Jelaskan pengaruh cuaca dan iklim di bidang pariwisata

Beberapa waktu lalu, band besar asal Inggris, Coldplay, mengajak Presiden Joko Widodo untuk mengatasi krisis iklim yang sudah sangat mengkhawatirkan. Laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) 2021 mengenai dampak dari perubahan iklim, misalnya, memang menyebutkan umat manusia dihadapkan pada ancaman besar. Banyak hal buruk akan terjadi apabila ini terus berlanjut.

Laporan IPCC mencatat, dampak percepatan perubahan iklim setidaknya akan meningkatkan rerata suhu harian dunia, kenaikan muka air laut, dan penurunan drastis diversitas geneologis -flora maupun fauna- secara menyeluruh. Hal serupa terjadi secara masif di Indonesia dan menjalar ke berbagai sektor.

Tourism on the Move in a Changing Climate (IPCC 2021)

Salah satu yang terkena dampak terburuk tidak lain pariwisata. Seperti pedang bermata dua, sesuai data dan fakta di lapangan, pariwisata menjadi salah satu sektor yang memberikan dampak besar terhadap percepatan perubahan iklim itu sendiri. Ibarat pepatah, “dia yang menanam, dialah yang menuai”.

The United Nations World Tourism Organization & International Transport Forum pada tahun 2019 melaporkan, kontribusi sektor pariwisata dalam menyumbangkan emisi CO2 sebesar 5 % pada 2005. Sementara transportasi menjadi komponen terbesar dalam menyumbang gas emisi rumah kaca yaitu 75 %.

Industri perjalanan udara juga turut berkontribusi antara 2 dan 3 % dari seluruh emisi CO2 global. Meskipun persentase dampak yang diberikan tidak sebesar sektor energi, hal ini tetap memberikan pengaruh yang signifikan.

Namun kegiatan pariwisata juga tidak dapat dihentikan. Banyak orang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Tidak hanya untuk sebagian masyarakat Indonesia, beberapa negara lain juga demikian. Maladewa, Yunani, hingga Portugal menggantungkan kondisi perekonomiannya secara nasional pada sektor ini.

Advertising

Advertising

Pariwisata merupakan industri yang bersifat multi-sektor sehingga apabila dimatikan secara total akan mempengaruhi kegiatan lainnya. Beberapa dampak perubahan iklim yang kita rasakan secara langsung dalam waktu dekat yakni pariwisata pantai mulai kehilangan daya tarik. 

Sebagai contoh yakni abrasi, coral bleaching menjangkiti dunia menyelam (scuba diving/freedive), dan rusaknya ekosistem akibat jumlah pengunjung yang melebihi batas standar carrying capacity. Begitu juga rusaknya cagar budaya (tangible cultural heritage) akibat tingkat kelembapan udara meningkatkan secara drastis yang mempercepat pelapukan pada bangunan.

Tidak hanya wisata pantai dan sejarah, dampak perubahan iklim terasa hingga wisata pegunungan. Sampai yang paling parah bagi Indonesia adalah mencairnya salju di Pegunungan Cartenz Papua.

Salju abadi di Pegunungan Cartenz diprediksi hilang selamanya pada 2025. Hal ini dikarenakan meningkatnya rerata suhu dan curah hujan tinggi yang mengakibatkan regresi pada lapisan gletser es di Puncak Jaya Wijaya. Salju itu kini tidak lagi abadi. Satu-satunya salju tropis Indonesia akan hilang.

Ini hanya satu dari sekian banyak dampak buruk fenomena perubahan iklim. Dengan semakin parahnya dampak negatif, risiko yang diterima akan sama besarnya. Kehilangan daya tarik pariwisata sama halnya dengan kehilangan aset berharga. Hal ini tentu akan mengurangi nilai jual daerah dan menutup potensi yang seharusnya bisa dikembangkan lebih baik. Pariwisata sendiri berkontribusi 4.8% dari total PDB Indonesia pada tahun 2019.

Pariwisata Indonesia memainkan peran penting dalam sektor perekonomian masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa komoditas yang bersinggungan langsung di antaranya akomodasi, transportasi, hiburan, dan atraksi.

Berikut adalah bagan dampak sektor pariwisata terhadap perekonomian:

Dampak Sektor Pariwisata (Laporan Akhir Kajian Dampak Sektor Pariwisata Terhadap Perekonomian Indonesia Kemenparekraf 2019)

Untuk menjawab tantangan perubahan iklim ini, diperlukan banyak solusi berkelanjutan. Dan manusia memegang peranan penting dalam mengurangi dampak perubahan iklim ini.

Salah satu solusi yang berkaitan dengan pariwisata yaitu penerapan prinsip sustainable traveler pada saat berwisata. Sustainable traveler adalah bagaimana cara kita sebagai turis menghargai lingkungan dan sumber daya alam di destinasi tempat kita berwisata.

Turis diharapkan sadar akan tingkat polusi yang dihasilkan dari perjalanan mereka dan mampu memahami dampak yang dapat mereka hasilkan terhadap masyarakat lokal, perputaran bisnis, dan budaya asli destinasi.

Tiga Pilar Sustainable Traveler

Ada tiga pilar keberlanjutan yang menopang prinsip sustainable traveler, yang biasa di sebut dengan tiga pilar keberlanjutan. Penerapan prinsip ini sebagai berikut:

Pertama, pilar keberlanjutan lingkungan. Pilar ini berfokus pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan dan keberlangsungan biosfer (flora dan fauna) pada saat kita melakukan kegiatan pariwisata. Hal ini termasuk meminimalkan carbon footprint yang kita hasilkan, terutama dari perjalanan udara.

Penggunaan air secukupnya, minimalisasi sampah plastik dan kemasan, dan tidak melakukan kegiatan yang dianggap mampu mengganggu ekosistem. Sebagai seorang sustainable traveler, kita juga mampu memberikan dampak positif sederhana dengan membawa barang yang bersifat reusable (bisa digunakan kembali) pada saat berwisata.

Kedua, pilar keberlanjutan sosial-budaya. Pilar ini berfokus pada dampak yang bisa kita kontribusikan terhadap keberlangsungan budaya dan komunitas lokal. Hal ini termasuk mendukung bisnis yang dijalankan masyarakat lokal, bisnis yang mempekerjakan dan membantu peningkatan taraf kehidupan masyarakat sekitar, dan kelestarian budaya eksistensial di destinasi, baik budaya benda dan tak benda.

Sebagai seorang wisatawan yang bertanggung jawab, kita mampu menjalankan pilar ini dengan ikut serta dalam proyek pelestarian budaya lokal, membeli produk yang dijual masyarakat lokal. Atau juga mencari tahu apakah masyarakat yang dipekerjakan dibayar secara adil, mendapatkan fasilitas yang layak, dan apakah lingkungan kerja mereka aman.

Ketiga, pilar keberlanjutan ekonomi. Sederhananya, pilar ini berfokus pada sistem bisnis yang diterapkan apakah mengacu pada prinsip usaha yang menguntungkan agar berkelanjutan.

Namun, sebagai seorang sustainable traveler, kita tidak perlu masuk terlalu dalam di dalam sistem internal bisnis tersebut. Kita dapat berkontribusi cukup dengan menggunakan uang yang kita miliki dengan selalu mengutamakan transaksi pada pedagang lokal.

Sebagai contoh menginap di hotel yang dijalankan oleh warga lokal maupun memilih untuk makan dan membeli cinderamata buatan warga di sekitar destinasi. Dengan hal ini, secara tidak langsung kita mendukung mereka meraih kualitas kehidupan yang lebih baik melalui kegiatan pariwisata di daerahnya.

Dengan solusi di atas, setidaknya, ketika selama ini hanya menikmati pariwisata tanpa melihat akibat yang disebabkan, kita memulai untuk menjadi sustainable traveler dan menjadi bagian dalam mengatasi tantangan perubahan iklim. Menjadi bagian dalam gerakan berkelanjutan seperti ini setidaknya kita berkontribusi dalam menyelamatkan bumi.

Coldplay-Inggris dan BTS-Korea Selatan dalam lagu terbarunya yang berjudul My Universe mengatakan, “You, you are my universe and I just want to put you first, and you, you are my universe, and You make my world light up inside”.

Peranan Iklim untuk Pariwisata

Faktor cuaca dan iklim berpengaruh pula terhadap bidang pariwisata. Seperti cuaca cerah, banyak cahaya matahari, kecepatan angin, udara sejuk, kering, panas, dan sebagainya sangat mempengarui terhadap pelaksanaan wisata, baik wisata darat maupun laut. Dengan kondisi seperti yang telah disebutkan, maka pelaksanaan wisata akan semakin dinikmati.

Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan aspek kunci yang harus menjadi agenda pembangunan nasional dalam rangka mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan. Tujuan jangka panjang dari agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia adalah terintegrasinya adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Saat ini, Indonesia yang sudah rentan terhadap resiko bencana alam, seperti banjir, longsor, erosi, badai tropis, dan kekeringan, akan menghadapi resiko yang lebih besar lagi ke depan akibat perubahan iklim. Apabila langkah-langkah penanganan yang konkret tidak segera dilaksanakan, maka target-target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) untuk bidang-bidang yang berkaitan dengan kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan akan sulit dicapai. Bahkan, ada kemungkinan, target-target pembangunan yang telah tercapai selama puluhan tahun ini, juga terancam Oleh karena itu, agenda adaptasi perubahan iklim harus diimplementasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembangunan yang hanya mementingkan pencapaian tujuan ekonomi semata tanpa memperhatikan kelestarian alam akan menambah kerentanan Indonesia  terhadap perubahan iklim.

Pelaksanaan kegiatan adaptasi juga harus berjalan bersamaan dengan usaha pemberantasan kemiskinan dan kegiatan pembangunan ekonomi karena masyarakat miskin merupakan golongan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak perubahan  iklim. Pembangunan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim di masa depan harus didasarkan pengalaman dan kemampuan yang dibangun dalam mengatasi resiko iklim saat ini. Dengan demikian, penyusunan agenda adaptasi terhadap perubahan iklim harus dikaitkan dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN-PRB). RAN-PRB yang telah disusun oleh Pemerintah Indonesia merupakan bentuk komitmen terhadap Resolusi PBB 63/1999. RAN-PRB bertujuan untuk mengurangi faktor-faktor penyebab resiko bencana termasuk yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam seperti perubahan iklim.

Upaya adaptasi harus dilakukan melalui beberapa pendekatan: 1) mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang, 2) meninjau kembali dan menyesuaikan 28 inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim, 3) melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola resiko iklim, 4) mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan resiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, 5) memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi resiko iklim sekarang dan masa yang akan datang, 6) memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional, 7) memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional, dan 8) mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Dalam jangka panjang, pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman lebih baik terhadap sistem iklim dan pengaruhnya terhadap aktivitas sosial ekonomi dan lingkungan. Diperlukan skenario perencanaan yang detail dengan mempertimbangkan perubahan iklim di tingkat regional, termasuk di dalamnya pola badan, curah hujan, dan dampak peningkatan suhu muka laut. Guna mengurangi kerentanan terhadap bencana, diperlukan pengkajian risiko dan penanganannya, termasuk tahap mitigasi, perlindungan, persiapan menghadapi kondisi ekstrem itu. Juga upaya mengembangkan kerja sama global untuk pembangunan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan

Menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global, 2007 disebutkan bahwa dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbondioksida (Gambar 6)akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar

DAFTAR PUSTAKA

http://www.mail-archive.com//msg00391.html

http://ustadzklimat.blogspot.com/

http://ejournal.unud.ac.id/?module=editor&idf=7&idj=48&idv=180&idi=44

http://www.globalcollab.org/pelangi/adaptnet2008/adaptnet-3-juni-2008/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global