Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah
Lihat Foto

Show

Wikipedia Commons

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

KOMPAS.com - Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Banjar di Martapura, Kalimantan Selatan.

Ia lahir di Martapura, yang menjadi salah satu pusat keagamaan Islam di Indonesia pada abad ke-16.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari berperan besar dalam penyebaran Islam pada abad ke-18.

Ia merupakan pengarang Kitab Sabilal Muhtadin, yang menjadi rujukan bagi para mahasiswa yang mendalami agama Islam di Asia Tenggara dan Mesir.

Baca juga: Syekh Nawawi al-Bantani, Ulama Banten yang Mendunia

Masa muda

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, pada 17 Maret 1710 M atau 1122 H.

Nama asli Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Sayyid Ja'far Al-Aydarus. Ia kemudian mendapat julukan Datu Kalampaian.

Sejak kecil hingga dewasa, ia belajar agama Islam langsung dari keluarganya. Di samping itu, ia juga diberikan pelatihan membuat kaligrafi.

Sekitar umur 30 tahun, Muhammad Arsyad al-Banjari ingin melanjutkan pendidikannya ke Tanah Suci Mekkah.

Keinginan itu dikabulkan oleh pemerintah Kesultanan Banjar pada 1739.

Baca juga: Biografi Abah Guru Sekumpul, Ulama Besar dari Kalimantan Selatan

Belajar di Mekkah

Muhammad Arsyad al-Banjari berangkat ke Arab dan melakukan ibadah haji terlebih dulu. Setelah itu, ia bermukim di Haramain selama beberapa tahun untuk menuntut ilmu agama Islam.

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kelahiran di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[3] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Dia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi referensi untuk banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[4]

Silsilah keturunan

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, selang lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[5] berpendapat bahwa dia adalah keturunan Alawiyyin melewati jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.[6]

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Debu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Debu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Debu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[5][7][8][9]

Riwayat

Masa kecil

Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan memainkan permainan dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula adab budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Ditengah kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang sedang berumur 7 tahun. Terkesan akan peristiwa itu, maka Sultan memohon pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk memperoleh ilmu bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia sampai 30 tahun. Yang belakang sekali dia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.[10]

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Walaupun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang sedang muda, kesudahannya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, sesudah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di selang guru dia adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang dituturkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melaksanakan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Sesudah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad berjumpa dengan kerabat yang lebih muda kandung dia merupakan Zainal Abidin yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang kerabat yang lebih muda membawa kabar berita bahwa anak dia merupakan Fatimah sudah berangkat dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Sesudah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Untuk itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan selang Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Menjadikan lebih baik arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki kawasan Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera merupakan di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Yang belakang sekali perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, merupakan kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad dimohon menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad menjadikan lebih baik arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara kebiasaan kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Agenda dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu ilmu yang diperolehnya. Patut kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[11]. Selama hidupnya dia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya. [12]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu dia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk memperoleh ilmu ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun yang belakang sekali, merupakan sesudah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang memohon kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis suatu Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak yang belakang sekali dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Pengajaran dan bermasyarakat

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Makam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari bermacam kawasan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang yang belakang sekali lama-kelamaan menjadi suatu kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari mendiami tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan asuhan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, dia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dibuat menjadi landasan Negara Brunai Darussalam.

Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang gunanya dalam terjemahan bebas sama sekali adalah "Jalan untuk orang-orang yang mendapat ajar untuk mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di selangnya ialah:[13]

  • Kitab Ushuluddin yang biasa dinamakan Kitab Sifat Duapuluh,
  • Kitab Tuhfatur Raghibin, merupakan kitab yang membahas soal-soal itikad serta afal yang sesat,
  • Kitab Nuqtatul Ajlan, merupakan kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  • Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya yang belakang sekali dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, merupakan tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang bertalian dengan itu, dan untuk mana biasa dinamakan Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, dia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Lihat pula

  • Kesultanan Maguindanao
  • Kesultanan Sulu

Referensi

  1. ^ http://en.rodovid.org/wk/Person:313061
  2. ^ http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=71
  3. ^ Radar Banjarmasin - Peninggalan Datu Kalampayan
  4. ^ (Indonesia) Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris, PT LKiS Pelangi Aksara, 2005 ISBN 9798451139, 9789798451133
  5. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah, Mathba'ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H.
  6. ^ Raja Kerajaan Tidung/Tarakan dari Dinasti Tengara merupakan Sultan Abdurrasid - keturunan Raja Kesultanan Sulu
  7. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990.
  8. ^ Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Debu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003.
  9. ^ http://kerajaanbanjar.wordpress.com/silsilah-anak-sultan/
  10. ^ (Indonesia) Sudrajat, A. Suryana (2006). Ulama pejuang dan ulama petualang: memperoleh ilmu kearifan dari Negeri Atas Angin. Erlangga. hlm. 77. ISBN 9797816079. ISBN 9789797816070
  11. ^ Mengenal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
  12. ^ Muslich Shabir, Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual, Penerbit Nuansa Aulia, 2005
  13. ^ (Melayu) Abdul Rashid Melebek, Amat Juhari Moain (2006). Sejarah bahasa Melayu. Utusan Publications. ISBN 9676118095. ISBN 9789676118097

Bacaan lanjutan

  • Muslich Shabir.Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual.Nuansa Aulia, 2005.ISBN 9799966205 ISBN 9789799966209

Pranala luar


edunitas.com


Page 2

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau semakin dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kelahiran di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[3] adalah ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Dia adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi referensi untuk banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[4]

Silsilah keturunan

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, selang lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[5] berpendapat bahwa dia adalah keturunan Alawiyyin melewati jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.[6]

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Debu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Debu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Debu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[5][7][8][9]

Riwayat

Masa kecil

Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa lahirnya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak kebanyakan, Muhammad Arsyad bergaul dan memainkan permainan dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula adab budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Ditengah kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang sedang berumur 7 tahun. Terkesan akan peristiwa itu, maka Sultan memohon pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana sebagai memperoleh ilmu bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat untuk yang semakin tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia sampai 30 tahun. Yang belakang sekali dia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.[10]

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat sebagai menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya untuk sang istri tercinta.

Walaupun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang sedang muda, kesudahannya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, sesudah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji untuk masyaikh terkemuka pada masa itu. Di selang guru dia adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang dituturkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melaksanakan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Sesudah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat sebagai menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini sebagai pulang ke Jawi (Indonesia) sebagai berdakwah di negerinya masing-masing.

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat sebagai berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad berjumpa dengan kerabat yang lebih muda kandung dia merupakan Zainal Abidin yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang kerabat yang lebih muda membawa kabar berita bahwa anak dia merupakan Fatimah sudah berangkat dewasa dan sang anak menitipkan cincin untuk dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran sebagai memperisteri anak dia. Sesudah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan sebagai mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Sebagai itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan selang Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Menjadikan semakin baik arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki kawasan Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera merupakan di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Yang belakang sekali perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, merupakan kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad dimohon menetap sebentar sebagai mengajarkan ilmu agama dengan warga Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad menjadikan semakin baik arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Sebagai mengenang peristiwa tersebut, warga sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara kebiasaan kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Agenda dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan sebagai menyebarluaskan ilmu ilmu yang diperolehnya. Patut untuk keluarga, kerabat ataupun warga kebanyakan. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[11]. Selama hidupnya dia ada 29 anak dari tujuh isterinya. [12]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu dia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya sebagai memperoleh ilmu ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Semakin dari 30 tahun yang belakang sekali, merupakan sesudah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang memohon untuk Syekh Muhammad Arsyad agar menulis suatu Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak yang belakang sekali dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Pengajaran dan bermasyarakat

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Makam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari bermacam kawasan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang yang belakang sekali lama-kelamaan menjadi suatu kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari mendiami tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan asuhan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, dia juga menulis beberapa kitab dan risalah sebagai kepentingan murid-muridnya serta kepentingan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dibuat menjadi landasan Negara Brunai Darussalam.

Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang gunanya dalam terjemahan bebas sama sekali adalah "Jalan untuk orang-orang yang mendapat ajar sebagai mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis sebagai kepentingan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di selangnya ialah:[13]

  • Kitab Ushuluddin yang biasa dinamakan Kitab Sifat Duapuluh,
  • Kitab Tuhfatur Raghibin, merupakan kitab yang membahas soal-soal itikad serta afal yang sesat,
  • Kitab Nuqtatul Ajlan, merupakan kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  • Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya yang belakang sekali dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, merupakan tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang bertalian dengan itu, dan sebagai mana biasa dinamakan Kitab Parukunan. Sedangkan tentang bidang Tasawuf, dia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Lihat pula

  • Kesultanan Maguindanao
  • Kesultanan Sulu

Referensi

  1. ^ http://en.rodovid.org/wk/Person:313061
  2. ^ http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=71
  3. ^ Radar Banjarmasin - Peninggalan Datu Kalampayan
  4. ^ (Indonesia) Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris, PT LKiS Pelangi Aksara, 2005 ISBN 9798451139, 9789798451133
  5. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah, Mathba'ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H.
  6. ^ Raja Kerajaan Tidung/Tarakan dari Dinasti Tengara merupakan Sultan Abdurrasid - keturunan Raja Kesultanan Sulu
  7. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990.
  8. ^ Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Debu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003.
  9. ^ http://kerajaanbanjar.wordpress.com/silsilah-anak-sultan/
  10. ^ (Indonesia) Sudrajat, A. Suryana (2006). Ulama pejuang dan ulama petualang: memperoleh ilmu kearifan dari Negeri Atas Angin. Erlangga. hlm. 77. ISBN 9797816079. ISBN 9789797816070
  11. ^ Mengenal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
  12. ^ Muslich Shabir, Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual, Penerbit Nuansa Aulia, 2005
  13. ^ (Melayu) Abdul Rashid Melebek, Amat Juhari Moain (2006). Sejarah bahasa Melayu. Utusan Publications. ISBN 9676118095. ISBN 9789676118097

Bacaan lanjutan

  • Muslich Shabir.Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual.Nuansa Aulia, 2005.ISBN 9799966205 ISBN 9789799966209

Pranala luar


edunitas.com


Page 3

AgamaIslam

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau semakin dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kelahiran di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[3] yaitu ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Dia yaitu pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi referensi untuk banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[4]

Silsilah keturunan

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, selang lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[5] berpendapat bahwa dia yaitu keturunan Alawiyyin melewati jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.[6]

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Debu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Debu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Debu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[5][7][8][9]

Riwayat

Masa kecil

Semenjak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa lahirnya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak kebanyakan, Muhammad Arsyad bergaul dan jadi pemain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula adab budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Ditengah kepandaiannya yaitu seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada ketika Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang sedang berumur 7 tahun. Terkesan akan peristiwa itu, maka Sultan memohon pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana sebagai memperoleh ilmu bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat untuk yang semakin tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga umur sampai 30 tahun. Yang belakang sekali dia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.[10]

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat sebagai menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya untuk sang istri tercinta.

Walaupun dengan berat hati mengingat umur pernikahan mereka yang sedang muda, kesudahannya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, sesudah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji untuk masyaikh terkemuka pada masa itu. Di selang guru dia yaitu Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang dituturkan terakhir yaitu guru Muhammad Arsyad di anggota tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melaksanakan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan posisi sebagai khalifah.

Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Sesudah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat sebagai menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini sebagai pulang ke Jawi (Indonesia) sebagai berdakwah di negerinya masing-masing.

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat sebagai berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada ketika itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad berjumpa dengan kerabat yang lebih muda kandung dia merupakan Zainal Abidin yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang kerabat yang lebih muda membawa kabar berita bahwa anak dia merupakan Fatimah sudah berangkat dewasa dan sang anak menitipkan cincin untuk dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran sebagai memperisteri anak dia. Sesudah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan sebagai mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Sebagai itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan selang Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Menjadikan semakin baik arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki kawasan Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera merupakan di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Yang belakang sekali perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, merupakan kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad dimohon menetap sebentar sebagai mengajarkan ilmu agama dengan warga Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi yaitu ketika Syekh Muhammad Arsyad menjadikan semakin baik arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Sebagai mengenang peristiwa tersebut, warga sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak menolongnya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara kebiasaan kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Agenda dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan sebagai mempublikasikan ilmu ilmu yang diperolehnya. Patut untuk keluarga, kerabat ataupun warga kebanyakan. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[11]. Selama hidupnya dia ada 29 anak dari tujuh isterinya. [12]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu dia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya sebagai memperoleh ilmu ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Semakin dari 30 tahun yang belakang sekali, merupakan sesudah gurunya menyalakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak menolongnya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang memohon untuk Syekh Muhammad Arsyad agar menulis suatu Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak yang belakang sekali dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Pengajaran dan bermasyarakat

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Makam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari bermacam kawasan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yaitu pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang yang belakang sekali lama-kelamaan menjadi suatu kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari mendiami tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan asuhan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, dia juga menulis beberapa kitab dan risalah sebagai kebutuhan murid-muridnya serta kebutuhan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga diproduksi menjadi landasan Negara Brunai Darussalam.

Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang sangat terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya yaitu Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang gunanya dalam terjemahan bebas sama sekali yaitu "Jalan untuk orang-orang yang mendapat ajar sebagai mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis sebagai kebutuhan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di selangnya ialah:[13]

  • Kitab Ushuluddin yang biasa dinamakan Kitab Sifat Duapuluh,
  • Kitab Tuhfatur Raghibin, merupakan kitab yang membahas soal-soal itikad serta afal yang sesat,
  • Kitab Nuqtatul Ajlan, merupakan kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  • Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya yang belakang sekali dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, merupakan tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang bertalian dengan itu, dan sebagai mana biasa dinamakan Kitab Parukunan. Sedangkan tentang anggota Tasawuf, dia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Lihat pula

  • Kesultanan Maguindanao
  • Kesultanan Sulu

Referensi

  1. ^ http://en.rodovid.org/wk/Person:313061
  2. ^ http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=71
  3. ^ Radar Banjarmasin - Peninggalan Datu Kalampayan
  4. ^ (Indonesia) Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris, PT LKiS Pelangi Aksara, 2005 ISBN 9798451139, 9789798451133
  5. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah, Mathba'ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H.
  6. ^ Raja Kerajaan Tidung/Tarakan dari Dinasti Tengara merupakan Sultan Abdurrasid - keturunan Raja Kesultanan Sulu
  7. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990.
  8. ^ Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Debu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003.
  9. ^ http://kerajaanbanjar.wordpress.com/silsilah-anak-sultan/
  10. ^ (Indonesia) Sudrajat, A. Suryana (2006). Ulama pejuang dan ulama petualang: memperoleh ilmu kearifan dari Negeri Atas Angin. Erlangga. hlm. 77. ISBN 9797816079. ISBN 9789797816070
  11. ^ Mengenal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
  12. ^ Muslich Shabir, Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual, Penerbit Nuansa Aulia, 2005
  13. ^ (Melayu) Abdul Rashid Melebek, Amat Juhari Moain (2006). Sejarah bahasa Melayu. Utusan Publications. ISBN 9676118095. ISBN 9789676118097

Bacaan lanjutan

  • Muslich Shabir.Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual.Nuansa Aulia, 2005.ISBN 9799966205 ISBN 9789799966209

Tautan luar


edunitas.com

Page 4

AgamaIslam

Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari (atau semakin dikenal dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kelahiran di Lok Gabang, 17 Maret 1710 – meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 pada umur 102 tahun atau 15 Shofar 1122 – 6 Syawwal 1227 H)[3] yaitu ulama fiqih mazhab Syafi'i yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Dia hidup pada masa tahun 1122-1227 hijriyah. Dia mendapat julukan anumerta Datu Kelampaian.

Dia yaitu pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yang banyak menjadi referensi untuk banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.[4]

Silsilah keturunan

Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, selang lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq,[5] berpendapat bahwa dia yaitu keturunan Alawiyyin melewati jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.[6]

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Debu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Debu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Debu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.[5][7][8][9]

Riwayat

Masa kecil

Semenjak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa lahirnya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak kebanyakan, Muhammad Arsyad bergaul dan jadi pemain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula adab budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Ditengah kepandaiannya yaitu seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada ketika Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang sedang berumur 7 tahun. Terkesan akan peristiwa itu, maka Sultan memohon pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana sebagai memperoleh ilmu bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat untuk yang semakin tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga umur sampai 30 tahun. Yang belakang sekali dia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut.[10]

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat sebagai menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya untuk sang istri tercinta.

Walaupun dengan berat hati mengingat umur pernikahan mereka yang sedang muda, kesudahannya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, sesudah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji untuk masyaikh terkemuka pada masa itu. Di selang guru dia yaitu Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syekh yang dituturkan terakhir yaitu guru Muhammad Arsyad di anggota tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melaksanakan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan posisi sebagai khalifah.

Selain itu guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.

Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, dan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Sesudah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat sebagai menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini sebagai pulang ke Jawi (Indonesia) sebagai berdakwah di negerinya masing-masing.

Menikahkan anak

Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat sebagai berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada ketika itu tanpa disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad berjumpa dengan kerabat yang lebih muda kandung dia merupakan Zainal Abidin yang sedang menunaikan ibadah haji. Sang kerabat yang lebih muda membawa kabar berita bahwa anak dia merupakan Fatimah sudah berangkat dewasa dan sang anak menitipkan cincin untuk dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-masing mengajukan lamaran sebagai memperisteri anak dia. Sesudah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan sebagai mengundi, lamaran yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yang diterima.

Sebagai itu diadakahnlah ijab kabul pernikahan selang Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yang dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.

Menjadikan semakin baik arah kiblat masjid

Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki kawasan Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera merupakan di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Yang belakang sekali perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, merupakan kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad dimohon menetap sebentar sebagai mengajarkan ilmu agama dengan warga Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi yaitu ketika Syekh Muhammad Arsyad menjadikan semakin baik arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Sebagai mengenang peristiwa tersebut, warga sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.

Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.

Tiba di kampung halaman

Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak menolongnya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara kebiasaan kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Agenda dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan sebagai mempublikasikan ilmu ilmu yang diperolehnya. Patut untuk keluarga, kerabat ataupun warga kebanyakan. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’[11]. Selama hidupnya dia ada 29 anak dari tujuh isterinya. [12]

Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu dia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya sebagai memperoleh ilmu ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Semakin dari 30 tahun yang belakang sekali, merupakan sesudah gurunya menyalakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak menolongnya telah wafat dan dialihkan yang belakang sekali oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, merupakan cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang memohon untuk Syekh Muhammad Arsyad agar menulis suatu Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak yang belakang sekali dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Pengajaran dan bermasyarakat

Dibawah ini yang termasuk karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah

Makam Datu Kalampayan yang sering dikunjungi oleh peziarah dari bermacam kawasan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yaitu pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang yang belakang sekali lama-kelamaan menjadi suatu kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari mendiami tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan asuhan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, dia juga menulis beberapa kitab dan risalah sebagai kebutuhan murid-muridnya serta kebutuhan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga diproduksi menjadi landasan Negara Brunai Darussalam.

Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang sangat terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya yaitu Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang gunanya dalam terjemahan bebas sama sekali yaitu "Jalan untuk orang-orang yang mendapat ajar sebagai mendalami urusan-urusan agama". Syekh Muhammad Arsyad telah menulis sebagai kebutuhan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di selangnya ialah:[13]

  • Kitab Ushuluddin yang biasa dinamakan Kitab Sifat Duapuluh,
  • Kitab Tuhfatur Raghibin, merupakan kitab yang membahas soal-soal itikad serta afal yang sesat,
  • Kitab Nuqtatul Ajlan, merupakan kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
  • Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya yang belakang sekali dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, merupakan tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang bertalian dengan itu, dan sebagai mana biasa dinamakan Kitab Parukunan. Sedangkan tentang anggota Tasawuf, dia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Lihat pula

  • Kesultanan Maguindanao
  • Kesultanan Sulu

Referensi

  1. ^ http://en.rodovid.org/wk/Person:313061
  2. ^ http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=206&Itemid=71
  3. ^ Radar Banjarmasin - Peninggalan Datu Kalampayan
  4. ^ (Indonesia) Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris, PT LKiS Pelangi Aksara, 2005 ISBN 9798451139, 9789798451133
  5. ^ a b Syajaratul Arsyadiyah, Mathba'ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H.
  6. ^ Raja Kerajaan Tidung/Tarakan dari Dinasti Tengara merupakan Sultan Abdurrasid - keturunan Raja Kesultanan Sulu
  7. ^ Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W. Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990.
  8. ^ Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Debu Daudi, Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003.
  9. ^ http://kerajaanbanjar.wordpress.com/silsilah-anak-sultan/
  10. ^ (Indonesia) Sudrajat, A. Suryana (2006). Ulama pejuang dan ulama petualang: memperoleh ilmu kearifan dari Negeri Atas Angin. Erlangga. hlm. 77. ISBN 9797816079. ISBN 9789797816070
  11. ^ Mengenal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
  12. ^ Muslich Shabir, Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual, Penerbit Nuansa Aulia, 2005
  13. ^ (Melayu) Abdul Rashid Melebek, Amat Juhari Moain (2006). Sejarah bahasa Melayu. Utusan Publications. ISBN 9676118095. ISBN 9789676118097

Bacaan lanjutan

  • Muslich Shabir.Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tentang zakat: suntingan teks dan analisis intertekstual.Nuansa Aulia, 2005.ISBN 9799966205 ISBN 9789799966209

Tautan luar


edunitas.com

Page 5

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, bergelar Syekh Bayang (1864 – 1923) yaitu seorang ulama asal Pesisir Selatan pada menengah masa waktu abad 19. Beliau pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syekh Khatib Ali Al-Padani, bermitra diskusi dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syekh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syekh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat mulia 1.000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Beliau Penulis buku laris yang disebut oleh B.J.O. Schrieke dengan kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Syekh Bayang

Beliau digelari Syekh Bayang, karena beliau salah seorang di selang ulama tua, pemimpin mengerti Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba). Beliau tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqih dan tarekat, lapang pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di internal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membikin Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi sikap yang dibuat perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syekh Buyung Muda (murid Syekh Abdurrauf Singkil) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 kenalannya yakni Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syekh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syekh Sungayang di Solok, Surau Syeikh Padang Ganting, dan Surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Keluarga

Ayah Muhammad Dalil juga seorang ulama mulia bernama Syekh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Beliau dibiarkan lepas ibu dan bapak ketika sedang kecil, namun tidak mematahkan semangatnya untuk berupaya bisa.

Pendidikan

Muhammad Dalil mula-mula berupaya bisa dengan murid ayahnya Syekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syekh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, beliau menempuh Bukit Barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang, Solok, di sana berupaya bisa agama dengan Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqih Al-Kasyf. Karena pintar, beliau digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu beliau berupaya bisa fiqih dan tarekat pula dengan Syekh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.

Untuk memperdalam ilmu Islam semakin lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syekh bernama Syekh Musthafa. Beliau tidak saja menjadi murid kesayangan, bahkan isteri gurunya bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) meminangnya untuk dihasilkan menjadi pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.

Setelah menikah dengan Siti Rahmah, Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang beliau buka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal, yaitu rumah gadang milik kaum isterinya, kemenakan Syekh Gapuak (pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang yang berasal dari berbagai penjuru di dalam/luar Sumatera Barat. Di samping buka halaqah, beliau giat berdakwah dan termasuk da’i yang disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Naik haji

Tahun 1903, Muhammad Dalil berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus berupaya bisa memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di selangnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak Mazhab Syafi'i serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqih dan matematik. Juga tercatat gurunya Syekh Jabal Qubis berbakat tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah asal Jabal Debu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah tidak jauh dengan Masjidil Haram.

Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syikh Ahmad khatib dengan Syekh Bayang di selangnya ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H. Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syekh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi), dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) serta ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syekh Khatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syekh Tahir Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi, dan ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syekh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukittinggi, Syekh Abdullah Abbas Padang Japang, Syekh Musthafa Padang Japang, Syekh Musthafa Husen Purba Baru, Syekh Hasan Maksum Ajang Deli, Syekh KH. Muhammad Dahlan dan lain-lain. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.

Organisasi

Pasca Makkah, Syekh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (rumah asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang tidak jauh rumah isterinya Putti Ummu bersama kenalannya Syekh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syekh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Beliau mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan tafsir, tauhid, fiqh, ushul fiqh, nahu dan sharaf dan lain-lain. Selain mengajar beliau juga mengimpor buku-buku dan mengarang buku.

Dakwah

Era Syeikh Bayang ini yaitu gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837).

Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam yaitu era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim berupaya bisa ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era sikap yang dibuat murid-muridnya. Sikap yang dibuat pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini yaitu ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal masa waktu abad ke-20.

Sikap yang dibuat pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil susunan awal masa waktu abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, didamaikan rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat mulia 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di selang ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Balik Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dan lain-lain.

Pasca rapat mulia 1.000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian mulia, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya selang lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun daya dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan mengerti tarekat yang dianut.

Polemik

Syekh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan dicetak beruntun di selangnya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) yaitu buku laris dan disebut sebagai kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dogmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela Tarekat Naqsyabandiyah, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal–Jawab Untuk Segala Anak buku Pertanyaan popular mengenai fiqh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul 25 (1918) dan lain-lain.

Syekh Bayang wafat 2 Jumadil Awal 1342 H (1923). Ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang dibiarkan lepas menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan meja Turki yang indah.

Beliau dianugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Debu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama tutup usia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di selangnya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.

Referensi

  • Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana,

tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung. Makalah ringkasan hasil penelitian Yulizal Yunus, tahun 1982. Dipersiapkan untuk ensiklopedia Islam di Indonesia, Bappenas, tahun 2003. Pernah dimuat dalam buku himpunan ulama Sumatera Barat buku-2 tahun 2002. Pernah pula di presentasikan di berbagai forum Ilmiah. Hasil penelitiannya sudah pernah diterbitkan dalam susunan buku tahun 2000.

1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat Mestika Zed, Dr., 2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.

1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara. Van Ronkel, Dr, Ph.S., 1916 Raport Betreffendle de Godsdienstige Verschijuselenter Sumatra’s Weskust. Batavia: Lands Drukkerij

1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2000 Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2003 Islam Masuk dan Mengembang di Pantai Barat Sumatera, Fenomena Gerbang Selatan Sumatera Barat (makalah). Padang: Pusat Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ____________, 2003 Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab. Pesisir Selatan – IAIN IB Press.

Pranala Luar


edunitas.com


Page 6

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, bergelar Syekh Bayang (1864 – 1923) yaitu seorang ulama asal Pesisir Selatan pada menengah masa waktu abad 19. Beliau pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syekh Khatib Ali Al-Padani, bermitra diskusi dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syekh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syekh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat mulia 1.000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Beliau Penulis buku laris yang disebut oleh B.J.O. Schrieke dengan kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Syekh Bayang

Beliau digelari Syekh Bayang, karena beliau salah seorang di selang ulama tua, pemimpin mengerti Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba). Beliau tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqih dan tarekat, lapang pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di internal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membikin Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi sikap yang dibuat perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syekh Buyung Muda (murid Syekh Abdurrauf Singkil) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 kenalannya yakni Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syekh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syekh Sungayang di Solok, Surau Syeikh Padang Ganting, dan Surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Keluarga

Ayah Muhammad Dalil juga seorang ulama mulia bernama Syekh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Beliau dibiarkan lepas ibu dan bapak ketika sedang kecil, namun tidak mematahkan semangatnya untuk berupaya bisa.

Pendidikan

Muhammad Dalil mula-mula berupaya bisa dengan murid ayahnya Syekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syekh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, beliau menempuh Bukit Barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang, Solok, di sana berupaya bisa agama dengan Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqih Al-Kasyf. Karena pintar, beliau digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu beliau berupaya bisa fiqih dan tarekat pula dengan Syekh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.

Untuk memperdalam ilmu Islam semakin lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syekh bernama Syekh Musthafa. Beliau tidak saja menjadi murid kesayangan, bahkan isteri gurunya bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) meminangnya untuk dihasilkan menjadi pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.

Setelah menikah dengan Siti Rahmah, Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang beliau buka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal, yaitu rumah gadang milik kaum isterinya, kemenakan Syekh Gapuak (pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang yang berasal dari berbagai penjuru di dalam/luar Sumatera Barat. Di samping buka halaqah, beliau giat berdakwah dan termasuk da’i yang disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Naik haji

Tahun 1903, Muhammad Dalil berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus berupaya bisa memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di selangnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak Mazhab Syafi'i serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqih dan matematik. Juga tercatat gurunya Syekh Jabal Qubis berbakat tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah asal Jabal Debu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah tidak jauh dengan Masjidil Haram.

Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syikh Ahmad khatib dengan Syekh Bayang di selangnya ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H. Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syekh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi), dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) serta ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syekh Khatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syekh Tahir Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi, dan ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syekh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukittinggi, Syekh Abdullah Abbas Padang Japang, Syekh Musthafa Padang Japang, Syekh Musthafa Husen Purba Baru, Syekh Hasan Maksum Ajang Deli, Syekh KH. Muhammad Dahlan dan lain-lain. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.

Organisasi

Pasca Makkah, Syekh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (rumah asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang tidak jauh rumah isterinya Putti Ummu bersama kenalannya Syekh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syekh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Beliau mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan tafsir, tauhid, fiqh, ushul fiqh, nahu dan sharaf dan lain-lain. Selain mengajar beliau juga mengimpor buku-buku dan mengarang buku.

Dakwah

Era Syeikh Bayang ini yaitu gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837).

Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam yaitu era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim berupaya bisa ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era sikap yang dibuat murid-muridnya. Sikap yang dibuat pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini yaitu ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal masa waktu abad ke-20.

Sikap yang dibuat pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil susunan awal masa waktu abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, didamaikan rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat mulia 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di selang ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Balik Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dan lain-lain.

Pasca rapat mulia 1.000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian mulia, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya selang lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun daya dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan mengerti tarekat yang dianut.

Polemik

Syekh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan dicetak beruntun di selangnya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) yaitu buku laris dan disebut sebagai kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dogmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela Tarekat Naqsyabandiyah, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal–Jawab Untuk Segala Anak buku Pertanyaan popular mengenai fiqh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul 25 (1918) dan lain-lain.

Syekh Bayang wafat 2 Jumadil Awal 1342 H (1923). Ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang dibiarkan lepas menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan meja Turki yang indah.

Beliau dianugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Debu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama tutup usia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di selangnya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.

Referensi

  • Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana,

tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung. Makalah ringkasan hasil penelitian Yulizal Yunus, tahun 1982. Dipersiapkan untuk ensiklopedia Islam di Indonesia, Bappenas, tahun 2003. Pernah dimuat dalam buku himpunan ulama Sumatera Barat buku-2 tahun 2002. Pernah pula di presentasikan di berbagai forum Ilmiah. Hasil penelitiannya sudah pernah diterbitkan dalam susunan buku tahun 2000.

1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat Mestika Zed, Dr., 2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.

1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara. Van Ronkel, Dr, Ph.S., 1916 Raport Betreffendle de Godsdienstige Verschijuselenter Sumatra’s Weskust. Batavia: Lands Drukkerij

1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2000 Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2003 Islam Masuk dan Mengembang di Pantai Barat Sumatera, Fenomena Gerbang Selatan Sumatera Barat (makalah). Padang: Pusat Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ____________, 2003 Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab. Pesisir Selatan – IAIN IB Press.

Pranala Luar


edunitas.com


Page 7

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, bergelar Syekh Bayang (1864 – 1923) yaitu seorang ulama asal Pesisir Selatan pada menengah masa waktu abad 19. Beliau pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syekh Khatib Ali Al-Padani, bermitra diskusi dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syekh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syekh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat mulia 1.000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Beliau Penulis buku laris yang disebut oleh B.J.O. Schrieke dengan kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Syekh Bayang

Beliau digelari Syekh Bayang, karena beliau salah seorang di selang ulama tua, pemimpin mengerti Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba). Beliau tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqih dan tarekat, lapang pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di internal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membikin Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi sikap yang dibuat perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syekh Buyung Muda (murid Syekh Abdurrauf Singkil) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 kenalannya yakni Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syekh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syekh Sungayang di Solok, Surau Syeikh Padang Ganting, dan Surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Keluarga

Ayah Muhammad Dalil juga seorang ulama mulia bernama Syekh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Beliau dibiarkan lepas ibu dan bapak ketika sedang kecil, namun tidak mematahkan semangatnya untuk berupaya bisa.

Pendidikan

Muhammad Dalil mula-mula berupaya bisa dengan murid ayahnya Syekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syekh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, beliau menempuh Bukit Barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang, Solok, di sana berupaya bisa agama dengan Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqih Al-Kasyf. Karena pintar, beliau digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu beliau berupaya bisa fiqih dan tarekat pula dengan Syekh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.

Untuk memperdalam ilmu Islam semakin lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syekh bernama Syekh Musthafa. Beliau tidak saja menjadi murid kesayangan, bahkan isteri gurunya bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) meminangnya untuk dihasilkan menjadi pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.

Setelah menikah dengan Siti Rahmah, Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang beliau buka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal, yaitu rumah gadang milik kaum isterinya, kemenakan Syekh Gapuak (pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang yang berasal dari berbagai penjuru di dalam/luar Sumatera Barat. Di samping buka halaqah, beliau giat berdakwah dan termasuk da’i yang disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Naik haji

Tahun 1903, Muhammad Dalil berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus berupaya bisa memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di selangnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak Mazhab Syafi'i serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqih dan matematik. Juga tercatat gurunya Syekh Jabal Qubis berbakat tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah asal Jabal Debu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah tidak jauh dengan Masjidil Haram.

Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syikh Ahmad khatib dengan Syekh Bayang di selangnya ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H. Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syekh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi), dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) serta ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syekh Khatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syekh Tahir Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi, dan ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syekh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukittinggi, Syekh Abdullah Abbas Padang Japang, Syekh Musthafa Padang Japang, Syekh Musthafa Husen Purba Baru, Syekh Hasan Maksum Ajang Deli, Syekh KH. Muhammad Dahlan dan lain-lain. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.

Organisasi

Pasca Makkah, Syekh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (rumah asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang tidak jauh rumah isterinya Putti Ummu bersama kenalannya Syekh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syekh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Beliau mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan tafsir, tauhid, fiqh, ushul fiqh, nahu dan sharaf dan lain-lain. Selain mengajar beliau juga mengimpor buku-buku dan mengarang buku.

Dakwah

Era Syeikh Bayang ini yaitu gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837).

Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam yaitu era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim berupaya bisa ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era sikap yang dibuat murid-muridnya. Sikap yang dibuat pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini yaitu ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal masa waktu abad ke-20.

Sikap yang dibuat pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil susunan awal masa waktu abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, didamaikan rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat mulia 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di selang ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Balik Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dan lain-lain.

Pasca rapat mulia 1.000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian mulia, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya selang lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun daya dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan mengerti tarekat yang dianut.

Polemik

Syekh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan dicetak beruntun di selangnya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) yaitu buku laris dan disebut sebagai kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dogmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela Tarekat Naqsyabandiyah, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal–Jawab Untuk Segala Anak buku Pertanyaan popular mengenai fiqh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul 25 (1918) dan lain-lain.

Syekh Bayang wafat 2 Jumadil Awal 1342 H (1923). Ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang dibiarkan lepas menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan meja Turki yang indah.

Beliau dianugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Debu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama tutup usia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di selangnya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.

Referensi

  • Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana,

tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung. Makalah ringkasan hasil penelitian Yulizal Yunus, tahun 1982. Dipersiapkan untuk ensiklopedia Islam di Indonesia, Bappenas, tahun 2003. Pernah dimuat dalam buku himpunan ulama Sumatera Barat buku-2 tahun 2002. Pernah pula di presentasikan di berbagai forum Ilmiah. Hasil penelitiannya sudah pernah diterbitkan dalam susunan buku tahun 2000.

1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat Mestika Zed, Dr., 2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.

1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara. Van Ronkel, Dr, Ph.S., 1916 Raport Betreffendle de Godsdienstige Verschijuselenter Sumatra’s Weskust. Batavia: Lands Drukkerij

1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2000 Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2003 Islam Masuk dan Mengembang di Pantai Barat Sumatera, Fenomena Gerbang Selatan Sumatera Barat (makalah). Padang: Pusat Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ____________, 2003 Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab. Pesisir Selatan – IAIN IB Press.

Pranala Luar


edunitas.com


Page 8

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, bergelar Syekh Bayang (1864 – 1923) yaitu seorang ulama asal Pesisir Selatan pada menengah masa waktu abad 19. Beliau pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syekh Khatib Ali Al-Padani, bermitra diskusi dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syekh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syekh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat mulia 1.000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Beliau Penulis buku laris yang disebut oleh B.J.O. Schrieke dengan kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Syekh Bayang

Beliau digelari Syekh Bayang, karena beliau salah seorang di selang ulama tua, pemimpin mengerti Tarekat Naqsyabandiyah di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba). Beliau tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqih dan tarekat, lapang pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di internal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membikin Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi sikap yang dibuat perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syekh Buyung Muda (murid Syekh Abdurrauf Singkil) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 kenalannya yakni Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syekh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syekh Sungayang di Solok, Surau Syeikh Padang Ganting, dan Surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Keluarga

Ayah Muhammad Dalil juga seorang ulama mulia bernama Syekh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Beliau dibiarkan lepas ibu dan bapak ketika sedang kecil, namun tidak mematahkan semangatnya untuk berupaya bisa.

Pendidikan

Muhammad Dalil mula-mula berupaya bisa dengan murid ayahnya Syekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syekh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, beliau menempuh Bukit Barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang, Solok, di sana berupaya bisa agama dengan Syekh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqih Al-Kasyf. Karena pintar, beliau digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu beliau berupaya bisa fiqih dan tarekat pula dengan Syekh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.

Untuk memperdalam ilmu Islam semakin lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syekh bernama Syekh Musthafa. Beliau tidak saja menjadi murid kesayangan, bahkan isteri gurunya bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) meminangnya untuk dihasilkan menjadi pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah.

Setelah menikah dengan Siti Rahmah, Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang beliau buka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal, yaitu rumah gadang milik kaum isterinya, kemenakan Syekh Gapuak (pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang yang berasal dari berbagai penjuru di dalam/luar Sumatera Barat. Di samping buka halaqah, beliau giat berdakwah dan termasuk da’i yang disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Naik haji

Tahun 1903, Muhammad Dalil berangkat ke Makkah untuk naik haji sekaligus berupaya bisa memperdalam ilmunya dalam bidang ke-Islaman di sana. Tercatat gurunya di Makkah di selangnya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860 – 1917), mufti dan tiang tengah penegak Mazhab Syafi'i serta mawalli yang dipercaya Arab menjadi imam di Masjidil Haram, sekaligus mengajar fiqih dan matematik. Juga tercatat gurunya Syekh Jabal Qubis berbakat tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah asal Jabal Debu Qubis berseberangan dengan Jabal Quayqian, sebelah timur Makkah tidak jauh dengan Masjidil Haram.

Ulama-ulama yang sama mendapat pendidikan dari Syikh Ahmad khatib dengan Syekh Bayang di selangnya ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H. Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syekh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi), dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) serta ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syekh Khatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 Burhan Al-Haq, Syekh Tahir Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi, dan ayah dari Hamdan mantan Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syekh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syekh Abbas Ladang Lawas, Bukittinggi, Syekh Abdullah Abbas Padang Japang, Syekh Musthafa Padang Japang, Syekh Musthafa Husen Purba Baru, Syekh Hasan Maksum Ajang Deli, Syekh KH. Muhammad Dahlan dan lain-lain. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.

Organisasi

Pasca Makkah, Syekh Bayang di Padang melanjutkan halaqahnya dengan membentuk jaringan surau halaqah dalam titik utama seperti di Ganting Padang (rumah asal dan Masjid Raya Ganting), Pasar Gadang dan Palinggam Padang (rumah isterinya Siti Nur’aini asal Saningbakar), Seberang Padang tidak jauh rumah isterinya Putti Ummu bersama kenalannya Syekh Muhammad Thaib, Lolong Padang, Ulak Karang dan Surau Kalawi Pasir Ulak Karang pimpinan Syekh Muhammad Qasim (Tuanku Kalawi) serta di kampungnya sendiri di Bayang dalam beberapa tempat pula. Beliau mengajar berputar dalam jadwal yang diatur sedemikian rupa oleh pimpinan jaringan halaqah masing-masing. Disiplin ilmu yang diajarkan tafsir, tauhid, fiqh, ushul fiqh, nahu dan sharaf dan lain-lain. Selain mengajar beliau juga mengimpor buku-buku dan mengarang buku.

Dakwah

Era Syeikh Bayang ini yaitu gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837).

Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam yaitu era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim berupaya bisa ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era sikap yang dibuat murid-muridnya. Sikap yang dibuat pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini yaitu ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal masa waktu abad ke-20.

Sikap yang dibuat pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil susunan awal masa waktu abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, didamaikan rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat mulia 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di selang ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Balik Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dan lain-lain.

Pasca rapat mulia 1.000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian mulia, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya selang lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun daya dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan mengerti tarekat yang dianut.

Polemik

Syekh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan dicetak beruntun di selangnya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) yaitu buku laris dan disebut sebagai kepustakaan pejuang masa waktu abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dogmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela Tarekat Naqsyabandiyah, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal–Jawab Untuk Segala Anak buku Pertanyaan popular mengenai fiqh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul 25 (1918) dan lain-lain.

Syekh Bayang wafat 2 Jumadil Awal 1342 H (1923). Ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang dibiarkan lepas menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan meja Turki yang indah.

Beliau dianugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Debu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama tutup usia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di selangnya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.

Referensi

  • Abdul Munaf Al-Amin, Imam Maulana,

tt. Muballigh Al-Islam. Padang: PP Batangkabung. Makalah ringkasan hasil penelitian Yulizal Yunus, tahun 1982. Dipersiapkan untuk ensiklopedia Islam di Indonesia, Bappenas, tahun 2003. Pernah dimuat dalam buku himpunan ulama Sumatera Barat buku-2 tahun 2002. Pernah pula di presentasikan di berbagai forum Ilmiah. Hasil penelitiannya sudah pernah diterbitkan dalam susunan buku tahun 2000.

1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat Mestika Zed, Dr., 2002 Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.

1973 Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara. Van Ronkel, Dr, Ph.S., 1916 Raport Betreffendle de Godsdienstige Verschijuselenter Sumatra’s Weskust. Batavia: Lands Drukkerij

1999 Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tarekat Naqsyabandi Syeikh Bayang. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2000 Pulau Cingkuk Saksi Perjuangan Anak Pesisir. Padang: IAIN-IB Press. ___________, 2003 Islam Masuk dan Mengembang di Pantai Barat Sumatera, Fenomena Gerbang Selatan Sumatera Barat (makalah). Padang: Pusat Pengkajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ____________, 2003 Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiyah di Lunang, Spirit Sejarah dari Kerajaan Bahari sampai Semangat Malayu Dunia. Padang: Pemkab. Pesisir Selatan – IAIN IB Press.

Pranala Luar


edunitas.com


Page 9

KH. Muhammad Husni Thamrin Al-Banjari (lahir di Hamparaya, 14 Agustus 1943 – meninggal di Martapura, Kalimantan Selatan, 4 Januari 2014 pada umur 70 tahun) yaitu ulama asal Kalimantan Selatan.

Riwayat

Guru Husni lahir di desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan, pada hari Jumat/Sabtu, 13 Sya’ban 1362 H/14 Agustus 1943 M. Usia 4 tahun beliau di naikkan Hijrah ke Makkah oleh keluarga. Beliau yaitu alumni Madrasah Daarul-Ulum Ad-Diniyah, Makkah (tahun 1370 H hingga tamat tingkat Ulya); dan diembeli Al-Azhari karena berstudy di Mesir, Universitas Al-Azhar Kairo, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah & Filsafat, tingkat Licence (S1) dan Dirasat ‘Ulya (pasca sarjana); dari tahun 1962 hingga 1973.

Sepulang dari Mesir, beliau dipercayakan dibuat menjadi staf pengajar di Madrasah Daarul Ulum, Mekkah untuk tingkat mutawassithah (menengah). Beliau juga dibuat menjadi pegawai tetap Rabithah Dunia Islami perwakilan Makkah sebagai staf. Materi pengajiannya di Misfalah yaitu pembacaan kitab-kitab hadis, lebih khusus periwayatan hadis-hadis mulsalsal bahkan yang gharib (jarang didengar) dengan syarat-syarat yang ketat; selain membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i dan Tasauf.

Setelah sekian lama bermukim di Makkah, pada 1429 H/2008 M beliau dan keluarga pulang ke tanah cairan, berlokasi tinggal/membuat rumah di Balitan 3, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada hari Sabtu 2 Rabi’ul Awwal 1435 H/4 Januari 2014 M beliau tutup usia ke rahmatullah dan dikebumikan di desa kelahirannya, Hamparaya HSS; meninggalkan seorang istri, empat orang anak laki-laki yaitu H.Ahmad dan H.Amin (mukim dan bekerja di Malaysia sebagai dosen), H.Ahyad (mukim di Makkah), dan H.Yahya (Hafidz Alquran 30 Juz) yang membantu Almarhum dalam pengajian, disamping empat orang anak perempuan.

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 10

KH. Muhammad Husni Thamrin Al-Banjari (lahir di Hamparaya, 14 Agustus 1943 – meninggal di Martapura, Kalimantan Selatan, 4 Januari 2014 pada umur 70 tahun) yaitu ulama asal Kalimantan Selatan.

Riwayat

Guru Husni lahir di desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan, pada hari Jumat/Sabtu, 13 Sya’ban 1362 H/14 Agustus 1943 M. Usia 4 tahun beliau di naikkan Hijrah ke Makkah oleh keluarga. Beliau yaitu alumni Madrasah Daarul-Ulum Ad-Diniyah, Makkah (tahun 1370 H hingga tamat tingkat Ulya); dan diembeli Al-Azhari karena berstudy di Mesir, Universitas Al-Azhar Kairo, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah & Filsafat, tingkat Licence (S1) dan Dirasat ‘Ulya (pasca sarjana); dari tahun 1962 hingga 1973.

Sepulang dari Mesir, beliau dipercayakan diproduksi menjadi staf pengajar di Madrasah Daarul Ulum, Mekkah untuk tingkat mutawassithah (menengah). Beliau juga diproduksi menjadi pegawai tetap Rabithah Dunia Islami perwakilan Makkah sebagai staf. Materi pengajiannya di Misfalah yaitu pembacaan kitab-kitab hadis, lebih khusus periwayatan hadis-hadis mulsalsal bahkan yang gharib (jarang didengar) dengan syarat-syarat yang ketat; selain membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i dan Tasauf.

Setelah sekian lama bermukim di Makkah, pada 1429 H/2008 M beliau dan keluarga pulang ke tanah cairan, berlokasi tinggal/membuat rumah di Balitan 3, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada hari Sabtu 2 Rabi’ul Awwal 1435 H/4 Januari 2014 M beliau tutup usia ke rahmatullah dan dikebumikan di desa lahirnya, Hamparaya HSS; meninggalkan seorang istri, empat orang anak laki-laki yaitu H.Ahmad dan H.Amin (mukim dan bertugas di Malaysia sebagai dosen), H.Ahyad (mukim di Makkah), dan H.Yahya (Hafidz Alquran 30 Juz) yang membantu Almarhum dalam pengajian, disamping empat orang anak perempuan.

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 11

KH. Muhammad Husni Thamrin Al-Banjari (lahir di Hamparaya, 14 Agustus 1943 – meninggal di Martapura, Kalimantan Selatan, 4 Januari 2014 pada umur 70 tahun) yaitu ulama asal Kalimantan Selatan.

Riwayat

Guru Husni lahir di desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan, pada hari Jumat/Sabtu, 13 Sya’ban 1362 H/14 Agustus 1943 M. Usia 4 tahun beliau di naikkan Hijrah ke Makkah oleh keluarga. Beliau yaitu alumni Madrasah Daarul-Ulum Ad-Diniyah, Makkah (tahun 1370 H hingga tamat tingkat Ulya); dan diembeli Al-Azhari karena berstudy di Mesir, Universitas Al-Azhar Kairo, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah & Filsafat, tingkat Licence (S1) dan Dirasat ‘Ulya (pasca sarjana); dari tahun 1962 hingga 1973.

Sepulang dari Mesir, beliau dipercayakan diproduksi menjadi staf pengajar di Madrasah Daarul Ulum, Mekkah untuk tingkat mutawassithah (menengah). Beliau juga diproduksi menjadi pegawai tetap Rabithah Dunia Islami perwakilan Makkah sebagai staf. Materi pengajiannya di Misfalah yaitu pembacaan kitab-kitab hadis, lebih khusus periwayatan hadis-hadis mulsalsal bahkan yang gharib (jarang didengar) dengan syarat-syarat yang ketat; selain membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i dan Tasauf.

Setelah sekian lama bermukim di Makkah, pada 1429 H/2008 M beliau dan keluarga pulang ke tanah cairan, berlokasi tinggal/membuat rumah di Balitan 3, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada hari Sabtu 2 Rabi’ul Awwal 1435 H/4 Januari 2014 M beliau tutup usia ke rahmatullah dan dikebumikan di desa lahirnya, Hamparaya HSS; meninggalkan seorang istri, empat orang anak laki-laki yaitu H.Ahmad dan H.Amin (mukim dan bertugas di Malaysia sebagai dosen), H.Ahyad (mukim di Makkah), dan H.Yahya (Hafidz Alquran 30 Juz) yang membantu Almarhum dalam pengajian, disamping empat orang anak perempuan.

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 12

KH. Muhammad Husni Thamrin Al-Banjari (lahir di Hamparaya, 14 Agustus 1943 – meninggal di Martapura, Kalimantan Selatan, 4 Januari 2014 pada umur 70 tahun) yaitu ulama asal Kalimantan Selatan.

Riwayat

Guru Husni lahir di desa Hamparaya, Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan, pada hari Jumat/Sabtu, 13 Sya’ban 1362 H/14 Agustus 1943 M. Usia 4 tahun beliau di naikkan Hijrah ke Makkah oleh keluarga. Beliau yaitu alumni Madrasah Daarul-Ulum Ad-Diniyah, Makkah (tahun 1370 H hingga tamat tingkat Ulya); dan diembeli Al-Azhari karena berstudy di Mesir, Universitas Al-Azhar Kairo, pada Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah & Filsafat, tingkat Licence (S1) dan Dirasat ‘Ulya (pasca sarjana); dari tahun 1962 hingga 1973.

Sepulang dari Mesir, beliau dipercayakan dibuat menjadi staf pengajar di Madrasah Daarul Ulum, Mekkah untuk tingkat mutawassithah (menengah). Beliau juga dibuat menjadi pegawai tetap Rabithah Dunia Islami perwakilan Makkah sebagai staf. Materi pengajiannya di Misfalah yaitu pembacaan kitab-kitab hadis, lebih khusus periwayatan hadis-hadis mulsalsal bahkan yang gharib (jarang didengar) dengan syarat-syarat yang ketat; selain membaca kitab-kitab fiqih Syafi’i dan Tasauf.

Setelah sekian lama bermukim di Makkah, pada 1429 H/2008 M beliau dan keluarga pulang ke tanah cairan, berlokasi tinggal/membuat rumah di Balitan 3, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Pada hari Sabtu 2 Rabi’ul Awwal 1435 H/4 Januari 2014 M beliau tutup usia ke rahmatullah dan dikebumikan di desa kelahirannya, Hamparaya HSS; meninggalkan seorang istri, empat orang anak laki-laki yaitu H.Ahmad dan H.Amin (mukim dan bekerja di Malaysia sebagai dosen), H.Ahyad (mukim di Makkah), dan H.Yahya (Hafidz Alquran 30 Juz) yang membantu Almarhum dalam pengajian, disamping empat orang anak perempuan.

Referensi

Pranala luar


edunitas.com


Page 13

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka lahir Spanyol pada ratus tahun ke-14. Dia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah.

Perjalanan hidup

Pada saat berusia tujuh, Ibnu Abbad sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, dia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, belakang suatu peristiwa tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang sukses mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340.

Di Fez, Ibnu Abbad kembali berlatih fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di aspek fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani, seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di aspek teologi, dia berlatih teologi Asy’ariyah kepada al-Abili, dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, dia juga mempelajari kumpulan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas.

Berlatih pengetahuan tasawuf

Situasi kota Fez yang sangat acak-acakan belakang suatu peristiwa perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Sisa dari pembakaran Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana dia berguru kepada Ibnu Asyir, seorang wali yang diketahui untuk tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Dia belakang menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah asuhan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, mencapai pada penghabisannya dia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.

Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana dia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu diketahui, Sisa dari pembakaran Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk beberapa waktu, dia kembali ke Fez, dan di sana dia bersahabatan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Sisa dari pembakaran Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini dia menulis At-Tanbih yang didudukkannya selang 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana mencapai sekitar tahun 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Sisa dari pembakaran al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya untuk imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan pengetahuan tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.

Untuk khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih pilihan dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Dia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang dikatanya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Dia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang bersesuaian dengan kehidupan sehari-hari.

Kemunduran Dinasti Mariniyah dan masa penghabisan hayat

Selama seperempat terakhir ratus tahun ke-14, Dinasti Mariniyah mengalami kemunduran. Sehingga kota Fez waktu itu mengalami kesukaran politik dan bahkan krisis spiritual. Ibnu Abbad sendiri tinggal di sebuah rumah kecil di tidak jauh masjid. Bila dia bepergian ke masjid, sejumlah anak kecil selalu mengikutinya. Dia memang cukup punya perhatian terhadap anak-anak di mana dia tinggal, termasuk orang-orang di sekitarnya.

Menjelang penghabisan hayatnya, dia menulis untuk sahabatnya, Sisa dari pembakaran al- Abbas al-Marakusyi, bahwa dirinya merasa jauh dengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya. Dia seakan pasrah untuk menyongsong datangnya hari kematian. Sebagian sumber mengatakan, Ibnu Abbad tetap membujang mencapai penghabisan hayatnya. Kalaupun menikah, itu diterapkannya sekadar mengikuti sunnah Nabi. Mencapai penghabisan hayatnya, Ibnu Abbad juga belum sempat menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbad wafat pada tanggal 17 Juni 1390 dan dimakamkan di depan sultan serta masyarakat Fez.

Ajaran-ajaran Spiritual Ibnu Abbad

Rasa syukur kepada Tuhan

Seluruh pemikiran Ibnu Abbad terpusat pada penyucian jiwa manusia rumusan menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan dengan penuh ketulusan. Sebab hanya satu dzat yang kepada-Nya manusia bersandar; hanya benar satu dzat yang bertangungjawab atas segala ciptaan, dan itulah Tuhan, Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Hakim. Wajar bila belakang Ibnu Abbad memberikan tempat terhormat di dalam sistemnya untuk perjuangan tiada henti melawan nafsu. Karena menurutnya, nafsu adalah tirai atau penghalang terbesar selang seorang abdi dengan Tuhannya. Tiada kedatangan kepada Tuhan kecuali oleh Tuhan, sebagaimana juga tiada batas selang pengabdi dan Tuhannya kecuali nafsu-nya. Seseorang tidak menentang nafsu dengan nafsu tetapi melawannya dengan nama Tuhan.

Oleh karena itu, Ibnu Abbad mengajarkan bahwa seorang salik harus memiliki keyakinan dan keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan.

Keyakinan ini harus terpateri kuat di dalam jiwa dan menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ibnu Abbad melihat bahwa keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan merupakan hal paling tinggi yang bisa diharapkan oleh seorang salik, dan orang yang telah mencapainya tak memerlukan lagi pengungkapan-pengungkapan misteri-misteri ghaib. Keyakinan ini lebih lanjut akan melahirkan sikap untuk selalu husnudhan (prasangka baik) terhadap Tuhan.

Selanjutnya prasangka adun ini akan memanifestasikan dirinya dalam pemikiran dan perilaku yang lebih khas dan jelas, yaitu rasa syukur, suatu maqam spiritual yang menampung semua maqam lainnya. Syukur inilah yang menjadi inti pengajaran spiritual Ibnu Abbad. Seseorang abdi yang meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah adun, dia haruslah menerimanya dengan rasa syukur.

Mengenai cara mengucap syukur, Ibnu Abbad, sebagaimana tradisi para sufi, mengajarkan bahwa pertama-tama manusia haruslah mengucap syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, yaitu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan memaklumkan kemurahan-Nya. Belakang dengan hatinya, sehingga seluruh jati dirinya berubah menjadi suatu syukur yang mendalam dan tiap saat dalam hidupnya terdiri atas syukur kepada Allah yang tercermin dari amal saleh, seluruh keaktifan dan sikap yang dibuat kita haruslah berupa muslihat tentang kemurahan hati Tuhan kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan daya kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kepentingan yang mendalam terhadap-Nya, dan memohon kepada-Nya supaya memberi syukur kepada kita.”

Waspada terhadap kemarahan Tuhan

Ibnu Abbad juga mengajarkan supaya seorang salik senantiasa waspada terhadap makr (kemarahan) Tuhan, utamanya dalam hal pemberian karunia-Nya. Hal ini secara sepintas nampak kontradiksi dengan nasihatnya tentang keyakinan penuh akan kearifan Tuhan. Namun, maksud Ibnu Abbad, dalam hal ini adalah supaya seorang abdi tidak mencapai terlena, terkelabui, belakang suatu peristiwa limpahan anugerah yang diterimanya, sehingga mencapai melupakan sang pemberi anugerah tersebut walaupun hanya sedetik. Kecemasan Ibnu Abbad sendiri yang senantiasa siaga terhadap makr Tuhan membayang jelas di dalam pengabdiannya: “Jika Tuhan memberimu sesuatu yang adun Dia mungkin berhasrat menghukummu. Oleh karena itu seseorang harus senantiasa waspada dan tidak melalaikan kepatuhan dan salat sedetik pun”.

Implikasi lanjut dari sikap waspada ini membikin Ibnu Abbad lebih memilih pilihan dan memandang adun kondisi qabdh, kesempitan atau kondisi sedih dan murung ketimbang basth, kelonggaran. Dalam kondisi sedih dan murung (qabdh), manusia merasa bahwa tidak benar sesuatu pun kecuali Tuhan tempat menaruh keyakinan, sementara dalam kondisi bahagia (basth) dia mudah sekali lupa bahwa kebahagiaannya bukanlah hasil kerja manusia malainkan semata-mata karena kepatutan Tuhan. Ibnu Abbad mengatakan bahwa terhadap orang yang menjalani qabdh, Tuhan akan mengungkapkan kemurahan hati-Nya secara lebih adun dibandingkan bila seseorang mempersembahkan hadiah-hadiah yang bersifat nyata ataupun pelipur rohani.

Ibnu Abbad membandingkan qabdh dengan malam tempat hal-hal akbar akan lahir. Qabdh dalam pandangannya, lebih tinggi dari basth karena di dalam qabdh manusia sama sekali pasif, menanggalkan kemauannya sendiri, dan bertindak hanya sejauh yang Tuhan kehendaki. Dalam kondisi demikian, dia bisa merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan, ketiadaannya, dan hal ini lagi-lagi akan mengantarnya kepada sikap paling tinggi yang dapat dicapai seseorang, yaitu syukur yang tiada putus-putusnya.

Pranala luar

  • (Indonesia) Muhammad Ibnu Abbad : Sufi Pensyarah Al-Hikam

edunitas.com


Page 14

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka lahir Spanyol pada ratus tahun ke-14. Dia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah.

Perjalanan hidup

Pada saat berusia tujuh, Ibnu Abbad sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, dia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, belakang suatu peristiwa tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang sukses mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340.

Di Fez, Ibnu Abbad kembali berlatih fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di aspek fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani, seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di aspek teologi, dia berlatih teologi Asy’ariyah kepada al-Abili, dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, dia juga mempelajari kumpulan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas.

Berlatih pengetahuan tasawuf

Situasi kota Fez yang sangat acak-acakan belakang suatu peristiwa perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Sisa dari pembakaran Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana dia berguru kepada Ibnu Asyir, seorang wali yang diketahui untuk tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Dia belakang menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah asuhan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, mencapai pada penghabisannya dia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.

Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana dia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu diketahui, Sisa dari pembakaran Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk beberapa waktu, dia kembali ke Fez, dan di sana dia bersahabatan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Sisa dari pembakaran Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini dia menulis At-Tanbih yang didudukkannya selang 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana mencapai sekitar tahun 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Sisa dari pembakaran al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya untuk imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan pengetahuan tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.

Untuk khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih pilihan dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Dia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang dikatanya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Dia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang bersesuaian dengan kehidupan sehari-hari.

Kemunduran Dinasti Mariniyah dan masa penghabisan hayat

Selama seperempat terakhir ratus tahun ke-14, Dinasti Mariniyah mengalami kemunduran. Sehingga kota Fez waktu itu mengalami kesukaran politik dan bahkan krisis spiritual. Ibnu Abbad sendiri tinggal di sebuah rumah kecil di tidak jauh masjid. Bila dia bepergian ke masjid, sejumlah anak kecil selalu mengikutinya. Dia memang cukup punya perhatian terhadap anak-anak di mana dia tinggal, termasuk orang-orang di sekitarnya.

Menjelang penghabisan hayatnya, dia menulis untuk sahabatnya, Sisa dari pembakaran al- Abbas al-Marakusyi, bahwa dirinya merasa jauh dengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya. Dia seakan pasrah untuk menyongsong datangnya hari kematian. Sebagian sumber mengatakan, Ibnu Abbad tetap membujang mencapai penghabisan hayatnya. Kalaupun menikah, itu diterapkannya sekadar mengikuti sunnah Nabi. Mencapai penghabisan hayatnya, Ibnu Abbad juga belum sempat menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbad wafat pada tanggal 17 Juni 1390 dan dimakamkan di depan sultan serta masyarakat Fez.

Ajaran-ajaran Spiritual Ibnu Abbad

Rasa syukur kepada Tuhan

Seluruh pemikiran Ibnu Abbad terpusat pada penyucian jiwa manusia rumusan menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan dengan penuh ketulusan. Sebab hanya satu dzat yang kepada-Nya manusia bersandar; hanya benar satu dzat yang bertangungjawab atas segala ciptaan, dan itulah Tuhan, Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Hakim. Wajar bila belakang Ibnu Abbad memberikan tempat terhormat di dalam sistemnya untuk perjuangan tiada henti melawan nafsu. Karena menurutnya, nafsu adalah tirai atau penghalang terbesar selang seorang abdi dengan Tuhannya. Tiada kedatangan kepada Tuhan kecuali oleh Tuhan, sebagaimana juga tiada batas selang pengabdi dan Tuhannya kecuali nafsu-nya. Seseorang tidak menentang nafsu dengan nafsu tetapi melawannya dengan nama Tuhan.

Oleh karena itu, Ibnu Abbad mengajarkan bahwa seorang salik harus memiliki keyakinan dan keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan.

Keyakinan ini harus terpateri kuat di dalam jiwa dan menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ibnu Abbad melihat bahwa keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan merupakan hal paling tinggi yang bisa diharapkan oleh seorang salik, dan orang yang telah mencapainya tak memerlukan lagi pengungkapan-pengungkapan misteri-misteri ghaib. Keyakinan ini lebih lanjut akan melahirkan sikap untuk selalu husnudhan (prasangka baik) terhadap Tuhan.

Selanjutnya prasangka adun ini akan memanifestasikan dirinya dalam pemikiran dan perilaku yang lebih khas dan jelas, yaitu rasa syukur, suatu maqam spiritual yang menampung semua maqam lainnya. Syukur inilah yang menjadi inti pengajaran spiritual Ibnu Abbad. Seseorang abdi yang meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah adun, dia haruslah menerimanya dengan rasa syukur.

Mengenai cara mengucap syukur, Ibnu Abbad, sebagaimana tradisi para sufi, mengajarkan bahwa pertama-tama manusia haruslah mengucap syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, yaitu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan memaklumkan kemurahan-Nya. Belakang dengan hatinya, sehingga seluruh jati dirinya berubah menjadi suatu syukur yang mendalam dan tiap saat dalam hidupnya terdiri atas syukur kepada Allah yang tercermin dari amal saleh, seluruh keaktifan dan sikap yang dibuat kita haruslah berupa muslihat tentang kemurahan hati Tuhan kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan daya kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kepentingan yang mendalam terhadap-Nya, dan memohon kepada-Nya supaya memberi syukur kepada kita.”

Waspada terhadap kemarahan Tuhan

Ibnu Abbad juga mengajarkan supaya seorang salik senantiasa waspada terhadap makr (kemarahan) Tuhan, utamanya dalam hal pemberian karunia-Nya. Hal ini secara sepintas nampak kontradiksi dengan nasihatnya tentang keyakinan penuh akan kearifan Tuhan. Namun, maksud Ibnu Abbad, dalam hal ini adalah supaya seorang abdi tidak mencapai terlena, terkelabui, belakang suatu peristiwa limpahan anugerah yang diterimanya, sehingga mencapai melupakan sang pemberi anugerah tersebut walaupun hanya sedetik. Kecemasan Ibnu Abbad sendiri yang senantiasa siaga terhadap makr Tuhan membayang jelas di dalam pengabdiannya: “Jika Tuhan memberimu sesuatu yang adun Dia mungkin berhasrat menghukummu. Oleh karena itu seseorang harus senantiasa waspada dan tidak melalaikan kepatuhan dan salat sedetik pun”.

Implikasi lanjut dari sikap waspada ini membikin Ibnu Abbad lebih memilih pilihan dan memandang adun kondisi qabdh, kesempitan atau kondisi sedih dan murung ketimbang basth, kelonggaran. Dalam kondisi sedih dan murung (qabdh), manusia merasa bahwa tidak benar sesuatu pun kecuali Tuhan tempat menaruh keyakinan, sementara dalam kondisi bahagia (basth) dia mudah sekali lupa bahwa kebahagiaannya bukanlah hasil kerja manusia malainkan semata-mata karena kepatutan Tuhan. Ibnu Abbad mengatakan bahwa terhadap orang yang menjalani qabdh, Tuhan akan mengungkapkan kemurahan hati-Nya secara lebih adun dibandingkan bila seseorang mempersembahkan hadiah-hadiah yang bersifat nyata ataupun pelipur rohani.

Ibnu Abbad membandingkan qabdh dengan malam tempat hal-hal akbar akan lahir. Qabdh dalam pandangannya, lebih tinggi dari basth karena di dalam qabdh manusia sama sekali pasif, menanggalkan kemauannya sendiri, dan bertindak hanya sejauh yang Tuhan kehendaki. Dalam kondisi demikian, dia bisa merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan, ketiadaannya, dan hal ini lagi-lagi akan mengantarnya kepada sikap paling tinggi yang dapat dicapai seseorang, yaitu syukur yang tiada putus-putusnya.

Pranala luar

  • (Indonesia) Muhammad Ibnu Abbad : Sufi Pensyarah Al-Hikam

edunitas.com


Page 15

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka lahir Spanyol pada ratus tahun ke-14. Dia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah.

Perjalanan hidup

Pada saat berusia tujuh, Ibnu Abbad sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, dia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, belakang suatu peristiwa tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang sukses mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340.

Di Fez, Ibnu Abbad kembali berlatih fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di aspek fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani, seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di aspek teologi, dia berlatih teologi Asy’ariyah kepada al-Abili, dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, dia juga mempelajari kumpulan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas.

Berlatih pengetahuan tasawuf

Situasi kota Fez yang sangat acak-acakan belakang suatu peristiwa perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Sisa dari pembakaran Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana dia berguru kepada Ibnu Asyir, seorang wali yang diketahui untuk tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Dia belakang menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah asuhan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, mencapai pada penghabisannya dia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.

Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana dia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu diketahui, Sisa dari pembakaran Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk beberapa waktu, dia kembali ke Fez, dan di sana dia bersahabatan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Sisa dari pembakaran Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini dia menulis At-Tanbih yang didudukkannya selang 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana mencapai sekitar tahun 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Sisa dari pembakaran al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya untuk imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan pengetahuan tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.

Untuk khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih pilihan dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Dia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang dikatanya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Dia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang bersesuaian dengan kehidupan sehari-hari.

Kemunduran Dinasti Mariniyah dan masa penghabisan hayat

Selama seperempat terakhir ratus tahun ke-14, Dinasti Mariniyah mengalami kemunduran. Sehingga kota Fez waktu itu mengalami kesukaran politik dan bahkan krisis spiritual. Ibnu Abbad sendiri tinggal di sebuah rumah kecil di tidak jauh masjid. Bila dia bepergian ke masjid, sejumlah anak kecil selalu mengikutinya. Dia memang cukup punya perhatian terhadap anak-anak di mana dia tinggal, termasuk orang-orang di sekitarnya.

Menjelang penghabisan hayatnya, dia menulis untuk sahabatnya, Sisa dari pembakaran al- Abbas al-Marakusyi, bahwa dirinya merasa jauh dengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya. Dia seakan pasrah untuk menyongsong datangnya hari kematian. Sebagian sumber mengatakan, Ibnu Abbad tetap membujang mencapai penghabisan hayatnya. Kalaupun menikah, itu diterapkannya sekadar mengikuti sunnah Nabi. Mencapai penghabisan hayatnya, Ibnu Abbad juga belum sempat menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbad wafat pada tanggal 17 Juni 1390 dan dimakamkan di depan sultan serta masyarakat Fez.

Ajaran-ajaran Spiritual Ibnu Abbad

Rasa syukur kepada Tuhan

Seluruh pemikiran Ibnu Abbad terpusat pada penyucian jiwa manusia rumusan menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan dengan penuh ketulusan. Sebab hanya satu dzat yang kepada-Nya manusia bersandar; hanya benar satu dzat yang bertangungjawab atas segala ciptaan, dan itulah Tuhan, Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Hakim. Wajar bila belakang Ibnu Abbad memberikan tempat terhormat di dalam sistemnya untuk perjuangan tiada henti melawan nafsu. Karena menurutnya, nafsu adalah tirai atau penghalang terbesar selang seorang abdi dengan Tuhannya. Tiada kedatangan kepada Tuhan kecuali oleh Tuhan, sebagaimana juga tiada batas selang pengabdi dan Tuhannya kecuali nafsu-nya. Seseorang tidak menentang nafsu dengan nafsu tetapi melawannya dengan nama Tuhan.

Oleh karena itu, Ibnu Abbad mengajarkan bahwa seorang salik harus memiliki keyakinan dan keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan.

Keyakinan ini harus terpateri kuat di dalam jiwa dan menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ibnu Abbad melihat bahwa keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan merupakan hal paling tinggi yang bisa diharapkan oleh seorang salik, dan orang yang telah mencapainya tak memerlukan lagi pengungkapan-pengungkapan misteri-misteri ghaib. Keyakinan ini lebih lanjut akan melahirkan sikap untuk selalu husnudhan (prasangka baik) terhadap Tuhan.

Selanjutnya prasangka adun ini akan memanifestasikan dirinya dalam pemikiran dan perilaku yang lebih khas dan jelas, yaitu rasa syukur, suatu maqam spiritual yang menampung semua maqam lainnya. Syukur inilah yang menjadi inti pengajaran spiritual Ibnu Abbad. Seseorang abdi yang meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah adun, dia haruslah menerimanya dengan rasa syukur.

Mengenai cara mengucap syukur, Ibnu Abbad, sebagaimana tradisi para sufi, mengajarkan bahwa pertama-tama manusia haruslah mengucap syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, yaitu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan memaklumkan kemurahan-Nya. Belakang dengan hatinya, sehingga seluruh jati dirinya berubah menjadi suatu syukur yang mendalam dan tiap saat dalam hidupnya terdiri atas syukur kepada Allah yang tercermin dari amal saleh, seluruh keaktifan dan sikap yang dibuat kita haruslah berupa muslihat tentang kemurahan hati Tuhan kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan daya kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kepentingan yang mendalam terhadap-Nya, dan memohon kepada-Nya supaya memberi syukur kepada kita.”

Waspada terhadap kemarahan Tuhan

Ibnu Abbad juga mengajarkan supaya seorang salik senantiasa waspada terhadap makr (kemarahan) Tuhan, utamanya dalam hal pemberian karunia-Nya. Hal ini secara sepintas nampak kontradiksi dengan nasihatnya tentang keyakinan penuh akan kearifan Tuhan. Namun, maksud Ibnu Abbad, dalam hal ini adalah supaya seorang abdi tidak mencapai terlena, terkelabui, belakang suatu peristiwa limpahan anugerah yang diterimanya, sehingga mencapai melupakan sang pemberi anugerah tersebut walaupun hanya sedetik. Kecemasan Ibnu Abbad sendiri yang senantiasa siaga terhadap makr Tuhan membayang jelas di dalam pengabdiannya: “Jika Tuhan memberimu sesuatu yang adun Dia mungkin berhasrat menghukummu. Oleh karena itu seseorang harus senantiasa waspada dan tidak melalaikan kepatuhan dan salat sedetik pun”.

Implikasi lanjut dari sikap waspada ini membikin Ibnu Abbad lebih memilih pilihan dan memandang adun kondisi qabdh, kesempitan atau kondisi sedih dan murung ketimbang basth, kelonggaran. Dalam kondisi sedih dan murung (qabdh), manusia merasa bahwa tidak benar sesuatu pun kecuali Tuhan tempat menaruh keyakinan, sementara dalam kondisi bahagia (basth) dia mudah sekali lupa bahwa kebahagiaannya bukanlah hasil kerja manusia malainkan semata-mata karena kepatutan Tuhan. Ibnu Abbad mengatakan bahwa terhadap orang yang menjalani qabdh, Tuhan akan mengungkapkan kemurahan hati-Nya secara lebih adun dibandingkan bila seseorang mempersembahkan hadiah-hadiah yang bersifat nyata ataupun pelipur rohani.

Ibnu Abbad membandingkan qabdh dengan malam tempat hal-hal akbar akan lahir. Qabdh dalam pandangannya, lebih tinggi dari basth karena di dalam qabdh manusia sama sekali pasif, menanggalkan kemauannya sendiri, dan bertindak hanya sejauh yang Tuhan kehendaki. Dalam kondisi demikian, dia bisa merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan, ketiadaannya, dan hal ini lagi-lagi akan mengantarnya kepada sikap paling tinggi yang dapat dicapai seseorang, yaitu syukur yang tiada putus-putusnya.

Pranala luar

  • (Indonesia) Muhammad Ibnu Abbad : Sufi Pensyarah Al-Hikam

edunitas.com


Page 16

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka lahir Spanyol pada ratus tahun ke-14. Dia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah.

Perjalanan hidup

Pada saat berusia tujuh, Ibnu Abbad sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, dia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, belakang suatu peristiwa tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang sukses mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340.

Di Fez, Ibnu Abbad kembali berlatih fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di aspek fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani, seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di aspek teologi, dia berlatih teologi Asy’ariyah kepada al-Abili, dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, dia juga mempelajari kumpulan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas.

Berlatih pengetahuan tasawuf

Situasi kota Fez yang sangat acak-acakan belakang suatu peristiwa perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Sisa dari pembakaran Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana dia berguru kepada Ibnu Asyir, seorang wali yang diketahui untuk tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Dia belakang menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah asuhan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, mencapai pada penghabisannya dia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.

Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana dia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu diketahui, Sisa dari pembakaran Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk beberapa waktu, dia kembali ke Fez, dan di sana dia bersahabatan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Sisa dari pembakaran Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini dia menulis At-Tanbih yang didudukkannya selang 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana mencapai sekitar tahun 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Sisa dari pembakaran al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya untuk imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan pengetahuan tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.

Untuk khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih pilihan dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Dia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang dikatanya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Dia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang bersesuaian dengan kehidupan sehari-hari.

Kemunduran Dinasti Mariniyah dan masa penghabisan hayat

Selama seperempat terakhir ratus tahun ke-14, Dinasti Mariniyah mengalami kemunduran. Sehingga kota Fez waktu itu mengalami kesukaran politik dan bahkan krisis spiritual. Ibnu Abbad sendiri tinggal di sebuah rumah kecil di tidak jauh masjid. Bila dia bepergian ke masjid, sejumlah anak kecil selalu mengikutinya. Dia memang cukup punya perhatian terhadap anak-anak di mana dia tinggal, termasuk orang-orang di sekitarnya.

Menjelang penghabisan hayatnya, dia menulis untuk sahabatnya, Sisa dari pembakaran al- Abbas al-Marakusyi, bahwa dirinya merasa jauh dengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya. Dia seakan pasrah untuk menyongsong datangnya hari kematian. Sebagian sumber mengatakan, Ibnu Abbad tetap membujang mencapai penghabisan hayatnya. Kalaupun menikah, itu diterapkannya sekadar mengikuti sunnah Nabi. Mencapai penghabisan hayatnya, Ibnu Abbad juga belum sempat menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbad wafat pada tanggal 17 Juni 1390 dan dimakamkan di depan sultan serta masyarakat Fez.

Ajaran-ajaran Spiritual Ibnu Abbad

Rasa syukur kepada Tuhan

Seluruh pemikiran Ibnu Abbad terpusat pada penyucian jiwa manusia rumusan menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan dengan penuh ketulusan. Sebab hanya satu dzat yang kepada-Nya manusia bersandar; hanya benar satu dzat yang bertangungjawab atas segala ciptaan, dan itulah Tuhan, Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Hakim. Wajar bila belakang Ibnu Abbad memberikan tempat terhormat di dalam sistemnya untuk perjuangan tiada henti melawan nafsu. Karena menurutnya, nafsu adalah tirai atau penghalang terbesar selang seorang abdi dengan Tuhannya. Tiada kedatangan kepada Tuhan kecuali oleh Tuhan, sebagaimana juga tiada batas selang pengabdi dan Tuhannya kecuali nafsu-nya. Seseorang tidak menentang nafsu dengan nafsu tetapi melawannya dengan nama Tuhan.

Oleh karena itu, Ibnu Abbad mengajarkan bahwa seorang salik harus memiliki keyakinan dan keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan.

Keyakinan ini harus terpateri kuat di dalam jiwa dan menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ibnu Abbad melihat bahwa keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan merupakan hal paling tinggi yang bisa diharapkan oleh seorang salik, dan orang yang telah mencapainya tak memerlukan lagi pengungkapan-pengungkapan misteri-misteri ghaib. Keyakinan ini lebih lanjut akan melahirkan sikap untuk selalu husnudhan (prasangka baik) terhadap Tuhan.

Selanjutnya prasangka adun ini akan memanifestasikan dirinya dalam pemikiran dan perilaku yang lebih khas dan jelas, yaitu rasa syukur, suatu maqam spiritual yang menampung semua maqam lainnya. Syukur inilah yang menjadi inti pengajaran spiritual Ibnu Abbad. Seseorang abdi yang meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah adun, dia haruslah menerimanya dengan rasa syukur.

Mengenai cara mengucap syukur, Ibnu Abbad, sebagaimana tradisi para sufi, mengajarkan bahwa pertama-tama manusia haruslah mengucap syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, yaitu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan memaklumkan kemurahan-Nya. Belakang dengan hatinya, sehingga seluruh jati dirinya berubah menjadi suatu syukur yang mendalam dan tiap saat dalam hidupnya terdiri atas syukur kepada Allah yang tercermin dari amal saleh, seluruh keaktifan dan sikap yang dibuat kita haruslah berupa muslihat tentang kemurahan hati Tuhan kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan daya kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kepentingan yang mendalam terhadap-Nya, dan memohon kepada-Nya supaya memberi syukur kepada kita.”

Waspada terhadap kemarahan Tuhan

Ibnu Abbad juga mengajarkan supaya seorang salik senantiasa waspada terhadap makr (kemarahan) Tuhan, utamanya dalam hal pemberian karunia-Nya. Hal ini secara sepintas nampak kontradiksi dengan nasihatnya tentang keyakinan penuh akan kearifan Tuhan. Namun, maksud Ibnu Abbad, dalam hal ini adalah supaya seorang abdi tidak mencapai terlena, terkelabui, belakang suatu peristiwa limpahan anugerah yang diterimanya, sehingga mencapai melupakan sang pemberi anugerah tersebut walaupun hanya sedetik. Kecemasan Ibnu Abbad sendiri yang senantiasa siaga terhadap makr Tuhan membayang jelas di dalam pengabdiannya: “Jika Tuhan memberimu sesuatu yang adun Dia mungkin berhasrat menghukummu. Oleh karena itu seseorang harus senantiasa waspada dan tidak melalaikan kepatuhan dan salat sedetik pun”.

Implikasi lanjut dari sikap waspada ini membikin Ibnu Abbad lebih memilih pilihan dan memandang adun kondisi qabdh, kesempitan atau kondisi sedih dan murung ketimbang basth, kelonggaran. Dalam kondisi sedih dan murung (qabdh), manusia merasa bahwa tidak benar sesuatu pun kecuali Tuhan tempat menaruh keyakinan, sementara dalam kondisi bahagia (basth) dia mudah sekali lupa bahwa kebahagiaannya bukanlah hasil kerja manusia malainkan semata-mata karena kepatutan Tuhan. Ibnu Abbad mengatakan bahwa terhadap orang yang menjalani qabdh, Tuhan akan mengungkapkan kemurahan hati-Nya secara lebih adun dibandingkan bila seseorang mempersembahkan hadiah-hadiah yang bersifat nyata ataupun pelipur rohani.

Ibnu Abbad membandingkan qabdh dengan malam tempat hal-hal akbar akan lahir. Qabdh dalam pandangannya, lebih tinggi dari basth karena di dalam qabdh manusia sama sekali pasif, menanggalkan kemauannya sendiri, dan bertindak hanya sejauh yang Tuhan kehendaki. Dalam kondisi demikian, dia bisa merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan, ketiadaannya, dan hal ini lagi-lagi akan mengantarnya kepada sikap paling tinggi yang dapat dicapai seseorang, yaitu syukur yang tiada putus-putusnya.

Pranala luar

  • (Indonesia) Muhammad Ibnu Abbad : Sufi Pensyarah Al-Hikam

edunitas.com