Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Jual beli  merupakan salah satu kegiatan yang pasti terjadi setiap hari dalam kehidupan kita. Baginda Rasulullah SAW pun juga merupakan seorang pedagang yang melakukan kegiatan jual beli. Lalu, bagaimana hukum jual beli itu sendiri menurut pandangan Islam?

Hukum Jual Beli Menurut Hadits dan Al-Qur’an

Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Asal muasal hukum jual beli itu sendiri adalah mubah, atau diperbolehkan. Namun terkadang hukumnya bisa berubah menjadi wajib, sunat, makruh bahkan haram sekalipun, tergantung situasi dan kondisi berdasarkan asal maslahat jual beli itu sendiri.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat yang lain juga disebutkan,

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).

Dalam hadits juga disebutkan dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, No: 2110 dan Muslim, No: 1532)

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’’ (HR. Ahmad, No: 3402).

Hukum Jual Beli Menurut Para Ulama

Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Kemudian secara dalil Ijma’, para ulama sejak zaman Nabi sampai sekarang sepakat bahwa asal muasal jual beli secara umum hukumnya adalah mubah, atau diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat islam. (Kitab Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 9:8)

Karena sejak dulu sampai sekarang jual beli masih tetap ada meskipun bentuknya berbeda, asalkan dengan syarat bahwa dalam jual beli ini mengikuti syari’at, syarat sah dan rukunnya yang sudah diatur dan ditentukan porsinya dalam agama islam.

Begitu pula berdasarkan dalil Qiyas, atau secara logika bahwa manusia  tentu sangat teramat membutuhkan barang-barang yang dimiliki oleh manusia lainnya, dan wasilah atau jalan untuk memperoleh barang manusia yang lain tersebut tentu dengan cara jual beli.

Ada ketergantungan manusia yang satu dan manusia lainnya dalam hal memperoleh uang dan barang. Hal itu bisa diperoleh hanya dengan adanya timbal balik. Oleh karena itu berdasarkan hikmah, jual beli itu dibolehkan untuk mencapai hal yang dimaksud. Dan tentu Islam tidak melarang manusia melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

Ringkasnya, hukum asal jual beli itu halal. Namun, hukum tersebut bisa keluar dari hukum asal jika terdapat hal-hal yang dilarang dalam syari’at. Jual beli yang terlarang itulah yang akan dibahas sedikit dalam artikel ini. InsyaAllah.

Faktor yang Menyebabkan Hukum Jual Beli Menjadi Haram

Faktor pertama adanya Kedzaliman.

Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. “ (Q.S. An-Nisa: 29)

Kedzaliman itu meniadakan aturan suka sama suka atau ridha sama ridha antara dua belah pihak yang bertransaksi, dan juga termasuk dengan memakan harta orang lain dengan jalan yang dilarang syariat.

Terjadi jika salah satu pihak baik itu penjual atau pembeli merasa dirugikan. Contoh, jika seandainya seorang penjual tidak berperilaku jujur dalam berdagang, maka di antara penjual dan pembeli akan timbul perselisihan akibat kecurangan penjual.

Maka dari itu hindarilah segala hal yang dapat mendatangkan keburukan, agar dalam melakukan jual beli ini mendapatkan barakah serta rezeki yang melimpah, sehingga dalam melakukan jual beli tersebut diridhai oleh Allah SWT.

Faktor kedua adanya Gharar (Penipuan).

Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S. Al-Maidah: 90-91).

Kemudian, hadits juga mengatakan yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu:

“Nabi melarang jual beli Hashah (jual beli tanah yang menentukan ukurannya sejauh lemparan batu) dan juga melarang jual beli Gharar.” (H. R. Muslim).

Terjadi jika jual beli ini tidak jelas kesudahannya dan ketidakjelasan itu terjadi pada barang atau harga dalam jual beli itu sendiri sehingga menjadi seperti judi. Ketidakjelasan pada barang disebabkan beberapa hal:

  1. Fisiknya.
  2. Sifatnya.
  3. Ukurannya.
  4. Barang bukan milik penjual itu sendiri.
  5. Barang tidak dapat diserah terimakan.

Selanjutnya, ketidakjelasan harga disebabkan beberapa hal:

  1. Penjual tidak menentukan harga
  2. Penjual memberikan dua pilihan, dan pembeli tidak menentukan salah satunya.
  3. Tidak jelas jangka waktu pembayarannya.

Faktor ketiga adalah Riba,

Menjual barang kepada seorang non muslim yang membutuhkan barang yang kita jual tersebut hukumnya

Menurut bahasa riba itu berarti bertambah. Secara istilah adalah bertambah atau keterlambatan dalam menjual harta tertentu, dan merupakan dosa besar yang membinasakan.

Allah SWT berfirman:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, “ (Q.S. Al- Baqarah: 275)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. “ (Q.S. Al- Baqarah : 276).

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Q.S. Al- Baqarah: 278- 279).

Al-Mawardi berkata: “tidak satu agama samawi pun yang menghalalkan riba”. Allah menjelaskan syari’at umat terdahulu,

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya “(Q.S. An-Nisa: 161) Setiap muslim hendaknya ketika melakukan transaksi jual beli atau selainnya berkewajiban terlebih dahulu untuk mempelajarinya, agar supaya transaksinya sehat dan sah serta terhindar dari transaksi syubhat apalagi haram. Dan ketika kita enggan bahkan cenderung cuek untuk mempelajarinya adalah sebuah dosa dan merupakan kesalahan. Wallahu ta’ala a’lam.

Oleh: Muhammad Iqbal

Pertanyaan (Rica, bukan nama sebenarnya):

Apa hukumnya jual beli peralatan agama lain untuk kebutuhan kegiatan keagamaan mereka?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Pada dasarnya bermuamalah dengan orang non-muslim adalah sah dan tidak dilarang, termasuk bertransaksi jual-beli dengan mereka. Pasalnya, penjual atau pembeli tidak disyaratkan harus muslim.

Namun, bagaimana jika pedagang muslim menjual sesuatu untuk digunakan dalam hari raya agama lain?

Salah satu rukun jual-beli adalah barang yang dijual atau komoditas. Ada beberapa syarat dalam komoditas agar jual belinya menjadi sah dan tidak haram. Salah satu syarat agar jual beli suatu komoditas menjadi sah adalah bermanfaat secara syariat. 

Oleh karena itu, mayoritas ulama menghukumi tidak sahnya menjual berhala (patung untuk disembah) dan salib karena tidak bermanfaat dalam pandangan syariat. 

Imam Abu Hanifah dan sebagian kecil ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa ketika berhala atau salib tersebut terbuat dari bahan berharga seperti emas dan kondisinya masih utuh sebagai berhala atau salib, maka itu haram diperjualbelikan. Namun, ketika berhala atau salib itu pecah atau dipecah, maka pecahannya sah dan boleh diperjualbelikan. 

Ulama besar Ushul Fikih mazhab Syafii Syeikh Ibnu Daqiq Al-‘Id (w. 1302 M/702 H) mengatakan bahwa tiadanya manfaat suatu komoditas menghalangi sahnya jual beli komoditas tersebut. Salah satunya adalah patung untuk sesembahan. 

Demikian pula menurut Ahmad Al-Qalyubi (w. 1659 M/1069 H) yang menghukumi tidak sahnya jual-beli salib meskipun terbuat dari emas atau perak. Beliau berkata:

وَمِثْلُهَا فِي عَدَمِ الصِّحَّةِ الصُّوَرُ وَالصُّلْبَانُ وَلَوْ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ  أَوْ حَلْوَى

Seperti halnya alat permainan dalam hal tidak sah jual-belinya adalah gambar dan salib meskipun terbuat dari emas, perak, atau manisan.

Larangan menjual berhala ini didasarkan pada sabda Rasulullah ﷺ:

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi, dan berhala-berhala (HR. Bukhari no. 2236). 

Alasan (‘illat) tidak sahnya jual-beli khamr, bangkai, dan babi adalah najis. Sedangkan ‘illat-nya berhala adalah tidak bermanfaat. Hukum menjual salib diqiyaskan (dianalogikan) dengan berhala. Diharamkan pula memahat dan membuatnya. 

Ulama fikih mazhab Syafii Al-Qadhi Husain (w. 462 H) mengatakan bahwa hadis di atas mengandung hukum larangan atau tidak boleh menjual sesuatu yang tidak halal dimanfaatkan. Dan uang hasil jualannya menjadi haram dimakan.

Bedanya sah dan halal 

Dalam jual beli, hukum sah dan halal adalah dua hal yang berbeda. Konsekuensi dari jual-beli yang sah adalah berpindahnya kepemilikan komoditas dari penjual ke pembeli. Sedangkan konsekuensi dari jual-beli yang tidak sah adalah tidak berpindahnya kepemilikan. 

Transaksi jual beli yang sah tidak selamanya dihukumi halal. Adakalanya suatu transaksi dihukumi sah, tetapi haram. Misalnya, menjual anggur kepada seseorang yang diyakini akan menjadikannya khamr

Hukum sah dilihat dari aspek bahwa anggur adalah buah-buahan yang halal, suci, dan bermanfaat. Sedangkan hukum haram adalah karena membantu atau memberi jalan kepada orang lain dalam sesuatu yang diharamkan. Membantu orang lain dalam hal keharaman memiliki hukum haram. 

Allah berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (QS. Al-Ma’idah [5]:2).

Menjual peralatan ibadah agama lain 

Pertama, perlu ditegaskan bahwa Islam menghormati hak umat lain untuk beribadah dengan leluasa dan menjunjung tinggi proteksi rumah ibadah umat lain. Hal ini adalah perintah Allah dan Rasul-Nya. 

Namun, perlu dipahami juga bahwa kegiatan ritual agama selain Islam dan perayaan hari-hari besar agama mereka yang di dalamnya terdapat penyembahan dan pengagungan pada selain Allah adalah sesuatu yang batil dan haram. 

Menolong mereka dalam memfasilitasi dan meramaikannya adalah membantu dalam keharaman. Salah satu bentuk pertolongan tersebut adalah dengan menjual alat-alat dan pernak-pernik spesifik yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Misalnya, menjual salib, patung dewa-dewi, sesajen dewa-dewi, gambar malaikat, lilin natal, pita natal, topi sinterklas, rusa natal dsb. 

Sementara itu, barang-barang umum yang tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah seperti misalnya air mineral, snack, kopi, dsb. maka boleh untuk diperjualbelikan. 

Misalnya, seorang muslim membuka toko kelontong tidak jauh dari gereja, lantas jemaat gereja ingin membeli satu dus air mineral. Maka, si muslim pemilik toko kelontong itu diperbolehkan menjual air tersebut kepada jemaat gereja. Karena komoditas yang dijualnya bersifat umum. Dengan kata lain, komoditas tersebut tidak berkaitan dengan ritual ibadah. Menjadi haram hukumnya bila si muslim menjual salib atau hiasan natal yang akan digunakan dalam ritual di gereja tersebut. 

Kesimpulan

Sahabat KESAN yang budiman, dalam Islam, jual beli komoditas yang diyakini dan jelas diperuntukkan kegunaannya untuk sebuah ritual agama selain Islam tidaklah diperbolehkan. Namun, bila barang-barang itu umum sifatnya dan tidak terkait dengan ritual ibadah agama selain Islam, maka hal itu diperbolehkan untuk diperjualbelikan.  

Islam juga mengajarkan untuk menghormati hak umat lain untuk beribadah dengan bebas dan menjunjung tinggi perlindungan tempat ibadah umat lain. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, yang luhur yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. 

Wallahu a'lam bish-shawabi. 

Referensi: Shahih Muslim Bisyarh An-Nawawi; An-Nawawi, Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Hasyiyata Al-Qalyubi wa ‘Amirah; Al-Qalyubi dan Al-‘Amirah, Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim; Ibn Taimiyah.

 ###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan. 

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke