Pelaksanaan hukuman rajam harus berada ditengah keramaian apakah hikmah dari ketentuan tersebut

Jakarta -

Islam mengatur ancaman bagi yang melakukan zina baik laki-laki maupun perempuan dalam surah An Nur ayat 2. Sebab zina sendiri dianggap sebagai perbuatan keji dan haram bagi Allah SWT.

Berikut adalah bacaan surah An Nur ayat 2 yang berisi tentang hukuman dari para pelaku zina:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Bacaan latin: Arab-Latin: Az-zāniyatu waz-zānī fajlidụ kulla wāḥidim min-humā mi`ata jaldatiw wa lā ta`khużkum bihimā ra`fatun fī dīnillāhi ing kuntum tu`minụna billāhi wal-yaumil-ākhir, walyasy-had 'ażābahumā ṭā`ifatum minal-mu`minīn

Artinya: "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman."

Tafsir Kemenag dan Ibnu Katsir

Adapun tafsir dari Kementerian Agama, surah ini mengandung ketentuan hukum perzinaan bagi pezina perempuan maupun laki-laki yang belum pernah menikah. Hukumannya berupa deraan untuk masing-masing pezina sebanyak seratus kali jika perbuatannya terbukti benar.

Kemudian pelaksanaan hukuman bagi para pezina hendaknya disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman, sedikitnya tiga atau empat orang. Sebab hal itu akan menjadi pelajaran bagi pihak-pihak yang melihat dan mendengarnya.

Sementara itu, tafsir dari Ibnu Katsir menjelaskan maksud dari kalimat berikut:

وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ

Artinya: "...dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah..."

Kalimat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT melarang untuk berbelas kasihan pada pelaku zina. Belas kasihan yang dilarang ini bukanlah belas kasihan yang manusiawi saat menimpa­kan hukuman had.

Namun, belas kasihan yang dimaksud adalah belas kasihan yang mendorong hakim untuk membatalkan hukuman had. Hal inilah yang tidak diperbolehkan.

Lebih lanjut, maksud dari arti surah An Nur ayat 2 yang menyebutkan hukuman harus disaksikan oleh banyak orang artinya eksekusi harus dilaksanakan secara terang-terangan. Pendapat mengenai jumlah yang dimaksud dari ayat ini berbeda-beda dari beberapa ahli tafsir.

Pendapat dari ahli tafsir Sa'id ibnu Jubair menyebutkan arti dari, "Sekumpulan orang-orang yang beriman," adalah lebih dari dua orang laki-laki. Az-Zuhri mengatakan tiga orang lebih, Imam Syafi'i menyebut empat orang lebih, menurut Rabi'ah adalah lima orang, sementara Al-Hasan Al-Basri mengatakan sepuluh orang.

Lebih lanjut, ahli tafsir Qatadah mengatakan bahwa Allah telah memerintahkan agar pelaksanaan eksekusi keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman, agar hal tersebut dijadikan sebagai pelajaran dan pembalasan bagi pezina dan juga orang lain.

Selain itu eksekusi dilakukan secara terang-terangan bukan bermaksud untuk mempermalukan para pezina. Namun, dengan harapan para pezina dapat didoakan supaya diterima taubatnya dan mendapatkan rahmat dari Allah SWT.

Setelah mengetahui maksud dari surah An Nur ayat 2, semoga kita semua bisa terlindungi dari hukuman dan siksaan dari Allah SWT. Aamiin.

(nwy/nwy)

DAKTA.COM - Oleh: Ayin Harlis (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)

Infeksi menular seksual (IMS) menjadi tren ancaman penyakit bagi remaja Bekasi. Selama Januari hingga Agustus 2019, tercatat 696 penderita kasus ini. 256 orang sudah diobati. Sisanya 440 belum ditangani. Angka ini diprediksi akan terus bertambah. Sementara tahun 2018 lalu, terdata 760 kasus penyakit menular seksual di Bekasi.

Penyakit infeksi menular seksual (IMS) banyak diderita oleh seseorang yang berperilaku seks bebas. Penyakit ini juga rentan diderita oleh pelaku LGBT. Seseorang dengan penyakit IMS akan mudah terpapar HIV/AIDS. Mirisnya, pasien yang sembuh dari penyakit IMS seringkali mengulang kembali gaya hidupnnya yang merusak. ”Begitu terus terulang. Padahal rawan terpapar HIV, seharusnya sudah tidak berperilaku seperti itu,” ungkap Kabid Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Dezy Syukrawati (metro.sindonews.com, 27/08/2019).

Tak henti-henti kabar buruk akibat perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang menghantui masyarakat.  Sayangnya, petugas medis hanya pihak yang berusaha mengobati akibat yang sudah terjadi dari perbuatan keji ini sebagai upaya kuratif. Dengan kata lain hanya cuci piring. Padahal hulu masalah perilaku seks bebas dan seks menyimpang tak pernah secara serius ditumpas sebagai upaya preventif munculnya penyakit IMS dan penyakit lain yang lebih parah, yaitu HIV/AIDS.

Perilaku seks bebas dan menyimpang di kota besar seperti Bekasi disinyalir semakin merajalela. Gaya hidup individualis dan lemahnya kepedulian masyarakat terhadap orang di sekitarnya menjadikan benteng adab dan etika tak lagi berlaku. Gempuran pemikiran liberalism dan hedonism yang tersaji di tengah fasilitas megah perkotaan tak lagi menjunjung norma dan nilai agama. Bahkan perangkat-perangkat aturannya sebagai penuntun manusia dianggap wacana yang bergema saat khutbah di masjid saja.

Saatnya Mengambil Hikmah

Allah yang Maha Pencipta. Tak pernah mencitakan makhluknya sia-sia. Bahkan sesepele apapun itu. Termasuk virus yang ukurannya saja sangat kecil hingga tak kasat mata. Di antara virus itu tercipta sebagai peringatan bagi manusia yang mau berpikir.

"Ya Tuhan kami, yang Engkau ciptakan ini tiada sia-sia. Mahasuci Engkau, dan peliharalah kami dari azab api neraka". (QS. Ali Imran, 191).

“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir; maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka”. (QS. Shâd, 27).

Virus penyebab penyakit klamidia dan virus HIV merupakan salah satu contohnya. Ia umumnya menyerang pelaku seks bebas dan meyimpang sebagai peringatan agar pelakunya menjauhi gaya hidup penuh maksiat itu.

Tak hanya ciptaan Allah yang ada di dunia ini yang pasti dapat diambil hikmahnya. Semua aturan yang datangnya dari Allah pun akan membawa maslahat bagi manusia. Ketika Allah melarang berdua-duaan antara perempuan dan lelaki, sejatinya aturan itu merupakan instrument preventif dari kemaksiatan yang lebih besar, yaitu perzinaan. Kemaksiatan ini bahkan dilabeli sebagai perilaku keji.

Berbeda dengan kapitalisme yang tak menghukum zina sebagai tindakan kriminal, Islam justru memberi sanksi tegas bagi pelakunya. Sanksi ini menjadi upaya kuratif menghentikan penularan penyakit menular seksual, selain mengupayakan tindakan medis dan pengembangan obat bagi penyakit yang belum dapat disembuhkan. Beratnya hukuman rajam dan seratus kali cambuk memaksa jera pelakunya. Memaksa menahan diri bagi yang ada niat dalam hatinya.

Namun demikian, meskipun sebagai manusia yang pendek akalnya kita belum mengetahui hikmah-hikmah lain dari aturan Islam yang ada, ketundukan diri terhadap seluruh petunjuk Allah adalah niscaya. Jangan sampai karena jumawa, kita merasa tak butuh, enggan bahkan mencemooh aturan Islam dengan berbagai tuduhan. Karena besarnya jumawa itu bisa jadi luruh hanya dengan makhluq kecil yang menjangkiti tanpa kita menyadarinya.

“… Maka jika datang kepadamu petunjuk-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS. Thaha, 123). **

DOI: 10.21580/at.v7i2.1209

  • Abstract
  • Licensing
  • How to cite

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu atau sejenisnya sampai mati. Keberadaan hukuman rajam dalam ketentuan hukum pidana Islam ini merupakan hukuman yang telah diterima oleh hampir semua fuqaha, kecuali kelompok Azariqah dari golongan Khawarij. Menurut mereka hukuman untuk  jarimah zina, baik muhshan maupun ghairu muhshan adalah hukuman jilid seratus kali berdasarkan firman Allah dalam QS. al-Nur: 2, sehingga mereka tidak menerapkan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Sedangkan fuqaha’ yang menyepakati hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan berpendapat bahwa hadits shahih yang berkenaan dengan hukuman rajam dapat mentakhsis QS. al-Nur: 2 tersebut di atas.

Hasil penelitian ini adalah jika dilihat dari setting historis, maka penetapan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan itu didasarkan kepada hadits Nabi, baik secara qauliyah maupun fi’liyah. Akan tetapi, ada kesulitan dalam membedakan antara status teks sunnah mengenai apakah teks sunnah tersebut menjelaskan wahyu atau tidak. Hal ini dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam dalam hukum pidana Islam itu bukan berasal dari syari’at Islam itu sendiri semata-mata, tetapi yang pasti bahwa hukuman rajam adalah berdasarkan nash atau ajaran agama sebelumnya, yaitu nash dalam Kitab Taurat. Hal ini dapat dilacak dari dasar normatif yaitu hadits-hadits Nabi yang mengacu kepada penerapan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan. Setidaknya Rasulullah saw., telah empat kali melaksanakan atau minimal memberitahukan pelaksanaan hukuman rajam bagi pelaku zina muhshan.

Keywords: Zina muhshan; rajam; nash; hukum pidana

Pelaksanaan hukuman rajam harus berada ditengah keramaian apakah hikmah dari ketentuan tersebut
Copyright (c) 2017 At-Taqaddum : Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam