk menjaga kesehatan melalui konsumsi makanan. Benar juga rasanya, karena gangguan kesehatan selalu disebabkan oleh pola makan. Orang yang membangkang dari petunjuk ini berarti menyengaja membawa dirinya ke jurang kehancuran, yang dalam bahasa agama disebut melaksanakan ajakan setan. Karena itu Al-Qur’an menyatakan “dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Di sini, orang non muslim pun (karena termasuk bagian dari umat manusia yang dipanggil) diingatkan agar tidak mengikuti petunjuk setan, dimulai dari konsumsi makanan. Melepaskan hubungan dengan setan sedikit demi sedikit akan mengantar manusia menjadi orang beriman yang berkualitas. Karena sebenarnya manusia itu dalam hal mengikuti petunjuk setan juga dengan cara selangkah demi selangkah, dalam bahasa Al-Qur’an dalam ayat ini disebut khuthuwâtisy syaithân (خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ).

Di muka disebutkan bahwa label halal untuk makanan mengandung maksud agar ia diperoleh dengan cara yang benar. Adapun kehalalan dari segi zat akan dibicarakan pada kajian ayat 172 nanti. Seruan mengambil yang halal dan menjauhi langkah setan relevan dengan kehidupan hedonisme yang dipraktekkan oleh mereka yang suka melakukan kecurangan dalam mengais rezeki.

Ayat 169 Al-Qur’an menyatakan, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” Ini mengandung maksud bahwa orang yang menasarufkan dan memakan barang yang haram dan yang kotor, hina dan tidak berkualitas termasuk mengikuti jejak setan. Kemudian diingatkan bahwa setan akan terus menerus mengajak orang berbuat jahat dan keji.

Ada baiknya ayat yang membicarakan tentang cara memperoleh rezeki dengan mengikuti langkah setan ini diasosiasikan dengan nuansa orang yang mengejar kekayaan dan kesenangan duniawi melalui perdukunan. Orang yang terbiasa mencari rezeki berdasarkan petunjuk dukun tidak bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Mereka habis-habisan membela sang dukun meskipun ajarannya menyimpang jauh dari ajaran Al-Qur’an. Kalau perlu mereka mengatakan bahwa sang dukun mendapatkan wangsit dari Allah untuk menunjukkan cara memperoleh rezeki yang melimpah.

Sementara, sang dukun yang suka bersemedi dan beragama Islam dalam KTP-nya itu tidak pernah melaksanakan perintah agama. Ia sembahyang dengan caranya sendiri tetapi tidak shalat. Bahkan ketika disuruh membaca al-Fatihah, sang dukun tidak hafal. Tetapi para pengikutnya yang masih dalam kungkungan setan masih menyatakan bahwa sang dukun adalah orang Islam taat, sesama orang Islam tidak perlu memperpanjang permusuhan. Inilah agaknya yang dimaksudkan ungkapan “dan kamu mengatakan tentang Allah tentang apa yang kamu tidak mengetahuinya.”

Ayat 170 menyatakan Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

Masyarakat tradisional pada umumnya melaksanakan seremoni dan ritual berdasarkan apa yang mereka peroleh dari nenek moyang, yang otoritasnya di tangan sang dukun seperti disebut di muka. Semua yang mentradisi dan membudaya itu dirasakan benar adanya. Sulit rasanya menerima pandangan, pemikiran dan ajaran baru yang berbeda dari tradisi mereka selama ini. Saking lengketnya tradisi pada diri mereka, misalnya berupa seni tertentu, mereka merasa perlu melestarikan bahkan memamerkannya terhadap masyarakat luar, kalau perlu terhadap masyarakat modern sekalipun.

Setiap kali ada kunjungan dari luar, mereka mempertontonkan kehebatan tradisi itu. Mereka tidak bisa lagi mempertimbangkan bahwa ada tradisi dan budaya lain yang membawa mereka lebih maju. Karenanya wajar bila mereka senang menerima kunjungan, tetapi tidak melakukan kunjungan balasan. Kata Sutan Takdir Ali Syahbana, mereka seperti penghuni kebun binatang, suka menari dan memamerkan kebolehan mereka, tak peduli bahwa pengunjung itu lebih hebat dari mereka. Agaknya demikianlah setan menjaga kelestarian apa yang diperoleh dari nenek moyang agar kebenaran tidak bisa diterima.

Ayat ini dapat menggiring pikiran melihat sikap dan prilaku para koruptor karena berkaitan dengan pembicaraan tentang memakan harta yang halal dan thayyib. Mereka sebenarnya mengetahui bahwa korupsi itu tidak benar karena merugikan rakyat dan negara. Mereka juga sadar bahwa mereka sedang mengikuti langkah setan. Tetapi mereka mendapati prilaku korupsi itu dari generasi sebelumnya, yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut “diperoleh dari nenek moyang.”

Ketika diingatkan bahwa itu tindakan salah, meskipun tidak menjawab eksplisit, mereka menjawab dalam hati, bahwa korupsi yang mereka lakukan adalah warisan sistematis dari generasi sebelumnya, karenanya masih perlu dilestarikan. Agaknya pengaruh setan sudah begitu mendalam sehingga sulit bagi mereka mengelak darinya. Bahkan, mereka sudah sampai pada tingkat berposisi sebagai setan, malah dapat menggantikan fungsi setan. Seolah, andainya setan mau agak santai menggoda, tidak perlu khawatir pekerjaannya terbengkalai karena pekerjaan menggoda tersebut sudah diambil alih oleh manusia yang kerasukan setan cukup mendalam tadi.

Ayat 171 menyatakan: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” Di sini Al-Qur’an menjelaskan bahwa para pengikut setia setan disebut orang kafir. Sebagaimana sering dijelaskan bahwa kafir artinya tutup, maka orang kafir adalah mereka yang tertutup pikiran dan kalbunya dari menerima kebenaran. Begitulah sakti dan dahsyatnya kekuatan setan mempertahankan dan menyebarkan kebatilan.

Orang kafir digambarkan sebagai hewan gembala yang hanya dapat memahami satu atau dua kata sebagai aba-aba yang diucapkan oleh tuannya. Hewan gembala tidak bisa menerima nasihat betapapun bagus dan indahnya nasihat itu. Hewan gembala tidak bisa dibawa menjadi komunitas yang lebih maju. Katakanlah ada hewan yang bisa membuat rumah sendiri seperti burung, sejak dulu hingga sekarang rumah burung pipit ajeg seperti itu, tidak pernah beranjak menjadi lebih baik. Ia tidak tahu ada bahan yang lebih bagus untuk membuat rumah, atau perlu rumah yang agak leluasa dan nyaman.

Berbeda dengan manusia yang tadinya membuat rumah dari dedaunan, kemudian dari papan, kemudian rumah tembok, lalu berbeton dan tersusun, selanjutnya kelak akan membuat rumah seperti apa lagi kita tidak tahu. Dengan kreativitasnya manusia dapat memberi asesoris rumah hingga lebih bagus, mewah dan indah. Demikian karena manusia mau menerima perubahan. Nah, di sini, orang kafir yang tidak mau menerima kebenaran itu bagai hewan yang tidak dapat menerima perubahan, mereka seolah buta, bisu dan tuli.

Dalam kaitannya dengan pilihan makanan yang halal lagi thayyib, orang kafir terlanjur nyaman dengan makanan dan minuman yang haram, karena hal itu lebih cocok bagi hawa nafsunya. Begitu pula dengan cara memperoleh rezeki dengan cara-cara yang tidak benar telah membikin mereka kecanduan. Amat sulit bagi mereka untuk menerima nasihat bahwa perbuatannya merugikan jasmani dan rohaninya sendiri, bahkan bagi masyarakat luas.

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muhammad Zuhri, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2015