Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?

ISSN 2477-1686  

Show

   Vol.5 No. 12 Juni 2019

“Pekerjaan Laki-laki” dan “Pekerjaan Perempuan”. Apa Bedanya?

Oleh

Jane L. Pietra

Program Studi Psikologi

Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

Pernahkah kita mendengar kalimat “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan” ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat? Atau bahkan kedua kalimat tersebut juga menentukan bagaimana Anda memilih jurusan kuliah bahkan lapangan pekerjaan? Tidak jarang memang kita terjebak dalam kedua kalimat tersebut dalam menentukan pilihan kita ke depan. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan lebih baik jika kita memahami perbedaan dari kedua kalimat tersebut.

Gender dan Peran Gender

Pertama-tama kita perlu memahami arti gender, yang seringkali dikaitkan dengan perempuan. Tapi apakah benar seperti itu? Gender merupakan keragaman ciri, sifat, peran, dan identitas berdasarkan kualitas maskulinitas dan femininitas yang bersifat cair, dapat berubah, dipersilang dan dipertukarkan, serta merupakan konstruksi sosial.

Sementara peran gender dapat dikatakan sebagai tuntutan masyarakat atau tuntutan sosial terhadap individu untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya,berpikir, berperilaku, dan berperasaan, sesuai dengan jenis kelaminnya (Shaffer, 2000; Helgeson, 2012). Contoh dari sifat maskulinitas adalah tangguh, dapat diandalkan, agresif, dan keras. Sementara contoh dari femininitas adalah lembut, sabar, sensitif, dan penyayang.

Misalnya bagi laki-laki, masyarakat memandang bahwa ia harus menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama (breadwinner), karena laki-laki dianggap mewakili sifat maskulinitas bertanggung jawab, menjadi tulang punggung, tegas, berwibawa. Sementara bagi perempuan, masyarakat memandang bahwa ia harus menjalankan peran domestik karena dianggap mewakili sifat femininitas yang selalu dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan mengurus anak, keluarga, dan rumah.

Stereotipe Peran Gender

Pembagian peran yang kaku seperti contoh diatas, bisa disebut juga sebagai stereotipe gender. Dimana ada klasifikasi yang jelas antara “pekerjaan laki-laki” yang selalu dianggap mewakili sifat maskulin, karena laki-laki dituntut untuk menunjukkan sisi maskulinitasnya, dan “pekerjaan perempuan” yang selalu dianggap mewakili sifat femininitas.

Stereotipe peran gender ada dalam konteks pekerjaan berbayar (publik) maupun tidak berbayar (domestik). Dalam konteks pekerjaan berbayar, misalnya laki-laki dimaklumi ketika memilih bidang kerja teknik, mesin, pertambangan, atau pekerjaan lapangan lainnya yang dianggap sangat maskulin. Sementara perempuan lebih dimaklumi dan diharapkan untuk memilih pekerjaan yang bersifat feminin seperti sekertaris, juru ketik, keuangan/perbankan, maupun administrasi. Jika yang terjadi sebaliknya, maka baik laki-laki maupun perempuan kemungkinan besar akan mendapatkan pertanyaan dari masyarakat.

Sementara itu, dalam konteks pekerjaan domestik, biasanya laki-laki juga dibebankan pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau dianggap berbahaya, seperti misalnya membenarkan atap yang bocor, menebang pohon, menggergaji, mengecek sirkuit listrik. Sementara perempuan dibebankan pekerjaan yang sifatnya lebih feminin seperti mengasuh, memasak, mencuci, mengepel (Hill Asean, 2018).

Saat ini sebagian masyarakat masih memandang pembagian peran gender di ranah publik maupun domestik masih kaku. Meskipun sebagian lagi sudah memilih untuk melakukan pembagian peran yang lebih cair.Padahal ketika kita mengacu kembali kepada pemahaman mengenai gender yang bersifat cair, dapat berubah, dipersilang dan dipertukarkan, maka seharusnya tidak ada pembagian yang kaku antara peran gender laki-laki dan perempuan. Hal ini dikarenakan sifat maskulinitas dan femininitas merupakan satu kontinum utuh yang dimiliki oleh seorang individu (Bem, 1974).

Kerugian Bagi Kedua Pihak

Stereotipe peran gender tidak hanya berdampak pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Minimnya informasi mengenai fleksibilitas peran gender di masyarakat, mengakibatkan masih ada anggapan bahwa laki-laki dan perempuan perlu dibedakan bidang kerjanya. Jika hal ini terus dipertahankan, tentunya akan memiliki dampak negatif bagi lingkungan bahkan diri kita sendiri. Tuntutan laki-laki untuk selalu menampilkan sikap maskulinnya dengan tidak menangis dan tidak boleh bercerita akan berdampak secara psikologis terhadap laki-laki. Belum lagi ketika ada laki-laki yang tidak bisa memenuhi harapan peran gendernya, karena tidak semua laki-laki dapat memenuhi tuntutan tersebut. Begitu juga dengan perempuan, yang akan mengalami beban ganda akibat dibebankan dengan peran-peran domestik yang selalu dilekatkan dalam diri perempuan. Sehingga pada dasarnya, tidak hanya perempuan yang dirugikan dengan ketimpangan peran gender, laki-laki juga turut dirugikan.

Ketika kita melihat kembali pada definisi gender dan peran gender, maka pada dasarnya tidak ada perbedaan antara “pekerjaan laki-laki” dan “pekerjaan perempuan”, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan mampu melakukan pekerjaan apapun. Jadi, agar tidak menimbulkan kerugian bagi kedua pihak, ada baiknya kita mulai membuka wawasan dan mencoba untuk lebih fleksibel dalam menerapkan peran gender.

Referensi:

Bem, S. L. (1974). The measurement of psychological androginy. Journal of Consulting and Clinical Psychology. 42(2), 155-162.

Helgeson, V. S. (2012). The psychology of gender (4th Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc.

Hakuhodo Institute of Live & Living ASEAN. (2018). New perspective of gender equality at home: Who rules the house? Minato: Hakuhodo.

Shaffer, D. R. (2000). Social & personality development (4th Ed.). Belmonth: Wadsworth/Thomson Learning.

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 2

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 12 Juni 2019 

Hambatan Belajar: Kemalasan vs Kesulitan Belajar

Oleh

Krishervina Rani Lidiawati

Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan

Banyak orang tua yang memiliki konsep bahwa kesulitan belajar adalah jika terjadi kesenjangan antara prestasi akademik dan kapasitas kemampuan belajar anak. Beberapa anak mengalami kesulitan belajar bukan karena kapasitas belajar anak yang kurang mampu, namun anak mengalami gangguan secara pemusatan perhatian pada tingkat tertentu atau dikarenakan kemalasan. Namun kali ini kita ingin memahami bahwa ada anak-anak yang memang mengalami kesulitan belajar bukan karena tidak memiliki dorongan untuk belajar saja, tetapi dikarenakan mereka mengalami ketidakmampuan dalam belajar yang dikenal dengan learning disability (LD). Beberapa faktor yang membuat anak mengalami kesulitan belajar seperti faktor genetik, kerusakan otak dan permasalahan pada waktu kehamilan. Anak-anak dengan learning disability (LD) dapat memiliki intelegensi umum rata-rata dan bahkan di atas rata-rata (Sattler, 2002). Ada anak-anak tertentu yang memang kurang memiliki motivasi belajar dari dirinya sendiri atau mungkin juga cara pengajaran guru yang kurang efektif dan menarik, sehingga membuat anak kurang menyukai belajar dan membuat kesulitan belajar sebagai justifikasi. Tentu pernyataan tersebut kurang tepat dalam pembenaran kemalasan atau kurang adanya motivasi belajar anak. Lalu bagaimana cara mengenali anak kurang motivasi belajar dengan anak yang mengalami learning disability (LD)  ?

Learning Disability (LD)

Learning Disability  yang dapat diartikan kesulitan belajar yang di alami oleh anak karena ketidakmampuan anak dalam beberapa area tanpa disertai gangguan lain. LD biasa terjadi pada anak dan tingkat keparahan yang bervariasi. Contohnya pada anak dengan kesulitan membaca juga akan mengalami gangguan pemusatan perhatian pada tingkat tertentu (Santrock, 2018; Sattler, 2002).

Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) mendefinisikan specific learning disability atau kesulitan belajar spesifik, yang kemudian disingkat dengan SLD sebagai gangguan pada satu atau lebih proses dasar psikologikal termasuk pemahaman atau penggunaan bahasa, berbicara atau menulis, gangguan yang termanifestasi pada kemampuan yang tidak sempurna untuk mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau melakukan kalkulasi matematika (Friends, 2006). Sementara itu, The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) mendefinisikan kesulitan belajar sebagai istilah umum terkait dengan sekelompok variasi atau berbagai gangguan. Heterogenitas gangguan ini dimanifestasikan pada kesulitan yang signifikan dalam menggunakan dan memperoleh berbagai kemampuan, seperti mendengar, berbicara, membaca, menulis atau matematika (Friends, 2006).

Jadi dapat disimpulkan bahwa Learning Disability (LD) merupakan kesulitan dalam belajar dalam memahami atau menggunakan baik bahasa secara lisan atau pun tertulis, mereka akan mengalami kesulitan dalam mendengarkan, berpikir, mengeja -membaca, menulis dan berhitung (matematika). Namun klasifikasi kesulitan belajar bukan karena akibat ketidakmampuan anak dalam melihat, mendengar atau ketidakmampuan secara motorik, bahkan gangguan emosi, keterbelakangan mental bukan pula karena faktor budaya atau ekonomi rendah.

Dalam hal ini, sesulitan belajar hanya pada area belajar dan tidak diikuti didiagnosa lain. Kesulitan belajar ini terjadi sepanjang hidup dan memiliki dampak pada prestasi akademik yang buruk. Kesulitan belajar banyak terjadi pada tiga area yaitu kesulitan membaca, menulis dan berhitung. Yang pertama, kesulitan membaca dengan istilah dyslexia yaitu kesulitan atau ketidakmampuan mengenal huruf, anak tidak dapat menyambung suku kata. Dyslexia merupakan kesulitan dalam mengartikan, membaca dan pemahaman terhadap teks bacaan yang sifatnya komprehensif. Beberapa tanda-tanda awal disleksia yang disebabkan oleh genetik, diantaranya telat bicara, artikulasi tidak jelas, dan terbalik-balik, kesulitan mempelajari bentuk dan bunyi-bunyi huruf, binggung antara konsep ruang dan waktu, serta kesulitan memegang alat tulis dengan baik dan kesulitan dalam menerima informasi. Penderita disleksia biasanya mengalami masalah-masalah, seperti hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Kesulitan ini termasuk dalam memahami bagaimana suara dan huruf alphabeth dapat di bentuk menjadi satu kata dan termasuk dalam memahami isi dari bacaan (comprehension). Kesulitan membaca ini bervariasi, tingkat keparahan dalam membaca dan mengeja yang dimulai sejak kanak-kanak hingga dewasa (Mash & Wollfe, 2013; Santrock, 2018).

Kedua, kesulitan menghitung (Diskalkulia), yaitu kesulitan melaksanakan tugas-tugas berhitung dan gangguan yang berhubungan dengan pemahaman dan penerapan konsep-konsep matematika. Dari penelitian di Amerika diperoleh hasil bahwa banyak siswa kelas 3-4 dan 5-6 SD mengalami kesulitan dengan bilangan pecahan, desimal, persen, dan pengukuran. Kondisi ini disebabkan siswa kurang memahami arti simbol, salah menghitung atau menentukan hasil akhir dari suatu hitungan (Mash & Wollfe, 2013; Santrock, 2018). Kesulitan belajar yang ketiga adalah kesulitan dalam menulis (Dysgraphia), dalam hal ini anak menulis dengan lambat dan sulit terbaca serta kerap kali melakukan kesalahan dalam penulisan. Ketiga kesulitan belajar ini kerap ditemukan pada anak-anak dan dianggap biasa saja sehingga kurang mendapat penanganan lebih lanjut. Padahal jika dapat di deteksi sejak dini, maka akan dapat diberikan treatment yang tepat dan sesuai kesulitannya (Mash & Wollfe, 2013; Santrock, 2018).

Hal ini berbeda dengan anak yang memiliki motivasi belajar rendah bukan karena kesulitan belajar. Motivasi belajar dapat dipengaruhi dari diri sendiri ataupun dari luar diri anak seperti perlakukan orang tua, cara pengajaran guru yang kurang efektif, ataupun faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk belajar. Oleh karena itu, sebagai orang tua atau pendidik perlu bijak dalam membedakan sikap anak dalam belajar apakah dikarenakan motivasi belajar atau mereka mengalami kesulitan belajar secara spesifik, sehingga tidak dengan mudah memberikan label tanpa ada penanganan lebih lanjut. Deteksi dini lebih memungkinkan treatment yang tepat, sehingga perkembangan anak lebih sesuai kapasitas dan anak lebih mampu mengatasi hambatan belajar yang dialami sesuai dengan penyebabnya.

Referensi:

Friends, M. (2006). Special Education; Contemporary perspectives for school professionals. New York: Pearson.

Mash, E.J & Wolfe, D,A. (2013). Abnormal child psychology. USA: Cengage Learning.

Santrock, J.W. (2018). Educational psychology (6th edition). New York: Mc-GrawHill.

Sattler, J.M. (2002). Assesment of children (4th edition). San Diego: Jerrome M. Sattler Publisher.

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 3

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 12 Juni 2019

Work-life Balance di Era Digital

Oleh

Novi dan Devi Jatmika

Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

Batas antara jam bekerja dengan kehidupan pribadi di jaman modern saat ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Penggunaan alat bantu seperti gawai, laptop dan internet seyogyanya membantu  seseorang dalam bekerja, namun saat ini pekerjaan-pekerjaan turut terlibat dalam jam-jam kehidupan pribadi kita. Terutama pada generasi milenial yang fasih dalam penggunaan internet. Berbagai aplikasi media sosial menjadi bagian dari kehidupan pekerjaan generasi milenial. Survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Inernet Indonesia (APJII) di tahun 2017, komposisi pengguna berdasarkan usia tertinggi di rentang usia 19- 34 tahun (49, 52%), 35- 54 tahun (29, 55%), 13-18 tahun (16, 68%) dan lebih dari 54 tahun (4, 24%). Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki (51, 43%) mendominasi perempuan (48, 57%). Sedangnkan untuk jenis layanan yang diakses pengguna terbanyak adalah aplikasi chatting (89,35%), media sosial (87,13%), mesin pencari (74,84%), lihat gambar/foto (72,79%), lihat video (69,64%), dan sisanya aktivitas berinternet lainnya. Aktivitas terkecil dari hasil survei adalah mengakses perbankan (7,39%).

Penggunaan teknologi internet di dunia pekerjaan memudahkan kita dalam mengirimkan pesan melalui email, berkomunikasi dengan klien kita menggunakan whatsapp ataupun melakukan koordinasi kapan saja dan dimana saja. Kita juga bisa membuat presentasi, menyelesaikan laporan kita di rumah ataupun melakukan survey sederhana via online, bahkan kita dapat mengontrol server dari rumah hanya dengan bermodalkan laptop dan internet bahkan saat ini smartphone juga mulai menjadi multifungsi.

Tidak jarang dapat kita temui, teman-teman sekitar kita yang menjadi seorang entrepreneur, startup ataupun staf kantor, hampir setiap saat mereka memegang ponsel/ smartphone miliknya kemanapun mereka pergi dan selalu mengecek jangan sampai ada info/ pesan yang terlewat.  Kenyataannya, tanpa diminta kita sudah menjadi available 24/7, 24 jam selama 7 hari secara sukarela. Banyak dari mereka mengeluh merasa stress dan kelelahan karena seakan-akan pekerjaan menghantui mereka dimanapun berada, bagaikan sebuah “harga yang harus dibayar” sebagai seorang pekerja ataupun pemimpin. Teknologi digital mempermudah kita menjadi lebih fleksibel, dapat melakukan pekerjaan di rumah,  mengawasi karyawan menggunakan CCTV tanpa harus sering kali kita ke lapangan langsung bahkan juga berkomunikasi sambil melakukan kegiatan lainnya. Bukankah waktu kita menjadi lebih banyak dan fleksibel, tetapi mengapa masih banyak pekerja yang mengalami stres?

Teknologi turut berkontribusi menciptakan stress dan kecemasan. Harrison dan Lucassen (2018) menyebutkan lima stressor yang diaibatkan oleh teknologi:

1.    Perpetual Distraction

Notifikasi, bunyi-bunyi dari telepon genggam yang terus menerus secara konsisten membuat distraksi yang dapat mengurangi fokus perhatian kita dan dulit untuk memusatkan ingatan.

2.    Jam tidur yang tidak teratur

Aakah Anda bagian dari orang-orang yang memantau handphone sebelum tidur dan begitu terbangun dari tempat tidur Anda? Melihat handphone sebelum tidur dapat mendorong stimulus pada otak yang akibatnya otak kita sulit untuk terlelap dan beristirahat. Penelitian menyatakan efek dari layar biru di monitor handphone dapat menurunkan produksi melatonin yang akhirnya mengganggu ritme sirkadian tubuh. Seseorang yang kurang tidur cenderung akan memiliki resiliensi yang lebih buruk dan level kecemasan dan stress yang lebih tinggi.

3.    Work/ Life Balance

Batasan yang buruk antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi di rumah menjadi abu-abu. Para karyawan tetap membahas persoalan pekerjaan bahkan ketika mereka di rumah, dihubungi oleh rekan-rekan kerja, atasan daan memikirkan urusan pekerjaan. Hal ini membuat seseorang sulit untuk benar-benar rileks dan terlepas dari pekerjaan.

4.    F. O. M. O

Rasa cemas yag muncul dari rasa takut akan tertinggal dari suatu peristiwa, pekerjaan atau kesempatan sosial, komunikasi atau kehilangan kesempatan koneksi atau sesuatu yang keren yang seharunya kita menjadi bagian drinya. Semakin kita terkoneksi, semakin kita mengalami FOMO karena postingan-postingan di sosial media membuat kita berpikir bahwa kehidupan orang lain atau teman mendapat pengalaman yang lebih menyenangkan atau lebih menarik tanpa kehadiran kita.

5.    Social comparison

Media sosial mendorong seseorang secara aktif melakukan perbandingan sosial, kesuksesan orang lain menjadi parameter untuk kesuksesan diri kita. Akibatnya, kita mulai mengevaluasi kehidupan kita yang menjadi tidak menarik, tidak sempurna dibandingkan orang lain dan membuat kita menjadi merasa inferior. Padahal, dalam kenyatannya, setiap orang melalui proses naik dan turun hanya saja mereka tidak menceritakan di media sosial mereka.

Pengaruh perkembangan digital sangat mempengaruhi kehidupan pribadi seseorang dan “ Work Life Balance” menjadi sebuah hal yang berharga dan lambang kesuksesan di era digital ini. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh web cosmo dikatakan bahwa 58,3% wanita milenial mengharapkan kehidupan karier dan personal yang seimbang (work-life balance) (Kusumapradja, 2018).

Lalu apa itu Work Life Balance?

Menurut Handayani (2013), work-life balance adalah suatu keadaan ketika seseorang mampu berbagi peran dan merasakan adanya kepuasan dalam peran-peranya tersebut yang ditunjukkan dengan rendahnya tingkat work family conflict dan tingginya tingkat work family facilitation atau work family enrichment.

Work life balance meningkatkan kualitas kehidupan individu, yang mana work-life balance berfungsi sebagai pelindung dari peristiwa atau pengalaman negative dalam hidup dan mempromosikan kesejahteraan hidup (Barnett & Hyde dalam Greenhaus, Collins, & Shaw, 2003). Greenhaus, Collins dan Shaw (2003) membagi work-life balance dalam tiga komponen:

1.    Time balance: jumlah waktu yang seimbang untuk peran dalam pekerjaan dan keluarga.

2.    Involvement balance: level keterlibatan psikologis yang seimbang antara peran dalam pekerjaan dan keluarga.

3.    Satisfaction balance: kepuasan yang seimbang antra peran pekerjaan dan keluarga.

Distribusi waktu, tenaga, komitmen terhadap suatu peran yang lebih besar ketimbang peran yang lainnya dapat menimbulkan ketidakpuasan.

Faktor yang mempengaruhi work life balance

Menurut Schabracq, Winnubst dan Cooper (2003), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work-life balance seseorang, yaitu sebagai berikut:

1.    Karakteristik Kepribadian. Hal ini berpengaruh terhadap kehidupan kerja dan di luar kerja. Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan individu ketika masih kecil dengan work-life balance. Individu yang memiliki secure attachment cenderung mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment.

2.    Karakteristik Keluarga. Menjadi salah satu aspek penting yang dapat menentukan ada tidaknya konflik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambigiunitas peran dalam keluarga dapat mempengaruhi work-life balance.

3.    Karakteristik Pekerjaan. Meliputi pola kerja, beban kerja dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja dapat memicu adanya konflik baik konflik dalam pekerjaaan maupun konflik dalam kehidupan pribadi.

4.    Sikap. Merupakan evaluasi terhadap berbagai aspek dalam dunia sosial. Dimana dalam dalam sikap terdapat komponen seperti pengetahuan, perasaan-perasaan dan kecenderungan untuk bertindak.

Adapun beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menciptakan work life balance yaitu  :

a)    Jam kerja yang fleksibel, menyediakan penyusunan waktu yang fleksibel dan dapat dikonsultasikan untuk seluruh karyawan.

b)    Kerja paruh waktu, menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu dengan jam atau shift yang lebih sedikit atau penyusunan pembagian kerja untuk seluruh karyawan.

c)    Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan anak dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang membutuhkan fasilitas tersebut.

d)    Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang lebih baik dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi personal karyawan, termasuk menyediakan waktu penuh untuk anggota keluarga.

e)    Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil cuti dalam waktu harian.

f)     Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk karyawan dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai.

g)    Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan dan rasa hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja.

h)   Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon atau pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan mendapat akses telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga mereka selama jam kerja.

Maka dari itu, dapat disimpulkan peran sebuah organisasi dalam menciptakan work-life balance berpengaruh cukup besar bagi karyawan. Karyawan yang sejahtera secara psikologis, akan memiliki kualitas hidup yang berarti dan fokus dalam kinerjanya baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga dan komunitasnya. Sebagai individu, work-life balance, dapat diupayakan dengan menentukan prioritas-prioritas dan membuat pilihan dari setiap tugas dalam peran. Kemampuan untuk membagi waktu, menetapkan batasan antara pekerjaan dan keluarga perlu dicermati dengan melakukan refleksi “alasan” dari suatu tindakan dan “sejauh mana” energi, waktu dan komitmen yang diberikan untuk tetap sejahtera secara psikologis. 

Referensi:

Greenhaus, J. H., Collins, K. M., Shaw, J. D. (2003). The relation between work-family balance and quality of life. Journal of Vocational Behavior, 63, 510-531.

Handayani, A., Afiati, T., & Adiyanti, M. G. (2015). Studi Eksplorasi Makna Keseimbangan Kerja Keluarga pada Ibu Bekerja. Semarang: Seminar Psikologi & Kemanusiaan diunduh dari http://mpsi.umm.ac.id/files/file/30-36%20Arri%20Handayani.pdf.

Harrison, G., & Lucassen, M. (2018). Stress and anxiety in the digital age: The dark side of technology. Diunduh dari https://www.open.edu/openlearn/health-sports-psychology/mental-health/managing-stress-and-anxiety-the-digital-age-the-dark-side-technology.

Nabila, M. (2018). APJII: Penetrasi pengguna internet Indonesia capai 143 juta orang. Diunduh dari https://dailysocial.id/post/apjii-survei-internet-indonesia-2017.

Schabracq, M. J., Winnubst, J. A. M., & Cooper, C. L. (2003). The handbook of work and health psychology. England: John Wiley & Sons. Diunduh dari http://www.al-edu.com/wp-content/uploads/2014/05/Handbook-of-Work-and-Health-Psychology-2Ed-2003.pdf.

Kusumapradja, A. (2018). Survei: Ini yang wanita milenial cari dalam karir. Diunduh dari http://www.cosmopolitan.co.id/article/read/8/2018/14557/survei-ini-yang-wanita-milenial-cari-dalam-karir.

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 4

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 12 Juni 2019

Perempuan Memulai PDKT: Kenapa Harus Takut?

Oleh

Adhisty Triandini, Juliana Irmayanti Saragih dan Ridhoi Meilona Purba

Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara

Hubungan romantis merupakan salah satu bentuk dari hubungan intim yang didasari oleh rasa saling keterbukaan yang intim dan ditandai dengan pengekspresian perasaan serta perilaku seksual yang telah diantisipasi (Collins & Sroufe, 1999). Proses pembentukan hubungan romantis bisa dijelaskan dari berbagai teori, salah satunya dari fase pertama yang dikemukakan oleh Knapp dan Vangelisti (2005) yaitu coming together phase dalam teori mereka: Relational Development Model. Pada fase ini, pembentukan hubungan dijelaskan dalam 5 (lima) tahapan yaitu,

a.    Initiating, merupakan saat pertama kali seseorang melakukan kontak pertama atau memulai sebuah interaksi untuk pertama kalinya dengan orang;

b.    Experimenting, adalah tahap saat seseorang berusaha menjadi lebih kenal satu sama lain;

c.    Intensifying adalah tahap ketiga, yaitu saat seseorang mulai mengekspresikan perasaannya baik secara verbal dan non-verbal;

d.    Integrating, tahap ketika kepribadian  seseorang seolah sudah melebur menjadi satu dengan pasangannya;

e.    Bonding, adalah tahap saat dua orang telah berkomitmen (berpacaran, bertunangan, menikah) dan memamerkan hubungan mereka ke orang-orang sekitar sebagai tanda hubungan mereka yang eksklusif.

Di Indonesia, coming together phase ini dikenal sebagai masa pendekatan (atau sering disingkat PDKT). Masa-masa PDKT, bagi perempuan Indonesia sering menjadi masa yang berat dan emosional. Banyak wanita yang berpendapat bahwa untuk memulai sebuah hubungan, laki-laki lah yang harus bertindak lebih dulu. Pandangan tersebut membatasi wanita untuk bergerak dalam mendekati pria yang mereka sukai. Wanita lebih cenderung menunggu untuk diajak mengobrol atau menunggu diberikan kabar daripada untuk memulainya terlebih dahulu. Tidak jarang, mereka harus menelan kecewa ketika pria yang mereka suka tidak bertindak seperti yang mereka harapkan.

Hal tersebut tidak terlepas dari stereotip gender yang terbentuk dalam masyarakat. Perilaku yang sama, jika dilakukan oleh pria bisa dianggap sebagai perilaku ‘ambisius’ dan ‘go-getting’, sementara pada wanita dianggap memaksa dan agresif (Myers & Myers, 1992). Senada dengan hal tersebut, Ömür dan Büyükşahin-Sunal (2015) juga mengakui bahwa dalam banyak kelompok masyarakat, laki-laki memainkan peran besar dalam memulai sebuah hubungan. Menurut McDaniel (dalam Ömür & Büyükşahin-Sunal, 2015) peran tradisional pria dalam memulai sebuah hubungan membuat wanita bisa meminimalisir risiko penolakan. Sebaiknya wanita pasif, menggunakan taktik mendapatkan pasangan yaitu taktik ‘jual mahal’ (di dunia barat dikenal sebagai playing hard-to-get). Taktik ini merupakan taktik mendapatkan pasangan yang mengharuskan seseorang berpura-pura memberikan kesan kepada orang lain bahwa ia tidak tertarik pada orang tersebut dalam rangka membuat orang tersebut lebih tertarik (Jonason & Li, 2013).

Meskipun begitu, banyak juga wanita yang mulai mencoba untuk memecahkan stereotip dan mengabaikan taktik ‘jual mahal’ dengan mengambil langkah memulai hubungan terlebih dahulu. Mongeau, Hale, Johnson, and Hillis  (dalam Shumaker, 2010) menemukan bahwa 90% wanita mengajak kencan pria dan bahkan 83% diantaranya adalah kencan pertama. Sementara itu, Wilkins & Gareis (dalam Harrison & Shortall, 2011) juga menemukan bahwa lebih banyak wanita yang mengatakan ‘I Love You’ daripada pria.

Lalu bagaimana harusnya seorang wanita bertindak dalam masa PDKT? Berbagai penelitian sudah banyak yang menemukan ketidakefektifan strategi pasif dan ‘jual-mahal’. Strategi Hard-to-get bukanlah strategi yang efektif untuk meningkatkan status seseorang  (Walster & Walster, 1971). Jika seorang wanita atau pria jual mahal, maka perasaan ingin dan suka pada orang yang sedang mendekatinya akan menurun (Dai, Dong, & Jia, 2013). Ömür & Büyükşahin-Sunal (2015) menemukan bahwa baik wanita dan pria sama-sama menginginkan lawan jenisnya yang lebih asertif, sehingga dapat mengurangi perasaan terancam dan kecemasan akan ditolak yang mereka rasakan. Knapp dan Vangelisti (2005) juga menggungkapkan bahwa jika ada interaksi positif setiap hari dengan seseorang yang baru, maka pergerakan hubungan akan menjadi lebih cepat dari pada interaksi yang dilakukan mingguan atau bulanan. Hubungan akan lebih lambat ketika hanya ada seseorang yang ingin membawa maju hubungan mereka.

Terus menunggu atau mulai berjuang itu adalah pilihan setiap wanita. Namun, harus diingat bahwa sebuah hubungan itu bersifat resiprokal atau timbal balik. Hubungan tidak akan meningkat jika hanya ada satu orang yang berjuang. Ditolak mungkin menakutkan, tetapi berjuang juga tidak akan merugikan.

Referensi:

Collins, W. A., & Sroufe, L. A. (1999). Capacity for intimate relationship. In W. Furman, B. B. Brown, & C. Feiring, The development of romantic relationships in adolescence (Eds.). Cambridge University Press.

Dai, X., Dong, P., & Jia, J. (2013). When does playing hard to get increase romantic attraction? Journal of experimental psychology. Diakses pada 11 Desember, 2017, dari Researchgate.net: https://www.researchgate.net/publication/236738208_When_Does_Playing_Hard_to_Get_Increase_Romantic_Attraction.

Jonason, P. K., & Li, N. P. (2013). Playing Hard-to-Get: Manipulating one's perceived availability as a mate. European Journal of Personality, 27(5), 458-459. Diakses pada 11 Desember 2017 dari Online Library Willey: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/per.1881/full?restartSession=true.

Knapp, M. L., & Vangelisti, A. L. (2005). Relationship stages: A communication persepctive . Diakses pada 19 Desember, 2017, dari Seagull: https://scholar.google.co.id/scholar?q=relationship+stages+a+communication+perspective&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart&sa=X&ved=0ahUKEwi6ptHz3JTYAhUDKZQKHfSNBGIQgQMIJTAA.

Myers, G. E., & Myers, M. T. (1992). The dynamics of human communicatin: A laboratory approach. New York: McGraw-Hill, Inc.

Ömür, M., & Büyükşahin-Sunal, A. (2015). Preferred strategies for female and male initiators. Journal of Educational and Social Research, 5, 195-201. Diakses pada 11 Desember 2017 dari http://www.mcser.org/journal/index.php/jesr/article/view/6323.

Shumaker, E. (2010). Gender and personaliy: Differences in date initiation preferences. Adavances in Communication Theory and research, 3.

Harrison, M. A., & Shortall, J. (2011). Women and men in love: who really feels it and says it first? The Journal of Social Psychology. Diakses pada 07 September dari researchgate.net.

Walster, E., & Walster, G. W. (1971). The efficacy of playing Hard-To-Get. The Journal of Experimental Education, 39(3), 73-77. Diakses pada 11 Desember 2017 dari tandfonline.com: http://www.tandfonline.com/doi/ref/10.1080/00220973.1971.11011270?scroll=top.

 

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 5

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 12 Juni 2019 

Apa yang Perlu Diketahui Orang Tua tentang Toilet Training?

Oleh

Melok Roro Kinanthi

Zulfa Febriani

Octaviani Indrasari Ranakusuma

Fakultas Psikologi, Universitas YARSI

Jaman dahulu, sebelum diciptakan benda bernama popok sekali pakai (atau biasa disingkat pospak), kebanyakan orang tua harus bangun di tengah malam untuk mengganti popok kain anak yang kotor karena mengompol atau buang air besar saat tidur. Mereka juga harus membersihkan dan menjemur kasur yang ternoda. Setelah Marion Donovan menemukan pospak pertama pada tahun 1950, rutinitas orang tua di malam hari tersebut menjadi lebih ringan. Dengan adanya pospak, anak dapat tidur lebih nyaman dan orang tua tak perlu terlalu sering membersihkan kasur yang terkena ompol.

Meski keberadaannya sangat membantu orang tua, namun pospak menimbulkan efek lain yang tidak bisa dianggap enteng. Dari aspek lingkungannya, misalnya, seperti yang dikutip dari situs Dream.co.id (2 Mei 2017), pospak menjadi penyumbang limbah terbesar ketiga di tempat pembuangan sampah. Lebih lanjut, situs ini juga mengungkapkan 50% sampah rumah tangga dihasilkan oleh pospak. Di Bojonegoro, banyak ditemukan pospak bekas yang dibuang ke sungai setelah digunakan (Radar Bojonegoro Online, 27 Februari 2018). Pospak bekas tersebut bukan hanya dapat mencemari air sungai karena kandungan bahan kimia di dalamnya, namun juga dapat menghambat arus air yang bisa menyebabkan banjir (Radar Bojonegoro Online, 27 Februari 2018).

Untuk mengurangi limbah pospak, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan. Yang pertama memberikan edukasi mengenai bagaimana mengelola limbah pospak; sementara yang kedua adalah membekali anak dengan ketrampilan mengendalikan dan membuang air seni atau feses pada waktu dan tempat yang sesuai. Cara yang kedua ini terkait dengan pemberian toilet training pada anak, umumnya sejak mereka berusia toddler. Keterlambatan pemberian toilet training cenderung akan memperpanjang masa penggunaan pospak. Selain itu, keterlambatan toilet training bukan hanya berdampak pada peningkatan limbah pospak, namun juga aspek psikologis dan sosial anak. Sayangnya, tidak semua orang tua memahami dan memiliki ketrampilan untuk menerapkan toilet training pada anak. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional, diperkirakan terdapat 75 juta anak yang masih sulit mengendalikan aktivitas Buang Air Kecil (BAK) dan Buang Air Besar (BAB) hingga usia prasekolah (Maidartati & Latif, 2018).

Toilet Training : Tak Melulu tentang BAK dan BAB di Toilet

Pada umumnya, kita mengenal toilet training sebagai upaya untuk melatih anak agar dapat melakukan BAB dan BAK pada tempatnya (Yulia, dalam Batuatas & Tripeni, 2012). Toilet training terdiri dari kemampuan anak untuk melakukan bowel control (kendali pergerakan usus, BAB) dan bladder control (kendali kandung kemih, BAK) (Maidartati & Latif, 2018). Meski demikian, hakikat toilet training melampaui definisi tersebut. Dalam toilet training, anak diajarkan untuk patuh dan mengikuti norma sosial yang berlaku di lingkungannya (yakni, kapan dan dimana harus BAK/BAB). Anak juga belajar memperoleh otonomi, kemandirian, dan self esteem (van Nunen dkk, 2015), khususnya terkait rawat diri.

Lebih lanjut, Van Nunen dkk (2015) mendapati dewasa ini orang tua cenderung memulai dan menyelesaikan pemberian toilet training saat usia anak lebih tua. Bila dibandingkan dekade 1940an, dimana orang tua cenderung memulai toilet training saat usia anak belum mencapai 18 bulan, maka orang tua di masa kini memulainya saat usia anak berkisar antara 21-36 bulan. Fenomena pergeseran usia ini bisa jadi disebabkan oleh sejumlah hal, yakni semakin banyaknya produk pospak; semakin banyak orang tua (khususnya Ibu) yang bekerja di luar rumah, sehingga semakin sedikit waktu toilet training; kecenderungan orang tua jaman sekarang yang kurang konsisten menerapkan aturan untuk anak (bahkan cenderung longgar), dan sebagainya (Van Nunen dkk, 2015).

Jangan Sampai Terlambat Melakukan Toilet Training pada Anak!

Keterlambatan atau ketidaktepatan pemberian toilet training pada anak akan menimbulkan sejumlah dampak. Sebagai contoh, hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya kecenderungan anak untuk mengompol di sekolah (Batuatas & Tripeni, 2012) dan munculnya gangguan fisik seperti disfungsi berkemih, sembelit, enuresis dan encopresis. Hasil penelitian menunjukkan, di sejumlah day care atau tempat penitipan anak terjadi peningkatan jumlah penyakit infeksius karena adanya anak yang belum terampil mengendalikan dan melakukan BAK dan BAB pada tempatnya (Hadler & McFarland, dalam Van Nunen dkk, 2015). Selain itu, anak yang belum menjalani toilet training cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang tua untuk urusan kebersihan diri (Foxx & Azrin, dalam Van Nunen dkk, 2015). Anak juga dapat terhambat untuk masuk sekolah karena umumnya sekolah mensyaratkan hanya akan menerima anak yang sudah mampu melakukan BAB dan BAK sesuai norma masyarakat secara mandiri (Bakker dkk, dalam Van Nunen dkk, 2015).

Secara psikologis, kegagalan anak dalam melakukan toilet training dapat membentuk kepribadian anal, dengan ciri keras kepala, susah diatur, ceroboh, atau jorok (Freud dalam Phares, 1988). Menurut teori Psikologi Kepribadian, usia dimana anak melakukan toilet training berada dalam tahap perkembangan autonomy versus shame and doubt (kemandirian, rasa malu, dan ragu). Kegagalan melakukan toilet training dapat menyebabkan anak mengembangkan perasaan malu atau ragu-ragu dalam melihat kompetensinya.Sementara itu, ketika anak mendapatkan kesempatan dan dukungan yang positif untuk melakukan toilet training dengan pengawasan yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kemandiriannya (Rahayuningsih & Rizki, 2012).

Siapa yang Berperan dalam Inisiasi Toilet Training pada Anak?

Inisiasi toilet training pada anak ditentukan oleh sejumlah faktor yakni tingkat ekonomi keluarga, sosial budaya, dan pendidikan Ibu. Sementara itu, Batuatas dan Tripeni (2012) menyebutkan kerberhasilan pelaksanaan toilet training dipengaruhi oleh peran orang tua, termasuk ibu. Tingkat pengetahuan yang rendah pada orang tua merupakan faktor yang berkontribusi pada kegagalan toilet training. Sayangnya, masih terdapat orang tua yang belum memiliki pengetahuan atau ketrampilan memadai untuk menjalankan toilet training pada anak. Sebagai contoh, hasil survey yang dilakukan oleh tabloid Nakita (dalam Batuatas & Tripeni, 2012) menyebutkan bahwa sekitar 75% dari jumlah responden penelitian (yang merupakan orang tua) tidak menyadari pentingnya toilet training bagi anak. Ditemukan pula bahwa sebanyak 20% balita tidak diberikan toilet training oleh orang tuanya. Batuatas dan Tripeni (2012) menyebutkan para orang tua, khususnya Ibu, belum memahami kapan saat yang tepat dan bagaimana melakukan toilet training pada anak. Selain itu, proses toilet training belum tentu mudah dilaksanakan oleh semua anak. Sebagai contoh, anak dapat saja merasa stres saat menjalani toilet training (Batuatas & Tripeni, 2012). Kondisi ini dapat terjadi ketika orang tua, khususnya Ibu, belum memiliki pengetahuan atau ketrampilan yang memadai terkait pemberian toilet training pada anak.

Psikoedukasi Toilet Training

Menyadari pentingnya toilet training bagi perkembangan anak dan masih adanya orang tua yang belum memahami apa dan bagaimana toilet training tersebut, Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas YARSI melakukan psikoedukasi terhadap para ibu yang tergabung dalam Kelas Balita Puskesmas Cempaka Putih. Dalam kegiatan yang diadakan Rabu, 20 Maret 2019 ini, tim memaparkan materi yang terdiri dari tinjauan umum toilet training, mengenali ciri kesiapan anak untuk melakukan toilet training, dan langkah-langkah tahap persiapan – pelaksanaan toilet training.  Selain mendapat paparan ceramah, peserta juga diajak untuk saling berbagi pengalaman saat melakukan toilet training pada anak. Dengan demikian, pengetahuan peserta mengenai toilet training tidak hanya diperoleh dari paparan pemateri, namun juga pengalaman praktis sesama orang tua.

Pengabdian masyarakat ini menggandeng Puskesmas Cempaka Putih sebagai mitra kegiatan. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatnya pengetahuan ibu yang memiliki anak usia toddler mengenai toilet training. Output lainnya adalah dihasilkannya modul toilet training, yang telah memperoleh sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) nomer EC00201941337.

Referensi:

Batuatas, R., & Tripeni. (2012). Pengaruh peran ibu terhadap keberhasilan toilet

training pada anak usia toddler di PAUD Tarbiyatush Shibiyan, Mojoanyar, Mojokerto. Hospital Majapahit, 4(1), 70-82.

Maidartati., & Latif, D.D. (2018). Gambaran pengetahuan orang tua tentang toilet

training pada anak usia toddler di Puskesmas Pasir Kaliki. Jurnal Abdimas BSI, 1(1), 7-13.

Rahayuningsih, S.I., & Rizki, M. (2012). Kesiapan anak dan keberhasilan toilet training di PAUD dan TK Bungong Seuleupoek UNSYIAH Banda Aceh. Idea Nursing Journal, III(3), 274-284.

Van Nunen, K., Kaerts, N., Wyndaele, J.J., Vermandele, A., & Van Hal, G. (2015).

Parents’ view on toilet training: a quantitative study to identify the beliefs and attitudes of parents concerning TT. Journal of Child Health Care, 19(2), 265-274.

Limbah Popok Berdampak Besar terhadap Lingkungan (2018,27 Mei). Diakses dari

https://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2018/02/27/52921/limbah-popok-berdampak-besar-terhadapnbsp-lingkungannbsp pada 1 Juni 2019.

Ada Aturan di Popok Sekali Pakai, Sudah Tahu? (2017, 2 Mei). Diakses dari

https://parenting.dream.co.id/diy/ada-aturan-di-kemasan-popok-sekali-pakai-sudah-tahu-1705026.html pada 1 Juni 2019.

 

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 6

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 11 Juni 2019

Meledak Bersama: Natural Instinct Perempuan Jihadis

Oleh

Any Rufaedah

Division for Applied Social Psychology Research, Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta

Sekitar sepuluh hari setelah pengeboman gereja dan hotel di Sri Lanka, seorang jurnalis South China Morning menghubungi saya untuk wawancara tentang perempuan pelaku bom bunuh diri. Cukup banyak yang ditanyakan, mulai dari mengapa mereka melakukan bom bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya sampai bagaimana mereka teradikalisasi. Namun, tentu saja jurnalis harus menyesuaikan dengan batas halaman dan fokus sehingga tidak semua pernyataan saya dimuat dalam laporannya. Karena topik itu menarik namun tidak semuanya dapat dimuat, maka saya berpikir untuk menuliskannya di media lain, agar penjelasan utuhnya tersampaikan ke khalayak lebih luas.

Ulasan yang tidak sempat dimuat itu adalah: apa yang membuat perempuan bisa membunuh dirinya dan anak-anaknya, padahal perempuan mempunyai insting melindungi anak? Bagaimana perempuan diyakinkan untuk membunuh anaknya? Dua pertanyaan yang menarik bukan? Saat ditanya pun saya harus putar otak mengingat-ingat hasil penelitian bersama teman-teman di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR).

Perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri bukanlah hal baru. Mia Bloom dalam bukunya ‘Bombshell: Women and terrorism’ (2011) menyebutkan bom bunuh diri oleh perempuan pertama kali terjadi pada tahun 1978. Dalal Al Maghribi namanya, ia meledakkan diri di dalam bus perjalanan Jerusalem-Tel Aviv, menewaskan dirinya dan 36 penumpang. Bloom juga melaporkan serangan bom bunuh diri oleh perempuan terjadi di Lebanon, Sri Lanka, Turki, Chechnya, Israel, Iraq, Afghanistan. Belakangan kita mengenal nama Mariam Sharipova Oksana Aslanova suicide bomber di Rusia (Choirul, 2010; Auliani, 2013) dan Tashfeen Malik di Amerika pada tahun 2015 (Alexander, 2016).

Bedanya, mereka tidak mengajak serta anak-anak meledakkan diri, namun yang kita temui akhir-akhir ini adalah fenomena baru. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran jihadis perempuan, sehingga tega membawa anak-anaknya melakukan bunuh diri? Seharusnya mereka melindungi anak-anak, bukan sebaliknya. Untuk menjawab hal ini, saya mengutip kembali pernyataan Anna Sundberg, seorang jihadis perempuan asal Swedia berikut: ‘Mujahidin. The holy warriors. My husband is one of them and my sons will be too one day, I hope.’

 

Pernyataan Anna menggambarkan harapan dan kebanggaan sekaligus. Oleh karena itu, ia mempersiapkan anaknya menjadi mujahid. Berhasil menjadikan anak sebagai mujahid adalah capaian berharga bagi seorang ibu kelompok jihadis. Dalam kondisi kognitif seperti itu, kematian anak bukan lagi sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi justru diharapkan. Penjelasan ini linear dengan teori dasar psikologi: sikap dan perilaku.

 

Perempuan jihadis di Indonesia juga memiliki sikap yang sama. Kasus bom Surabaya dan Sidoarjo (2018) serta Sibolga (2019) adalah di antara buktinya. Hasil riset kami yang dimuat dalam Jurnal Psikologi Ulayat juga menggambarkan kemauan yang sama. Seorang responden menyatakan mendukung penuh tindakan suaminya. Ia yang dengan sabar menunggu suaminya keluar dari penjara akan mendapatkan pahala juga (Rufaedah, Sarwono, Putra, 2017). Keyakinannya menggambarkan kesiapan untuk melakukan jihad dengan dirinya sendiri, yang tidak ia miliki hanyalah izin dari suami. Seandainya suami memerintahkan untuk berjihad, berdasarkan observasi kami dan ekspresi yang ia tunjukkan, maka sangat besar kemungkinan responden itu bersedia.

 

Mengajak anak dalam kematian syahid, dalam keyakinan kelompok ekstremis kekerasan adalah tindakan mulia. Hal itu akan mengantarkan anak meraih surga. Akhir tahun 2016, Islam dan Fatimah, dua gadis berusia tujuh dan sembilan tahun diyakinkan ayah dan ibunya untuk meledakkan diri di sebuah kantor polisi di Damaskus, Syria. Pandangan umum mengatakan itu tindakan keterlaluan. Namun dalam pandangan jihadis merupakan keberhasilan orangtua. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai tempat lainnya, dimana anak dijadikan martyr. Bahkan sejak kecil anak sudah dipersiapkan melalui latihan fisik dan militer. Tidak terlalu sulit menemukan hal itu di dunia internet. Cukup mengetik kata kunci ‘anak-anak latihan militer’, anda akan menemukan beberapa video latihan militer ISIS untuk anak-anak.

 

Alasan yang lebih kontemporer untuk mengajak anak melakukan jihad istishadi (bom bunuh diri) adalah fitnah (kerusakan) dunia yang semakin banyak. Fitnah yang dimaksud adalah kesyirikan, kemurtadan, maksiat. Dalam pandangan jihadis, mengikuti sistem buatan manusia seperti demokrasi, pemilihan umum, presidensial, dan lain-lain dapat menyebabkan kemurtadan. Oleh sebab itu, anak-anak harus dihindarkan dari kerusakan dunia. Membiarkan anak tumbuh dalam kehidupan seperti itu, bagi mujahid justru akan membawa anak pada jurang kekafiran. Lebih baik mereka mati syahid bersama. Jadi, bagi perempuan jihadis, membawa serta anak meledakkan diri adalah ekspresi melindungi dari seorang ibu, bukan sebaliknya.

 

Pertanyaan kedua adalah, bagaimana seorang perempuan teradikalisasi? Dari hasil penelitian saya dan tim DASPR, setidaknya ada lima jalur radikalisasi perempuan: 1. Keluarga; 2. Pondok pesantren; 3. Suami; 4. Organisasi; 5. Teman. Individu yang berasal dari keluarga pendukung jihadis cenderung memiliki pandangan pro jihadis pula. Pondok pesantren juga menjadi tempat radikalisme yang sangat efektif karena individu langsung diarahkan pada ideologi jihadis.

 

Responden penelitian kami yang pernah belajar di pondok pesantren jihadis sudah tahu sejak awal bagaimana kehidupan seorang mujahid - karena sejak awal berada pada lingkaran jihadis, umumnya mereka menikah dengan kelompok jihadis baik melalui teman atau perantara ustad. Mereka juga mengetahui risiko menjadi istri seorang mujahid, misalnya sering ditinggal pergi untuk keperluan i’dad (pelatihan fisik), tadrib (pelatihan militer), dakwah, bahkan melakukan aksi teror.

 

Perempuan yang teradikalisasi melalui suami umumnya berlatar belakang lebih beragam. Ada yang berasal dari kelompok Islam moderat, ada pula yang berlatar belakang pendidikan umum. Mereka baru mengenal ideologi jihadis di dalam pernikahan, yang menikah dengan kelompok jihadis tentu lebih rentan terpengaruh faham ekstremisme kekerasan.

 

Jalur organisasi juga menjadi media efektif selain pondok pesantren. Umumnya mereka memiliki kurikulum dan kegiatan keputrian. Di sanalah perempuan mendapat pelajaran ideologi sampai dengan praktik jihad. Jalur terakhir adalah pertemanan, bisa diperoleh dari sekolah, universitas, pertemanan di kampung, pengajian, komunitas.

Referensi:

Alexander, A. (2016). Cruel intentions: Female jihadist in America. Program on Extremism The George Washington University: Amerika Serikat.

Auliani, P. A. (2013, December 30). Bom Bunuh Diri di Stasiun Rusia Tewaskan 16 Orang. Kompas.com. Diambil dari https://regional.kompas.com/read/2013/12/30/0133516/Bom.Bunuh.Diri.di.Stasiun.Rusia.Tewaskan.16.Orang?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Penulis : Palupi Annisa Auliani

Choirul. (2010, April 06). Pelaku Bom Bunuh Diri di Moskow Seorang Guru. Tempo.co. Diambil dari https://dunia.tempo.co/read/238232/pelaku-bom-bunuh-diri-di-moskow-seorang-guru/full&view=ok

Robinson, J. (2016, December 21). A last kiss for mama: Jihadi parents bid young daughters goodbye... before one walks into a Damascus police station and is blown up by remote detonator. Dailymail.co.uk. Diambil dari https://www.dailymail.co.uk/news/article-4054312/Jihadi-parents-teach-young-daughters-suicide-bombers-kiss-goodbye-startling-footage-shortly-seven-year-old-walked-Damascus-police-station-blown-remote-detonator.html.

Rufaedah, A., Sarwono, S.W., & Idhamsyah, E. P. (2017). Pemaknaan istri narapidana teror terhadap tindakan suami. Jurnal Psikologi Ulayat. 4(1), 11 – 28.

Sundberg, A. & Huor, J. (2016). The terrorist’s wife:  My 16 years with militant Islamists (terj.  Deborah Bragan-Turner). Swedia: Norstedts.

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 7

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 11 Juni 2019

Menyikapi Body Shaming: Latih Konsep Dirimu!

Oleh

Sherly

Program Studi Psikologi, Universitas Bunda Mulia

Pada dasarnya, semua perempuan terlahir cantik dan berpotensi untuk terus menjadi lebih baik. Meskipun cantik itu relatif, namun bentuk tubuh bukan menjadi tolok ukur apakah seseorang cantik atau tidak (Womanation, 2018). Namun, masih banyak orang yang tidak menyadari hal ini dan melakukan body shaming; yang apabila dibiarkan dapat membuat korban body shaming ini menjadi tidak menyukai bentuk fisik mereka, minder dan malu terhadap tubuh sendiri, bahkan bisa saja berkembang menjadi depresi. Dalam beberapa dekade belakang ini, kasus terkait body shaming sedang marak dan perlu menjadi perhatian serius oleh berbagai kalangan masyarakat. MABES Polri (dalam Martinus, 2018) mengungkapkan bahwa terdapat 966 kasus body shaming alias ejekan rupa fisik di seluruh Indonesia pada tahun 2018. Sebuah survey bahkan menemukan data bahwa 96% siswa SMA negeri maupun swasta di Kota Surabaya pernah menjadi korban dan pelaku body shaming dalam lingkup pergaulan mereka (Putri, Pranayama & Sutanto, 2018).

Menurut Siti Mazdafiah selaku Direktur Savy Amira Women Crisis Centre (dalam Putri, Pranayama, dan Sutanto; 2018), body shaming adalah suatu pandangan yang diberikan oleh masyarakat terkait standar tertentu atas tubuh kepada seseorang yang menyebabkan timbulnya rasa malu pada diri korban. Body shaming adalah perilaku mengkritik atau mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri maupun orang lain dengan cara yang negatif; entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, pendek, atau tinggi - mirip seperti melakukan bullying secara verbal (Safitri, 2018). Body shaming yang erat kaitannya dengan citra tubuh, yaitu berbicara mengenai pembentukan persepsi mengenai tubuh yang ideal menurut masyarakat, sehingga muncul suatu standar kecantikan yang membuat seseorang merasa rendah diri apabila tidak dapat mencapai standar tersebut (Putri, Pranayama, Sutanto, 2018).

Tentu saja mengomentari bentuk tubuh secara negatif atau body shaming sangat tidak dianjurkan. Selain menyebabkan sakit hati, body shaming dapat mengganggu kesehatan mental seseorang (Sari, 2019). Perkataan negatif terhadap tubuh seseorang akan terus-menerus melekat dan mengakibatkan orang tersebut menjadi tidak percaya diri, bahkan dapat berujung pada stress dan depresi (Zharfiesyah, 2019). Sayangnya, di masyarakat efek body shaming masih jarang disadari dan ironisnya, body shaming masih dianggap sebagai bahan candaan. Padahal, efek dari body shaming dapat menjatuhkan mental seseorang secara permanen (Womanation, 2018). Body shaming memberikan efek tekanan tersendiri bagi orang yang mengalaminya. Contohnya, seseorang mengikuti diet ketat dan mengabaikan pola makan yang seimbang demi turunnya berat badan karena sebelumnya sering dibilang gemuk oleh lingkungan sekitarnya (Womanation, 2018). Bahkan menurut riset akan terjadi banyak perubahan sikap pada korban body shaming, misalnya mudah tersinggung, pendiam, malas makan, hingga depresi (Safitri, 2018). Meski demikian, tidak semua individu yang mengalami body shaming akan menjadi down hingga mengganggu kesehatan mentalnya. Masih terdapat aspek internal dimana individu mampu menyikapi dengan baik informasi ataupun evaluasi apapun yang diterima tentang dirinya. Dalam hal ini, konsep diri memiliki peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Saraswatia, Zulpahiyana, & Arifah (2015) mendefinisikan konsep diri sebagai suatu skema diri, yaitu pengetahuan tentang diri yang mempengaruhi cara seseorang mengolah informasi dan mengambil tindakan. Individu yang memiliki konsep diri positif akan tetap bersikap optimis, percaya diri, dan mampu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk kegagalan yang dialami. Individu yang memiliki konsep diri positif mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki penerimaan diri yang baik, mampu memahami dan menerima fakta-fakta yang nyata tentang dirinya, mampu menghargai dirinya sendiri, mau memperbaiki diri ke arah yang lebih baik, serta mampu menempatkan diri di dalam lingkungan.

Oleh karena itu, di era yang sedang marak akan kasus body shaming, individu sangat perlu melatih dan mempertahankan konsep dirinya agar tetap positif. Individu tidak dapat menghilangkan komentar dari lingkungannya untuk berhenti berkomentar atau berpendapat tentang dirinya. Namun, dengan yang memiliki konsep diri positif, individu akan dapat menyikapi dengan baik komentar atau evaluasi yang diterima, serta tidak akan jatuh karenanya. Individu akan tetap dapat menerima dan mencintai bentuk tubuhnya secara positif tanpa merasa minder oleh komentar dari orang lain.

Dalam pembentukan konsep diri pada individu, lingkungan terdekat dan diri sendiri memegang peran penting pada prosesnya. Dari lingkungan, dukungan keluarga dalam bentuk perhatian, motivasi, nasehat, juga fasilitas akan membentuk konsep diri seseorang. Pemikiran positif dari orang tua serta perilaku terbuka yang dibiasakan pada anak akan membentuk konsep diri yang positif pada anak. Beberapa upaya positif yang dapat dilakukan orang tua atau pendamping dalam proses pembentukan diri positif antara lain: (1) menunjukkan sikap hangat, kasih sayang, dan ketulusan, (2) memahami kebutuhan anak, (3) menghindari membanding-bandingkan anak atau berbicara tentang keburukan anak pada orang lain di depan anak, (4) fokus dan menunjukkan apresiasi pada sisi positif anak, (5) memberikan motivasi agar anak mengenali kemampuannya, (6) memberikan kesempatan anak untuk bereksplorasi dan menghargai anak atas apapun yang ia lakukan, (7) bersikap jujur dan terbuka pada anak, serta (8) menghindari memberikan melontarkan kata-kata atribut negatif seperti “kamu anak yang paling gendut diantara teman-temanmu” atau “di dunia cuma kamu satu-satunya yang paling tidak bisa menjaga penampilan”

Orang tua dapat membimbing, mendidik, dan mengarahkan anak untuk menjadi individu dewasa yang memiliki konsep diri positif dengan cara yang positif. Sejak dini, orangtua dapat mengajari anak untuk menghargai diri sendiri. Sebagai contoh, saat anak tak sengaja memecahkan piring di dapur, daripada anda berkata, “Aduh, itu kan piring kesayangan mama! Gimana sih kamu selalu saja ceroboh!”, yang akhirnya secara tak langsung menunjukkan bahwa piring tersebut lebih berharga dari anak. Lebih baik anda mengatakan “Kamu baik-baik saja kan? Lain kali hati-hati ya.”, yang secara tidak langsung, anda telah mengajarkan pada anak bahwa dirinya berharga.

Daripada berfokus pada kekurangan, fokuslah pada kelebihan yang dimiliki anak untuk dikembangkan. Sadari bahwa setiap anak memiliki ciri khas dan keunggulan mereka masing-masing. Mereka merupakan individu yang unik dan tidak dapat dibandingkan. Selain dari pola asuh orang tua, faktor internal dari individu juga memiliki peran yang tak kalah penting dalam hal pembentukan konsep diri positif. Untuk membangun konsep diri yang positif, individu perlu menanamkan kepercayaan diri yang baik dengan cara berpikir positif pada  diri sendiri. Beberapa hal yang dapat diterapkan untuk menanamkan kepercayaan diri yang baik, antara lain (dalam Cermati, 2016):

1.    Tidak membandingkan diri dengan orang lain. Sadari bahwa setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Apa yang dilihat pada diri seseorang juga belum tentu nyata.

2.    Kenakan pakaian dengan nyaman. Cara berpakaian seseorang sangat dipengaruhi karakter diri dan penampilan orang lain. Tidak perlu pakaian mahal dengan merek mentereng untuk tampil percaya diri, cukup pilih busana yang pas di tubuh anda, pilih yang pantas dan sesuai kondisi. Dengan ini, anda pun dapat membuat diri anda tampil dan terlihat lebih menarik.

3.    Perbaiki postur tubuh. Perhatikan postur tubuh anda, mulai dari cara berjalan dengan kepala menatap ke depan, posisi tubuh tegap dan dada membusung ke depan. Postur tubuh yang sempurna merupakan salah satu cara cepat untuk mendongkrak rasa percaya diri.

4.    Kemauan untuk menambah wawasan dalam pergaulan. Tidak hanya penampilan secara fisik, untuk dapat membuat diri anda menjadi lebih baik dan menarik, anda juga dapat terus memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan dan kemauan untuk terus belajar dan menambah wawasan dalam diri anda. Dengan anda memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas, anda akan lebih mudah melebur dengan komunitas tertentu.

5.    Membentuk tubuh bugar dan ideal untuk menunjang penampilan. Banyak orang merasa minder akibat bentuk tubuh yang kurang ideal, entah itu terlalu kurus atau gemuk. Anda tidak perlu melakukan diet ketat yang akhirnya membahayakan tubuh anda, namun, anda dapat melakukan hal-hal yang positif untuk memiliki tubuh yang ideal seperti berolahraga teratur.

6.    Selalu bersyukur dan berpikir positif. Agar terus percaya diri di segala situasi, jangan biarkan pikiran negatif menguasai benak dan merusak akal sehat. Coba lawan pikiran negatif dan selalu berpikiran positif terhadap apapun, termasuk kata-kata menyinggung dari orang lain. Anda dapat mensyukuri apa yang terjadi pada diri anda saat ini dan yakinkan bahwa segala yang terjadi pada anda saat ini merupakan yang terbaik bagi anda. Apabila anda mendapatkan kritik atau komentar negatif dari orang lain, anda dapat memilah masukan tersebut dan menjadikan itu motivasi untuk menjadikan anda pribadi yang lebih baik lagi.

Referensi

Cermati. (2016, Maret 13). Tingkatkan rasa percaya diri anda dengan 14 cara ini. Diambil dari https://www.cermati.com/artikel/tingkatkan-rasa-percaya-diri-anda-dengan-14-cara-ini

Martinus, Y. (2018, November 2019). Tahun ini ada 966 kasus body shaming di Indonesia, 374 perkara sudah diselesaikan polisi. Diambil dari  http://wartakota.tribunnews.com/2018/11/29/tahun-ini-ada-966-kasus-body-shaming-di-indonesia-374-perkara-sudah-diselesaikan-polisi

Malpa (2011). Pembentukan konsep diri yang positif pada anak. Diambil dari https://www.kompasiana.com/malpa.mzj/5509aa6e8133117b6ab1e2d6/pembentukan-konsep-diri-yang-positif-pada-anak

Putri, B. A. S., Pranayama, A., Sutanto, R. P. (2018) Perancangan kampanye “Sister’s Project” sebagai upaya pencegahan body shaming. Jurnal DKV Adiwarma, 1(12), h.1-9.

Safitri, A. M. (2018, Desember 26). Sering tidak sadar, ini 4 tanda anda suka mengejek fisik orang lain (body shaming). Diambil dari https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/ciri-body-shaming-adalah/

Saraswatia, G. K., Zulpahiyana., Arifah. S (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri remaja di SMPN 13 Yogyakarta. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 3(1), h.33-38.

Sari, F. M. (2019). Lakukan 7 hal ini saat kamu menghadapi body shaming. Diambil dari https://www.liputan6.com/health/read/3912488/lakukan-7-hal-ini-saat-kamu-menghadapi-body-shaming

Womanation. (2018, Juni 05). Body shaming, bullying yang menghancurkan mental. Diambil dari http://womanation.id/body-shaming-bullying-yang-menghancurkan-mental/

Zharfiesyah, I. (2019, Januari 28). Body shaming: Ejekan yang buruk untuk kesehatan mental! Diambil dari http://riliv.co/rilivstory/pengertian-body-shaming-adalah/

 

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 8

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 11 Juni 2019

Ketika Kreativitas dan Kerja Sama Berbuah

Hak Kekayaan Intelektual

 Oleh

Eko A Meinarno

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Pendahuluan

Memasuki pertengahan tahun 2019 ini saya telah meraih beberapa pengakuan surat pernyataan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Namun harus ditekankan bahwa kesemuanya nyaris tidak ada yang saya kerjakan sendirian. Kesemuanya adalah hasil kolaborasi antara saya dan mahasiswa kelas yang saya ampu.

Karya-karya yang dihasilkan adalah wujud dari tugas-tugas yang mahasiswa kerjakan di kelas. Hasil dari mereka sangat luar biasa. Mereka mampu melihat hal-hal yang tidak terduga dari sudut pandang dosennya. Mereka bukan mesin perekam, justru mereka adalah individu yang mempunyai daya analisis yang baik. Pameo bahwa yang muda yang mempunyai ide-ide segar tampaknya tidak terlalu salah. Riset terhadap remaja menunjukkan kreativitas memang muncul di usia muda. Bahkan riset pada orang-orang jenius tetap mengindikasikan karya yang lebih banyak saat si jenius dalam usia muda daripada usia di atas 50 tahun.

Mengapa mereka mampu berpikir demikian? Pertama, potensi remaja ini yang kemudian menjadi fondasi berpikir bahwa aktivitas kelas dapat menghasilkan produk. Bukan sekedar produk biasa, tapi produk yang diakui oleh pihak luar khususnya negara. Untuk itu hal yang perlu diangkat adalah pola pikir kreatif dan produktif.  Inilah yang digunakan untuk melawan pola pikir bahwa bangsa ini “tidak bisa berbuat (membuat) apa-apa”. Padahal sebaliknya, usia remaja justru mempunyai banyak ide bahkan dalam penelitian (Doobs, 2011) ditemukan bahwa pola pikir remaja tidak ada bedanya dengan pola pikir orang dewasa. sebagai contoh jika dulu di kampung atau desa anak-anak dapat membuat mainan berdasar potensi alam sekitarnya, mengapa sekarang ketika menjadi remaja kota tidak muncul ide-ide yang sama? Padahal fasilitas atau perlengkapan di perkotaan jauh lebih memungkinkan. Kedua, tentang kreativitas. Ahli psikologi pendidikan dan kreativitas, seperti Munandar (1985) mengajukan empat alasan mengapa kreativitas penting bagi manusia. Pertama mewujudkan dirinya. Kedua, melihat beragam penyelesaian dari suatu masalah. Ketiga, memberikan kepuasan pada diri sendiri. Keempat, dengan kreativitas maka manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

Kreativitas dalam Psikologi

Sebagaimana penjelasan Munandar (1985) tentang fungsi kreativitas bagi manusia, pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat tentang kreativitas. Amabile (1983) mengajukan definisi kreativitas sebagai “kualitas produk atau tanggapan yang dinilai kreatif oleh pengamat yang sesuai, dan dapat juga dianggap sebagai proses yang oleh sesuatu yang hasilnya dinilai sebagai bentuk kreatif.” Amabile (1983) melanjutkan dengan mengajukan komponen-komponen kreativitas. Secara garis besar terdapat tiga komponen yakni yakni keterampilan domain yang relevan, keterampilan kreativitas yang relevan, dan motivasi terhadap tugas.

Komponen keterampilan domain yang relevan di dalamnya terkandung pengetahuan, keterampilan teknis, dan talenta khusus dalam ranah yang ditanyakan. Perilaku pada komponen ini cenderung umum, bentuknya berupa kemampuan verbal dibandingkan keterampilan yang dapat digunakan untuk ranah umum.  Komponen keterampilan kreativitas yang relevan mengandung gaya berpikir, terapan heuristik untuk menjelajahi pola pikir baru dan cara bekerja. Pada bentuk perilaku dapat terlihat ada perilaku yang tidak umum dan eksentrik. Komponen motivasi terhadap tugas mengandung variabel-variabel yang mengarahkan pendekatan individual terhadap tugas. Kemampuan atau keterampilan yang tampil sangat khusus dan hanya pada bidang tertentu.

Pemicu dari kreativitas tidak lain adalah lingkungan sosial dari individu atau kelompok (Amabile & Pillemer, 2012). Kesemua komponen kreativitas dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Komponen keterampilan domain yang relevan, keterampilan kreativitas yang relevan misalnya dapat dipengaruhi oleh pelatihan, keteladanan, dan pengalaman yang dibentuk oleh lingkungan sosial (Amabile & Pillemer, 2012). Lebih jauh kreativitas dikatakan sebagai hubungan timbal balik antara hubungan antarmanusia dan kolaborasi (Purser & Montuori, 2000 dalam Glăveanu, 2010).

Apa Kaitan Kreativitas dan HaKI?

Kreativitas yang muncul dari mahasiswa kemudian diarahkan menjadi produk. Produk inilah yang kemudian dicatatkan ke Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Pada prinsipnya semua karya dapat diajukan Hak Kekayaan Intelektualnya. Pengaturan ini ada pada Pasal 41 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Hasil karya yang dilindungi Hak Cipta meliputi banyak hal. Beberapa diantaranya adalah buku, pamflet, pidato dan semua hasil karya tulis lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; karya seni seperti drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim. Kesemuanya berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.

Umumnya hasil karya mahasiswa sebatas mendapat skor yang berkontribusi pada lulus tidakya mahasiswa pada satu mata ajar. Dengan mengaitkan karya mahasiswa dengan pecatatan HaKI ini maka keterlibatan mahasiswa pada karyanya juga akan semakin kuat. Demikian pula dengan dosennya. Dosen juga dipaksa untuk memantau produk yang dihasilkan. Hal ini agar karya atau produk tidak menyalahi kaidah-kaidah kesopanan atau norma yang disepakati (misalnya masalah SARA).

Hal lain yang memaksa dosen untuk terlibat adalah ketika mengawal hasil karya tersebut ke pengelola pendidikan. Mulai dari program studi hingga fakultas, bahkan sampai ke tingkat universitas. Namun jangan khawatir, hal ini bukan sebuah penderitaan, tapi justru awal peningkatan kemampuan diri dosen dan mahasiswa. Jika berhasil, buah yang didapat adalah surat pernyataan HaKI. Selembar surat yang diterbitkan oleh negara inilah yang menjadi salah satu komponen peningkat dalam isian biodata dosen, juga untuk prodi, fakultas, dan sampai universitas. Di laman SINTA, saya masih belum mudah menemukan daftar HaKI (IPR) dosen dan mahasiswa. Dengan demikian ini adalah potensi yang masih sangat terbuka.

Penutup

Artikel ini hendak menggugah para dosen, bahwa akselerasi dari aktivitas kelas, kreativitas mahasiswa, arahan dosen, dan semangat dosen pengampu (tak lupa dukungan pengelola) akan menghasilkan produk atau karya yang berdaya guna. Jika belum berdaya guna bagi masyarakat, setidaknya secara teoretik terbukti di kelas dan kemudian diakui oleh negara melalui pencatatan HaKI. Dan HaKI salah satu komponen yang penting untuk memposisikan diri dan universitas di mata masyarakat (melalui SINTA). Dengan demikian, kreativitas dan HaKI menjadi sejalan.

Referensi

Amabile, T. M. (1983). The social psychology of creativity: A componential conceptualization. Journal of personality and social psychology, 45(2), 357.

Amabile, T. M., & Pillemer, J. (2012). Perspectives on the social psychology of creativity. The Journal of Creative Behavior, 46(1), 3-15.

Doobs, D. Otak nan rancak. National Geographic. Oktober 2011.

Glăveanu, V. P. (2010). Paradigms in the study of creativity: Introducing the perspective of cultural psychology. New ideas in psychology, 28(1), 79-93.

http://sinta2.ristekdikti.go.id/departments/afiliasi?kdprodi=73201&view=affiliation

Munandar, S. U. (1985). Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah: penuntun bagi guru dan orang tua. Gramedia.

 

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?


Page 9

ISSN 2477-1686  

   Vol.5 No. 11 Juni 2019

Menjadi Konsumen Kritis dengan High-Involvement Purchase

 Oleh

Muhammad Rizky dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis Universitas Pembangunan Jaya

Pertengahan tahun 2018 terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan dunia. Amerika Serikat menyatakan perang dagang terhadap China. Semua berawal dari kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Trump mengenakan bea masuk atas produk milik China untuk memperbaiki tingkat inflasi di negara Paman Sam tersebut. Tahap pertama, Amerika Serikat hanya mengenakan bea masuk terhadap barang China yang paling laris dijual di Amerika Serikat (Situmorang, 2018). Kebijakan Amerika Serikat mengenakan bea masuk ini langsung mendapat respon dari pihak China. Secara terang-terangan China juga berusaha mengenakan bea masuk terhadap beberapa komoditas yang diimpor dari Amerika Serikat (Situmorang, 2018). Usaha China membalas pengenaan bea masuk dinilai oleh Pemerintahan Trump sebagai upaya untuk perang dagang. Beberapa waktu kemudian, Trump mengambil kebijakan untuk mengenakan bea masuk terhadap sebagian besar produk yang diimpor dari China (Situmorang, 2018) Pada 6 Juli 2018. Trump mendeklarasikan perang dagang terhadap China.

Perang dagang banyak mempengaruhi ekonomi dunia. Banyak negara yang terkena dampak dari perang dagang ini. Salah satu dari negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia menerima dampak positif dan negatif dari perang dagang tersebut. Akibat perang dagang ini, Indonesia punya potensi untuk mengekspor barang ke kedua negara itu. Tidak cuma itu, Indonesia juga bisa jadi negara ketiga yang "mengambil jatah" ekspor China dan Amerika Serikat (Shemi, 2018). Ini suatu keberkahan di antara perang yang dapat dinikmati oleh Indonesia. Namun, ada hal yang patut diwaspadai. Banyak produk dari kedua negara yang masuk ke Indonesia dikarenakan mereka berusaha mencari pasar baru dengan tingkat bea masuk lebih rendah (Situmorang, 2018). Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution  (dalam Gumerlar, 2018) mengatakan dari sisi konsumen, ada kemungkinan impor barang konsumsi China yang dilarang AS akan menyerbu Indonesia, sehingga harga barang menjadi lebih cukup murah. Namun, dilihat dari sisi produsen, arus barang impor tentu membuat produsen dalam negeri ketar-ketir karena khawatir daya saing produk menjadi berkurang (Gumelar, 2018).

Masyarakat Indonesia memiliki peran penting dalam menentukan dampak positif atau negatif yang Indonesia akan dapat dari peran dagang yang tengah terjadi. Namun, konsumen di Indonesia memiliki minat yang tinggi terhadap produk asing. Salah satu contoh produk dan minat konsumen yang tinggi akan produk asing ini terdapat pada sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian diketahui  bahwa sebagian besar responden yang diteliti memiliki tingkat etnosentrisme sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen lebih memilih untuk mengonsumsi buah impor dibandingkan buah lokal  (Violetta, Hartoyo, & Zulbainarni, 2018). Hal ini dapat memperburuk dampak negatif dari perang dagang.

High-involvement purchase menjadi jawaban dari fenomena di atas. High-involvement purchase merupakan pembelian produk yang dirasa penting bagi konsumen dikarenakan adanya beberapa faktor seperti pentingnya kegunaan produk tersebut dan seberapa besar resiko yang ada pada produk (Schiffman & Kanuk, 2010). Contoh dari high-involvement purchase adalah seperti pembelian rumah, kendaraan bermotor dan produk-produk yang memiliki dampak panjang. Dalam penerapannya, kognitif sangat berperan penting. High-involvement purchase memerlukan kemampuan kognitif tinggi dalam memproses informasi yang ada pada produk yang akan dibeli. Membandingkan produk satu dengan yang lain seperti melihat harga produk, kandungan yang terdapat dalam produk dan memikirkan dampak jangka panjang jika produk tersebut dibeli menjadi aktifitas pemerosesan informasi (Schiffman & Kanuk, 2010).

High-involvement purchase dapat membantu kita untuk menjadi konsumen yang cerdas. Membandingkan informasi tentang produk luar dan produk lokal dan memikirkan resiko yang akan kita terima dari produk yang kita beli merupakan wujud kecerdasan konsumen dalam berbelanja. Tidak dapat dipungkiri jika ada beberapa produk yang tidak dapat kita beli jika bukan produk luar dikarenakan kualitas atau bahkan tidak tersediaannya produk tersebut dari dalam negeri. Namun, meminimalisir pembelian produk luar negeri merupakan wujud kita sebagai konsumen untuk membantu perekonomian negara dengan menekan angka inflasi dikarenakan banyaknya produsen lokal yang berkembang.

Referensi

Gumelar, G. (2018). Dampak Perang Dagang China-AS Bervariasi bagi Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180323151108-92-285376/dampak-perang-dagang-china-as-bervariasi-bagi-indonesia.

Schiffman, L. G., & Kanuk, L. L. (2010). Consumer Behavior (10th ed.) New Jersey: Pearson Education.

Shemi, H. (2018). 3 Dampak Perang Dagang Amerika Vs China terhadap Indonesia. https://www.idntimes.com/business/economy/helmi/3-dampak-perang-dagang-amerika-vs-china-terhadap-indonesia/full.

Situmorang, A. P. (2018). Menko Darmin Paparkan Awal Mula Perang Dagang AS-Ch. https://www.liputan6.com/bisnis/read/3599120/menko-darmin-paparkan-awal-mula-perang-dagang-as-china.

Violetta, P. C., Hartoyo, & Zulbainarni, N. (2018). Pendidikan Konsumen Generasi Y: Pengaruh Ethnosentrisme, Hedonisme, dan Kelompok Acuan Terhadap Preferensi dan Perilaku Pembelian Buah Lokal. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 11, 120-132. doi: http://dx.doi.org/10.24156/jikk.2018.11.2.120.

 

Jelaskan apa peranan yang khas antara laki-laki dan perempuan?