Pertengahan Abad XV: Tiga Aria Show
1654 M: "Tanggeran" Bangunan Penanda Pasca 17 April 1684: Dari "Tanggeran" menjadi "Tangerang"
Pasca Tahun 1981 - 1993: Wilayah yang Berkembang Pesat Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk Kabupaten Daerah Tingkat II mengalami perkembangan yang sangat pesat. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa kecematan yang berbatasan langsung menjadi pusat segala kegiatan baik Pemerintah, Ekonomi, industri, dan Perdagangan, Politik, Sosial Budaya. Hingga pada tanggal 28 Februari 1981 disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Tangerang. Adapun Walikota Administratif Tangerang yang telah menjabat mulai terbentuk Kota Administratif adalah : 1. Periode 1982-1986 : Bapak KARSO PERMANA, BA 2. Periode 1986-1990 : Bapak Drs. H. YITNO 3. Periode 1990-1993 : Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD 1 Juni 1987 sampai dengan 28 Februari 1993: Dari Kabupaten ke Kotamadya 1993-Sekarang: Para Pemimpin Satu tahun kemudian, berdasarkan hasil pemilihan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD terpilih sebagai Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang yang pertama. Adapun urutan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang adalah sebagai berikut: Tahun 1993-1998 : Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD Tahun 1998-2003 : Bapak Drs. H. MOCH. THAMRIN Tahun 2003-2013 : Bapak Drs. H. WAHIDIN HALIM (2 Periode) Tahun 2013-2023 : Bapak H. ARIEF R. WISMANSYAH, B.Sc., M.Kes. (2 Periode) Sumber : tangerangkota.go.id
Lihat Foto KOMPAS.com - Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar adalah raja Kesultanan Banten yang berkuasa antara 1683-1687 M. Namanya dikenal karena disebut telah berkhianat kepada ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. Masa pemerintahannya juga menandai awal runtuhnya Kesultanan Banten dan dimulainya kekuasaan VOC di Banten. Dengan kondisi demikian, sangat wajar apabila masa pemerintahan Sultan Haji diwarnai banyak kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang. Awal kehidupanSultan Haji adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa yang pada masa pemerintahan ayahnya dipercaya untuk mengurus kepentingan dalam negeri kerajaan. Sementara untuk urusan luar negeri, Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putranya yang lain, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Seperti diketahui, pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya fokus memajukan kerajaannya, tetapi juga gigih melawan pendudukan Belanda di Indonesia. Sayangnya, usaha pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh Belanda. Perwakilan Belanda, W. Caeff, segera mendekati Sultan Haji yang dianggap sangat mudah untuk dipengaruhi. Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan Sultan Haji bekerjasama dengan VOCAkibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh pembagian tugas yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebuah upaya untuk menyingkirkannya dari takhta kesultanan.
Alhasil, Sultan Haji berkhianat dalam bentuk bersekongkol dengan VOC, yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya sendiri, untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya. Tentunya bantuan dari Belanda tidak datang secara cuma-cuma. Hal inilah yang membuat kedua belah pihak sering mengadakan perjanjian. Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, Belanda mengajukan empat syarat, yaitu:
Demi takhta kerajaan, Sultan Haji pun langsung menerima persyaratan yang sangat merugikan Banten tersebut. Dengan bantuan VOC, Sultan Haji menyerang ayahnya sendiri pada 1681 dan berhasil menguasai Keraton Surosowan. Pertempuran Sultan Haji dan Sultan Ageng TirtayasaSultan Ageng Tirtayasa sempat merebut Keraton Surosowan kembali, dan Sultan Haji yang berada di bawah perlindungan Belanda diamankan ke loji VOC. Kemudian pada 7 April 1682, dengan kekuatan yang besar, VOC menyerang Keraton Surosowan dan berhasil membebaskan loji VOC yang dikepung pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Pertempuran Sultan Haji dan ayahnya pun berlangsung sengit, karena Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan dengan dibantu pasukan dari Makassar, Bali, dan Melayu. Dalam serangkaian peperangan tersebut, kedua belah pihak sama-sama kehilangan banyak pasukan. Belanda beberapa kali berusaha membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan.
Namun, ketika Sultan Ageng Tirtayasa hendak kembali ke Keraton Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkapnya. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal pada 1692. Baca juga: Sultan Ageng Tirtayasa: Asal-usul, Peran, dan Perjuangan Sultan Haji naik takhtaSetelah penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan rakyat Banten tidak langsung padam. Akan tetapi, dengan restu VOC, Sultan Haji dapat naik takhta menjadi penguasa Kesultanan Banten. Penobatan tersebut kembali disertai dengan perjanjian, yang secara praktis membuat Kesultanan Banten tidak memiliki kedaulatan. Berikut ini beberapa poin isi perjanjian Sultan Haji kepada Belanda yang ditandatangani pada 17 April 1684.
Akhir hidup Sultan HajiPerjanjian antara Sultan Haji dan Belanda jelas meniadakan kedaulatan Banten. Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan harus mendapatkan persetujuan VOC. VOC pun perlahan-lahan mulai menguasai Kesultanan Banten, dan sebagai simbol kekuasaannya, VOC membangun benteng pertahanan pada 1684-1685. Penderitaan rakyat pun semakin berat dan pada akhirnya timbul kekacauan serta pemberontakan. Selain menghadapi penentangan dari rakyat, Sultan Haji semakin tertekan karena harus menuruti segala kehendak VOC. Sultan Haji pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten. Referensi:
|