Tindakan berikut yang harus dihindari dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga adalah

Orang bijak menyebutkan bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak. Sehingga, salah satu kewajiban kita sebagai warga negara ialah membayar pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa dengan tidak menerima imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk itu, pajak mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan, dan untuk berjalannya suatu negara diperlukan partisipasi aktif dari warga negara dalam memajukan negara itu sendiri. Sama halnya dengan Pancasila, dimana Pancasila sebagai ideologi negara merupakan penuntun penyelenggaraan negara dan warga negara dalam mewujudkan kemakmuran bangsa.

Setiap kegiatan pembangunan negara membutuhkan dana, dan sumber dana negara adalah APBN yang berasal dari pajak. Maka dari itu, pemanfaatan pajak menjadi wujud dari nilai-nilai Pancasila salah satunya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Disamping itu, pajak tidak hanya untuk mewujudkan nilai-nilai sila ke-5 Pancasila, tetapi juga seluruh nilai-nilai sila dalam Pancasila.

Peran aktif dan kesadaran masyarakat dalam pembayaran pajak harus diperhatikan. Tidak jarang terdapat berbagai perlawanan dari masyarakat terhadap pungutan pajak. Hal ini terjadi karena pajak merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh wajib pajak tanpa kompensasi secara langsung yang didapatkan oleh wajib pajak.

Baca juga Sosok di Buku Sejarah: AA Maramis dan Perannya Bagi Ekonomi Indonesia

Berbagai perlawanan masyarakat terhadap pungutan pajak dapat dibedakan sebagai berikut:

Perlawanan ini berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi suatu negara dengan perkembangan intelektual dan moral penduduk dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri. Perlawanan pasif juga ada apabila sistem kontrol tidak dilakukan dengan efektif atau bahkan tidak dapat dilakukan.

Penghindaran diri dari pajak, yaitu pajak dapat dengan mudah dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat dikenakan pajak atau tax avoidance.

  • Pengelakan/penyelundupan pajak

Penghindaran pajak dengan cara pengelakan, yang dimana melanggar hukum (ilegal) atau tax evasion.

Menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi ketentuan formal yang harus dipenuhi, misalnya dengan cara menghalangi proses penyitaan.

Kita ketahui, pembangunan sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber dana pembangunan dapat diperoleh dari sumber daya alam (SDA), aktivitas usaha pemerintah (BUMN/BUMD), pinjaman, hibah, dan pajak. Di antara sumber-sumber tersebut, pajak merupakan salah satu sumber yang sangat penting karena melibatkan partisipasi warga negara untuk pembangunan, baik fisik maupun non fisik, serta meningkatkan kemandirian bangsa.

Pada hakikatnya, pajak merupakan sarana untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu, negara harus mewujudkan keadilan berbagi atau distributif bagi masyarakat. Keadilan berbagi dapat diwujudkan apabila diikuti dengan ketaatan atau kepatuhan rakyat pada pemerintah dalam bentuk pembayaran pajak. Dengan demikian, pajak merupakan sarana berbagi dari masyarakat yang mampu melalui tangan pemerintah.

Baca juga Apa Perbedaan Pajak TNI dan Polri Dibandingkan dengan WP Lainnya?

Ketaatan membayar pajak akan banyak membantu membangun bangsa ini, baik dari membangun perekonomian, sosial dan lain sebaginya. Kita ketahui sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah self assessment system, sistem ini memudahkan seseorang untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, di mana self assessment system merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Dalam sistem ini mengandung pengertian bahwa wajib pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Di sini diperlukan kejujuran dalam kebebasan menjalankan sistem ini. Pancasila sebagi ideologi negara Indonesia juga berperan penting dalam ketaatan wajib pajak dalam membayar pajak. 

Nilai-nilai Pancasila yang kita dapat apabila kita taat membayar pajak

1. Ketuhanan yang Maha Esa

Salah satunya yaitu nilai syukur, bentuk tindakannya adalah menyalurkan kelebihan rezeki. Misalnya warga negara yang memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu melalui membayar pajak.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

Salah satunya yaitu nilai keadilan, dimana terdapat 3 tolak ukur, salah satunya adalah nilai skandal sosial, artinya kalua sampai ada orang yang tidak mau berbagi dengan orang miskin, maka hal ini merupakan perbuatan menurunkan dan merendahkan martabat orang kaya tersebut, melalui membayar pajak kita dapat berbagi dengan orang miskin.

3. Persatuan Indonesia

Nilai-nilai ini meliputi rasa nasionalisme dan rasa memiliki negara ini, salah satu mewujudkannya adalah dengan kesadaran akan kewajiban sebagai warga negara, misalnya kesadaran akan kewajiban membayar pajak.

4. Kerakyatan Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Sila ini bertujuan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, dimana sejalan dengan tujuan dari fungsi pajak.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai dari Sila ini mengandung nilai-nilai keadilan berhubungan dengan kesejahteraan bersama yang juga sejalan dengan fungsi pajak.

Sebagai warga negara Indonesia hendaknya kita sama-sama membangun bangsa ini dengan hal-hal sederhana, misalnya dengan menaati segala aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, salah satunya melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yaitu taat membayar pajak, karena pada hakikatnya pajak merupakan sarana untuk menyejahterakan masyarakat, termasuk kita sendiri.

Di sisi lain, kita juga menerapkan nilai-nilai dari ideologi bangsa kita yaitu Pancasila melalui membayar pajak. Dengan begitu, kita akan memiliki karakter bangsa sesungguhnya yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan juga membawa bangsa ini menjadi lebih sejahtera. 

Disclaimer:

Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. 

Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini. 

Oleh : Bambang Supiansyah,S.IP.,M.Kes

Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan BKD Kab.Kotim

Bukan rahasia umum bahwa konflik adalah suatu yang desdruktif / merusak, karena itu sedapat mungkin konflik tersebut harus dihindari, namun fakta menunjukan bahwa dengan adanya konflik dapat memicu banyak kemajuan, inovasi dan kreatifitas, hal ini bila ditinjau dari segi positifnya konflik, tetapi kalau konflik tersebut ditinjau dari segi negatifnya, konflik itu akan memicu suatu kehancuran yang lambat laun akan mengakibatkan salah satu kelompok akan hancur. Dari sini timbul pertanyaan “bagaimana kita menyikapi konflik?”.

    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus mengenal terlebih dahulu apa definisi dari konflik. Menurut sebagian para ahli konflik adalah perilaku anggota organisasi yang di curahkan untuk beroposisi terhadap anggota lainnya, selain itu ada juga yang mengatakan konflik adalah pertentangan yang terjadi ketika kepentingan salah satu kelompok dihalang-halangi, atau disingkirkan oleh kepentingan kelompok lain.

     Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya konflik itu adalah adanya dua kelompok yang saling bertentangan baik secara terbuka maupun latent (tertutup). Konflik itu kadang-kadang merupakan suatu yang sangat perlu dalam suatu organisasi, tapi konflik yang bagaimana? Tentu saja konflik yang dapat merangsang perubahan dalam organisasi dan dapat menolong organisasi untuk secara terus menerus belajar (learning), namun tidak semua konflik akan menciptakan perubahan yang positif. Konflik yang mampu merangsang perubahan hanyalah konflik yang lazim disebut konflik fungsional. Disini seorang leader/manager/pemimpin dituntut agar berperan besar untuk membuat dan membawa kearah konflik yang fungsional bukan membawa kearah konflik yang desdruktif/merusak.

Tindakan berikut yang harus dihindari dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga adalah

Sumber (www.google.com)

Konflik yang fungsional akan merangsang organisasi menjadi kritis terhadap perubahan-perubahan yang selalu terjadi baik itu dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern) dan lebih inovatif serta kreatif, sedangkan konflik yang desdruktif (merusak) hanya akan merangsang organisasi menjadi kacau balau dan tidak kooporatif. Kalau kita lihat atau kita tinjau dari sudut pandang tradisional konflik itu hanya akan merusak sehingga harus dihindari bahkan sama halnya dengan irasionalitas, kekerasan dan kehancuran.

     Jika dalam suatu organisasi timbul suatu konflik, maka manajemenlah yang dapat memadamkan konflik, seorang leader/manager/pemimpin/dituntut bertindak baik secara administrasi maupun manajemen. Bagaimana seorang leader/manajer bertindak secara administrasi bisa dilihat dari caranya mengatur dan menjalankan penyelenggaraan apa yang dikehendaki suatu organisasi, sedangkan tindakan manajemen dapat dilihat dari bagaimana cara seorang pemimpin dalam mengendalikan, mengarahkan dan memanfaatkan segala faktor dan sumber daya, baik itu manusia, bahan, peralatan dan lain-lain, yang berdasarkan perencanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan atau mencapai suatu tujuan. Hal ini memang bukan tugas yang mudah, dari sini orang akan melihat bahkan dapat menilai peranan seorang pemimpin khususnya pemimpin hirarki yang berperan sebagai wasit atas pemutus pertentangan dalam organisasi secara efektif. Didalam melaksanakan tugasnya pemimpin yang satu dengan yang lainnya selalu ada perbedaan-perbedaan tertentu. Sikap dan tindak tanduk seorang pemimpin akan terlihat justru dalam caranya melakukan pekerjaan kepemimpinannya (leadership) seperti misalnya sewaktu dia memberi perintah kepada bawahannya, caranya menegur kesalahan-kesalahan bawahan, caranya memimpin rapat, cara berkomunikasinya, caranya menegakkan disiplin pada para bawahannya, cara merekomendasikan kegiatan yang sifatnya training kepada bawahan, dan sebagainya.

      Terkadang dalam merekomendasikan tugas kepada bawahan tidak sesuai dengan apa sebenarnya tugas pokok dan fungsi bawahan tersebut, sering kita lihat cara seorang pemimpin merekomendasikan suatu tugas pekerjaan, sesuaikah tugas yang diberikan kepada bawahan tersebut, karena jika rekomendasi tugas tersebut terjadi ketidaksesuaian tugas pokok dan fungsi si penerima tugas, hal inilah yang nantinya akan membuat suatu pekerjaan didalam suatu organisasi menjadi kebingungan akan wewenang kelompoknya. Hal seperti ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin (Leader) dalam merubah perilaku pengikut atau bawahannya. Belum lagi pendapat atasan yang terkadang beranggapan bahwa staf/pegawai/bawahan itu adalah orang yang pasif, malas, tidak berambisi untuk maju, takut memikul tanggung jawab, baru bekerja setelah ada peringatan dari atasan, pendapat seperti ini sebaiknya ditinjau kembali oleh semua atasan atau pemimpin, karena ada satu pendapat para ahli managemen terutama managemen Sumber Daya Manusia”Tidak ada satu orang staf pun yang bodoh, tetapi yang bodoh itu adalah manager pengelola SDM nya itu sendiri”, karena jika sumber daya manusia tersebut ditempatkan sesuai dengan kompetensinya atau keahliannya, maka akan terlihatlah kemampuan yang sebenarnya dari orang tersebut. Memang staf atau bawahan memiliki bermacam-macam karakteristik dan kompetensi. Pemimpin harus jeli dalam menilai para bawahan atau staf dalam organisasi, staf atau bawahan itu dalam melaksanakan pekerjaan yang di berikan oleh atasannya memiliki karakteristik seperti yang sering kita lihat dalam suatu organisasi,  ada bawahan yang memiliki kemampuan tapi tidak memiliki kemauan untuk bekerja, yang parah lagi ada bawahan yang tidak memiliki kemampuan bahkan dibarengi tidak memiliki kemauan untuk bekerja, ada yang tidak mampu namun juga dibarengi tidak ada kemauan untuk bekerja, tetapi ada juga karyawan itu yang mampu bahkan dibarengi adanya kemauan untuk bekerja. Kesemua itu tergantung pendekatan para pimpinan atau manager dalam mengelola sumber daya manusia yang tersedia. (Bagaimana menghadapi karakteristik individu dalam organisasi?  akan dibahas pada penulisan selanjutnya)

Tindakan berikut yang harus dihindari dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga adalah

Dokumen BKD Kabupaten Kotawaringin Timur “salah satu jiwa kebersamaan yang tertanam pada organisasi”

Kepemimpinan itu adalah seni dan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, dalam artian seorang pemimpin itu mampu menggunakan kekuasaan secara efektif dan bertanggung jawab, seorang pemimpin mampu memahami manusia, bahwa manusia itu mempunyai perbedaan, kekuatan motivasi dalam waktu yang berbeda dan situasi yang berbeda pula, pemimpin itu mampu menggali inspirasi bawahan, dan pemimpin itu mampu menciptakan dan mengembangkan iklim serta situasi yang kondusif agar bawahan mau memberikan kreativitas dan kemampuan terbaiknya.

Menurut pendapat seorang ahli Louis R.Pondy “sumber yang dapat memicu konflik dalam organisasi adalah sebagai berikut :

Pertama “konlik terjadi karena saling ketergantungan”, dalam menjalankan tugasnya antara unit yang satu dengan yang lainnya saling ketergantungan, sehingga terjadi kompetisi dalam memperebutkan otonomi dan koordinasi. Masing-masing unit akan memperjuangkan otonomi yang lebih besar untuk kepentingan unitnya. Langkah ini akan berbenturan dengan langkah dan keinginan organisasi dalam melakukan koordinasi. Semakin tinggi tingkat koordinasi dalam memperjuangkan otonomi, maka semakin tinggi pula potensi konflik apakah itu antar individu, kelompok maupun antar unit-unit dalam organisasi.

Kedua “sumber empuk pemicu konflik dalam organisasi lainnya adalah adanya perbedaan dalam menetapkan prioritas dan tujuan”, dimana masing-masing unit pada umumnya hanya memperjuangkan kepentingan dan tujuan dari unitnya masing-masing tanpa memperhatikan tujuan dari unit lain hal seperti ini hanya akan memicu konflik antar unit dalam organisasi menjadi subur.

Ketiga Faktor-faktor birokrasi, terkadang ada kesalahan dalam mendesain birokrasi, kesalahan dalam  desain birokrasi dan prosedur ini adalah sumber empuk konflik yang sangat potensial dalam organisasi.

Keempat Ukuran kinerja yang tidak sesuai, hal ini masih berkaitan dengan faktor-faktor birokrasi, hanya saja ini menyangkut tatacara melakukan monitoring, evaluasi dan penghargaan yang berbeda antar unit satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya bisa menimbulkan kecemburuan social antar unit, dan pemicu konflik ideal.

Kelima Memperebutkan sumber daya yang langka, hal ini sangat erat hubungannya dengan ketersediaan sarana-sarana pendukung yang langka sehingga setiap unit saling berebut pendukung yang langka sehingga setiap unit saling berebut untuk mendukung operasi unitnya masing-masing.

Dari uraian di atas kita akan tahu apa yang menyebabkan konflik, dinamika dan peranannya dalam organisasi. Ada  pertanyaan kita dapat, bagaimana kita mengendalikan, menguasai dan mengatasi konflik yang berperanan negatif maupun positif tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut ada beberapa strategi dalam pengendalian konflik organisasi diantaranya dengan menerapkan strategi sebagai berikut:

Starategi pertama dengan cara Penghindaran (advidance) atau penarikan diri, strategi ini meliputi ketidak acuhan umum terhadap sebab-sebab dari konflik dengan membiarkan konflik berlangsung terus menerus pada tingkat bawah, kondisi-kondisi yang terkendali hanya pada bagian tertentu saja, bahkan bisa berupa sebaliknya konflik akan semakin memburuk. Metode yang digunakan diantaranya seolah-olah tidak memperhatikan adanya konflik, dengan cara pemisahan secara fisik dan mengadakan interaksi terbatas.

Starategi kedua dengan cara Memecah dan menyebar (diffusion), cara ini pemimpin dalam mengambil keputusan harus sedikit bersabar menunggu sampai konflik diantara dua kelompok menjadi berkurang emosionalnya.

Strategi ketiga dengan cara Penyesuaian diri (accommodation), dalam strategi ini paling tidak salah satu pihak yang terlibat konflik usahakan untuk menempatkan kepentingan pihak lain diatas kepentingan diri atau kelompoknya.

Strategi keempat dengan cara mendesain kembali Birokrasi dan reorganisasi, strategi ini mengandalkan otoritas formal dan kepatuhan pada peraturan-peraturan organisasi yang berlaku, personal control (pengendalian diri) akan diganti dengan hukum birokratik, ada restruktur atau struktur organisasi harus dirancang kembali untuk mengurangi konflik.

Strategi kelima dengan cara Perundingan, strategi ini biasanya erat dengan hubungannya dengan sumber-sumber yang ada, sehingga akan menimbulkan persaingan antar kelompok yang berkepentingan dengan hal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka sumber harus ditingkatkan, atau tuntutan dari pihak-pihak yang bersaing harus diturunkan, dengan mengadakan perundingan-perundingan.

Strategi keenam dengan Konfrontasi dan kolaborasi, strategi ini sumber konflik dicari, didiskusikan dan bisa ditemukan, dimana ditekankan sekali betapa pentingnya kebersamaan dari kelompok yang konflik.

Dari uraian diatas tipe pemimpin yang bagaimana yang bisa mengendalikan konflik baik itu antar individu maupun antar unit/kelompok? untuk itu marilah kita telaah beberapa sifat kepemimpinan warisan tradisional yang perlu atau diperagakan oleh setiap pemimpin yang biasa disebut dengan istilah Hasthabrata. Pandangan ini bertitik tolak dengan sifat-sifat yang ada pada alam diantaranya adalah :

Pemimpin bisa menjadi Matahari (Surya),  dalam keseharian kita selalu menikmati sinar surya atau mentari yang bersifat panas, penuh dengan energy, matahari adalah sumber kehidupan. Tanpa matahari maka akan berakhirlah segala bentuk kehidupan, demikian juga dengan pemimpin hendaknya dapat memberi semangat kepada bawahan sehingga suasana menjadi hidup, enerjik dan penuh kreativitas dan dinamika. Seorang pemimpin hendaknya dapat menimbulkan kinerja pada orang yang dipimpinnya.

Pemimpin dapat bersifat laksana Bulan (Candra), yang mempunyai sifat indah, sejuk, menawan dan mampu menerangi kegelapan. Sebagai seorang pemimpin hendaknya dapat memberikan keteduhan dan ketentraman batin bagi anak buahnya, dapat memecahkan persoalan yang dihadapi bawahannya baik itu persoalan yang dihadapi bawahannya baik itu peroalan dinas maupun pribadi. Dengan demikian seorang pemimpin akan dikagumi oleh anak buahnya.

Pemimpin dapat bersifat laksana Bintang (kartika), yang merupakan petunjuk bagi mereka yang kehilangan arah, bintang bersifat sebagai pedoman bagi manusia yang memerlukannya. Begitu juga dengan pemimpin hendaknya tingkah laku dan perbuatannya patut diteladani, dapat dijadikan arah bagi tujuan individu, kelompok maupun organisasi.

Pemimpin dapat bersifat laksana Angin (Bayu), yang memiliki sifat merata, dan dapat mengisi setiap ruang yang kosong. Angin mampu menembus dan masuk kesegala tempat. Pemimpin hendaknya bersifat teliti, cermat dan dapat menyelami segala kehidupan anak buahnya. Pemimpin hendaknya mampu mengumpulkan data yang tepat dan akurat sehingga keputusan yang diambil lebih bijaksana.

Pemimpin dapat bersifat laksana Awan (Mega), yang memiliki sifat menakutkan. Tetapi apabila awan berubah menjadi hujan, maka akan memberikan kesegaran dan kehidupan, begitulah pemimpin hendaknya dapat bermanfaat bagi anak buahnya.

Pemimpin dapat bersifat laksana Api (Dahana), yang bersifat tegak dan tidak pandang bulu. Siapa yang mendekat akan hangus terbakar. Begitulah seorang pemimpin hendaknya memiliki suatu prinsip. Kata-kata dapat dipegang, konsekuen dan penuh tanggung jawab atas semua perbuatannya. Ia bersifat adil, tidak pilih kasih, siapa yang salah dihukum dan siapa yang berhasil diberi penghargaan. Artinya Pemimpin hendaknya bersifat tegas.

Pemimpin dapat bersifat laksana Lautan (Samudra), samudra itu bersifat luas, dapat memuat apa saja bahkan bisa untuk menampung segala benda. Seorang pemimpin hendaknya memiliki pandangan yang luas, sabar, artinya seorang pemimpin itu mampu menampung segala macam persoalan dan mampu mencari penyelesaian.

Dan yang terakhir adalah bahwa Pemimpin dapat bersifat laksana Bumi (Bantala), bumi bersifat kokoh dan sentosa, dia dapat menghancurkan segala macam barang yang tak berguna menjadi bermanfaat. Artinya Pemimpin hendaknya bersifat luhur dan sentosa budinya, jujur dan mampu memanfaatkan situasi dan kondisi.

Demikian sifat-sifat pemimpin yang diharapkan bisa menanggulangi konflik yang ada pada organisasi yang dipimpinnya, mungkin dari tulisan tersebut diatas ada sedikit yang bisa menjadi masukan seorang pemimpin dalam memecahkan suatu masalah dalam kemelut kepemimpinan yang rumit dan yang menuntut tanggung jawab yang penuh untuk keberhasilan dalam mencapai tujuan individu, kelompok maupun organisasi yang telah ditetapkan.

Untuk direnungkan, penulis disini menuliskan satu kalimat bijak, mungkin kata-kata bijak ini bisa untuk menjadi rambu-rambu untuk para pemimpin dalam membuat suatu keputusan dalam mencapai tujuan bersama dalam organisasi

.Sumber Penulisan :

  1. Manajemen SDM (Salemba Empat 2006)
  2. Kepemimpinan (UT 2002)
  3. Administrasi Kepegawaian (UT 1996)
  4. Perilaku Organisasi (UT 2002)
  5. Psikologi Sosial (UT 2000)