Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling

PERKONGSIAN 1 HARI 1 HADIS *Mukmin Paling Sempurna Iman Paling Baik Akhlak* عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُهُمْ خِيَارُهُمْ لِنِسَائِهِمْ _*Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang terbaik di antara mereka adalah yang terbaik terhadap isteri-isterinya.”*_ (HR Ahmad No: 7095) Status: Hadis Sahih *Pengajaran:* 1.  Akhlak adalah ukuran keimanan seseorang. 2.  Mukmin yang paling sempurna iman adalah yang paling baik akhlak. 3. Akhlak terpuji dengan saling berkasih sayang, bersifat rahmah sesama insan, tidak menghina, mentohmah dan mengadu domba berkait rapat dengan kesempurnaan iman seseorang. 4.  Orang yang terbaik adalah yang paling baik terhadap isteri mereka. 5.  Berakhlak baik pada isteri berkait rapat dengan tahap iman seseorang. *Jadilah orang yang paling berakhlak dalam kehidupan termasuk dalam berkeluarga untuk menjadi mukmin yang paling sempurna.*

#Malaysia Menuju Negara Rahmah#

Pertubuhan IKRAM Malaysia Negeri Johor
23hb Februari  2017

26hb Jamadil Awal 1438H

Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling

Mukmin Yang Terbaik Adalah Yang Paling Baik Akhlaknya

Lafaz Hadis

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» ، قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ»

Artinya: Dari sahabat Ibnu Umar bahwasannya ia berkata: Dahulu aku bersama Rasulullah maka seseorang dari kaum anshor mendatangi beliau dan mengucapkan salam. Kemudian berkata: ‘Yaa Rasulullah! Mukmin mana yang paling afdal?’ Rasulullah bersabda: “Yang paling baik akhlaknya.” Dia berkata lagi, ‘Mukmin mana yang paling cerdas?’ Rasulullah bersaba: “Yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik mempersiapkan untuk setelah kematian, mereka itulah yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah. No. 4259)

Biografi Periwayat Hadis

Dia adalah Abu Abdirrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab Radiallahu ‘anhuma. Sahabat yang mulia, salah satu yang menjadi icon dalam ilmu dan amal. Beliau masuk islam di usia muda bersama ayahnya Umar bin Al-Khattab. Peperangan yang pertama kali beliau ikuti adalah perang khondaq, karena pada peperangan sebelumnya dia masih kecil. Beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keilmuan yang luas, bahkan ketika Nabi wafat banyak orang-orang yang bertemu beliau untuk belajar. Beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa. Dan beliau sangat bersemangat dalam mengikuti sunah-sunah Nabi, beliau wafat pada tahun 73 H di mekah (al-Fauzan, 2007. Hal. 35).

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam sunannya, nomor 4259 pada bab mengingat kematian dan mempersiapkannya. Syaikh Al-Albani menghukumi bahwa hadis ini hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitabnya Silsilah Ahadis As-Shahihah no. 1384 (Ibnu Majah, 1985).

Penjelasan Hadis

Hadis ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadis yang menunjukan keutamaan akhlak yang mulia, dalam hadis ini Nabi menjawab pertanyaan salah seorang sahabat tentang siapakah yang paling mulia di kalangan orang-orang mukmin maka beliau bersabda, mukmin terbaik adalah yang paling baik akhlaknya. Dalam riwayat lain beliau bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Abu Dawud)

Nabi Muhammad menjadikan akhlak mulia sebagai parameter keimanan seseorang, semakin baik akhlak seseorang maka semakin baik pula imannya. Nabi Muhammad merupakan contoh terbaik dalam meneladani akhlak yang mulia. Allah memujinya dalam firman-Nya:

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak mulia” (Al-Qalam: 4)

Bahkan tujuan Nabi diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”(HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam adabul mufrad, dan Al-Baihaqi)

Dalam hadis yang lain, Nabi Muhammad mendefinisikan bahwa kebajikan adalah akhlak yang mulia. Dalam hadis An-Nawwas bin Sam’an, saat itu ia radiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah tentang kebajikan dan dosa. Maka Rasulullah pun menjawab, “kebajikan adalah akhlak yang mulia” (HR. Muslim no. 2553). Dari semua kebajikan dan kebaikan yang ada, Rasulullah mengkhususkan penyebutan akhlak yang mulia, hal ini menunjukkan akan keutamaan dan keistimewaan akhlak yang mulia (Andirja, 2021). Maka tak heran banyak sekali dalil syariat yang menunjukkan akan keutamaan dan keagungan akhlak yang mulia, diantaranya Nabi mengabarkan bahwa salah satu yang paling berat timbangan kebaikan seseorang adalah akhlak yang mulia.

مَا مِنْ شَيءٍ أَثْقَلُ في ميزَانِ المُؤمِنِ يَومَ القِيامة مِنْ حُسْنِ الخُلُقِ

Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat pada timbangan (kebaikan) seorang mukmin di hari kiamat melebihi akhlak yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata hadis ini hasan sahih)

Syaikh Bin Baz Rahimahullah menjelaskan bahwa hadis yang semisal ini adalah sebagai motivasi dan dorongan agar kaum muslimin memperbaiki akhlaknya, dan tentunya hal ini butuh akan kesungguhan dan kesabaran. Lebih lanjut Ustadz Andirja (2021), memberikan nasihat bahwa hendaknya kita jangan sekali-kali menjadikan tabiat dan watak yang kita miliki sebagai alasan untuk tidak berakhlak mulia. Seperti perkataan “Saya memang begini orangnya, suka marah, jarang senyum dll” perkataan ini menyiratkan seolah-olah semua itu tidak dapat diubah. Padahal Allah dan rasul-Nya senantiasa memotivasi untuk berakhlak yang mulia, yang menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki akhlaknya, merubah perilakunya agar menjadi lebih baik jika ia mau melakukannya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:

من يتصبر يصبره الله

Artinya: “Barangsiapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan menjadikannya penyabar”(HR. Al-Bukhari no. 1469).

Orang yang dahulunya tergesa-gesa, tidak sabaran, mudah emosi bisa berubah atas izin Allah menjadi penyabar dengan usaha dan kesungguhan. Oleh karenanya untuk meraih derajat mukmin terbaik diperlukan usaha dan kesungguhan yang kuat untuk merubah dan memperbaiki akhlaknya.

Sebagian ulama merumuskan akhlak mulia pada beberapa poin, sehingga kaum muslimin lebih bersemangat untuk meraihnya. Diantaranya adalah perkataan Imam al-Hasan al-Bashri Rahimahullah ia berkata: “Hakikat akhlak yang mulia adalah mudah berbuat baik, menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain, serta menampakkan wajah yang ceria.” Maka dari perkataan beliau kita bisa menumpulkan tiga rukun akhlak yang mulia, yaitu

  1. Ringan tangan, mudah membantu orang lain.
  2. Menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain.
  3. Menampakkan wajah yang ceria, berseri-seri, murah senyum kepada orang lain, tidak merendahkan serta meremehkannya (Andirja, 2021).

Kesimpulan

Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek dalam kehidupan. Sehingga Allah telah memberikan kemudahan untuk menjalankan syariat-Nya dan banyak memberikan motivasi dan anjuran untuk berbuat kebajikan. Diantara bentuk kemudahan yang Allah berikan adalah Allah mengutus Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak mulia yang dengannya seseorang bisa menjadi mukmin terbaik, semakin baik akhlaknya maka semakin baik pula keislamannya, semakin baik akhlaknya maka makin sempurna keimanannya, semakin baik akhlaknya maka semakin dekat kedudukannya dengan Rasulullah, semakin baik akhlaknya maka semakin berat timbangan kebaikannya di akhirat kelak.

Daftar Pustaka

Lidwa. (2015). Ensiklopedi Hadis-Kitab 9 Imam (versi 4.0.1) [Aplikasi Komputer].

Andirja, Firanda. (2021). Syarah Kitabul Jami’. Ustadz Firanda Andirja Office.

Bin Baz, A.A. (n.d.). Min hadis maa saiun atsqola fil mizanil mukmin yaumal qiyamah min husnil khuluq [Halaman Web]. Diakses 1 Desember 2021, dari https://binbaz.org.sa/audios/2537

Al-Hawari, Y,A,M (2016). Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlak (Khutbah) [Halaman Web]. Diakses 1 Desember 2021, dari https://www.alukah.net/sharia/0/108077/

Ibun Majah, M.Y (1985). Sunan Ibnu Majah. Maktabah Al-Ma’arif: Riyadh

Baca juga artikel:

Bahayanya Sifat Hasad

Donasi Pembangunan Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur

Banyak hal tidak masuk akal sehat terjadi di sekitar kita. Tidak hanya sekali, tetapi sering kali berulang. Nurani kita ditantang untuk menjelaskan.

Berikut contohnya. Pertama, pejabat publik yang pendapatannya sangat tinggi masih terlibat korupsi. Tidak jarang, tindakan itu dijalankan secara berjemaah. Kedua, untuk mempercayai bahwa eksploitasi hutan tanpa kendali bisa memicu bencana, tidak memerlukan kecerdasan yang tinggi. Tetapi, banyak perusahaan yang mengabaikan keselamatan orang lain. Banjir di beragam tempat terjadi karena ini.

Ketiga, kasus pekan ini di Bandara Kualanamu membuat nurani kehabisan kata-kata. Tes usap antigen yang seharusnya mengamankan perjalanan dari penularan Covid-19, berubah menjadi bencana. Pengawal tes justru menggunakan alat pengambil sampel bekas. Perkiraan keuntungan yang diraup karena praktik di luar nalar ini mencapai miliaran.

Motivasi finansial, sebagai eufemisme dari dari keserakahan, seringkali mengemuka sebagai alasan tindakan koruptif. Sederet alasan lain tentu bisa muncul. Namun, ada satu penjelas asasi untuk semua tindakan tuna nurani tersebut, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah) yang dilupakan.

Akhlak mempunyai akar kata sama dengan khalik (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan). Karenanya, akhlak tidak hanya mempunyai dimensi horisontal dengan sesama makhluk (termasuk diri sendiri dan alam), tetapi juga dimensi vertikal dengan Allah. Karena inilah, konsep akhlak menjadi menyeluruh.

Akhlak mulia menjadi penciri kesempurnaan iman. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR Tirmidzi, Riyadlu Al-Shalihin:278). Hadis lain menegaskan jika misi utama Rasulullah diutus adalah menyempurnakan akhlak yang mulia.

Menurut Al-Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang tercermin dalam tindakan tanpa pemikiran dan pertimbangan. Tindakan yang muncul bersifat otomatis karena sudah terbiasakan, baik itu akhlak mulia atau tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Pembiasaan inilah yang memerlukan konsistensi.

Tindakan koruptif jelas masuk ke dalam akhlak tercela. Agak sulit membayangkan muncul “keberanian” melakukan korupsi besar, jika belum terbiasa dengan yang tindakan koruptif kecil atau yang berulang. Atau, paling tidak, nilai-nilai yang dianut pun longgar dan cenderung permisif terhadap tindakan koruptif. Nurani pelaku sudah tidak sensitif menangkap sinyal kebaikan.

Puasa Ramadan diharapkan dapat mengasah sensitivitas nurani, menjadikannya lebih peduli dengan sesama makhluk dan makin dekat dengan Sang Pencipta. Puasa oleh Ibnu Arabi dalam Kitab Al-Futuhat Al-Makkiyyah disebut sebagai persaksian (musyahadah) terhadap Allah, karena ditunaikan hanya untukNya dan di dalamnya ada keterpanaan hamba terhadap Tuhannya berupa ketaatan menjalankan perintah yang berlawanan dengan kodratnya. Tujuan ultima dari puasa adalah derajat takwa, yang diibaratkan sebagai kehati-hatian dalam melangkah di jalan yang penuh duri.

Oleh Nabi Muhammad saw., akhlak mulia disandingkan dengan takwa. “Bertakwalah kamu di manapun kamu berada, dan iringilah setiap keburukan dengan kebaikan yang dapat menghapuskannya, serta pergauilah orang lain dengan akhlak mulia” (HR Tirmidzi, Al-Arba’un Al-Nawawiyyah:18). Inilah dimensi spasial takwa yang tidak mengenal tempat, alias di mana pun. Takwa juga berdimensi temporal yang hanya dibatasi ketika maut menjemput, alias sepanjang hayat (QS Ali Imran:102).

Dari kacamata manusia, takwa akan terpancarkan menjadi akhlak mulia ketika berinteraksi dengan sesama. Karenanya, sangat sulit memahami ketika seorang muslim yang rajin beribadah, dengan ringan menghinakan orang lain atau tidak peduli dengan keselamatan sesama. Kemuliaan manusia di sisi Allah Swt. ditentukan oleh konsistensinya dalam bertakwa (QS Al-Hujurat:13).

Takwa bukan status setempat atau sesaat, tetapi melintasi ruang dan waktu, karena ada aspek konsistensi di dalamnya. Demikian juga halnya dengan berakhlak mulia sebagai cerminan takwa. Bertakwa dan berakhlak mulia tidak kadang kala atau jika sempat saja.

Semoga Allah selalu memudahkan kita.

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Hikmah Ramadan SKH Kedaulatan Rakyat, 3 Mai 2021.