Siapa saja yang termasuk dalam Angkatan 66?

Siapa saja yang termasuk dalam Angkatan 66?


1.      Latar Belakang Munculnya Sastra Angkatan ‘66

Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror  politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.

Sebelum nama angkatan ‘66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.

Istilah angkatan 66 pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam sebuah karangannya dalam majalah Horison (Agustus 1966), yang bertajuk “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Yang termasuk angkatan 66, menurut H.B. Jassin ialah “mereka yang tak kala tahun 1966 masih berumur kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang tahun ’66 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilh yang telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya Indonesia, Konfrontasi, Cerita Prosa, Sastra, Basis, dan lain-lain.

            Masih menurut Jassin, “nama-nama seperti Ajib Rosidi, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Adangdjaja, Mansur Samin, Saribi Afn., Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokor Hutta Suhhut, dan banyak lagi yang lain dapat dicatat sebagai angkatan 66. Jadi, yang termasuk angkatan 66 ini tidak hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak perlawanan pada permulaan tahun 1966, melainkan juga mereka yang telah tampil beberapa tahun sebelumnya dengan suatu kesadaran”. Itulah tentang angkatan 66, walaupun mengundang beberapa pendapat yang pro dan kontra, tentang ada tidaknya angkatan 66 ini. Namun, sebagai peristiwa sastra patut dicatat sebagai peristiwa sejarah sastra Indonesia.

2.    Ciri-ciri Angkatan ’66

Karya sastra masa 60-an dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama masa antara tahun 60-sebelum 66, dan kelompok kedua tahun 60-70. Pada kurun masa pertama (60-sebelum 66), merupakan masa kejayaan para pengarang Lekra yang bernaung dibawah panji-panji PKI. Pada masa ini pengarang yang tidak tergabung di dalam Lekra kurang berkembang kreativitasnya karena manifes kebudayaan yang menjadi konsepsi pemikiran dilarang. Walaupun demikian, mereka tetap berkarya dan menghasilkan puisi-puisi yang bercorak keagamaan.

Masa 66 sampai 70 didominasi oleh karya-karya yang beraliran realisme sosial kanan (Waluyo, 1995; 62). Termasuk di dalamnya puisi-puisi demonstrasi Taufik Ismail, Mansur Samin, Bur Rusuanto, Slamet Sukirnanto, dll. Pada masa ini karya sastra lebih banyak dikenal adalah karya sastra berbentuk puisi, terutama uisi-puisi demonstrasi atau protes sosial. Dengan demikian, dalam membicarakan ciri karya sastra, masa 60-an lebih banyak berbicara tentang ciri puisi.

Sehubungan dengan itu, Ajip Rosidi (1991: 175), mengatakan “Dalam periode ini, berlainan dengan dalam lapangan puisi dan esai, kita menyaksikan munculnya penarang-pengarang yang produktif dalam lapangan penulisan buku-buku cerpen atau roman dan drama, tetapi hampir-hampir tak ada yang istimewa menonjol.” Selanjutnya iya menyatakan, bahwa “Buku-buku prosa yang mejulang pada periode ini umumnya buah tangan para pengarang yang sudah kita kenal sebelumnya.”

Berbicara tentang ciri puisi masa 60-an, Waluyo (1995:62) menyatakan bahwa “Ciri-ciri struktur fisik puisi tersebut sama dengan puisi periode 50-an. Karena tema protes sosial dikemukakan begitu berapi-api, maka selogan dan retrorik sangat kuat.”

2.      menggunakan gaya repetisi;

3.      menggunakan gaya selogan dan retorik.

2.      masalah sosial; kemiskinan, penagguran, perbedaan kaya/miskin; demonstrasi; dan

b.    Ciri-Ciri Prosa dan Drama

       Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih menunjukan struktur fisik konvesional. Seperti dikatakan oleh Sumarjo (1992: 308) “Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun1950-an dan 60-an di Indonesia.”

       Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, alur, dan latar ceritanya. Bahkan berdasarkan catatan Sumarjo (1992:309), “Dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia, watak,dan latar belakang sosiologisnya.”

Prosa fiksi dan drama tahun 60-an menunjukkan ciri-ciri tema  sebagai berikut:

1.      perjuangan (belatar revolusi);

            Berikut ini dikemukakan beberapa tokoh penting kepengarangan masa 60-an. Termasuk di dalamnya penyair yang diklasifikasikan oleh H.B. Jassin sebagai penyair angkatan 66.

Taufik Ismail adalah pelopor puisi-puisi demonstrasi. Puisi-puisi Taufik Ismail menjadi ciri bagi apa yang disebut angkatan 66 oleh H.B. Jassin. Puisi-puisinya adaalah puisi yang mengungkapkan tuntutan membela keadilan dan kebenaran. Puisi Taufik juga disebut sebagai puisi yang menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam perpuisian Indonesia yang selama kurang lebih lima tahun dikuasi oleh pengarang-pengarang Lekra.

Taufik Ismail dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 25 Juni 1937. Ia menamatkan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (sekarang IPB) di Bogor. Pernah menjadi ketua Federasi Teater Bogor, anggota Dewan Kesenian Jakarta (sejak 1973). Sejak tahun 1966 menjadi redaktur majalah Horizon. Selain itu, ia juga pernah mengikuti Konferensi PEN Asia di Taipe dan Seoul pada tahun 1970, Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), Internasional Writing Program di Universitas Lowa (1971-1972), dan Kongres Penyair Sedunia di Taipe (1973). Ia menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1970.

Kumpulan sajak-sajaknya ialah Tirani (1966), Benteng (1966), Puisi-Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Musium Perjuangan (1969), dan Sajak-Sajak Ladang Jagung (1973). Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisinya tidak semua uisi demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi yang bukan puisi demonstrasi. Umpamanya puisi-puisi dalam Sajak-Sajak Ladang Jagung yang berlatar belakang suasana Lowa City Amerika Serikat, atau puisi-puisinya yang bersumber pada tarih dan hadits yang lebih bernuansa keagamaan.

Seperti halnya kesuksesannya dalam menulis puisi demonstrasi, Taufik sukses pula dalam puisi yang bernuansa keagamaan. Puisi-puisi Taufik banyak yang ditransformasikan ke dalam lagu bernuansa keagamaaan oleh kelompok musik Bimbo (dari Bandung).

Goenawan Mohamad lahir di Batang (Jawa Tengah) pada tanggal 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe, Bruge, Belgia (1965-1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas Harvard (1989/1990). Ia pemimpin redaksi majalah Tempo (sejak 1971), pemimpin majalah Swasembada (198 5). Pernah juga menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Ekspress (1970-1971), redaktur Horison (1967-1972). Sejak 1972 menjadi salah seorang Dewan Penasehat majalah ini. Ia juga tercatat sebagai pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985). Selain karirnya di bidang kewartawanan, redaktur, dan penulis, ia juga pernah menjadi anggota MPR (1987).

Mengenai penghargaan, penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI pada tahun 1972. Tahun 1981 mendapat Hadiah Sastra Asean. Beberapa esainya yang mendapat hadiah dan penghargaan adalah “Alam dalam Tangkapan Pertama Puisi” dan “Agama Alam Penciptaan Seni” memenangkan hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1962. “Revolusi sebagai Kesusastraan dan Kesusastraan sebagai Revolusi” dan “Seribu Slogan dan Sebuah Puisi” mendapat hadiah pertama Majalah Sastra tahun 1963. “Sex Sastra Kita”, mendapat penghargaan majalah Horison tahun 1969. Karya-karyanya berupa sajak telah dibukukan dengan judul “Parikesit” (1971), dan Interlude (1973). Sedangkan kumpulan esainya berjudul Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Sex Sastra Kita (1981), Catatan Pinggir 2 (1989).

(Catatan: dari kisah Prabu Nagling Darma yang mahir bahasa binatang. Ia mengalaami nasib kurang baik, ketika harus berbohong kepada permaisurinya tentang pembicaraan cicak).

Di bawah ini esainya yang berjudul “Potret Seorang Penyair Muda Si Malin Kundang”.

            Malin Kundang telah terkutuk, dan tak seorang pun mencoba memahaminya. Perahunya kandas di depan pantai, dan dalam legenda disebutkan bahwa  pemuda durhaka itu kemudian menjadi batu. Ibunya elah mmengucapkan kutuk atas dirinya. Perempuan yang miskin itu kecewa dan sakit hati: anak tunggalnya tak mau mengenalinya lagi ketika ia singgah sebentar di desa kelahirannya sebagai seorang kaya setelah mengembara bertahun-tahun. Dan kisan turun-temurun itu pun berkata, bahwa dewa-dewa telah memihak sang ibu. Ini berarti semua soal berakhir dengan beres : bagaimanapun setiap pendurhaka harus celaka. Tak seorang pun patut memaafkan si Malin Kundang. Kita tak pernah merasa perlu memahami  perasaan-perasaannya.

            Pada umur yang kedelapanbelas, seorang anak menulis sajak. Ia tak tahu kenapa seorang harus jadi penyair. Namun pada umur kesembilanbelas, setahun kemudaian, anak muda itulah yang juga menulis: “salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasannya dari sikap kolektif yang mengikat diri, dan bahaya orang yang terlalu memperhatikan rumus-rumus umum yang dikenakan di atas kesadaran kesorangannya ialah terbentuknya diri dalam lingkungan  kolektivisme,sehingga hasilnya tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi suara umum dan penyodor kemutlakan ajaran penyair mana pun yang baik, kehadirnnya mula pertama adalah seorang penyair. Lebih jauh lagi : seorang manusia dengan semua masalahnya, dalam suatu hidup.  Hasil satranya pun bukan hasil suatu eksemplar  dari suatu jumlah, tetapi hasil dari keseorangan yang betul-betul utuh”.

            Beberapa tahun lamanya ia terlupa pada esai angkuh yang pertama kali tulisnya dalam hidup itu. Namun rupanya ia telah menuliskan suatu sikap yang kemudian berlanjut terus dalam dirinya, tanpa sepenuhnya ia sadari.  Akanya sejak mula kesusasteraan telah membuka diri baginya dan ia telah mencicipi kemardekaan. Adam telah mencicipi buah khuldi itu. Maka ia pun dilemparkan dari sorga ke dunia : anak muda itu telah berpindah dari ketentraman sunyi seorang anak, kepada dunia penciptaan yang gelisah. Dari Potret Seorang Penyair Muda Si Malin Kundang

             Goenawan Mohamad, seperti juga Taufik Ismail, “dapat dikatakan penyair senior  yang wawasan estetiknyabanyak diikuti oleh penyair-penyair yang lebih muda,...”  (Waluyo:246). Selain itu, Goenawan Mohamad juga termasuk pelopor Angkatan 66.

            Lahir pada tanggal 29 April 1930 di Batangtoru, Sumatra Utara. Pendidikan terakhir SMA Solo. Sejak pemulaan tahun 66 ia pindah ke Jakarta dan mengikuti dari dekat pergolakan mahasiswa dan pelajar dalam KAMI dan KAPPI. Pernah menjadi guru, redaktur Siaran Sastra RRI Solo, redaktur Mingguan Adil  (Solo), wartawan Harian Mardeka (Jakarta), dan redaktur majalah Cerpen.

Sajaknya “ Raja Singamangaraja” memperoleh hadiah kedua Majalah Sastra tahun 1963. Karyanya yang lain, nerupa kumpulan sajak : Perlawanan (1966), Tanah Air (1969), Dendang Kabut (1985), dan karya drama Kebinasaan Negeri  Senja (1968). Selain itu, ia juga banyak menulis cerita anak-anak. Di bawah ini dikutipkan sajaknya yang berjudul “ Pidato Seorang Demonstran”, dan cuplikan dari sajak panjangnya yang berjudul “Sibagading  Sirajagoda”.

Pidato Seorang Demonstran

Meraka telah tembak teman kita

ketika mendobrak sekretarian negara

sekarang jelas bagi saudara

sampai mana kebenaran hukum Indonesia

Ketika kesukaran tambah menjadi

para mentri sibuk ke luarnegri

sebab percaya keadaan berubah

Ketika produksi negara kosong

para pemimpin asyik ngomong

tapi harga-harga terus menanjak

sebab percaya diatasi dengan mupakat

Di masa gestok rakyat dibunuh

para menteri saling menuduh

kaum penjilat mulai beraksi

maka fitnah makinberjangkit

toh rakyat masih diam saja

Mereka diupah oleh jerih orang tua kita

tapi tak tahu cara berterimakasih, bahkan memfitnah:

Kita dituduh mendongkel wibawa kepala negara

apakah kita masih terus diam saja?

Puisi di atas sangat jelas menunjukan ciri-ciri puisi Angkatan 66 yang bargaya slogan, atau yang disebut dengan puisi “demonstrasi”. Dalam puisi ini, bahkan dari judul pun sudah tampak jelas ciri Mansur Samin memang termasuk pengarang Angkatan 66.

di pojok nun, ke dalam restoran

berbondong para kuli berlesuan

Sedang sama menatap ke bandar sana

bunyi siul mengakun dari mulut kumis brenteng

Tegap melangkah lagak parlente

bertopi pandan,bercekak pingang

menatap awas ke tiap ruang

ini Sibaganding Sirajagoda

Rokokkowa dan satepadang!

            Itulah cuplikan puisi “ Sibaganding Sirajagoda” . Puisi ini terdiri dari 48 bait, panjang sekali untuk sebuah puisi. Namun, itulah puisi balada. Puisi ini bercerita tentang kegagahan penjahat yang bernama Sibagandin Sirajagoda. Ia memiliki ilmu untuk mengalahkan musuh-musuh yang akan menghalangi keinginannya.

/Maka/ di akhir teriakan tinggi/ beterbangan stoles dan

 kursi/tuak berhamburan/dan di pojok tiang/sepuluh

tentara Nippon/ tergeletak tak bergerak/

Tiba-tiba sebuah keleweng/melayang di udara/tapi pental

/disusul bayonet/dicucuki dengan senjata tajam/tubuh                            Sirajagoda/tak apa-apa/

Kemampuan itu ia gunakan untuk kejahatan, termasuk menggaet wanita milik siapa saja. Namun akhirnya mati oleh kakaknya sendiri yang tidak menyukai kelakuan adiknya yang menggunakan ilmu kekuatan untuk pemuas nafsu jahat. Mereka mati bersama oleh duri pandan yang sengaja ditaburkan kakaknya. Rupanya itulah pelemah yang dimiliki Sibanganding Sirajagoda.

            Puisi ini termasuk puisi balada yang menjadi ciri puisi tahun 50-an, dan terus bertahan di tahun 60-an. Seperti dikatakan Waluyo (1995:61) bahwa puisi pada masa ini berciri salah satunya “gaya bercerita”, dengan struktur tematik, antara lain cerita-cerita rakyat dan mitos kedaerahan.

Hartojo lahir di solo pada tanggal  4 juli 1930. Pendidikan terakhirnya ialah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama. Ia pernah menjadi guru SMP dan SMA di Solo (1953-1956) dan Simpan gempat Sumatra Barat (1957-1962), serta guru STN di Kartasura. Kini ia menetap di Pajang, Jawa Tengah.Ia juga pernah menjadi redaktur harian Dwiwarna Solo (1954-1955), Si Kuncung, Jakarta (1962-1964), Relung Pustaka Solo (1970), dan terakhir majakah MadyantaraSolo (1974).

Esainya yang bejudul “Pola-pola Pantun dalam Persajakan Modern” memperoleh hadiah ketiga Majalah Sastra tahun 1962. Esai ini kemudian dimuat oleh Satyagraha Hoerip dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (1982). Kumpulan sajaknya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Manifestai (bersama Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, dll.,1963), dan Buku Puisi (1973). Terjemahannya berjudul Tukang Kebun (1976) dari karya Rabindranath Tagore.

Di bawah ini dikutip sebuah puisinya.

Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya

Apakah yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku dan sedikit ilmu

sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari minggu enggkau datang ke rumahku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis yang sedehana

dan jendel-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga

Ah, tenang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja

-horison yang selalu biru bagiku

Karena kutahu, anak-anakku

engkau terlalu bersih dari dosa

Puisi Hartojo di atas sangat lembut melukiskan penderitaan ekonomi  seorang guru. Keadaaan ekonomi yang tidak mengembirakan  tercermin dalam ungkapan-ungkapan :

Kursi-kursi tua yang di sana/ meja tulis yang sederhana/

            jendela yang tidak pernah diganti kainnya/

Semua derita guru itu dinyatakan akan bercerita kepada murid-muridnya yang datang ke rumanhnya.

                    Toeti lahir di bandung pada tanggal 27 november 1933. Kuliah di Fakultas

        kedokteran UI hingga sarjana muda (1951-1955). Setelah itu pindah studi ke fakultas

        Psikologi UI sampai tamat (1962). Tahun 1974 meraih gelar sarjana filsafa dari Universitas

        Leiden. Belanda tahun 1979 meraih gelar dokter dari UI di bidang filsafa pernah mengajar

        di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Kini mengajar di jurusan Filsafat

        Fakultas Sastra UI tahun 1968-1971 menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta dan pernah

        menjadi salah seorang ketuanya (1982-1985). Tahun 1981 mengikuti Festival Internasional

        di Rotterdam dan tahun 1984 mengikuti Internasional Writing Program di Universitas lowa,

        lowa city, Amerika Serikat.

        Karya-karyanya sejak 33(1973), Mimpi dan Pretens (1982), dan Aku dari Budaya (1984).

        Selain itu, Toeti menjadi penyunting bunga rampai penyair wanita Indonesia Seserpih

        Pinang Sepucuk Sirih (1979) edisi dua bahasa, bahasa indonesia dan bahasa inggris.

        Bersama A. Teeuw, ia menjadi penyunting bunga rampai dwibahasa Manifestasi Puisi

        Indonesia (1986): bahasa Indonesia dan bahasa Belanda.

        meluruskan kain-baju dahulu

        meletekan lekat sanggul rapi

        lembut ikal rambut di dahi

                      pertarungan dapat dimulai

        dengan kebosanan, apa lagi

        seutas benang dalam lautan

        tertawa kecil, menggigit jari adalah

        kedahsyatan hanya untuk dewa-dewa

        tapi deru api unggun atas

        angin liar, cambukan halilintar

        perempuan seram yang kuhadapi, dengan

        aku terjabak, gelas anggur di tangan

         tersenyum sabar pengecut menyamar

         dengan gumam hormat, sapa-menyapa

         dengan mengibas pelangi perempuan

         itu pergi, hadirin mengagumi

         mengapa tergoncang oleh cemas

         dalam-dalam menghela nafas, lemas

                      hadapi saingan dalam arena?

         Kata orang hanya maut pisahkan cinta

         Tapi hidup merenggut, malam maut

                       harapan semua tempat bertemu

         itu pun hanya kalau kau setuju

         keasingan yang mempersona, segala

         tersayang yang telah hilang

         kepanjangan mimpi tanpa derita

         dan untuk badai antara insan?

         Gumam, senyum, dan berjabatan tangan

                 Lahir tanggal 6 april 1937 di Palembang. Berpendidikan SMA B dan jurusan Filsafat,

         Fakultas Sastra UI pernah berkerja di Stanvac Palembang (1957-1960), selain itu menjadi

         wartawan Harian Kami (1966-1977), dan koordinator penerbitan Yayasan ilmu-ilmu Sosial,

         Jakarta, serta menjadi direktur Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

         Cerpennya “Discharge” mendapat hadiah kedua dari Majalah Sastra tahun 1961.

         Cerpennya yang lain, berjudul “Pertunjukan dan Ethyl Plant”, memenangkan hadia

         pertama Majalah Sastra tahun 1962. Tahun 1964 dua buah bukunya, Bumi Tak Berpeluh

         (1963) dan mereka Akan Bangkit (1963), dipilih untuk memenangkan Hadiah Sastra Yamin,

         tetapi dibatalkan karena hasutan pihak Lekra.

         Novelnya yang lain Tuyet (1978), memperoleh hadiah dari Yayasan Buku utama

         Dapartemen P dan K. Karya-karyanya yang lain ialah Mereka Telah Bangkit (1966), dan

         Manusia Tanah Air (1969).

         depan gedung pemuda dan sepanjang

         kekuasaan rampasan atas nama

         dan harga diri yang di atas namakan

         topeng sempurna yang diperjualkan

         dan wajah-wajah yang terbuka

         api kebangkitan yang telan menyala

         dengan gelombang rentetan peluru yang dihujankan

         di sini telah ditumpahkan

         darah angkatan yang bangkit melawan

         gemetar sepi dan putus asa

         dan di sini pun telah dipatahkan

         mitos kultus yang memperhamba

         yang membelenggu kemerdekaan

 Sirena tengah hari tanda berkerja kembali, baru beberapa menit lenyap di udara. Hari sedang panasnya. Di waktu jam istirahat, orang-orang shift terus bekerja buat mereka tak ada waktu istirahat. Mereka berkerja delapan jam langsung dalam sehari, selama lima hari dalam seminggu. Jadi selama bekerja mereka tidak punya waktu istirahat khusus seperti buruh-buruh yang bukan shift.

Pekerjaan-pekerjaan di perkilangan  adalah pekerjaan yang tidak bisa di tunda-tunda. Tiap kilang tempat pengolahan  suatu fraksi berhubungan erat dengan kilang –kilang pengolahan fraksi lainnya. Satu diantaranya terganggu atau berhenti bekerja,segera akan berakibat sama pada kilang-kilang lainnya, crude still misalnya, kilang induk pada mana minyak mentah didistilir pertama kali,merupakan kilang yang tak boleh berhenti sekejap pun, selama minyak tanah mentah terus dikeluarkan dari perut bumi.

Kasdi sedang bergelut dengan kerangan 12-inci ketika mendornya datang mengeluarkan secarik kertas dan berkata : bapak dipanggil ke kantor. Dengan nafas terhengah-engah ia mengangkat mukanya dan menyambut surat yang diulurkan mandornya kepadanya. Hatinya berdetak dan perasaanya jadi tak enak. Ia mencoba membacanya, tapi ketika dilihatnya huruf-huruf terangkai dengan aneh,surat itu dilipatnya kembali,ia tak mengerti apa-apa bahasa dalam surat itu. Sejurus ia termenung, kemudian memandang kepadanya.

-          Sekarang juga bersama-sama saya. Tak kau baca di situ?

Kasdi hampir mengatakan : - Buat apa kau baca. Kau juga tak mengerti bahasanya! Tapi ia cuman bertanya:

-          Siapa yang mengganti saya di sini?

-          Tak ada! Biarkan saja,kita memang kurang orang.

-          Tapi ini bahaya ditinggalkan. Pompa baru jalan!

-          Itu sudah saya katakan pada Pak Duta. Tapi tuan-tuan besar itu minta kau datang sekarang juga bersama saya.

Sekali lagi hatinya berdetak lebih keras. Dengan langkah lesu ia menuju ke tempat cuci.  Ia mencuci tangannya dengan naphtha, kemudian dengan air. Kemudian ia melakukan hal yang serupa terhadap bajunya, membersihkannya dari tahi-tahi minyak yang menempel.

Cerita pendek di atas menceritakan buruh yang tidak punya waktu selain untuk bekerja  di perusahaan tempatnya bekerja. Namun,akhirnya harus menerima pemberhentian.

Masih ada beberapa pengarang yang tergolong  produktif pada periode ini. Di antara mereka ialah Abdul Hadi W.M, Sapardi Djoko Damono, Arifin C.Noer, Darmanto Jt, Wing Kardjo Wangsaatmadja, Budiman S.Hartoyo, Slamet Soekirnanto, Isma Sawitri, S.Cahyaningsih, Saini K.M.

Dalam pembicaraan tentang pengarang telah beberapa kali disebut tentang hadiah sastra. Telah cukup banyak pengarang yang telah memperoleh hadiah sastra atau penghargaan. Hal ini menunjukkan bahwa sudah terdapat lembaga-lembaga yang mau menghargai karya sastra.

Diantaranya perlu disebut Majalah Sastra, majalah Horison, Yayasan Yamin, Yayasan Buku Utama, BMKN(Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional). Di antara semua itu, Majalah Sastra tampak lebih teratur memberikan hadiah atau penghargaan. Setiap tahun, selama majalah terbit, mampu memberikan hadiah terhadap karya – karya bermutu.