Istilah Bhineka Tunggal Ika berasal dari kitab Sutasoma karangan

Istilah Bhineka Tunggal Ika berasal dari kitab Sutasoma karangan

Kakawin Sutasoma Replika

Kitab Sutasoma ditulis dalam Bahasa Jawa kuno oleh Mpu Tantular pada akhir abad ke-14 pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kitab ini menggambarkan toleransi beragama yang sudah lama terjalin di Kerajaan Majapahit. Semangat toleransi ini kemudian dijadikan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan sikap untuk hidup berdampingan dalam perbedaan dan menjadikan perbedaan sebagai nada-nada untuk menghasilkan harmonisasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Kutipan frase “Bhinneka Tunggal Ika” terdapat pada pupuh 139 bait 5, yang petikannya sebagai berikut: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Artinya adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

KOMPAS.com - Kitab Sutasoma merupakan peninggalan sejarah dalam bentuk karya sastra dikarang oleh Mpu Tantular pada abad ke-14.

Kakawin ini ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit, di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk.

Diperkirakan Kitab Sutasoma digubah antara tahun 1365 dan 1389, karena usianya lebih muda dari Kitab Negarakertagama yang selesai ditulis pada 1365.

Kitab Sutasoma bercerita mengenai Pangeran Sutasoma. Di dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha.

Kakawin inilah yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan negara, Bhinneka Tunggal Ika.

Kakawin Sutasoma ditulis menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa Kuno, dengan bahan naskah terbuat dari daun lontar.

Kitab berukuran 40,5 x 3,5 cm itu berisi 1.210 bait dalam 148 pupuh.

Baca juga: Kitab Negarakertagama: Sejarah, Isi, dan Maknanya

Rangkuman isi

Kitab Sutasoma berisi kisah upaya Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma.

Sutasoma adalah putra Prabu Mahaketu dari Kerajaan Astina yang lebih menyukai memperdalam ajaran Buddha Mahayana daripada harus menggantikan ayahnya menjadi raja.

Maka pada suatu malam, Sutasoma pergi ke hutan untuk melakukan semedi di sebuah candi dan mendapat anugerah.

Sutasoma kemudian pergi ke pegunungan Himalaya bersama beberapa pendeta.

Sesampainya di sebuah pertapaan, sang pangeran mendengarkan riwayat cerita tentang raja, reinkarnasi seorang raksasa, bernama Prabu Purusada yang senang memakan daging manusia.

Para pendeta dan Batari Pretiwi membujuk Sutasoma agar membunuh Prabu Purusada. Namun, Sutasoma menolak karena ingin melanjutkan perjalanan.

Di perjalanan, sang pangeran bertemu dengan raksasa berkepala gajah pemakan manusia dan ular naga. Si raksasa dan ular naga yang tadinya ingin memangsa Sutasoma berhasil ditaklukkan.

Setelah mendengar khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha, keduanya bersedia menjadi muridnya.

Sang pangeran juga bertemu dengan harimau betina yang akan memakan anaknya sendiri.

Sutasoma sempat mati karena bersedia menjadi mangsa harimau itu. Lalu datanglah Batara Indra dan Sutasoma dihidupkan kembali.

Tersebutlah sepupu Sutasoma bernama Prabu Dasabahu, berperang dengan anak buah Prabu Kalmasapada (Purusada).

Anak buah Prabu Kalmasapada kalah dan meminta perlindungan Sutasoma.

Prabu Dasabahu yang terus mengejar akhirnya tahu bahwa Sutasoma adalah sepupunya, lalu di ajak ke negerinya dan dijadikan ipar.

Setelah kembali ke Astina, Sutasoma dinobatkan sebagai raja bergelar Prabu Sutasoma.

Cerita dilanjutkan dengan kisah Prabu Purusada dalam membayar kaul kepada Batara Kala supaya bisa sembuh dari penyakitnya.

Purusada telah mengumpulkan 100 raja, tetapi Batara Kala tidak mau memakan mereka.

Prabu Sutasoma bersedia menjadi santapan Batara Kala sebagai ganti atas 100 raja sitaan Purusada.

Mendengar permintaan raja Astina, Purusada menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi.

Baca juga: Hayam Wuruk, Raja Terbesar Kerajaan Majapahit

Bhinneka Tunggal Ika

Kakawin Sutasoma dikutip oleh pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5, berikut bunyinya.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Dalam bait tersebut dikatakan bahwa meskipun Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat dikenali. Sebab kebenaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda tetapi tunggal, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Bila diterjemahkan tiap kata, bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal berarti satu dan ika berarti itu.

Sehingga pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetapi tetap satu.

Referensi:

  • Behrend, T.E dan Alan H. Feinstein. (1990). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Volume 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta -

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Istilah tersebut diadaptasi dari sebuah kakawin peninggalan Kerajaan Majapahit. Seperti apa sejarahnya?

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, kakawin Sutasoma. Dalam bahasa Jawa Kuno kakawin artinya syair. Kakawin Sutasoma ditulis pada tahun 1851 dengan menggunakan aksara Bali, namun berbahasa Jawa Kuno.

Bahan naskah yang digunakan untuk menulis kakawin Sutasoma terbuat dari daun lontar. Kitab tersebut berukuran 40,5 x 3,5 cm. Sutasoma menjadi sebuah karya sastra peninggalan Kerajaan Majapahit.

Dilansir laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kakawin Sutasoma merupakan kitab yang dikutip oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam merumuskan semboyan NKRI.

Kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika' terdapat pada pupuh 139 bait 5. Berikut bunyi petikan pupuh tersebut:

"Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa".

Kalimat di atas artinya "Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Mpu Tantular mengajarkan makna toleransi antar umat beragama dan dianut oleh pemeluk agama Hindu dan Buddha. Semboyan "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" sendiri digunakan untuk menciptakan kerukunan di antara rakyat Majapahit dalam kehidupan beragama.

Dikutip dari situs resmi Portal Informasi Indonesia, frasa Jawa Kuno tersebut secara harfiah mengandung arti berbeda-beda namun tetap satu jua. Bhinneka artinya beragam, tunggal artinya satu, ika artinya itu, yakni beragam satu itu.

Konon, pendiri bangsa yang pertama kali menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah Moh Yamin. Dia mengucapkannya di sela-sela sidang BPUPKI. Sontak, I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh yang berasal dari Bali, menyahut dengan ucapan "tan hana dharma mangrwa".

Dalam pendapat lain, Bung Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Gagasan tersebut secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi Pasal 5 sebagai berikut:

"Di bawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: BHINNEKA TUNGGAL IKA."

Jadi, semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam sebuah buku berjudul kakawin Sutasoma.

Simak Video "Kekuasaan Kerajaan Majapahit, Kejayaan Nusantara"


[Gambas:Video 20detik]
(kri/pay)

Istilah Bhineka Tunggal Ika berasal dari kitab Sutasoma karangan

Sutasoma dikarang oleh Mpu Tantular. Kitab ini menceritakan putra raja yang bernama Sutasoma yang rela meninggalkan keduniawian dan mendalami agama Buddha. Dalam kitab ini terdapat kata Bhinneka Tunggal Ika tan hana Darma Mangrwa. Dengan demikian kitab Sutasoma merupakan karangan Mpu Tantular.