Dalil perbedaan gerakan dan bacaan sholat

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Yang dipahami dari hadits ini bahwa tidak ada perbedaan antara shalat laki-laki dan perempuan, baik saat berdiri, duduk, ruku dan dan sujud. Hal inilah yang saya lakukan sejak saya masuk usia baligh. Akan tetapi, di daerah kami di Kenya ada sebagian wanita yang menentang aku dan berkata ‘Shalatmu tidak sah, karena menyerupai shalat laki-laki. Lalu dia menyebutkan beberapa contoh yang di dalamnya shalat laki-laki berbeda dengan shalat perempuan, seperti menggenggam kedua telapak tangan dan meletakkannya di dada, atau melepaskan keduanya, atau meluruskan punggung saat ruku dan perkara lainnya yang saya tidak puas dengan jawabannya. Mohon penjelasannya apakah antara shalat laki-laki dan wanita ada perbedaan dalam pelaksanannya?

Alhamdulillah.

Yang benar adalah bahwa tidak ada perbedaan antara shalat laki-laki dan wanita. Apa yang disebutkan oleh ulama fikih, tidak ada dalilnya. Hadits yang anda sebutkan dalam soal, adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Hal ini berlaku umum, syariat Islam berlaku bagi laki-laki dan wanita kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Maka sunahnya bagi wanita, melakukan shalat sebagaimana laki-laki shalat, baik dalam ruku, sujud, membaca, meletakkan tangan di dada, inilah yang lebih utama. Demikianlah pula masalah meletakkan tangan di kedua lutut saat ruku, demikian pula bacaan-bacaan dalam rukud, sujud, setelah bangkit dari ruku, setelah bangun dari sujud, yang utama adalah melakukannya seperti laki-laki, sebagai pengamalan terhadap hadits nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari dalam shahihnya)

Adapun iqamah dan azan, hal tersbut di luar shalat. Iqamah dan azan hanya khusus bagi laki-laki dan hal itu disebutkan dalam nash. Laki-laki mengumandangkan azan dan iqamah, sedangkan kaum wanita tidak ada azan dan iqamah. Adapun mengeraskan bacaan, dia dapat mengeraskan bacaan pada shalat-shalat yang bacaannya dikeraskan, seperti dalam shalat Fajar, Maghrib dan Isya. Dalam shalat Fajar, bacaan dikeraskan dalam kedua rakaatnya, dalam shalat Maghrib dikeraskan dalam dua rakaat pertama, dalam shalat Isya dikeraskan dalam dua rakaat pertama sebagaimana orang laki-laki mengeraskannya.”

Samahatus-Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah.

Apa saja yang termasuk dalam rukun shalat, ada yang berupa ucapan dan perbuatan, juga mana yang termasuk dalam wajib shalat.

# Fikih Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di

Kitab Shalat

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitabnya Manhajus Salikin,

وَالأَرْكَانُ القَوْلِيَّةُ مِنَ المَذْكُوْرَاتِ:

تَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ عَلَى غَيْرِ مَأْمُوْمٍ وَالتَّشَهُّدُ الأَخِيْرِ وَالسَّلاَمُ

“Dan rukun berupa ucapan dari cara shalat yang telah disebutkan adalah: takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah bagi selain makmum, tasyahud akhir, dan salam.”

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah melanjutkan,

وَالأَرْكَانُ القَوْلِيَّةُ مِنَ المَذْكُوْرَاتِ:

تَكْبِيْرَةُ الإِحْرَامِ وَقِرَاءَةُ الفَاتِحَةِ عَلَى غَيْرِ مَأْمُوْمٍ وَالتَّشَهُّدُ الأَخِيْرِ وَالسَّلاَمُ

وَبَاقِي أَفْعَالِهَا: أَرْكَانٌ فَعِلْيَةٌ, إِلَّا :

اَلتَّشَهُّدَ اَلْأَوَّلَ , فَإِنَّهُ مِنْ وَاجِبَاتِ اَلصَّلَاةِ

وَالتَّكْبِيرَاتِ غَيْرَ تَكْبِيرَةِ اَلْإِحْرَامِ.

و “سُبْحَانَ رَبِّي اَلْأَعْلَى” مَرَّةً فِي اَلسُّجُودِ.

و “رَبِّ اِغْفِرْ لِي” بَيْنَ اَلسَّجْدَتَيْنِ مَرَّةً, مَرَّةً, وَمَا زَادَ فَهُوَ مَسْنُونٌ.

وَقَوْلَ: “سَمِعَ اَللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ” لِلْإِمَامِ وَالْمُنْفَرِدِ.

و “رَبَّنَا لَكَ اَلْحَمْدُ” لِلْكُلِّ.

فَهَذِهِ اَلْوَاجِبَاتُ تَسْقُطُ بِالسَّهْوِ, وَيَجْبُرُهَا سُجُودُهُ اَلسَّهْوَ, وَكَذَا بِالْجَهْلِ

وَالْأَرْكَانُ لَا تَسْقُطُ سَهْوًا وَلَا جَهْلاً وَلَا عَمْدًا.

“Dan rukun berupa ucapan dari cara shalat yang telah disebutkan adalah: takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah bagi selain makmum, tasyahud akhir, dan salam.

Dan sisa gerakan itu masuk dalam rukun shalat yang berupa perbuatan kecuali:

  1. Tasyahud awwal, ini termasuk wajib shalat.
  2. Takbir-takbir dalam shalat kecuali takbiratul ihram.
  3. Ucapan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA” sekali ketika sujud.
  4. Bacaan “ROBBIGH-FIR LII” di antara dua sujud satu kali satu kali; jika ditambah lebih dari itu, maka masuk dalam sunnah shalat.
  5. Ucapan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendirian).
  6. Ucapan “ROBBANAA LAKAL HAMDU” untuk imam, munfarid, dan makmum.

Enam hal di atas masuk dalam wajib shalat. Wajib shalat bisa gugur karena lupa dan ditutup kelupaan tersebut dengan sujud sahwi, begitu pula gugur jika tidak tahu. Sedangkan rukun shalat tidaklah bisa gugur walau seseorang lupa, tidak tahu, atau sengaja.”

Salam dan Takbiratul Ihram Termasuk Rukun Shalat

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi, no. 238 dan Ibnu Majah, no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Baca Juga: Manhajus Salikin: Sifat Shalat Nabi, Takbiratul Ihram dan Mengangkat Tangan

Tasyahud Akhir Yang Setelah Itu Salam Termasuk Rukun Shalat

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْنَا: السَّلَامُ علَى اللَّهِ قَبْلَ عِبَادِهِ، السَّلَامُ علَى جِبْرِيلَ، السَّلَامُ علَى مِيكَائِيلَ، السَّلَامُ علَى فُلَانٍ وفُلَانٍ، فَلَمَّا انْصَرَفَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، أقْبَلَ عَلَيْنَا بوَجْهِهِ، فَقالَ : إنَّ اللَّهَ هو السَّلَامُ، فَإِذَا جَلَسَ أحَدُكُمْ في الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، والصَّلَوَاتُ، والطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أيُّها النبيُّ ورَحْمَةُ اللَّهِ وبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وعلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، فإنَّه إذَا قالَ ذلكَ أصَابَ كُلَّ عَبْدٍ صَالِحٍ في السَّمَاءِ والأرْضِ، أشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسولُهُ، ثُمَّ يَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ الكَلَامِ ما شَاءَ

“Jika shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan salam kepada Allah sebelum salam kepada para hamba-Nya, lalu salam kepada Jibril, salam kepada Mikail, salam kepada fulan dan fulan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai beliau lantas menghadap kami dengan wajahnya, lantas beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah itu As-Salaam (Yang Memberi Keselematan). Jika salah seorang di antara kalian duduk, maka ucapkanlah: AT-TAHIYAATU LILLAH, WASH-SHOLAWAAT, WATH-THOYYIBAAT, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WA ROHMATULLAHI WA BAROKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAHISH SHOLIHIIN. Jika engkau membaca seperti itu, maka setiap hamba Allah yang saleh di langit dan di bumi akan mendapatkan doa kebaikan tersebut. Lalu mengucapkan: ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSUULUH. Lalu silakan pilih kalimat setelah itu yang mau diucapkan.” (HR. Bukhari, no. 6230). Kalimat perintah membaca tasyahud di sini menunjukkan akan wajibnya. Sedangkan tasyahud awal tidaklah masuk dalam rukun shalat.

Baca Juga: Manhajus Salikin: Menutup Shalat dengan Salam

Hukum Membaca Al-Fatihah untuk Makmum

Membaca Al-Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedangkan makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak membaca Al-Fatihah, ia cukup mendengarkan, inilah pendapat yang lebih kuat. Karena Allah Ta’ala memerintahkan,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ. قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ  إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat Shubuh. Beliau bersabda, “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surah (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya.” Beliau lalu bersabda, “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al-Quran?“ (HR. Abu Daud, no. 826 dan Tirmidzi, no. 312. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنْصِتْ لِلْقُرْآنِ فَإِنْ فِي الصَّلاةِ شُغْلا، وَسَيَكْفِيكَ ذَلِكَ الإِمَامُ

“Diamlah saat imam membaca Al-Quran karena dalam shalat itu begitu sibuk. Cukup bagimu apa yang dibaca oleh imam.” (HR. Ath-Thabrani, 9:264)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

يَنْصِتُ لِلْإِمَامِ فِيْمَا يَجْهَرُ بِهِ فِي الصَّلاَةِ وَلاَ يَقْرَأُ مَعَهُ

“Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan janganlah baca bersamanya.” (HR. Abdur Razaq, 2:139).

Baca Juga: Hukum Al-Fatihah (4): Membaca Al-Fatihah di Belakang Imam

Rukun Shalat Berupa Perbuatan (Gerakan)

  1. Berdiri bagi yang mampu untuk shalat wajib. Sedangkan untuk shalat sunnah, untuk berdirinya dihukumi sunnah. ‘Ali Al-Qari mengatakan, “Boleh shalat sunnah dilakukan dalam keadaan duduk padahal mampu berdiri. Ini dibolehkan dengan ijmak (kata sepakat ulama). Namun orang yang mampu berdiri dan tidak ada uzur lantas memilih shalat sunnah dalam keadaan duduk, maka pahalanya separuh dari yang berdiri.” (Jam’u Ar-Rasail fi Syarh Asy-Syamail, 2:99. Dinukil dari Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin, 1:254)
  2. Rukuk, karena berdasarkan hadits musii’ fii shalatihi dan dikatakan wajib berdasarkan ijmak. Sedangkan rukuk kedua untuk shalat gerhana (dalam satu rakaat) dihukumi sunnah (tidak wajib).
  3. Berdiri untuk iktidal, wajibnya juga berdasarkan hadits musii’ fii shalatihi.
  4. Sujud, wajibnya juga berdasarkan hadits musii’ fii shalatihi dan ada ijmak tentang hal ini.
  5. Duduk antara dua sujud, juga berdasarkan hadits musii’ fii shalatihi.
  6. Duduk tasyahud akhir karena duduk di sini adalah tempat untuk rukun tasyahudnya.
  7. Tertib (berurutan), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan rukun-rukun ini secara berurutan, juga ditegaskan dalam hadits musii’ fii shalatihi dengan kata “tsumma (arti: kemudian)”, lalu ada ijmak dalam hal ini.
  8. Thumakninah ketika rukuk, bangkit dari rukuk, sujud, duduk antara dua sujud karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pada orang yang jelek shalatnya demikian. Standar minimal thumakninah yaitu keadaan tenang dan membedakan antara berpindah dan rukun.

Kesimpulan rukun shalat berupa ucapan dan perbuatan berarti ada dua belas.

Wajib Shalat

  1. Tasyahud awwal dan duduknya.
  2. Takbir ketika rukuk, sujud, bangkit dari sujud, dan bangkit dari tasyahud pertama.
  3. Ucapan “SUBHAANA ROBBIYAL ‘AZHIIM” sekali ketika rukuk.
  4. Ucapan “SUBHAANA ROBBIYAL A’LAA” sekali ketika sujud.
  5. Bacaan “ROBBIGH-FIR LII” di antara dua sujud satu kali; jika ditambah lebih dari itu, maka masuk dalam sunnah shalat.
  6. Ucapan “SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH” ketika bangkit dari rukuk bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendirian).
  7. Ucapan “ROBBANAA LAKAL HAMDU” untuk imam, munfarid, dan makmum.

Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman mengatakan, “Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa takbir intiqal (takbir berpindah rukun), membaca tasbih dan dzikir ketika rukuk dan sujud, bacaan sami’allahu liman hamidah dan rabbanaa lakal hamdu, doa di antara dua sujud, termasuk sunnah dan bukanlah wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal ini secara tegas dalam hadits al-musii’ fii shalatihi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam hadits tersebut tentang rukun berupa ucapan, seperti takbiratul ihram dan membaca surat. Kalau dzikir-dzikir tadi itu wajib, tentu sama akan diajarkan. Bahkan bacaan tersebut lebih pantas diajarkan seandainya wajib. … Yang tepat, hadits-hadits yang membicarakan wajib dibawa ke sunnah karena kompromi dalil. Wallahu a’lam. Inilah yang jadi pendapat jumhur ulama, yaitu tiga imam madzhab dan ada satu riwayat dari Imam Ahmad, itulah yang lebih kuat bagiku. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa takbir intiqal itu tidak wajib, bahkan diklaim sebagai ijmak. Namun yang tepat, tidak ada ijmak kecuali ijmak yang ada sejak masa silam.” (Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin, 1:259)

Apa perbedaan rukun shalat dan wajib shalat?

Kata Syaikh As-Sa’di di atas dalam matannya, “Wajib shalat bisa gugur karena lupa dan ditutup kelupaan tersebut dengan sujud sahwi, begitu pula gugur jika tidak tahu. Sedangkan rukun shalat tidaklah bisa gugur walau seseorang lupa, tidak tahu, atau sengaja.”

Referensi:

  1. Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  2. Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Cetakan ketiga, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi. Penerbit Maktabah Darul Minhaj.
  3. Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com