Faktor yang paling tepat yang mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan pada massa Abbasiyah adalah

Di masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, Dinasti Abbasiyah mulai memasuki era keemasaannya. Penulisan buku-buku dari seluruh dunia makin digalakkan, sehingga tradisi intelektual berkembang pesat. Kota Baghdad pun berkembang menjadi metropolitan paling besar di dunia.

Faktor yang paling tepat yang mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan pada massa Abbasiyah adalah

Gambar ilustrasi. Sumber: kisahmuslim.com

Sejumlah sejarawan sepakat, bahwa era keemasan Dinasti Abbasiyah dimulai pada masa Harun Al-Rasyid, dan mencapai puncaknya di era Khalifah Al-Ma’mun. Beberapa faktor yang mendorong lahirnya era keemasan tersebut di antaranya adalah meningkatnya gairah intektual kaum Muslimin. Meskipun agak sulit memastikan secara rinci faktor-faktor apa saja yang memicu lahirnya gairah intelektual yang besar tersebut. Tapi beberapa sejawan menilai adanya fenomena ini tidak lepas dari peran para khalifah Abbasiyah yang sangat menggandrungi ilmu pengetahuan.

Faktor yang paling tepat yang mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan pada massa Abbasiyah adalah

Pada tahun ketiga pemerintahan Harun Al-Rasyid, Khaizuran wafat. Maka tinggallah Yahya yang kini menjadi penasehat utamanya. Yahya dikenal sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikatakan oleh Nadirsyah Hosen, Yahya memberikan pengaruh positif kepada Khalifah Harun ar-Rasyid. Imam Suyuthi mengabarkan betapa Harun juga mencintai para ulama, gemar bersedekah, dan taat beribadah. Dikabarkan dia salat sunnah seratus rakaat setiap hari. Orangnya tinggi dan kulitnya putih. Rajin membaca shalawat setiap mendengar nama Rasulullah disebutkan.[1]

Pada era Harun Al-Rasyid, proyek penulisan dan penerjemahan buku-buku dari seluruh dunia terus digalakan, bahkan didukung penuh oleh negara. Selama melakukan ekspedisi militer ke sejumlah wilayah di Eropa, ternyata para khalifah Abbasiyah tidak hanya merebut barang-barang berharga, tapi juga menggondol buku-buku dan naskah penting karya para ilmuwan Yunani.[2]

Sebagian pendapat mengatakan bahwa persentuhan Dinasti Abbasiyah terjadi ketika era pemerintahan Al-Manshur. Ketika itu kaum Muslim mulai memasuki wilayah kekuasaan Bizantium, seperti Antiokia, Iskandariyah, Suriah, Amorium, dan Ankara. Bahkan, Khalifah al-Manshur diriwayatkan berhasil memperoleh sejumlah buku dalam bahasa Yunani sebagai hadiah dari raja Bizantium. Pendapat ini agaknya tepat, mengingat pada era Al-Mahdi proses penulisan karya-karya ilmuwan asing ini sudah di mulai. Kelak titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun.[3]

Dalam hal kemakmuran, pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid, Baghdad – yang baru saja didirikan beberapa dekade sebelumnya oleh Al-Manshur – berubah menjadi metropolitan paling besar di dunia. Kemegahannya bahkan mengalahkan Bizantium Romawi. Menurut Philip K. Hitti saat itu “Kota Baghdad menjadi kota yang tak ada bandingannya di dunia.”[4]

Pada tahun 175 H, Harun Al-Rasyid membuat keputusan penting, yaitu mengangkat kedua putranya yang bergelar Al-Amin, sebagai putra mahkota. Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa putra Harun Al-Rasyid yang pertama bernama Al-Ma’mun. Dia lahir pada tahun 170 H atau bertepatan dengan waktu dilantiknya Harun Al-Rasyid. Tapi dia tidak lahir dari rahim Zaubaidah binti Ja’far Al-Manshur bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang merupakan permaisuri Harun Al-Rasyid. Al-Ma’mun lahir dari istri Harun yang lain, yang merupakan orang Persia. Selang beberapa bulan setelah lahirnya Al-Ma’mun, Zaubaidah melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Muhammad yang kemudian mendapat gelar Al-Amin.[5]

Harun Al-Rasyid mempercayakan pendidikan kedua putranya ini kepada Yahya bin Khalid. Yahya kemudian menunjuk putranya, Fadl bin Yahya bin Khalid, yang juga saudara sesusuan Harun untuk menjadi mentor Al-Amin. Sedang putra Yahya yang lain bernama Ja’far bin Yahya bin Khalid dipercaya untuk menjadi mentor Al-Ma’mun.[6]

Menurut Akbar Shah Najeebabadi, alasan diangkatnya Al-Amin terlebih dahulu sebagai putra mahkota daripada Al-Ma’mun, karena Al-Amin lahir dari rahim Zubaidah yang merupakan keturunan Quraisy.[7] Menurut Imam As-Suyuthi, pengangkatan Al-Amin dikarenakan Zubaidah sangat menginginkan putranya kitu menjadi khalifah menggantikan Harun Al-Rasyid.[8]

Adapun menurut Tabari, alasan diangkatnya Al-Amin disebabkan Fadl bin Yahya ketika itu mendapatkan hasutan dari saudaranya Zaubaidah yang bernama Isa bin Ja’far Al-Manshur agar mendukung dan memastikan Al-Amin diangkat sebagai putra mahkota.[9] Bisa jadi ini atas suruhan Zubaidah.

Isa bin Ja’far berkata kepada Fadl bin Yahya, bahwa bila Al-Amin menjadi khalifah secara otomatis Fadl yang juga mentornya akan sangat berkuasa. Mendapat bisikan seperti ini, hasrat berkuasa Fadl bin Yahya memuncak. Dia berjanji kepada Isa dan juga dirinya sendiri akan segera merealisasikan cita-cita tersebut.[10]

Ketika Fadl bin Yahya ditunjuk untuk menjadi gubernur wilayah Khurasan, dia sangat royal membagi-bagikan uang kepada prajurit dan juga rakyat kebanyakan. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan kesetiaan massa sebanyak mungkin. Dan ketika saatnya dirasa tepat, pada tahun 175 H, Fadl bin Yahya langsung mendeklarasikan baiatnya kepada Al-Amin sebagai putra mahkota di Khurasan.[11] Ini jelas sebuah langkah yang sangat berani, bahkan bisa diketegorikan sebagai subversif. Sebab deklarasi ini melangkahi wewenang khalifah. Lagi pula, ketika itu usia Al-Amin masih 5 tahun.

Tapi ketika mendengar penyataan Fadl, orang-orang di Khurasan semua mendukungnya. Masyarakat Khuarasan pun segera memberikan bai’atnya kepada Al-Amin. Dalam waktu cepat, berita inipun sampai ke telinga Harun Al-Rasyid. Dan menariknya, ketikan mendengar langkah yang cukup berani tersebut, Harun Al-Rasyid tidak marah. Sebaliknya, dia justru mendukung langkah politik Yahya dengan secara resmi mengangkat Al-Amin sebagai putra mahkota.[12]

Harun pun langsung menggelar acara resmi pelantikan putra mahkota dan menyebar luaskan berita gembira ini ke seluruh negeri. Adapun yang paling merasa gembira dengan pelantikan ini tidak lain adalah Zubaidah bin Ja’fah Al-Manshur. Sebagaimana dikisahkan As-Suyuthi, pada saat Al-Amin dinobatkan sebagai putra mahkota, seorang penyair bernama Salm Al-Khasir melantunkan syair yang membuat Zubaidah menjejali mulutnya dengan butiran mutiara. Belakangan, Salm Al-Khasir menjual mutiara tersebut dengan harga 1000 dinar.[13] (AL)

Bersambung…

Dinasti Abbasiyah (34): Harun Al-Rasyid (5)

Sebelumnya:

Dinasti Abbasiyah (32): Harun Al-Rasyid (3)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Nadirsyah Hosen, Khalifah Harun Ar-Rasyid: Masa Keemasan Abbasiyah, https://geotimes.co.id/kolom/politik/khalifah-harun-ar-rasyid-masa-keemasan-abbasiyah/, diakses 10 April 2019

[2] Lihat, Tradisi Penerjemahan pada Masa Abbasiyah, https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/05/23/p96ckd313-tradisi-penerjemahan-pada-masa-abbasiyah, diakses 12 April 2019

[3] Ibid

[4] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, (London, Macmillan, 1970), hal. 301-302

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 342

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta, Qisthi Press, 2017), hal. 310

[9] Lihat, The History of al-Tabari, VOLUME XXX, The Abbasid Caliphate in Equilibrium, translated and annotated by C. E. Bosworth, (State University of New York Press, 1995), hal. 112

[10] Ibid

[11] Ibid, hal. 113

[12] Ibid

[13] Lihat, Imam As-Suyuthi, Op Cit, 311 5

Oleh: Dr. H. Muhammad Saleh, M. Ag

Wakil Rektor III bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan IAIN Parepare

(Dibawakan dalam Orasi Ilmiah pada Pembukaan Kuliah dan Pengukuhan Mahasiswa Baru di Auditorium IAIN Parepare, Selasa 29 September 2020)

OPINI— Mengkaji sejarah Pendidikan Islam kita akan mendapatkan informasi tentang pelaksanaan Pendidikan Islam sejak awal diangkatnya Rasulullah Muhammad SAW. menjadi Rasul sampai sekarang yang di mulai dari masa pertumbungan, perkembangan, kemajuan bahkan kemunduran, serta kebangkitan Pendidikan Islam.

Untuk lebih memahami tahapan-tahapan pelaksanaan pendidikan dapat dilihat dari periodisasi Pendidikan Islam. Ini merupakan salah satu kekhasan kajian sejarah karena terkait dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampu dengan berdasarkan pengembangan Pendidikan Islam dengan menitikberatkan pada kajian kapan terjadi, dimana tempat terjadinya, siapa yang menjadi tokohnya, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apa yang terjadi pada masa itu.

Menurut Zuhairini, dkk pemilahan periodisasi dalam sejarah Pendidikan Islam untuk memudahkan urutan pembahasan. Peristiwa sejarah dilatarbelakangi oleh peristiwa lain sebelumnya, serta berhubungan secara langsung dengan peristiwa-peristiwa lain yang semasa, sehingga berakibat terjadinya rentetan peristiwa-peristiwa berikutnya. Hal ini menjadi landasan bahwa betapa pentingnya untuk memperhatikan periodesasi untuk memudahkan kajian terkait kesinambungan peristiwa tersebut dari waktu ke waktu.

Periodisasi sejarah Pendidikan Islam dapat dibagi  5 masa, yaitu: Pertama masa Pembinaan Pendidikan Islam, dimulai sejak Muhammad SAW. diangkat menjadi Rasul sampai wafatnya beliau. Pada masa pembinaan ini melalui 2 periode, yaitu periode Mekkah (13 Tahun), dan Periode Madinah (10 Tahun) mulai tahun 610 M s.d 632 M/ 13 S.Hijriah s.d 11 Hijriah. Kedua, masa Pertumbuhan Pendidikan Islam, dimulai sejak wafat Rasulullah SAW. hingga masa Bani Umayyah. Masa ini terbagi 2 periode , yaitu periode Khulafaurrasyidin (632 s.d 661 M), dan periode Bani Umayyah (661 s.d 750 M). Ketiga, masa Kejayaan Pendidikan Islam, diawali sejak berdirinya Daulah Bani Abbasiyah sampai jatuhnya Baqdad (750 M s.d 1250 M), Keempat, masa Kemunduran Pendidikan Islam, ditandai saat Baqdad dihancurkan Hulagu Khan sampai wilayah Mesir di bawah kekuasaan Napolen Boneparte (1250 M s.d 1798 M). Kelima, masa Pembaharuan, diawali sejak Mesir dikuasai Napoleon sampai masa modern sekarang (1798 M s.d sekarang)

Berdasarkan periodisasi tersebut yang menarik untuk dikaji, yaitu masa kejayaan Pendidikan Islam. Pada periode ini, Islam di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah, pada masa ini diwarnai berkembangnya ilmu-ilmu aqliah, berdirinya madrasah dan universitas, munculnya ilmuwan-ilmuwan saintik, serta puncak perkembangan kebudayaan Islam.   

Kejayaan Pendidikan Islam

Pada periode ketiga Pendidikan Islam mengalami masa kejayaan. Masa Kejayaan ini di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah yang berkuasa sejak Tahun 750 M – 1258 M/ 132H – 656 M). Masa ini  ditandai dengan berkembang pesatnya lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal. Bermunculannya lembaga-lembaga pendidikan ini mendominasi dalam dunia Islam sehingga mempengaruhi pola hidup dan budaya masyarakat Islam.

Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya Islam pada masa kejayaan Islam menggungguli dan bahkan mempengaruhi peradaban dunia. Wilayah kekuasaan Islam menjadi pusat-pusat pendidikan yang diminati buhkan hanya kalangan Islam tetapi juga kalangan non-Islam.

Harun al Rasyid (170-193 H) yang merupakan khalifah ke-7 Dinasti Bani Abbasiyah, pada masa pemerintahannya Pendidikan Islam mencapai puncak kejayaan. Masa masa kepemimpinan beliau sangat memberi motivasi dan perhatian penuh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, Harun Al-Rasyid merupakan seorang  yang cerdas dan mencintai ilmu pengetahuan. Negara di bawah kendalinya aman, tentram, makmur, damai dengan dukungan sarana dan prasarana pembangunan sehingga dunia Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan.

Umat Islam yang cinta ilmu melakukan rihlah ilniyah… (next page 2)


Page 2

Umat Islam yang cinta ilmu melakukan rihlah ilniyah.  Perjalanan yang dilakukan mencari ilmu dari wilayah pusat ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan masa Dinasti Abbasiyah memberi keleluasaan para pencari ilmu untuk mencari guru-guru mereka sesuai dengan bidang kajian yang diminati. Demikian pula para guru melakukan perjalanan selain untuk belajar juga mengajar. Mencermati sistem ini dapat disebut dengan learning society yaitu proses pembelajaran non-formal dengan menjadikan masyarakat/orang lain sebagai pendidik.

Nicholson menjelaskan sebagaimana yang dikutip Syalabi bahwa melakukan perjalanan ilmiah laksana lebah mencari bunga ke tempat yang jauh kemudian mereka kembali ke kota kelahirannya dengan membawa madu yang manis. Proses culture contact berlangsung terus menerus hingga menimbulkan adanya dinamika sosial baik antar masyarakat Islam maupun masyarakat non-Islam. Dinamika sosial akan melahirkan ilmu-ilmu baru.

Lembaga-lembaga Pendidikan Islam 

Pelaksanaan pendidikan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah melalui lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut melakukan proses pendidikan sesuai dengan kurikulum dan tujuan pembelajarannya.

Sejarah khuttab telah ada sebelum Islam. Kutab merupakan lembaga pendidikan dasar. Kurikulum sesuai makna kata dasar kattaba yang berarti menulis atau tempat menulis. Lembaga ini tetap menjadi lembaga awal dalam pendidikan Islam. Pada akhir abad pertama hijriyah, kutab selain mengajarkan menulis dan membaca, materi ajar ditambah dengan pembelajaran membaca al Qur`an  serta pokok ajaran Islam serti tauhid, aqidah, dan akhlak.

Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan di kutab pada umumnya. Di istana orang tua murid membuat rencana pelajaran yang selaras dengan anaknya. Guru yang mengajar disebut Mu`addib, karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan serta pengetahuan. Pendidikan ini bertujuan untuk menyiapkan calon-calon pemimpinan yang berkahlak.

  • Rumah-Rumah Para Ulama (Ahli Ilmu Pengetahuan)

Pada masa kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, rumah-rumah para ulama dan ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Di antaranya, rumah Ibnu Sina, al Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al Fashihi, Ya`qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah, dan al Aziz Billah al Fathimy.

Khalifah melakukan Majelis khusus yang dikenal dengan istilah majelis kesusasteraan. Majelis ini dilaksanakn di Istana untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada masa kekuasaan khalifah Harun Arrasyid, majelis ini berkembang dengan pesat, hal ini disebabkan keterlibatan langsung khalifah karena kecintaannnya terhadap ilmu pengetahuan. Ulama-ulama yang terkenal yang memanfaatkan majelis ini untuk berdiskusi, antara lain Sibawaih, Al-Kisa’I, Yahya bin Khalid Al-Barmaki.

Toko-toko kitab bukan hanya sebagai tempat berjual beli saja, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan ahli-ahli ilmu pengetahuan untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah atau sekaligus sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.

Badiah merupakan wilayah padang pasir tempat tinggal orang-orang Badui. Wilayah ini masih murni dari budaya Arab asli, tidak berasimilasi dengan budaya luar. Badiah merupakan lembaga pendidikan non-formal digunakan sebagai untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih dan murni serta mempelajari syair-syair dan sastra Arab dari penutur aslinya.

Pada masa Dinasti Abbasiyah yang mendirikan rumah sakit adalah Harun al Rasyid, yang memerintahkan kepada dokter Jibrail bin Buhtaisu untuk mendirikan rumah sakit di Baghdad. Di sebelah rumah sakit ada perpustakaan dan bilik untuk mengajarkan ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan.

Lembaga Perpustakaan merupakan salah satu pusat pengembangan pendidikan Islam, literatur-literatur, manuscript dari hasil karya ilmuan-ilmuan klasik menjadi bahan kajian. Perpustakan bukan hanya tempat untuk membaca, tetapi dijadikan tempat untuk mengkaji dan berdiskusi antara satu dengan lainnya. Hasil diskusi dan perdebatan ini melahirkan ilmu-ilmu baru.

Khalifah Harun al-Rasyid mendirikan Khizanah Al-Hikmah atau dikenal juga dengan nama baitul hikmah di Baghdad. Perpustakaan ini berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab dan ilmu umum yang diterjemahkan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Arami. Khizanah Al-Hikmah  dipimpin seorang Nasrani Yuhana bin Maskawaih, selain mengelola perpustakaan juga menterjemahkan literatur asing ke dalam bahasa Arab.

Selain Khizanah al-Hikmah bermunculan perpustakaan… (next page 3)


Page 3

Selain Khizanah al-Hikmah bermunculan perpustakaan dari berbagai wilayah, antara lain:  Perpustakaan al Haidariyah di Najaf (Irak), Perpustakaan Ibnu Suwar di Basrah, Perpustakaan Sabur, Darul Hikmah di Kairo (Mesir), perpustakaan al Fath bin Khagan Wazir al Mutawakkil al Abbasy, Perpustakaan Hunain bin Ishaq, dan Perpustakaan Ibnu al Khassyah, perpustakaan di Kurtubah (Cordova).

Nizam al Mulk, perdana menteri Saljuk pada tahun 1065 M – 1067 M. merupakan pendiri Madrsah Nizamiyah Pada tiap kota kekuasaanya ia mendirikan satu madrasah besar, di antaranya di Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat, Asfahan, Basran, Marw, dan Mausul.

Pendirian Madrasah Nizamiyah merupakan rintisan lembaga pendidikan formal pertama yang menggunakan sistem manajeemen sekolah. Ini merupakan cikal bakal lahirnya sekolah modern yang menjadi model pendidikan di Barat. Kemasyhuran madrasah Nizamiyah sehingga kota-kota tempat madrasah ini didirikan menjadi pilihan para pelajar dari berbagai daerah  untuk menuntut ilmu pengetahuan.

 Kekuasaan Daulah Zankiyah ketika dipimpin Nuruddin Zanki (541H/1146 M) melakukan gerakan pembangunan madrasah yang bertujuan mengukuhkan madzhab Sunni untuk melawan madzhab Syi’ah. Pada masa kekuasaannya mendirikan madrasah yaitu madrasah an Nuriyah al Qubra di Damaskus, Madrasah Al-Asruniyah di Aleppo, Madrasah Shuabiyah di Aleppo, Madsarah Al-Halawiyah di Aleppo,  Madrasah al-Imadiyah di Damaskus.

  • Perguruan Tinggi Baitul Hikmah di Baghdad

Sebagaimana diketahui pada masa Harun al Rasyid (170-193 H) mendirikan baitul hikmah. Kurikulum Baitul Hikmah antara lain: ilmu-ilmu agama Islam, ilmu alam, kimia, falaq, dan lain-lain. Padan Baitul Hikmah dikumpulkan buku-buku ilmu pengetahuan dalam bermacam-macam bahasa seperti bahasa Arab, Yunani, Suryani, Persia, India, dan Qibtia yang menjadi bahan kajian. Pada perkembangannya al-Mak`mun mendirikan peneropong bintang yang disebut peneropong al Ma`muni.

al Hakim Biamrillah al Fathimi mendirikan Darul ilmi di pinggir sungai Nil untuk menyaingi Baitul Hikmah di Baghdad. Darul `Ilmi didirikan di al Kharun Fusy atas perintah al Hakim Biamrillah al Fathimi. Ilmu yang diajarkan di antaranya; ilmu agama, falaq, kedokteran, dan berhitung.

  1. Universitas Al-Azhar di  Mesir

Awal mula pendirian Al-Azhar pada masa kekuasaan  Dinasti Fatimiyah atas perintah Khalifah Al-Mu’izz Linillah. Tujuan pendiriannya dilatarbelakangi kepentingan mazhab penguasa yaitu mazhab syiah. Proses pembelajaran untuk menguatkan mazhab syiah di tengah mazhab sunni yang dianut masyarakat Mesir pada waktu itu. Perkembangan selanjutnya setelah Mesir dibawah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah Universitas Al-Azhar diambil alih dan ditata dengan materi pembelajaran disesuaikan dengan mazhab sunni.

  • Universitas Cordoba di Spanyol

Salah satu wilayah kekuasaan Islam di Eropa yang diawali pada masa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah telah memberi torehan sejarah di daratan Eropa. Pada masa kekuasaaan Abdurrahman III didirikan Universitas Cordoba yang menjadi kebanggaan umat Islam. Banyak mahasiswa dari kalangan non-muslim dari berbagai belahan dunia menempuh pendidikan pada universitas tersebut. Bahkan menjadi inspirasi penulis Barat menggambarkan bahwa Cordoba cikal bakal kemajuan barat. Cordoba merupakan the greatest of learning di Eropa.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Bukti Kejayaan

Bukti kejayaan dari aspek ilmu pegetahuan, baik naqliyah, maupun aqliyah dapat dilihat bermunculannya ulama-ulama besar dengan kitab hasil karyanya, demikian pula ilmuan-ilmuan yang memiliki karya besar yang memberi pengaruh pada perkembangan sains dan teknologi di belahan dunia ini.

Ilmu-ilmu yang berkembang pada masa kejayaan sebagaimana berikut:

Perkembangan ilmu tafsir melahirkan Ulama-ulama tafsir dan kitab-kitab tafsir seperti tafsir Imam Salam al Basri (w.200 H), Abu Hayyan dengan karangannya tafsir al Bahr al Muhit (masalah nahwu), al Roghib al as Fahani dengan karangannya tafsir Mufradat al Qur`an (bahasa al Qur`an), tafsir al Fahr al Razi yang bernama Mafatih al Ghayb yang menitik beratkan pada aspek intelektual, tafsir Abu Ishaq al Zajjaj, tafsir al Kasysyaf (segi balaghah)oleh al Zamakhsyari, tafsir al Qurtubi (penentuan hukum-hukum fiqh).

2. Ilmu Hadis

Penghimpunan hadis-hadis shahih yang dilakukan ulama antara lain,  Imam Malik bin Anas (95-179 H) dengan kitabnya al Muwatha`, Imam Muhammad bin Ismail al Buhori (259 H) dengan kitabnya Shahih Bukhary, Muslim bin Al Hajaj al Nisaburi (w.261 H) dengan karyanya Shahih Muslim. Demikian pula kitab hadis lain dikarang oleh ulama-ulama terkenal seperti Imam Abu `Isa Tirmidzi (w.273 H), Abu Dawud Sulaiman bin al Asy`ath al Sajistani (w.275 H), dan Imam al Nasai (w.303 H).

3. Ilmu Fiqh

Bidang ilmu fiqh ulama yang terkenal antara lain Abu Hanifah al Nu`man bin Tabith pendiri madzhab Hanafi (80 – 150 H), Malik bin Anas al Asbahi (95 – 179 H), Abu Abdullah Muhammad bin Idris al Syafi`i (150-204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal al Syaibani (164-241 H).

4. Ilmu Qira`at

Ilmu qiraat merupakan bagian dari Ulumul Qur’an yang mengkaji kaedah membaca Alqur’an.  Bermunculan ahli qiraat, sepeti Yahya bin Ya’mar merupakan ulama pertama yang menulis qira’at, Abdullah bin Amir, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami.

5. Ilmu Ushul Fiqh

Ulama yang terkenal diantaranya Abu Bakar al Syasyi al Qaffal al Syafi`i, al Walid al Baji al Andalusi, Imam Muhammad bin Idris al -Syafi`i, al Ghazali dengan kitab al-Mustasfa, al -Syatibi dengan kitabnya al Muwafaqot fi Ushul al Ahkam,  Abu Ishaq Ibrahim al –Nisaburi, al Baqillani, Ibnu al Hajib.

6. Ilmu Tasawuf

Al Qur`an dan Sunnah merupakan dasar Tasawuf Islam seperti yang diamalkan para sahabat, tabi`in, dan ulama-ulama fiqh seperti yang lakukan Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas. Perkembangannya tasawuf sunni di tangan Abu al Qasim al Junaid dan al Harits al Muhasibi. Perkembangannya  mencapai puncak pada ulama besar al Ghazali dengan tariqat syaziliah menjadi wadah penyebaran tasawufnya.

7. Ilmu Kalam

Ahli kalam pada kalangan madzhab Asy`ari yaitu adalah Imam al Haramain, Abu Bakar al Bakillani, al Ghazali, al Syahrastani Abdul Kohir al Baghdadi, , al Juwaini, Abu al -Ma`ali, dan lain-lain.

8. Matematika

Matematika merupakan ilmu murni, ilmuan yang muncul Muhammad bin Musa al Khawarizmi (w.236 H) yang menulis al jabar dalam bukunya al Jibr wal Muqabalah  beliau penemu angka 0, al Qaslawi yang menggunakan simbol dalam matematik, al Tusi yang menunjukkan kekurangan teori eclideus.

9. Ilmu Falaq

Tokoh ilmuan yang terkenal adalah Muhammad al Fazzari (w.158 H), sebagai ahli falaq Islam yang pertama dan penerjemah buku al Sind Hind. Kemudian Abu Ishaq bin Habib bin Sulaiman (w.160 H) yang menulis buku falaq dan mencipta alat-alat teropong bintang, Musa bin Syakir yang menulis buku ilmu falaq berjudul Kitab al Ikhwah al Thalathah, Abu Ma`asyar bin Muhammad bin `Umar al Balkhi, dengan bukunya al Madkhal ila ahkam al Nujum, dan Ibnu Jabir al Battani (w.318 H), salah seorang pelopor trigonometri.

10. Ilmu Kimia

Tokohnya Amir Umaiyah Khalid bin Yazid bin Muawiyah (w.85 H) yang pertama kali menerjemahkan ilmu kimia ke dalam bahasa Arab ialah. Kemudian diikuti oleh al Kindi, al Razi, Ibnu Sina, Abu Mansur Muwaffaq, Muhammad bin Abdul Malik, dan Mansur al Kamili.

11. Ilmu Fisika

Tokoh yang memberi pengaruh terhadap perkembangan ilmu ini adalah al Hasan bin al Haitham (w.430 H), al Manazir salah satu bukunya yang dikarangnya

12. Ilmu Biologi

Ilmuan yang terkenal adalah Abu Bakar Muhammad al Razi (w.315 H), seorang dokter yang menulis tentang tumbuhan bunga dan buah-buahan. Diikuti oleh Ibnu Sina (w.423 H) seorang filosof dan dokter yang menulis tentang tubuh-tumbuhan dalam bukunya al Qanun.

13. Ilmu Farmasi

Beberapa ilmuan yang menulis tentang farmasi antara lain al Razi, Abd Rahman bin Syahid al Andalusi, Masawaih al Mardini, Ibn Wafid al Tulaitali al Andalusi, Ibnu al Baitar, Abu Abdullah bin Sa`id al Tamimi, dan Ahmad bin Khalil al Qafiqi.

14. Ilmu Kedokteran

Buku-buku kedokteran yang menjadi ensiklopedi antara lain buku yang termashur adalah al Hawi dikarang Abu Bakar al Razi (w.351 H), Buku  al-Qanun karangan Ibnu Sina, buku Kamil al Sina`ah fi al Tib. Dikarang Ali al Abas (w.348 H)  buku al Tazkir yang dikarang Ibnu al Jazzar (w.1009 H) yang merupakan dokter ahli mata. Abu Marwan Abdullah bin Zuher al Isyabili al Andalusi ahli kedokteran klinik terbesar, `Ala al Din `Ali bin Abi Hazm al Qurasyi al Dimasqi (Ibnu al Nafis) ahli anatomi, Ibnu al Khatimah yang menulis buku mengenai penyakit campak, terbit pula buku al Tasrif liman `Aziz `an al Ta`alif  yang dikarang Abu al Qasim al Zahrawi, seorang tukang bedah di Andalusia.

15. Ilmu Pertanian

Ilmuan yang terkenal dalam bidang pertanian antara lain Zakariya bin Muhammad bin al `Awwam al Isyabili yang menulis kitab al Falahah , Ibn al Rumiyah al Isyabili,Ibn al Baitar.

16. Ilmu Musik

Pada periode Bani Umayyah yang dikenal sebagai “bapak musik islami” adalah Ibn Misjah, beliau ahli  musik banyak menggabungkan pengetahuan musik dari berbagai wilayah, Shafi al Din dijuluki “Bapak Musik” dengan karyanya The bokk of Musical Modes. Ishaq al-Mawsili seorang composer telah menulis sekitar 40 buku tentang musik.

Demikian beberapa bukti kejayaan Pendidikan Islam baik dari perkembangan lembaga pendidikan Islam maupun tokoh-tokoh ilmuan dengan hasil karyanya yang monumental. Ini telah membuktikan bahwa pelaksanaan Pendidikan Islam dapat melahirkan ilmuan yang handal, karena adanya perpaduan antara keimanan.

Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa kejayaan Islam melalui proses yang begitu panjang. Pengembangan metodologi dengan pendekatan metode ilmiah melahirkani lmu pengetahuan baru melalui metode observasi dan metode historis (sejarah).

Islam memiliki budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sehingga  menjadi patokan peradaban manusia yang memberi pengaruh terhadap budaya umat manusia sesudahnya. Tidaklah mengherankan walau di dunia barat tidak menganut ajaran Islam, namun prinsip-prinsip hidup Islam menjadi dasar kehidupannya. Misalnya kedisiplinan, kebersihan, dan komitmen.

Sejarah telah memberikan informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan dengan tokoh-tokoh ilmuan dari kalangan Islam, namun sangat jarang menjadi pembahasan. Hal ini disebabkan buku-buku barat yang terkait dengan keilmuannya telah ”mengaburkan” nama-nama tersebut dengan nama barat. Misalnya Ibnu Sina di Barat dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd di Barat dikenal Averroes, Ibnu Khaldun menjadi Abenjaldun.

Dengan demikian, seharusnya lembaga Pendidikan Islam melakukan integrasi keilmuan dengan tidak ada dikotomi antara ilmu umum dengan ilmu agama, sehingga peserta didik tidak hanya memperoleh informasi tokoh-tokoh ilmuan dari Barat, seperti Albert Einsten, Thomas Alfa Edison, Abraham Bell, tetapi juga mendapatkan informasi mengenai para ilmuan Islam yang telah dikemukakan sebelumnya.