Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan disebut

tirto.id - Hukum taklifi adalah salah satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum wadh'i. Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan bagian dari hukum taklifi dalam Islam.

Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum penugasan. Dalam bahasa Arab, taklifi artinya pembebanan. Ketaatan terhadap hukum tersebut merupakan wujud kesadaran beragama bagi umat Islam.

Pembebanan hukum taklifi ditujukan kepada orang Islam mukalaf. Seorang mukalaf artinya orang yang sudah balig (cukup umur) dan berakal (tidak gila atau hilang kesadaran).

Artinya, anak-anak kecil atau pengidap gangguan jiwa akut hingga akalnya terganggu tidak dibebani hukum-hukum taklifi. Lantas, apa saja macam-macam hukum taklifi dalam Islam?

Macam-macam & Contoh Hukum Taklifi

Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan atau meninggalkan disebut

Secara umum, hukum taklifi terdiri dari tiga kategori, yaitu perintah, larangan, dan hukum pilihan (opsi untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya). Dari ketiga kategori ini, para ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, sunah (mandub), makruh, dan mubah.

Berikut ini penjelasan mengenai macam-macam hukum taklifi, sebagaimana dikutip dari Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (2017) yang ditulis Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen.

1. Wajib

Pembebanan suatu perkara hingga hukumnya wajib didasarkan dalil-dalil yang sudah pasti (qath'i) dan tidak diragukan kesahihannya.

Karena itu, orang-orang yang mengingkari hal-hal wajib dalam Islam, keimanannya patut dipertanyakan.

Perkara wajib atau fardu merupakan perintah yang diiringi janji pemberian pahala bagi yang menjalankannya dan ancaman neraka bagi yang meninggalkannya.

Contoh-contoh perkara wajib dalam Islam adalah perintah salat lima waktu, puasa, serta zakat dan haji bagi yang mampu.

2. Sunah

Suatu perkara dianggap sunah apabila yang mengerjakannya memperoleh pahala dan meninggalkannya tidak mendapat dosa. Artinya, seorang muslim yang mengerjakan amalan itu lebih baik daripada tidak mengerjakannya.

Ulama Mazhab Maliki, Imam Asy-Syatibi menyatakan bahwa perkara sunah merupakan pelengkap dari ibadah wajib. Ia merupakan penyempurna dari kelalaian dalam ibadah fardu di atas.

"Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia juga menjalankan ibadah wajib," tulis Imam Asy-Syatibi dalam Kitab Al-Muwafaqat (2008).

Contoh-contoh perkara sunah adalah mengerjakan salat rawatib, salat duha, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya.

3. Haram

Lawan dari hukum wajib adalah haram. Jika perintah wajib harus dikerjakan, larangan haram harus ditinggalkan.

Perkara haram adalah perintah untuk meninggalkan suatu hal dengan janji pahala apabila menaatinya. Sementara itu, orang yang melanggarnya akan dikenai dosa.

Contoh-contoh perilaku haram adalah minum khamar, berzina, mencuri, dan lainnya.

4. Makruh

Lawan dari hukum sunah adalah makruh. Jika perkara sunah dianjurkan untuk dikerjakan, perkara makruh sebaiknya ditinggalkan.

Tidak ada dosa bagi orang yang melakukan perbuatan makruh, namun memperoleh pahala apabila meninggalkannya.

Di antara contoh perbuatan makruh adalah lebih baik diam daripada membicarakan hal-hal tak berguna.

5. Mubah

Perkara mubah adalah hukum opsional. Orang-orang Islam boleh mengerjakan atau meninggalkannya. Keduanya tidak menghasilkan pahala atau memperoleh dosa.

Di antara contoh perkara mubah adalah tertawa, berdagang, dan lain sebagainya.

Baca juga:

  • Ilmu Fikih dalam Debat Dokter Muda dan Kiai Kampung
  • Bersatu dalam Akidah, Bertoleransi dalam Khilafiyah
  • Hukum Nikah dalam Islam dan Penjelasannya Sesuai Fikih
  • Islam sebagai Akidah Cinta

Baca juga artikel terkait SUPPLEMENT CONTENT atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/hdi)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.

Secara lughawy  syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai.

Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surah Al-Maidah ayat 48, Al-Syura ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya mengandung arti jalan yang jelas membawa  pada kemenangan. dalam hal ini yang disebut syariat adalah agama Islam. Adapun dari segi kesamaan antar syariat Islam dengan jalan air (seperti dalam arti lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan bersih.

Hukum syara’ merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah. Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, baik dalam bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga dikatakan berasal dari Al-Qur’an dan Hadis.

Sebenarnya kalau direnungkan lebih jauh, tida ada hukum Islam itu ditetapkan, sekalipun oleh ulama besar yang ada yaitu dikeluarkan. Jadi, para ulama hanya mengeluarkan hukum, karena hukum itu sendiri sebenarnya telah ada sebelum manusia ada. Itulah sebabnya para mujtahid dinamakan penggali hukum, bukan penetap hukum.

Dari yang tersebut tampak pada kita beda hukum umum dengan hukum syariat. Kalau hukum syariat telah ada sebelum manusia ada, sedangkan hukum umum adanya setelah manusia ada, kemudian merundingkan hukum yang akan disepakati.

Semula syariat diartikan sebagai hukum-hukum atau segala aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun hubungan antara sesame mereka sendiri. Dengan pengertian semacam ini, syariat diartikan agama sebagaimana disinggung dalam surat Al-Syura ayat 13. Namun kemudian, penggunaannya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah. Pengkhususan ini dilakukan karena agam (samawy) pada prinsipnya adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran akidahnya pun tidak berbeda dari rasul yang satu dengan yang lainnya, yaitu tauhid, sedangkan syariat hanya berlaku untuk masing-masing umat sebelumnya. Dengan demikian, syariat lebih khusus dari pengertian agama. Ia adalah hukum amaliyah yang menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang dating kemudian mengoreksi dan atau menasakhkan yang dating lebih dulu.

Berkaitan dengan uraian di atas dan dikaitkan pula dengan pembicaraan kita tenang metode hukum Islam, maka dapat ditegaskan kembali bahwa yang dimaksud dengan syariat disini adalah segalaaturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal dan atau dibangsakan kepada syariat disebut hukum syar’i.

Ahli ushul fiqh dan ahli fiqh berbeda pendangan dalam mengartikan hukum syar’i tersebut. Pihak yang pertama, mendefinisikan hukum syar’I sebagai khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh pilih atau waha’ (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefinisikan sebagai efek yang dikendaki oleh titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Dan melalui pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa hukum syar’i itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.

Dari definisi-definisi di atas dapat dikatakan bahwa nash dari pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itulah, menurut ahli ushul, yang dikataka hukum syar’i. Sedangkan menurut ahli fiqh bukan nash itu yang dimaksud dengan hukum syar’i melainkan efek dari kandungan nash itu sendiri.

Pembagian Hukum Syar’i

1.      Hukum Taklifi

Taklifi artinya memberatkan, membebankan. Hukum taklifi yang dimaksud di sini adalah, tuntutan Allah pada manusia yang baligh dan berakal untuk berbuat atau untuk tidak berbuat atau memilih salah satu diantara keduanya.

a.  Ijab

yaitu khitab yang berisi tuntutan yang mesti dikerjakan atau dilakukan. Dan hukumnya disebut wajib, yaitu apabila dilakukan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa. Contohnya seperti mengerjakan sholat lima waktu, mengeluarkan zakat, dan puasa.

b.    Tahrim

      yaitu khitab yang berisi larangan dan mesti ditinggalkan. Hukumnya adalah haram,yaitu pekerjaan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Contohnya larangan tidak melakukan zina, tidak membunuh dengan tanpa hak

c.      Nadab

      yaitu khitab yang berisi tuntutan yang tidak mesti dituruti. Dan hukumnya sunah. Yaitu segala sesuatu pekerjaan yang apabila dilakukan akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak akan mendapat dosa. Contohnya seperti mengerjakan sholat gerhana, sholat-sholat sunah lainnya.

d.    Karahah

      Yaitu khitab yang berisi larangan yang tidak mesti dijauhi. Dan hukumnya dinamakan makruh. Yaitu orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa. Contohnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap.

e.      Ibahah

      Yaitu khitab yang berisi kebolehan memilih antara berbuat atau tidak berbuat.hukumnya dinamakan mubah. Secara umum, mubah ini juga dinamakan jaizatau halal.  Contohnya seperti main bola, duduk-duduk, dan bersiul.

      Hukum Wad’i

Wad’i artinya buatan atau bikinan. Hukum wad’I yang dimaksudkan disini yaitu adanya sesuatu hukum bergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain, seperti sebab, syarat, dan manic (halangan hukum).

a.      Sebab

            Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan bagi ada atau tidak adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan adanya hukum. Sebagai contoh dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah. Dalam ayat tersebut terkandung dua hukum. Pertama, hukum taklifi, yakni dalam hal ini karena melanggar larangan mencuri. Kedua, trdapt juga hukum wad’I yakni karena ia mencuri sebagai sebab harus dipotong tangannya. Jadi, adanya pencuri memastikan adanya potong tangan.

b.      Syarat

            Yang dimaksud dengan syarat disini adalah bahwa tidak adanya sesuatu memastikan tidak adanya hukum. Tetapi tidak sebaliknya, yakni adanya sesuatu harus adanya hukum. Sebagai contoh firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 110

            Berdasarkan ayat diatas zakat hukumnya wajib, namun jika tidak cukup haul maka tidak ada hukum wajibnya. Tapi tidak pula cukupnya haul memastikan wajibnya zakat, karena masih bergantung pada hal yang lain seperti nisab. Dalam hal ini haul disebut syarat, yakni salah satu syarat wajibnya zakat.

c.       Mani’

            Yang dimaksud denan mani’ adalah segala sesuatu yang dapat meniadakan hukum atau membatalkan hukum. Sebagai contoh, seseorang perempuan yang sedang haid atau nifas dilarang melakukan shalat. Jadi mani’nya di sini yaitu haid atau nifas, karena dengan adanya haid atau nifas itu maka tidak adanya kewajiban shalat atasnya.

d.      Rukhsah dan Azimah

1.)    Rukhsah , artinya mudah, ringan.

Yang dimaksud disini adalah perubahan sesuatu dari yang berat pada yang ringan atau yang lebih mudah, karena adanya satu sebab terhadap hukum ashal. Sebagai contoh dalam firman Allah QS. An-Nissa’: 101

Ayat diatas mengenai keringanan pada orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengqasar shalatnya.

Macam macam rukhsah

2.)    Azimah, artinya teguh, kuat, berat

Yang dimaksud disini adalah apa-apa yang disyari’atkan pada mulanya, dan tidak tergantung pada sesuatu uzur, atau halangan seperti shalat lima waktu sebelum ada uzur, puasa Ramadhan sebelum ada uzur atau halangan, demikian pula kewajiban lainnya dinamakan azimah.

3.)    Sah

Secara harfiah, sah berarti lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Contohnya shalat dikatakan sah karena dikerjakan sesuai yang diperintahkan syara’.

4.)    Batal

Sedangkan batal dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurka kewajiban di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.Sebagian ulama mengangap sama  antara fasad dan batal, karena batal dan fasad adalah lafaz muradif (sinonim). Adapun keduanya adalah berlawanan dengan sah.Abu Hanifah membedakan antara batal dan fasad. Batal menurut Abu Hanifah adalah apabila sesuatu yang terlarang itu termasuk bagian atau menyangkut asal dari oerbuatan itu sendiri, seperti melakukan shalat tanpa ruku’ sedang ruku’ itu bagian dari shalat.