Islam di Indonesia dikenal sebagai negara muslim yang berkarakter demokratis, damai, dan berkeadaban. Hal tersebut tidak lepas dari peranan organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Wakil Menteri Luar Negeri RI, AM. Fachir, menyebutkan NU dan Muhammadiyah memiliki peran penting dalam pembanguan demokrasi dan perdamaian di Indonesia. Tak hanya itu, keduanya juga terlibat aktif dalam membangun perdamaian di dunia. Menjadi menjadi salah satu pembicara kunci dalam seminar internasional “Islam Indonesia di Pentas Global: Inspirasi damai Nusantara Untuk Dunia” di Balai Senat UGM, Jumat (25/1), Fachir mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara yang aktif dalam mempromosikan dialog antar agama dan menawarkan konsep Islam yang damai. Proyeksi Islam Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin ke dunia telah dilakukan sejak lama dan menjadi kerja diplomasi seluruh pemuka agama. “Memproyeksikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin ke dunia sudah sejak 15 tahun. Hal ini dilakukan dengan diplomasi semua pemuka agama, Islam yang moderat dan toleran adalah aset,” katanya. Fachir menjelaskan bahwa Indonesia terus berupaya menawarkan konsep Islam yang damai ke mata dunia. Meskipun saat ini kondisi dunia dipenuhi dengan ketidakpastian, tetapi langkah tersebut selalu dilakukan. Menurutnya, Islam Indonesia menghadapai tantangan yang cukup kompleks. Terlebih di tengah kondisi dunia yang dipenuhi dengan ketidakpastian. “Nilai-nilai multilateralisme semakin luntur dan dunia mulai kehilangan kepemimpinan global,” sebutnya. Selain itu, kondisi umat Islam dunia masih cukup memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan masih tingginya tingkat buta huruf, pengangguran, serta rendahnya kontribusi terhadap PDB. Ditambah dengan masih adanya persepsi negatif dari masyarakat luar negeri terhadap Islam. Oleh sebab itu, Fachir mengimbau masyarakat muslim Indonesia untuk dapat mempertahankan Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin kepada masyarakat dunia. Islam yang cinta damai dan mampu berkembang di tengah kemajemukan. Menurutnya, NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia harus ikut berkontribusi dalam menjaga konsep Islam damai dan Rahmatan Lil Alamin. “NU dan Muhammadiyah harus menjadi perekat kebinekaan,” tegasnya. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif, menyebutkan Islam Indonesia apabila dibandingkan dengan negara lain akan menjadi antitesis dari penyakit yang menyebabkan kekacauan di belahan negara Islam lainnya. Menurut Syafii, Islam Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Apalagi, dengan NU dan Muhammadiyah yang memiliki ikatan kuat. Sementara Mantan Presiden Timor Leste sekaligus penerima Nobel Perdamaian 1998, Ramos Horta, turut hadir dalam seminar tersebut. Dalam kesempatan itu dia menyampaikan pandangan tentang proses demokrasi dan damai di Indonesia sekaligus peran organisasi Islam di dalamnya. Dia mengapresiasi peranan dan kontribusi NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam yang mampu menjaga dan merawat perdamaian di Indonesia. Tak hanya itu, keduanya juga dinilai mampu membangun perdamaian dan demokrasi di tingkat dunia. Dalam seminar tersebut turut menghadirkan pembicara lain, seperti KH. Yahya Cholil Staquf, Prof. Azyumardi Azra, Prof. Mark Woodward, serta sejumlah peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Seminar digelar untuk mempromosikan peranan Islam dalam pembangunan perdamaian dan demokrasi di kancah nasional, regional, dan internasional. Selain itu, mengangkat Islam Indonesia sebagai salah satu model yang selaras dengan nilai-nilai demokrasi dan perdamaian di kancah internasional. Selanjutnya, mengkaji peranan organisasi Islam, yakni Muhammadiyah dan NU dalam konteks pembangunan demokrasi dan perdamaian di kancah nasional, regional, dan internasional. (Humas UGM/Ika; foto: Firsto)
MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Peran dan tokoh Muhammadiyah memiliki andil yang cukup besar dalam mendirikan Negara Republik Indonesia (NKRI). Salah satu diantaranya yakni peran KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah (Nyai Dahlan). Kedua tokoh ini telah bergerak dalam mencerdaskan dan memajukan bangsa hingga diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Srikandi Aisyiyah, Hayyinah dan Munjiyah menjadi pelopor dan pemrakarsa bersama pergerakan perempuan lainnya untuk lahirnya Konges Perempuan Pertama tahun 1928. Kyai Mas Mansur menjadi tokoh Empat Serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantoro dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Ki Bagus Hadikusumo didukung Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo menjadi penentu konsensus nasional penetapan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi dasar sekaligus di dapamnya penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam melakukan perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan kontribusi Muhammadiyah terbesar melalui Soedirman adalah perang gerilya dan melahirkan serta menjadi Bapak Tentara Nasional Indonesia, yang tiada duanya. Gerakan cinta tanah air ini bermodalkan spirit Hizbul Wathan atau Kepanduan Tanah Air yang dirintis tahun 1918, di mana Soedirman menjadi pandu utamanya. Bersamaan dengan perang gerilya, aksi mempertahankan Indonesia dari serbuan kembali Belanda di DIY dan Jawa Tengah para tokoh Muhammadiyah menggerakkan aksi Angkatan Perang Sabil (APS), yang merupakan perlawanan umat Islam yang luar biasa militan demi mempertahankan bangsa dan tanah air. “Peran tokoh Muhammadiyah Ir Djuanda juga sangat penting dan menentukan dalam menyatukan seluruh kepulauan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 1957, yang menjadi pangkal tolak perjuangan Indonesia di PBB untuk menyatukan lautan dan daratan dalam satu kepulauan Indonesia yang utuh. Perjuangan tersebut berhasil tahun 1982 dengan diakuinya kesatuan laut dan daratan kepulauan Indonesia oleh PBB dalam hukum laut internasional,” tutur Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir seperti dikutip dalam laman suaramuhammadiyah.id, pada Senin (22/10). Selain itu, keberadaan Kementerian Agama juga merupakan gagasan tokoh Muhammadiyah dari Jawa Tengah, KH Abu Dardiri, setelah itu Menteri Agama RI pertama ialah HM Rasjidi, yang dikenal ilmuwan atau ulama lulusan Universitas Sourbone Perancis, berasal dari Kotagede Yogyakarta. Sementara Kahar Muzakkir yang menjadi anggota Panitia Piagam Jakarta, sebelumnya sewaktu di Al-Azhar Cairo, berjuang melakukan diplomasi di Timur Tengah sebelum yang lainnya. “Soekarno juga Muhammadiyah, bahkan menjadi pengurus Majelis Pendidikan sewaktu di Bengkulen (Bengkulu). Tokoh utama kemerdekaan dan proklamator serta Presiden pertama Indonesia itu lama bergaul dan ‘ngintil’ (berguru secara informal) dengan Kiai Dahlan sebagaimana beliau akui sendiri. Soekarno beristrikan kader Aisyiyah, Fatmawati yang juga putri Konsul Muhammadiyah Sumatra yakni Hasan Din. Paham Islam progresit atau berkemajuan menjadi daya tarik Soekarno menjadi anggota dan pengurus Muhammadiyah. Presiden berikutnya, Soeharto juga anak didik sekolah Muhammadiyah. Kedua Presiden Indonesia itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya sangat berjasa bagi perjalanan sejarah dan pembangunan bangsa. Muhammadiyah terus berkiprah dan memberi kontribusi besar bagi pencerdasan dan pemajuan bangsa melalui usaha-usahanya di bidang pembaruan paham keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayaanan sosial, pemberdayaan masyarakat, pendidikan politik kebangsaan, dan gerakan dakwah lainnya. Dalam lintasan perjalanan Indonesia telah puluhan hingga ratusan ribu sumberdaya manusia yang terdidik dan berkarakter lahir dari gerakan ini, tanpa mengklaim dirinyan gerakan santri. “Dari rahim Muhammadiyah pula hadir tokoh Amien Rais sebagai tokoh reformasi, Syafii Maarif tokoh pluralisme dan kemanusiaan, serta Din Syamsuddin tokoh lintas agama di tingkat nasional sampai internasional. Semua berkontribusi bagi pencerdasan, kemajuan, dan perubahan kehidupan bangsa Indonesia,” pungkas Haedar.
Lihat Foto KOMPAS.com - Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia menoreh cerita yang sangat panjang. Banyak kalangan yang ikut berjuang mencapai kemerdekaan Indonesia, salah satunya umat Muslim. Umat Islam turut terjun dalam medan pertempuran guna berjuang melawan penjajah yang sudah merampas kedaulatan rakyat Indonesia. Lantas, bagaimana perjuangan umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia? Baca juga: Mengapa Bangsa Indonesia Mempertahankan Kemerdekaan dengan Diplomasi? Perlawanan kerajaan-kerajaan IslamPeran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sudah dilakukan sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Masuknya bangsa Barat ke Indonesia yang dimulai pada awal abad ke-16 langsung mendapat perlawanan dari kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Misalnya seperti Kerajaan Malaka melawan Portugis, Kerajaan Ternate melawan Portugis, dan Kerajaan Banten melawan Belanda. Kegigihan pihak kerajaan Islam dalam melawan penjajah membuat bangsa Barat kesulitan untuk bisa sepenuhnya menguasai wilayah di Nusantara. Meskipun pada akhirnya, tidak sedikit juga kerajaan Islam di Indonesia yang sempat jatuh ke tangan Belanda. Terlepas dari itu, semangat perjuangan yang dimiliki umat Islam pada masa itu masih terus membara. Baca juga: Peran Perempuan dalam Usaha Kemerdekaan Indonesia
Hal itu dibuktikan dengan perlawanan yang tidak pernah berhenti dari tokoh-tokoh di kerajaan Islam Nusantara. Misalnya seperti perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten, perlawanan Pangeran Antasari di Banjar yang didukung para ulama dan santri, perlawanan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, serta perlawanan Pangeran Diponegoro. Dalam Perang Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830, para pemimpin umat Islam melawan bangsa Eropa hingga mampu menewaskan sekitar 8.000 pasukan penjajah. Selain dipimpin oleh para tokoh dari kerajaan Islam, perlawanan terhadap bangsa penjajah juga dilakukan sendiri oleh para ulama. Para ulama memimpin perlawanan bersama rakyat Indonesia hingga terbentuk gerakan-gerakan sosial di kawasan Nusantara. Baca juga: Sultan Khairun, Pelopor Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Portugis Peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia sangat penting. Salah satu contohnya pada Perang Padri di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Akibat Perang Padri, timbul gerakan-gerakan Islam seperti Gerakan 3 Haji di Lombok, Gerakan R Gunawan di Jambi, Gerakan H. Aling Kuning di Kalimantan Timur, Gerakah KH. Wasit dari Cilegon, dan masih banyak lagi. Selain itu, muncul juga berbagai laskar perjuangan berbasis Islam, seperti Laskar Hizbullah-Sabilillah, yang diteruskan Asykar Perang Sabil dan beberapa laskar Islam lainnya. Laskar Hizbullah dibentuk sebagai laskar perjuangan semi-militer dari sebuah kelompok Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, yaitu berjuang menegakkan agama dan negara. Laskar Hizbullah berperan aktif dalam Pertempuran Surabaya melawan Sekutu pada 10 November 1945 di Surabaya.
Selain itu, umat Islam juga membantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau sekarang TNI, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lewat strategi gerilya melawan penjajah. Baca juga: Mengapa Cut Nyak Dien Melakukan Perlawanan terhadap Belanda? Di samping melalui perlawanan fisik, perjuangan meraih kemerdekaan juga dicapai dengan mengandalkan kekuatan ilmu. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya Sarekat Islam pada 1911 yang memiliki gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat Indonesia dari jeratan Belanda. Setelah itu, disusul lahirnya Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1912, Persatuan Islam pada 1923 di Bandung, di Surabaya lahir Nahdhatul Ulama pada 1926, serta di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Referensi:
|