Apa yang dilakukan ketiga maulana untuk membantu perekonomian kesultanan banten

Pertengahan Abad XV: Tiga Aria


Pada Masa Kolonialisme Belanda (abad XV), Sultan Banten mengangkat Tiga Aria / Maulana yang merupakan kerabat jauh Sultan dari Kerjaaan Sumedang Larang bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Kegiatannya bertugas untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap VOC dengan praktik Monopolinya. Tangerang Kota Benteng, Pada perjuangannya ketiga maulana tersebut membangun benteng pertahanan yang disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah "Benteng" atau "Bentengan". Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng. Saat ini sisa bangunan "Bentengan" tersebut berada di beberapa titik di bawah permukaan air Sungai Cisadane yang semakin melebar.

1654 M: "Tanggeran" Bangunan Penanda
Nama "Tangerang" berasal dari sebutan masyarakat sekitar terhadap bangunan tugu dengan tinggi kira-kira 2,5 meter yang didirikan Pangeran Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, bersama-sama dengan masyarakat sekitar pada tanggal 5 Sapar tahun Wawu ( 1654 Masehi ) yang terletak kira-kira 500 meter di tepi barat bantaran sungai Cisadane tepatnya di Gardu Gede yang kini dikenal dengan nama Kampung Gerendeng. Fungsi tugu tersebut adalah sebagai pembatas atau penanda wilayah kekuasaan kesultanan Banten di sebelah barat Sungai Cisadane dengan wilayah yang dikuasi VOC di sebelah timur. Atas dasar fungsinya tersebut, masyarakat menyebut tugu dan daerah itu dengan sebutan "Tetengger" atau "Tanggeran" yang berarti "penanda".

Pasca 17 April 1684: Dari "Tanggeran" menjadi "Tangerang"


Pasca penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten tanggal 17 April 1684, Belanda sepenuhnya menguasai wilayah "Tanggeran". Dalam penguasaannya, tentara Belanda juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng. Tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut "Tangeran" dengan "Tangerang". Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.

Pasca Tahun 1981 - 1993: Wilayah yang Berkembang Pesat

Seiring berjalannya waktu, daerah Tangerang yang kala itu berbentuk Kabupaten Daerah Tingkat II mengalami perkembangan yang sangat pesat. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota menjadikan beberapa kecematan yang berbatasan langsung menjadi pusat segala kegiatan baik Pemerintah, Ekonomi, industri, dan Perdagangan, Politik, Sosial Budaya. Hingga pada tanggal 28 Februari 1981 disahkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981 tentang Pembentukan Kota Administratif Tangerang. Adapun Walikota Administratif Tangerang yang telah menjabat mulai terbentuk Kota Administratif adalah : 1. Periode 1982-1986 : Bapak KARSO PERMANA, BA 2. Periode 1986-1990 : Bapak Drs. H. YITNO

3. Periode 1990-1993 : Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD

1 Juni 1987 sampai dengan 28 Februari 1993: Dari Kabupaten ke Kotamadya
Dalam perjalanan kurun waktu 12 Tahun Kabupaten Tangerang kembali menunjukan perkembangan dan pertumbuhan di segala bidang. Dengan lama proses 5 tahun 8 bulan 27 hari yaitu sejak tanggal 1 Juni 1987 sampai dengan 28 Februari 1993 dan secara resmi Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang menjadi Daerah Otonom Ke-25 di Jawa Barat dan Ke-312 se Indonesia. Selanjutnya, Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang diresmikan oleh Bapak Jendral TNI ( Pur ) RUDINI ( Menteri Dalam Negri Republik Indonesia ) pada hari Minggu tanggal 28 Februari 1993 bertepatan dengan bulan Suci Ramadhan 1413 H sekaligus melantik Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD sebagai Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang.

1993-Sekarang: Para Pemimpin Satu tahun kemudian, berdasarkan hasil pemilihan DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD terpilih sebagai Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang yang pertama. Adapun urutan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tangerang adalah sebagai berikut: Tahun 1993-1998 : Bapak Drs. H. DJAKARIA MACHMUD Tahun 1998-2003 : Bapak Drs. H. MOCH. THAMRIN Tahun 2003-2013 : Bapak Drs. H. WAHIDIN HALIM (2 Periode) Tahun 2013-2023 : Bapak H. ARIEF R. WISMANSYAH, B.Sc., M.Kes. (2 Periode)

Sumber : tangerangkota.go.id

Apa yang dilakukan ketiga maulana untuk membantu perekonomian kesultanan banten

Apa yang dilakukan ketiga maulana untuk membantu perekonomian kesultanan banten
Lihat Foto

gotravelly.com

salah satu obyek wisata religi di Banten yaitu Masjid Agung Banten.

KOMPAS.com - Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar adalah raja Kesultanan Banten yang berkuasa antara 1683-1687 M.

Namanya dikenal karena disebut telah berkhianat kepada ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa.

Masa pemerintahannya juga menandai awal runtuhnya Kesultanan Banten dan dimulainya kekuasaan VOC di Banten.

Dengan kondisi demikian, sangat wajar apabila masa pemerintahan Sultan Haji diwarnai banyak kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang.

Awal kehidupan

Sultan Haji adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa yang pada masa pemerintahan ayahnya dipercaya untuk mengurus kepentingan dalam negeri kerajaan.

Sementara untuk urusan luar negeri, Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putranya yang lain, yaitu Pangeran Arya Purbaya.

Seperti diketahui, pada masa pemerintahannya, Sultan Ageng Tirtayasa tidak hanya fokus memajukan kerajaannya, tetapi juga gigih melawan pendudukan Belanda di Indonesia.

Sayangnya, usaha pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh Belanda.

Perwakilan Belanda, W. Caeff, segera mendekati Sultan Haji yang dianggap sangat mudah untuk dipengaruhi.

Baca juga: Kerajaan Banten: Sejarah, Masa Kejayaan, Kemunduran, dan Peninggalan

Sultan Haji bekerjasama dengan VOC

Akibat termakan hasutan Belanda, Sultan Haji menuduh pembagian tugas yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebuah upaya untuk menyingkirkannya dari takhta kesultanan.

Alhasil, Sultan Haji berkhianat dalam bentuk bersekongkol dengan VOC, yang menjadi musuh bebuyutan ayahnya sendiri, untuk merebut takhta kekuasaan Banten supaya tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya.

Tentunya bantuan dari Belanda tidak datang secara cuma-cuma. Hal inilah yang membuat kedua belah pihak sering mengadakan perjanjian.

Sebagai imbalan membantu Sultan Haji mendapatkan takhta kesultanan, Belanda mengajukan empat syarat, yaitu:

  • Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC
  • VOC diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan pedagang dari negara lain harus diusir
  • Apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC
  • Pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus ditarik

Demi takhta kerajaan, Sultan Haji pun langsung menerima persyaratan yang sangat merugikan Banten tersebut.

Dengan bantuan VOC, Sultan Haji menyerang ayahnya sendiri pada 1681 dan berhasil menguasai Keraton Surosowan.

Pertempuran Sultan Haji dan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa sempat merebut Keraton Surosowan kembali, dan Sultan Haji yang berada di bawah perlindungan Belanda diamankan ke loji VOC.

Kemudian pada 7 April 1682, dengan kekuatan yang besar, VOC menyerang Keraton Surosowan dan berhasil membebaskan loji VOC yang dikepung pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Pertempuran Sultan Haji dan ayahnya pun berlangsung sengit, karena Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan dengan dibantu pasukan dari Makassar, Bali, dan Melayu.

Dalam serangkaian peperangan tersebut, kedua belah pihak sama-sama kehilangan banyak pasukan.

Belanda beberapa kali berusaha membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk menghentikan perlawanan.

Namun, ketika Sultan Ageng Tirtayasa hendak kembali ke Keraton Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkapnya.

Sultan Ageng Tirtayasa kemudian dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal pada 1692.

Baca juga: Sultan Ageng Tirtayasa: Asal-usul, Peran, dan Perjuangan

Sultan Haji naik takhta

Setelah penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan rakyat Banten tidak langsung padam.

Akan tetapi, dengan restu VOC, Sultan Haji dapat naik takhta menjadi penguasa Kesultanan Banten.

Penobatan tersebut kembali disertai dengan perjanjian, yang secara praktis membuat Kesultanan Banten tidak memiliki kedaulatan.

Berikut ini beberapa poin isi perjanjian Sultan Haji kepada Belanda yang ditandatangani pada 17 April 1684.

  • Sultan Banten tidak diperbolehkan memberi bantuan kepada musuh-musuh VOC dalam bentuk apapun
  • Semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tangerang menjadi milik VOC
  • Sultan harus mengganti kerugian sebanyak 12.000 ringgit kepada VOC
  • Sultan dilarang membuat perjanjian dengan bangsa lain
  • Kekuasaan raja Cirebon ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC

Akhir hidup Sultan Haji

Perjanjian antara Sultan Haji dan Belanda jelas meniadakan kedaulatan Banten. Sebab, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan kerajaan harus mendapatkan persetujuan VOC.

VOC pun perlahan-lahan mulai menguasai Kesultanan Banten, dan sebagai simbol kekuasaannya, VOC membangun benteng pertahanan pada 1684-1685.

Penderitaan rakyat pun semakin berat dan pada akhirnya timbul kekacauan serta pemberontakan.

Selain menghadapi penentangan dari rakyat, Sultan Haji semakin tertekan karena harus menuruti segala kehendak VOC.

Sultan Haji pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1687. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten.

Referensi:

  • Amarseto, Binuko. (2017). Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Relasi Inti Media.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.