Dukungan teknologi yang diperlukan bagi pengembangan budidaya perairan

Kamis, 28 April 2016 09:36 | Kategori : Sesditjen

Pelaksanaan kegiatan INDOAQUA-APA 2016, telah diresmi di buka oleh Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, pada tanggal 26 April 2016.

Pada kesempatan tersebut, Rizal Ramli mengatakan bahwa Akuakultur merupakan kekuatan ekonomi baru di dunia. “Peluang Akuakultur Indonesia untuk menjadi salah satu pilar ekonomi bangsa, sangat besar. Sumber daya alam yang cukup mendukung dan sumber daya manusia yang cakap di bidang akuakultur, merupakan modal untuk menuju kesana. Sehingga melalui pergelaran pameran dan seminar di INDOAQUA – APA ini, kita harapkan terjadi alih teknologi terbaru dan mampu memberikan efek dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat”, kata Menko.

Saat ini, perikanan budidaya di tuntut untuk terus meningkatkan produksi dengan tetap memperhatikan lingkungan dan mendukung keberlanjutan. “Sustainable Aquaculture, merupakan keharusan. Kebutuhan protein ikan yang terus meningkat setiap tahun, sebagian besar akan dipenuhi dari budidaya. Sehingga diperlukan usaha untuk memperhatikan dampak budidaya terhadap lingkungan sekitarnya. Dan ini memerlukan teknologi yang efektif dan efisien. Event INDOAQUA – APA 2016 ini merupakan event yang tepat untuk menemukan teknologi-teknologi tersebut”, papar Farshad Shishehchian, President of the World Aquaculture Society, Asia Pasific Chapter, pada saat memberikan sambutan dalam Plenary Session APA 2016.

Patrick Sorgeloos, Former World Aquaculture President dan juga professor di Laboratory of Aquaculture & Artemia Reference Center. Ghent University, Belgia, menyatakan bahwa untuk menjadikan akuakultur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, semua stake holder akuakultur harus memahami seluruh mekanisme biologi yang terlibat dalam suatu proses produksi akuakultur. “Hal ini mencakup penyediaan induk unggul dan benih bermutu, pemilihan spesies, budidaya terintegrasi, restocking dan juga komunikasi antar stakeholder, serta membentuk jaringan komunikasi yang luas. Jadi diperlukan kerjasama dan alih teknologi dengan semua pihak”, paparnya

INDOAQUA – APA 2016 yang mengangkat tema “Profitability, Sustainability and Responsibility for the Future, sangat selaras dengan pembangunan Perikanan Budidaya Nasional yaitu Mandiri, Berdaya Saing dan Berkelanjutan. “Keuntungan akan diperoleh pembudidaya, apabila pembudidaya mampu meningkatkan kemandirian. Baik mandiri di dalam hal benih, pakan maupun usaha. Dan Keuntungan ini akan terus diperoleh apabila tetap memperhatikan keberlanjutan, baik keberlanjutan usaha maupun lingkungan. Dan ini adalah wujud tanggung jawan perikanan budidaya masa depan yang merupakan milik anak cucu kita. Sehingga kunci nya adalah Keberlanjutan atau Sustainable, khususnya dalam bidang perikanan budidaya”, papar Slamet Soebjakto, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya.

Slamet menambahkan untuk mendorong pengembangan usaha perikanan yang berkelanjutan dan menarik invetasi di bidang kelautan dan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara rutin melaksanakan Marine and Fisheries Business Forum sebulan sekali. “Untuk itu, kita harapkan semua stake holder kelautan dan perikanan dapat berperan serta secara aktif dalam forum ini. Forum bisnis ini dapat dimanfaatkan untuk paparan peluang usaha perikanan dan juga display produk unggulan”, tambah Slamet

Teknologi Nanobuble

Teknologi nanobubble adalah teknologi menjamin ketersediaan oksigen sangat tinggi dan dalam waktu yang lebih lama. Teknologi ini mampu mendukung produksi  ikan karena aktivitas metabolismenya meningkat, sehingga lebih efektif dalam memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan ikan. “Melalui teknologi nanobuble ini, kualitas air akan terjaga. Ikan tumbuh secara optimal, dan hemat energy. Ini sangat cocok untuk dikembangkan karena selaras dengan konsep keberlanjutan”, terang Slamet.

Teknologi nano bubble ini di harapkan menjadi solusi bagi pengelolaan kualitas air selama proses produksi budidaya, khususnya oksigen.

Oksigen dalam air sangat diperlukan oleh ikan untuk kebutuhan metabolismya. Semakin kecil gelembung air maka jumlah difusi oksigen semakin besar dan kelarutan oksigen semakin tinggi. Prinsipnya, semakin kecil diameter gelembung maka akan semakin luas permukaan yang dapat besentuhan antara oksigen dan air. Melalui teknologi nano bubble, diameter gelembung diperkecil hingga mencapai skala nano, yang berarti luas permukaan akan semakin besar dan kelarutan oksigen semakin tinggi.

Gelembung skala nano dapat mencapai <100 nm dan memiliki waktu tinggal dalam air lebih lama, sehingga oksigen yang dihasilkan sangat tinggi dan lebih lama. Dengan demikian oksigen dalam air terjaga dalam jumlah sangat tinggi (dapat diatas 9 ppm) dalam waktu yang lebih lama.

Hasil peneitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), teknologi nano bubble  telah terbukti mempercepat pertumbuhan ikan sidat sampai 40 persen.

  • Menyongsong revolusi industri 4.0, KKP menguatkan kapasitas diri seluruh pembudidaya ikan, dengan membentuk kampung digital berbasis pada komoditas andalan daerah masing-masing di seluruh Indonesia.
  • Percontohan kampung digital dilaksanakan di Desa Krimun dan Desa Puntang, Kecamatan Losarang, Indramayu, Jabar, pada pengembangan komoditas lele. Dan penggunaan teknologi digital, yatu aplikasi eFishery melalui alat pemberi pakan otomatis.
  • Adopsi digital pada perikanan budidaya, bisa menaikkan nilai jual komoditas budidaya, kepastian pasar, sarana dan prasarana usaha menjadi lebih efisien, serta kemudahan akses teknologi produksi.
  • Sejak diperkenalkan pada 2013, aplikasi eFishery sudah digunakan ratusan pembudidaya yang untuk mengontrol penggunaan pakan, dan sukses panen hingga empat kali dalam setahun.

Kemajuan zaman yang ditandai dengan revolusi industri 4.0, menjadi tantangan yang besar bagi para pelaku usaha perikanan budidaya di Indonesia. Revolusi tersebut memaksa para pelaku usaha untuk terus berinovasi agar bisa meningkatkan kapasitas diri dan juga produk usaha yang sedang dan akan dibudidayakan. Termasuk, penggunaan alat otomatis yang dikendalikan dari aplikasi buatan perusahaan rintisan (start up) yang mengembangkan sektor perikanan dan kelautan.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menyongsong revolusi industri 4.0 adalah dengan menguatkan kapasitas diri seluruh pembudidaya ikan. Bentuk nyata dari upaya tersebut, adalah dengan membentuk kampung-kampung digital di seluruh Indonesia.

“Kampung tersebut bisa berbasis pada berbagai komoditas andalan daerah masing-masing,” jelasnya, pekan lalu di Jakarta.

Percontohan dari kampung digital tersebut, mulai dilaksanakan di Desa Krimun dan Desa Puntang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di kedua desa tersebut, KKP melakukan inisiasi kepada para pembudidaya ikan yang fokus pada pengembangan komoditas lele. Sementara, untuk penggunaan teknologi digital, dilakukan langsung oleh start up eFishery melalui alat pemberi pakan otomatis.

baca :  Teknologi Informasi untuk Tingkatkan Daya Saing Produk Akuakultur, Seperti Apa?

Dukungan teknologi yang diperlukan bagi pengembangan budidaya perairan
Lele di Indonesia berpeluang besar untuk diekspor ke luar negeri asalkan budidayanya berkelanjutan dan bersertifikasi sesuai pasar ekspor. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

Penggunaan teknologi digital pada kedua desa tersebut, menurut Slamet menjadi yang pertama kali di Indonesia. Adopsi teknologi digital tersebut, akan membuat kedua desa tersebut melaksanakan budidaya perikanan dengan menerapkan sistem teknologi informasi melalui penggunaan alat pengendali pemberian pakan yang dikendalikan dari aplikasi pintar.

Melalui implementasi teknologi informasi, Slamet berharap, pembudidaya ikan di masa mendatang bisa lebih siap menghadapi persaingan, terutama menghadapi revolusi industri 4.0 yang saat ini sedang berjalan di Indonesia. Dengan aplikasi digital, pembudidayaan bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan efisiensi usahanya sehingga pendapatan mereka meningkat.

Slamet menerangkan, dengan adopsi digital pada perikanan budidaya, itu akan berdampak positif karena bisa menaikkan nilai jual komoditas budidaya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selain itu, dengan konsep digital, pembudidaya juga mendapatkan kepastian pasar, sarana dan prasarana usaha menjadi lebih efisien, serta kemudahan akses teknologi produksi.

“Itu akan membuat usaha budidaya semakin efisien, dan akhirnya pendapatan pembudidaya juga akan meningkat. Lewat revolusi digital, investasi juga bisa dilakukan secara daring (online), dan prosesnya bisa semakin efektif,” tuturnya.

baca juga :  Digitalisasi Industri Akuakultur Mulai Diterapkan di Indonesia. Begini Ceritanya..

Efisiensi Budidaya

Kemudahan yang didapatkan para pembudidaya ikan di masa sekarang, melalui revolusi industri 4.0, menurut Slamet, akan menyebabkan efisiensi bekerja mereka menjadi lebih cepat dan singkat. Hal itu, karena pembudidaya bisa mengunduh aplikasi digital yang dikembangkan start up pada telepon pintar mereka. Setelah itu, mereka bisa mengatur waktu dan jumlah pemberian pakan ikan melalui aplikasi tersebut.

“Penggunaan authomatic feeder ini di sistem budidaya air tawar akan membuat penggunaan pakan lebih efisien sehingga nilai rasio konversi ikan atau FCR (food convertion ratio) dapat ditekan. Itulah kelebihan dengan menggunakan aplikasi yang dikembangkan start up, seperti milik eFishery yang fokus pada pengembangan bidang perikanan,” jelas Slamet.

menarik dibaca :  Dengan Teknologi Ini, Menelusuri Asal Ikan jadi Lebih Mudah

Dukungan teknologi yang diperlukan bagi pengembangan budidaya perairan
Tampilan laman efishery, salah satu inovasi digital untuk pemberian pakan pada budidaya perikanan. KKP mendorong inovasi sistem informasi berbasis digital untuk industrialisasi akuakultur di Indonesia. Foto : laman efishery/Mongabay Indonesia

Dengan penggunaan teknologi digital pada aplikasi, ia sangat yakin kalau permintaan terhadap komoditas lele akan semakin meningkat. Saat ini saja, tanpa ada campur tangan dari teknologi digital, konsumsi lele di masyarakat terus meningkat dan menjadi primadona. Tak hanya itu, dengan teknologi digital, permintaan lele untuk pasar ekspor juga akan semakin meningkat lagi.

Meski demikian, Slamet meminta para pembudidaya ikan untuk bisa melaksanakan usaha budidaya ikan dengan menggunakan prinsip berkelanjutan. Dengan demikian, prinsip ramah lingkungan pada usaha tersebut akan tetap dijalankan dan berlanjut terus sampai kapan pun.

”Penataan kawasan budidaya seperti pengaturan IPAL (instalasi pengolahan air limbah), sirkulasi keluar masuk air untuk budidaya berkelanjutan harus benar-benar diimplementasikan,” ucapnya.

Setelah penerapan teknologi bisa berjalan, Slamet mengingatkan kepada para pembudidaya ikan untuk bisa segera membentuk koperasi untuk memperkuat kelembagaan ekonomi pembudidaya. Kehadiran koperasi, berikutnya akan sangat bermanfaat bagi para pembudidaya ikan untuk mengakses berbagai fasilitas dan dukungan usaha yang disediakan Pemerintah dan lembaga keuangan lain.

Tentang teknologi informasi yang sekarang berkembang dengan sangat pesat, Slamet menyebut kalau itu juga akan dirasakan banyak manfaatnya oleh para pembudidaya ikan, hanya jika itu digunakan dengan benar. Termasuk, untuk mendapatkan informasi ketersediaan benih unggul, pakan, sarana dan prasarana produksi perikanan budidaya.

“Teknologi informasi dapat mengefisienkan rantai distribusi, sehingga harga jual di tingkat konsumen lebih murah dari pasar tradisional,” ucapnya.

baca juga :  Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?

Dukungan teknologi yang diperlukan bagi pengembangan budidaya perairan
Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

CEO eFisher Gibran Huzaifah menjelaskan, penggunaan alat pemberi pakan otomatis yang dikendalikan dari aplikasi, akan mewujudkan efisiensi penggunaan pakan pada usaha budidaya ikan. Keuntungan tersebut akan didapatkan, karena aplikasi akan mengatur pemberikan pakan dan jumlah takarannya secara otomatis. Semua itu, bisa dioperasikan secara sederhan dari telepon pintar.

“Itu yang membuat penggunaan pakan akan menjadi jauh lebih hemat jika dibandingkan tanpa penggunaan aplikasi,” sebutnya.

Hemat Pakan

Sejak diperkenalkan pada 2013 atau hampir enam tahun lalu, Gibran mengungkapkan bahwa saat ini sudah ada ratusan pembudidaya yang memanfaatkan aplikasi yang dirancang oleh start up bentukannya. Selama menggunakan aplikasi untuk mengontrol penggunaan pakan, para pembudidaya, khususnya pembudidaya lele diketahui sukses melaksanakan panen hingga empat kali dalam setahun.

Dengan fakta seperti itu, Gibran optimis kalau industri perikanan budidaya nasional bisa lebih berkembang lagi di masa mendatang. Hal itu, karena potensi perikanan budidaya nasional diketahui masih sangat besar dan dukungan dari pembudidaya ikan juga sangat kuat dan mereka terkenal akan keuletan serta menjadi salah satu yang terbaik di dunia untuk industri akuakultur.

“Oleh sebab itu, saya yakin kita bisa menjadi pionir dalam implementasi teknologi dalam kegiatan budidaya ikan,” ungkapnya.

Terpisah, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Indramayu Edi Umaedi menyampaikan, Kabupaten Indramayu layak menjadi percontohan kampung perikanan digital karena memiliki lahan berupa kolam budidaya air tawar yang cukup luas yakni 560,87 hektar. Dari luas tersebut, 58,68 persen atau 329,15 hektar digunakan untuk budidaya ikan lele yang sentranya ada di Kecamatan Losarang, Kandanghaur dan Sindang. Untuk produksi, pada 2018 Indramayu sanggup mencapai angka 85.496,85 ton atau naik 79,15 persen dari 2017 yang hanya sanggup mencapai 67.671,84 ton.

“Nilai produksinya pun meningkat dari Rp996.975.580.000 menjadi Rp1.336.963.249.000 atau naik 74,57 persen pada periode yang sama,” pungkasnya.

menarik dibaca :  Teknologi RAS untuk Kemajuan Perikanan Budidaya, Seperti Apa?

Dukungan teknologi yang diperlukan bagi pengembangan budidaya perairan
Budidaya lele dengan menggunakan teknologi system bioflok yang sedang digalakkan oleh Dirjen Perikanan Budidaya KKP. Teknologi bioflok ini diyakin dapat meningkatkan produksi lele sampai tiga kali lipat. Foto : DJPB KKP/Mongabay Indonesia

Selain eFishery, start up lain yang juga ikut mendukung berjalannya revolusi industri 4.0 pada perikanan budidaya, adalah aplikasi Minapoli yang diciptakan oleh seorang anak muda bernama Rully Setya Purnama. Menurut dia, teknologi itu bertujuan untuk memperluas dan memperkuat sekaligus sinergi jaringan industri perikanan.

“Minapoli berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan Minapoli berperan sebagai hub jaringan informasi dan bisnis perikanan,” ucapnya.

Selain Minapoli, teknologi lain yang ikut meramaikan transformasi industri akuakultur di Indonesia, adalah Iwa-Ke, fisHby, Jala, InFishta dan Growpal. Iwa-Ke adalah aplikasi pemasaran beragam ikan seperti ikan nila merah, patin dan gurami. Adapun, sarana yang dipakai antara lain ojek daring, Iwa-Ke Depot, dan mitra pembudidaya yang luasnya sudah mencapai lebih dari 60 hektare dan jaringan pembudidaya di berbagai provinsi.

Sementara, FisHby merupakan start up digital akuakultur untuk menggalang dana yang dibutuhkan pembudidaya dan menyalurkannya sesuai dengan perjanjian di awal. Kemudian, Jala adalah solusi bertambak udang yang menawarkan sistem manajemen terkini, dengan berbasis data, untuk membantu petambak membuat keputusan manajemen yang tepat berdasarkan informasi aktual yang terjadi di tambak.

Dalam hal investasi akuakultur, start up berbasis digital seperti InFishta bisa bertugas untuk melakukan pencarian modal invertasi perikanan bagi pembudidaya ikan. Terakhir, Growpal adalah start up yang memberikan peluang untuk membuat perubahan secara sosial melalui penanaman investasi dengan keuntungan yang menjanjikan di sektor perikanan dan kelautan.