Manusia yang membuat lukisan pada dinding gua ada pada zaman

Ketika mulai hidup menetap, manusia praaksara mengembangkan kemampuan seni. Misalnya saja lukisan gua yang dikenal pada zaman… .

A. mesolitikum

B. paleolitikum

C. logam

D. megalitikum

E. neolitikum

Pembahasan:

Salah satu peninggalan manusia purba adalah lukisan pada dinding gua. Ini diperkirakan pada zaman Mesolitikum. Manusia purba tinggal pada gua gua karang yang dikenal dengan nama Abris Souche Roche.  Salah satunya adalah lukisan tangan dengan latar belakang cat merah di Gua Leang Leang (Sulawesi Selatan). Ada pendapat yang mengatakan bahwa lukisan tersebut berkaitan dengan perjalanan arwah orang yang telah meninggal.

Untuk materi secara lengkap mengenai Zaman Praaksara Berdasarkan Peninggalannya serta materi lainnya silahkan klik link youtube berikut ini. Jika bermanfaat, jangan lupa subscribe, like, komen dan share. Terimakasih

Kunci jawaban:

Ketika mulai hidup menetap, manusia praaksara mengembangkan kemampuan seni. Misalnya saja lukisan gua yang dikenal pada zaman… . A. mesolitikum

Manusia yang membuat lukisan pada dinding gua ada pada zaman

Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

Gambar cap tangan di dinding gua di kompleks prasejarah Leang-leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/Historia.

DI salah satu situs kompleks prasejarah Leang-leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terdapat tangga berbahan besi yang menghubungkannya menuju mulut gua. Namanya Leang Pettakere. Leang dalam bahasa setempat berarti gua. Di dinding dan langit-langit ada beberapa lukisan cap tangan dan gambar binatang.

Pettakere memiliki dua mulut gua. Udara dalam gua cukup baik, tidak pengap dan cukup sejuk. Inilah yang dikatakan peneliti gambar gua dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Pindi Setiawan, sebagai pemilihan lokasi tempat tinggal yang tepat. “Masyarakat pada masa lalu tidak memilih gua secara acak. Mereka melihat sirkulasi udara, atau pun faktor kenyamanan,” katanya.

Bagi Pindi, masyarakat penghuni gua yang diperkirakan menjejak Sulawesi sejak 40.000 tahun lalu sesuai hasil penanggalan, adalah masyarakat yang sama saja dengan manusia saat ini. Mereka hidup dengan relasi sosial, antara hubungan satu sama lain hingga spiritual. “Saya kira gambar-gambar yang tertera di langit-langit gua menunjukkan unsur spiritual,” katanya.

Advertising

Advertising

Di situs-situs gua prasejarah Maros dan Pangkep, ada tiga periode yang terlihat dalam penggambaran lukisan. Pertama gambar cap tangan biasa berwarna merah. Kedua gambar cap tangan merah dengan ujung-ujung jari yang runcing. Ketiga adalah gambar yang berwarna hitam.

Dalam skala waktu, gambar gua yang berwarna merah usianya lebih tua. Dibanding dengan gambar berwarna hitam yang diperkirakan dari masyarakat Austronesia sekitar 2500-4000 tahun lalu. Perbandingan ini diperoleh Pindi, melalui hasil analisis bersama kelompok peneliti gambar gua yang tersebar di 400 buah situs seluruh dunia.

Di Maros dan Pangkep, manusia penghuni gua awal adalah masyarakat pemburu tua. Penggunaan alat batu masih sedikit, mereka membidik mangsa buruan dengan menjepit di tebing-tebing karst, lalu menimpuknya. Gambar-gambar binatang yang diletakkan di dinding gua, adalah untuk makanan. Sementara yang berada di langit-langit gua untuk persembahan ataupun yang disembah. “Di Kalimantan ada gambar binatang Cicak. Di Afrika ada gambar Singa. Di Eropa ada gambar Bison, namun ketika dilakukan penggalian di situs ditemukan malah tulang binatang Beri-beri. Artinya, biantang-binatang yang memiliki posisi atas itu tidak untuk dikonsumsi,” kata Pindi.

Tak hanya itu, bagi Pindi, masyarakat gua menggambar dan memilih objek adalah tentang apa yang paling menggugah hati. Maka, untuk meletakkan gambar diperlukan tempat yang tepat. “Mereka menggambar cap tangan, karena mencapai tahap sosial tertentu. Kelahiran mereka melakukannya, ataupun mencapai tahap kemahiran memburu mereka mencap. Jadi ini, adalah perayaan dalam sebuah tingkatan. Seperti orang modern, dari lajang menjadi pasangan. Kan, kalau cerai tidak dirayakan,” katanya.

Literatur lain menuliskan, jika gambar-gambar dalam gua adalah sebuah karya seni. “Oh itu saya tidak setuju,” kata Pindi.

Menurut dia, perbincangan mengenai gambar gua (rock art) bermula ketika seni modern di Eropa mencapai tahap puncak. Beragam aliran mulai muncul, dari abstrak, realis, hingga surealis. Lalu beberapa orang Eropa memunculkan beberapa gambar dari gua. “Mereka (orang Eropa) memilih gambar-gambar yang bagus. Gambar yang kurang baik menurut selera seni pada masa itu tidak ditampilkan,” katanya.

Namun, pada awal 1980-an, setelah beberapa peneliti melakukan pengujian dan melakukan penanggalan pada gambar-gambar gua, Eropa kembali mendata ulang dan meluruskan beberapa kekeliruan mengenai gambar. Tapi apa yang terjadi, puluhan tahun pengaruh Eropa ke Indonesia, rupanya cukup kuat. “Ketika orang-orang Eropa mulai menata ulang pemikiran tentang gua, kita masih menggunakan teori lama. Jadi tak heran masih banyak orang yang mengatakan gambar gua itu adalah karya seni masyarakat prasejarah,” katanya.

Hal yang sama diungkapkan arkeolog Universitas Hasanuddin Makassar, Iwan Sumantri. Menurutnya gambar-gambar dalam gua menunjukkan aktivitas masyarakat. “Gambar cap tangan memperlihatkan jika pada masa itu sudah ada tradisi ritual,” katanya.

[pages]

Iveta Rahmalia Minggu, 6 Agustus 2017 | 08:30 WIB

Manusia yang membuat lukisan pada dinding gua ada pada zaman

Cara manusia purba melukis di dinding gua. (Iveta Rahmalia)

Para arkeolog sering menemukan lukisan manusia purba di dinding-dinding gua. Bagaimana cara manusia purba itu menggambar di dinding gua, ya? Padahal di zaman dulu, kan, belum ada pensil warna, cat, atau alat lukis.

 Ini dia caranya:

  1. Manusia purba membuat garis-garis lukisan dengan bulu hewan atau batang pohon yang mereka celupkan ke dalam mangkuk dari tulang atau batu berisi bubuk warna.
  2. Mereka membuat warna dengan menghancurkan bebatuan yang ditemukan di alam sekitarnya. Warna-warna yang dihasilkan adalah kuning, cokelat, jingga, hitam, dan merah.
  3. Media untuk melukisnya adalah jari, kuas dari bulu hewan, atau daun.
  4. Manusia purba sering membuat lukisan bergambar tangan. Mereka membuat lukisan cetakan tangan dengan menempelkan tangan ke dinding, lalu meniupkan “cat” lewat batang yang dilubangi seperti sedotan, mengikuti bentuk tangan.
  5. Untuk melukis dinding gua yang tinggi, mereka membangun tangga susun dari kayu.
  6. Karena membuat lukisannya di dalam gua yang jauh dari sinar Matahari, mereka juga menyediakan alat penerangan sederhana, yaitu kayu sebagai obor dan lemak binatang yang terbakar untuk lampunya.

Itu dia cara manusia purba menggambar di dinding gua. Kreatif, ya!

Buku Esiklopedia Pintar 1, Penerbit BIP.

tirto.id - Saat Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van Mook masih eksis, pada 1948 arkeolog C.J.H. Franssen melakukan ekskavasi di Sulawesi Selatan. Kegiatan itu dilakukan tidak jauh dari ibu kota NIT, sebab di luar wilayah tersebut kondisinya oleh Belanda dianggap tidak aman.

“Letaknya 39-40 kilometer dari jalan raya Maros ke Bantimurung, dekat lapangan tembak polisi. Gundukan kerang Leang Lampoa sebagian besar tertutup lapisan tanah," tulis Franssen yang dipublikasikan dalam jurnal Tijdschrift Bataviaasch Genootschap No. 83, Tahun 1949, yang berjudul "Bijdrage tot de kennis van het Toaliaan op Zuid Celebes" (1949:331).

Gundukan kerang—yang biasa disebut Kjokkenmoddinger alias sampah dapur—yang tertutup tanah itu harus dibersihkan dulu sebelum diteliti. Banyak nama tempat di daerah tersebut, terutama perbatasan Maros-Pangkajene Kepulauan (Pangkep), memakai nama depan Leang, yang artinya liang, gua, atau lubang.

“Dia mengungkap budaya terkait dengan Toalean Industry (kebudayaan Toala)," tulis HR van Heekeren dalam The Stone Age of Indonesia (1957:101), mengomentari hasil penelitian Franssen.

Manusia yang membuat lukisan pada dinding gua ada pada zaman

Kebudayaan Toala adalah Zaman Batu Pertengahan, suatu periode dalam perkembangan teknologi manusia. Salah satu alat yang telah hadir pada zaman itu adalah mata panah batu berduri atau bersayap.

Menurut Heekeren, hal lain yang ditemukan Franssen adalah sejumlah cap tangan di sebuah kompleks gua di dekat Saripa, yang kemudian tempat iotu dikenal sebagai Leang Jarie.

“Berdasar laporan ini, van Heekeren melakukan suatu penyelidikan di gua tersebut, bersama dengan Franssen dan ditemukan cap-cap tangan sebanyak 29 buah, yang terdiri dari 4 kelompok," tulis Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia I (1993:162).

Di antara lukisan dinding itu, ada yang tapak tangannya berlatar belakang warna merah. Lukisan dinding juga kemudian ditemukan di Leang Lambatorang dan Leang Pattae Kere. Di gua terakhir, terdapat lukisan babirusa yang distilir dengan cap-cap tangan. Gambar babirusa ada yang panjangnya mencapai satu meter.

Selain Franssen, orang yang melihat gambar-gambar purba di gua kawasan itu adalah C.H.M. Heeren Palm. Menurut HR van Heekeren, dalam penggalian di Leang Pettae pada 26 Februari 1950, Palm menemukan sejumlah cap tangan dengan latar belakang merah di bagian terdalam gua. Diduga itu adalah cap tangan perempuan sebelah kiri.

Lukisan itu dibuat dengan merentangkan jari-jari di dinding gua lalu ditaburi cat merah. Di Leang Pettae pula, terdapat lukisan dinding bergambar babirusa yang sedang melompat dengan panah menembus jantungnya.

Baca juga: Lukisan Gua Maros dan Homo sapiens sebagai Pendongeng Ulung

Manusia yang membuat lukisan pada dinding gua ada pada zaman

Infografik Sejarah Penelitian Lukisan Gua di Maros. tirto.id/Quita

Tempat penelitian lukisan di dinding gua oleh para arkeolog Eropa itu berada di sekitar perbukitan karst yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Desa terdekat dan terpopuler di sekitar gua-gua itu adalah Leang-leang. Pada masa silam, lebih dari puluhan ribu tahun lalu, daerah ini diperkirakan adalah pantai. Hal ini terlihat dari adanya tumpukan kerang.

“Kerajaan Kupu-kupu" yang dulu pernah disaksikan Alfred Russel Wallace saat ia singgah di Maros, letaknya tidak jauh dari tempat lukisan-lukisan pada dinding gua di Leang-leang. Daerah ini memang dipenuhi banyak serangga yang biasanya terbang di antara tanaman padi yang terbentang luas di sekitar Bantimurung.

Selain di Sulawesi Selatan, lukisan purba ternyata terdapat pula di Pulau Seram yang ditemukan pada tahun 1937. Terdapat sekitar 100 goresan sederhana di pulau itu. Sementara di daerah Muna, Sulawesi Tenggara, ditemukan lukisan purba di Goa Lasabo, Tangga Ara, Metanduno, dan Kobori. Begitu juga di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.

Namun, lukisan-lukisan pada dinding gua di sekitar Maros dan Pangkejene Kepulauan banyak yang menganggapnya sebagai lukisan tertua di dunia.

Penelitian terhadap gua-gua purba itu terus berlanjut, tak berhenti pada van Heekeren, Palm, dan Franssen. Baru-baru ini, lukisan babi kutil (Sus celebensis) ditemukan di Leang Tedonge. Hal ini berdasarkan penelitian para arkeolog dua negara--kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Universitas Griffith Australia. Lukisan babi kutil itu diperkirakan dibuat pada 45.500 tahun yang lalu. Angka itu menunjukan bahwa lukisan dinding di sekitar Maros termasuk lukisan tertua di dunia.

Baca juga artikel terkait LUKISAN atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/irf)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh

Array

Subscribe for updates Unsubscribe from updates