Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah sampai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijaksana dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama yaitu guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga adalah pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Masa kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian agung sejarawan dari awal masa seratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya selang tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para berbakat hendak masalah ini,[3] sebagian agung dari ilmuwan yang menjelaskan argumen memperkirakan tanggal berkisar selang 20 tahun selang tahun 400 SM untuk masa tutup usianya, sedangkan yang lain menyokong kira-kira tanggal yang semakin awal atau masa sesudahnya.

Siddhartha Gautama adalah figur utama dalam agama Buddha, keterangan hendak kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum sesudah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai himpunan perlengkapan pengajaran hendak Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan wujud tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat semakin condong untuk menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak berdasarkan tentang fakta historis hendak kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama yaitu Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya yaitu Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama tutup usia tujuh hari sesudah melahirkan Sang Pangeran. Sesudah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu lingkungan kehidupan surga agung. Semenjak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, ketika Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada ketika dia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam kondisi bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung mampu melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau hendak menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak benar yang hendak mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat jenis peristiwa. Bila tidak, dia hendak menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat jenis peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Semenjak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran yaitu seorang anak yang cerdas dan sangat berbakat, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada ketika berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta benar 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu ilmu. Pangeran Siddharta menguasai seluruh pelajaran dengan benar. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya sesudah memenangkan berbagai sayembara. Dan ketika berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir sekiranya putra tunggalnya hendak meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala wujud penderitaan berupaya disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta menanti izin untuk berlanjut di luar istana, dimana pada kesempatan yang berlainan ditelitinya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha berduka dan menanyakan untuk dirinya sendiri, "Apa guna kehidupan ini, sekiranya seluruhnya hendak menderita sakit, umur tua dan kematian. Lagi pula mereka yang minta bantuan untuk orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang hendak memberikan seluruh jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlanjut terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada ketika putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melaksanakan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Sesudah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang mampu menjadikan merdeka manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru untuk Alāra Kālāma dan kemudian untuk Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak mendapat yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Belakangnya dia juga meninggalkan kegiatan yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapat Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam kegiatan bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun sesudah mempelajari kegiatan bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dimohonnya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan kegiatan bertapa seperti itu tidak hendak sampai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk menerapkan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melaksanakan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga mampu memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melalui sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya hendak makin tinggi. Sekiranya terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya hendak makin merendah. Sekiranya terlalu dikendorkan, karenanya lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah untuk pertapa Gautama yang belakangnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang nyaris tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut kurang sedikit merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak hendak meninggalkan tempat ini sampai aku sampai Pencerahan Sempurna."

Perasaan berkali-kali bertanya dan ragu melanda diri pertapa Gautama, kurang sedikit Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, belakangnya godaan Mara mampu dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah sampai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada ketika sampai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung guna kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung guna suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran segala sesuatu yang diajarkan Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma untuk lima pertapa di Taman Rusa

Sesudah sampai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang selang lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dsb-nya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela adalah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya untuk umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, sampai belakangnya sampai usia 80 tahun, ketika dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia hendak sampai Parinibbana.

Sang Buddha dalam kondisi sakit terbaring di selang dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir untuk siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Agung Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh masa dan selalu tidak berkesudahan, karena telah benar dan memancar semenjak manusia awal mulanya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk sampai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada masa Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berupaya menolong seluruh makhluk.
  2. Menolak seluruh hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berupaya sampai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri untuk menerapkan amal kebajikan untuk seluruh makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh gerakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan pikiran, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada definisi.
  • Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan keyakinan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha yaitu cinta kasih untuk kebahagiaan seluruh makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah untuk mereka. Hendak tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam kondisi batin gelap, Sang Buddha hendak memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan agar mereka berlanjut di atas jalan yang aci dan mereka hendak dididik dalam melawan kejahatan, sampai tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal seluruh orang dan dengan menggunakan berbagai kegiatan Dia telah berupaya untuk meringankan penderitaan seluruh makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat lingkungan kehidupan, namun Dia tidak pernah mau menyebut bahwa lingkungan kehidupan ini asli atau palsu, benar atau buruk. Dia hanya menunjukkan tentang kondisi lingkungan kehidupan sebagaimana hal benar. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan berdasarkan dengan watak, perbuatan dan keyakinan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan menempuh ucapan, hendak tetapi juga menempuh perbuatan. Meskipun wujud fisik tubuh-Nya tidak benar belakangnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya dapat mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya yaitu Dharma-kaya, yang adalah kondisi sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha yaitu pelambang dari kesucian, yang tersuci dari seluruh yang suci. Karena itu, Sang Buddha yaitu Raja Dharma yang agung. Dia mampu berkhotbah untuk seluruh orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, hendak tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Untuk mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang mampu mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Sang Buddha hendak terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak hendak mampu tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya mampu mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang aci untuk mengetahui Buddha yaitu dengan jalan menjadikan merdeka diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan kegiatan bertapa. Buddha sejati tidak mampu diteliti oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha mampu mewujudkan diri-Nya dalam segala wujud dengan sifat yang serba agung. Apabila seseorang mampu melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung Buddha, namun tidak tertarik untuk wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah benar kebijaksanaan untuk melihat dan mengetahui Buddha dengan aci.

Lihat juga

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Tautan luar

Wikidata: Gautama Buddha

Pustaka


edunitas.com


Page 2

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah sampai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sbg Shakyamuni ('orang pandai dari kaum Sakya') dan sbg sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga adalah pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar diasumsikan oleh pemeluk Agama Buddha sbg Buddha Mulia (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Ketika lahir dan kematiannya tidaklah pasti: beberapa akbar sejarawan dari awal seratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pandai hendak masalah ini,[3] beberapa akbar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM sbg ketika berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang semakin awal atau ketika sesudahnya.

Siddhartha Gautama adalah figur utama dalam agama Buddha, keterangan hendak kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum sesudah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Beragam himpunan perlengkapan pengajaran hendak Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan wujud tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat semakin condong sbg menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sbg catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai tentang fakta historis hendak kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari sesudah melahirkan Sang Pangeran. Sesudah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga besar. Semenjak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief lahir Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Lahir

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, ketika Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada ketika dia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam kondisi bersih tanpa malu, berdiri tegak dan langsung bisa melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau hendak menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak mempunyai yang hendak mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat jenis peristiwa. Bila tidak, dia hendak menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat jenis peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Semenjak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada ketika berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari beragam ilmu ilmu. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan berpihak kepada yang benar. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya sesudah memenangkan beragam sayembara. Dan ketika berumur 16 tahun, Pangeran mempunyai tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir sekiranya putra tunggalnya hendak meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Sbg itu Baginda memilih banyak pelayan sbg merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala wujud penderitaan berupaya disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin sbg berlanjut di luar istana, dimana pada kesempatan yang berlainan dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha berduka dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa guna kehidupan ini, sekiranya semuanya hendak menderita sakit, umur tua dan kematian. Lagi pula mereka yang minta bantuan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang hendak memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlanjut terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada ketika putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan sbg meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat sbg menerapkan Pelepasan Mulia dengan menjalani hidup sbg pertapa.

Sesudah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, sbg pergi berguru mencari ilmu sejati yang bisa menjadikan merdeka manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak mendapat yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Belakangnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi sbg mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, seratus tahun ke-1 atau seratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun sesudah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak hendak sampai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha sbg menerapkan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir tidak jauh Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga bisa memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang menempuh sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya hendak makin tinggi. Sekiranya terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya hendak makin merendah. Sekiranya terlalu dikendorkan, karenanya lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah bagi pertapa Gautama yang belakangnya memutuskan sbg menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai sbg mandi. Badannya yang telah tinggal tulang nyaris tidak sanggup sbg menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut kurang sedikit merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Walaupun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak hendak meninggalkan tempat ini sampai diri sendiri sampai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, kurang sedikit Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, belakangnya godaan Mara bisa dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah sampai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada ketika sampai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung guna kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung guna suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran segala sesuatu yang diajarkan Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Sesudah sampai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sbgnya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela adalah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, sampai belakangnya sampai usia 80 tahun, ketika dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia hendak sampai Parinibbana.

Sang Buddha dalam kondisi sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Mulia Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha mempunyai sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh ketika dan selalu tidak berkesudahan, karena telah mempunyai dan memancar semenjak manusia awal mulanya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang diakibatkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan sbg sampai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada ketika Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berlandaskan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berupaya menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berupaya sampai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri sbg menerapkan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan ikhtiar, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada definisi.
  • Ikhtiar (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih sbg kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Hendak tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam kondisi batin gelap, Sang Buddha hendak memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan agar mereka berlanjut di atas jalan yang mempunyai dan mereka hendak dibimbing dalam melawan kejahatan, sampai tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sbg Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan memakai beragam cara Dia telah berupaya sbg meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat alam, namun Dia tidak pernah mau menyebut bahwa alam ini asli atau palsu, berpihak kepada yang benar atau buruk. Dia hanya menunjukkan tentang kondisi alam sebagaimana mempunyainya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melewati ucapan, hendak tetapi juga melewati perbuatan. Walaupun wujud fisik tubuh-Nya tidak mempunyai belakangnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia memakai jalan pembebasan dari lahir dan kematian sbg membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya bisa mengatasi beragam masalah di dalam beragam kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang adalah kondisi sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang mulia. Dia bisa berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, hendak tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang bisa mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Mulia Sang Buddha hendak terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak hendak bisa tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya bisa mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang mempunyai sbg mengetahui Buddha adalah dengan jalan menjadikan merdeka diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Mulia seorang Buddha tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha bisa mewujudkan diri-Nya dalam segala wujud dengan sifat yang serba besar. Apabila seseorang bisa melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Mulia Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan sbg melihat dan mengetahui Buddha dengan mempunyai.

Lihat juga

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Pranala luar

Wikidata: Gautama Buddha

Pustaka


edunitas.com


Page 3

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah sampai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sbg Shakyamuni ('orang pandai dari kaum Sakya') dan sbg sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga adalah pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar diasumsikan oleh pemeluk Agama Buddha sbg Buddha Mulia (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Ketika kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: beberapa akbar sejarawan dari awal seratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pandai hendak masalah ini,[3] beberapa akbar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM sbg ketika berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau ketika setelahnya.

Siddhartha Gautama adalah figur utama dalam agama Buddha, keterangan hendak kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Beragam himpunan perlengkapan pengajaran hendak Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan wujud tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong sbg menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sbg catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai tentang fakta historis hendak kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga besar. Semenjak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, ketika Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada ketika dia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa malu, berdiri tegak dan langsung mampu melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau hendak menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak mempunyai yang hendak mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, dia hendak menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Semenjak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada ketika berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari beragam ilmu ilmu. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan berpihak kepada yang benar. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan beragam sayembara. Dan ketika berumur 16 tahun, Pangeran mempunyai tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir sekiranya putra tunggalnya hendak meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Sbg itu Baginda memilih banyak pelayan sbg merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala wujud penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin sbg berlanjut di luar istana, dimana pada kesempatan yang berlainan diamatinya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha berduka dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa guna kehidupan ini, sekiranya semuanya hendak menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta bantuan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang hendak memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlanjut terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada ketika putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan sbg meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat sbg melaksanakan Pelepasan Mulia dengan menjalani hidup sbg pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, sbg pergi berguru mencari ilmu sejati yang mampu membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Pengahabisannya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi sbg mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, seratus tahun ke-1 atau seratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dimintanya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak hendak sampai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha sbg melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir tidak jauh Hutan Gaya. Walaupun telah melaksanakan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga mampu memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang menempuh sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya hendak makin tinggi. Sekiranya terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya hendak makin merendah. Sekiranya terlalu dikendorkan, karenanya lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah untuk pertapa Gautama yang pengahabisannya memutuskan sbg menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai sbg mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup sbg menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir-hampir merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Walaupun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak hendak meninggalkan tempat ini sampai diri sendiri sampai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir-hampir Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, pengahabisannya godaan Mara mampu dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah sampai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada ketika sampai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung guna kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung guna suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran segala sesuatu yang diajarkan Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah sampai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sbgnya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela adalah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, sampai pengahabisannya sampai usia 80 tahun, ketika dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia hendak sampai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Mulia Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha mempunyai sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh ketika dan selalu tidak berkesudahan, karena telah mempunyai dan memancar semenjak manusia awal mulanya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang diakibatkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan sbg sampai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada ketika Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berlandaskan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha sampai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri sbg melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan ikhtiar, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada arti.
  • Ikhtiar (citta): kemelekatan, niat buruk dan keyakinan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih sbg kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Hendak tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha hendak memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan agar mereka berlanjut di atas jalan yang mempunyai dan mereka hendak diasuh dalam melawan kejahatan, sampai tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sbg Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan memakai beragam cara Dia telah berusaha sbg meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat alam, namun Dia tidak pernah mau menyebut bahwa alam ini asli atau palsu, berpihak kepada yang benar atau buruk. Dia hanya menunjukkan tentang keadaan alam sebagaimana mempunyainya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan keyakinan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melewati ucapan, hendak tetapi juga melewati perbuatan. Walaupun wujud fisik tubuh-Nya tidak mempunyai pengahabisannya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia memakai jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian sbg membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi beragam masalah di dalam beragam kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang adalah keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang mulia. Dia mampu berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, hendak tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Untuk mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang mampu mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Mulia Sang Buddha hendak terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak hendak mampu tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya mampu mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang mempunyai sbg mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak mampu diamati oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Mulia seorang Buddha tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha mampu mewujudkan diri-Nya dalam segala wujud dengan sifat yang serba besar. Apabila seseorang mampu melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Mulia Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan sbg melihat dan mengetahui Buddha dengan mempunyai.

Lihat juga

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Pranala luar

Wikidata: Gautama Buddha

Pustaka


edunitas.com


Page 4

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah sampai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sbg Shakyamuni ('orang pandai dari kaum Sakya') dan sbg sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga adalah pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar diasumsikan oleh pemeluk Agama Buddha sbg Buddha Mulia (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Ketika kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: beberapa akbar sejarawan dari awal seratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pandai hendak masalah ini,[3] beberapa akbar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM sbg ketika berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau ketika setelahnya.

Siddhartha Gautama adalah figur utama dalam agama Buddha, keterangan hendak kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Beragam himpunan perlengkapan pengajaran hendak Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan wujud tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong sbg menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sbg catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai tentang fakta historis hendak kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga besar. Semenjak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, ketika Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada ketika dia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa malu, berdiri tegak dan langsung mampu melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau hendak menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak mempunyai yang hendak mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak, dia hendak menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Semenjak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada ketika berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari beragam ilmu ilmu. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan berpihak kepada yang benar. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan beragam sayembara. Dan ketika berumur 16 tahun, Pangeran mempunyai tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir sekiranya putra tunggalnya hendak meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Sbg itu Baginda memilih banyak pelayan sbg merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala wujud penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin sbg berlanjut di luar istana, dimana pada kesempatan yang berlainan diamatinya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha berduka dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa guna kehidupan ini, sekiranya semuanya hendak menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta bantuan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang hendak memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlanjut terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada ketika putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan sbg meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat sbg melaksanakan Pelepasan Mulia dengan menjalani hidup sbg pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, sbg pergi berguru mencari ilmu sejati yang mampu membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Pengahabisannya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi sbg mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, seratus tahun ke-1 atau seratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dimintanya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak hendak sampai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha sbg melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir tidak jauh Hutan Gaya. Walaupun telah melaksanakan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga mampu memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang menempuh sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya hendak makin tinggi. Sekiranya terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya hendak makin merendah. Sekiranya terlalu dikendorkan, karenanya lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah untuk pertapa Gautama yang pengahabisannya memutuskan sbg menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai sbg mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup sbg menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir-hampir merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Walaupun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak hendak meninggalkan tempat ini sampai diri sendiri sampai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir-hampir Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, pengahabisannya godaan Mara mampu dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah sampai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada ketika sampai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung guna kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung guna suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran segala sesuatu yang diajarkan Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah sampai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sbgnya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela adalah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, sampai pengahabisannya sampai usia 80 tahun, ketika dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia hendak sampai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Mulia Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha mempunyai sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh ketika dan selalu tidak berkesudahan, karena telah mempunyai dan memancar semenjak manusia awal mulanya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang diakibatkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan sbg sampai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada ketika Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berlandaskan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha sampai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri sbg melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan ikhtiar, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada arti.
  • Ikhtiar (citta): kemelekatan, niat buruk dan keyakinan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih sbg kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Hendak tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha hendak memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan agar mereka berlanjut di atas jalan yang mempunyai dan mereka hendak diasuh dalam melawan kejahatan, sampai tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sbg Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan memakai beragam cara Dia telah berusaha sbg meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat alam, namun Dia tidak pernah mau menyebut bahwa alam ini asli atau palsu, berpihak kepada yang benar atau buruk. Dia hanya menunjukkan tentang keadaan alam sebagaimana mempunyainya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan keyakinan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melewati ucapan, hendak tetapi juga melewati perbuatan. Walaupun wujud fisik tubuh-Nya tidak mempunyai pengahabisannya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia memakai jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian sbg membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya mampu mengatasi beragam masalah di dalam beragam kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang adalah keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang mulia. Dia mampu berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, hendak tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Untuk mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang mampu mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Mulia Sang Buddha hendak terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak hendak mampu tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya mampu mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang mempunyai sbg mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak mampu diamati oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Mulia seorang Buddha tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha mampu mewujudkan diri-Nya dalam segala wujud dengan sifat yang serba besar. Apabila seseorang mampu melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Mulia Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan sbg melihat dan mengetahui Buddha dengan mempunyai.

Lihat juga

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Pranala luar

Wikidata: Gautama Buddha

Pustaka


edunitas.com


Page 5

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah sampai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sbg Shakyamuni ('orang pandai dari kaum Sakya') dan sbg sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga adalah pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar diasumsikan oleh pemeluk Agama Buddha sbg Buddha Mulia (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Ketika lahir dan kematiannya tidaklah pasti: beberapa akbar sejarawan dari awal seratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pandai hendak masalah ini,[3] beberapa akbar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM sbg ketika berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang semakin awal atau ketika sesudahnya.

Siddhartha Gautama adalah figur utama dalam agama Buddha, keterangan hendak kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum sesudah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Beragam himpunan perlengkapan pengajaran hendak Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan wujud tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat semakin condong sbg menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sbg catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai tentang fakta historis hendak kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari sesudah melahirkan Sang Pangeran. Sesudah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga besar. Semenjak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief lahir Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Lahir

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, ketika Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada ketika dia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam kondisi bersih tanpa malu, berdiri tegak dan langsung bisa melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau hendak menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak hendak menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak mempunyai yang hendak mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat jenis peristiwa. Bila tidak, dia hendak menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat jenis peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Semenjak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada ketika berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari beragam ilmu ilmu. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan berpihak kepada yang benar. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya sesudah memenangkan beragam sayembara. Dan ketika berumur 16 tahun, Pangeran mempunyai tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa dewasa

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita membuat Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir sekiranya putra tunggalnya hendak meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Sbg itu Baginda memilih banyak pelayan sbg merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala wujud penderitaan berupaya disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin sbg berlanjut di luar istana, dimana pada kesempatan yang berlainan dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, yaitu orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha berduka dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa guna kehidupan ini, sekiranya semuanya hendak menderita sakit, umur tua dan kematian. Lagi pula mereka yang minta bantuan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang hendak memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berlanjut terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada ketika putra tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan sbg meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat sbg menerapkan Pelepasan Mulia dengan menjalani hidup sbg pertapa.

Sesudah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, sbg pergi berguru mencari ilmu sejati yang bisa menjadikan merdeka manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak mendapat yang diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Belakangnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi sbg mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, seratus tahun ke-1 atau seratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun sesudah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak hendak sampai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha sbg menerapkan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir tidak jauh Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga bisa memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang menempuh sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya hendak makin tinggi. Sekiranya terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya hendak makin merendah. Sekiranya terlalu dikendorkan, karenanya lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah bagi pertapa Gautama yang belakangnya memutuskan sbg menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai sbg mandi. Badannya yang telah tinggal tulang nyaris tidak sanggup sbg menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut kurang sedikit merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Walaupun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak hendak meninggalkan tempat ini sampai diri sendiri sampai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bimbang dan ragu melanda diri pertapa Gautama, kurang sedikit Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, belakangnya godaan Mara bisa dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah sampai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada ketika bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada ketika sampai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung guna kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung guna suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran segala sesuatu yang diajarkan Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Sesudah sampai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sbgnya. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela adalah murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, sampai belakangnya sampai usia 80 tahun, ketika dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia hendak sampai Parinibbana.

Sang Buddha dalam kondisi sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Mulia Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha mempunyai sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh ketika dan selalu tidak berkesudahan, karena telah mempunyai dan memancar semenjak manusia awal mulanya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang diakibatkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan sbg sampai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada ketika Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang berlandaskan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, yaitu

  1. Berupaya menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berupaya sampai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri sbg menerapkan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan ikhtiar, yaitu

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada definisi.
  • Ikhtiar (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih sbg kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Hendak tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam kondisi batin gelap, Sang Buddha hendak memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan agar mereka berlanjut di atas jalan yang mempunyai dan mereka hendak dibimbing dalam melawan kejahatan, sampai tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sbg Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan memakai beragam cara Dia telah berupaya sbg meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat alam, namun Dia tidak pernah mau menyebut bahwa alam ini asli atau palsu, berpihak kepada yang benar atau buruk. Dia hanya menunjukkan tentang kondisi alam sebagaimana mempunyainya. Buddha Gautama mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melewati ucapan, hendak tetapi juga melewati perbuatan. Walaupun wujud fisik tubuh-Nya tidak mempunyai belakangnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia memakai jalan pembebasan dari lahir dan kematian sbg membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah membuat diri-Nya bisa mengatasi beragam masalah di dalam beragam kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang adalah kondisi sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang mulia. Dia bisa berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, hendak tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang bisa mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Mulia Sang Buddha hendak terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak hendak bisa tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Wujud dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya bisa mengetahui dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang mempunyai sbg mengetahui Buddha adalah dengan jalan menjadikan merdeka diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak bisa dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Mulia seorang Buddha tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha bisa mewujudkan diri-Nya dalam segala wujud dengan sifat yang serba besar. Apabila seseorang bisa melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Mulia Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan sbg melihat dan mengetahui Buddha dengan mempunyai.

Lihat juga

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Pranala luar

Wikidata: Gautama Buddha

Pustaka


edunitas.com


Page 6

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Gedung Shueisha Jimbocho di Chiyoda, Tokyo, Jepang.

Shueisha Inc. (株式会社集英社, Kabushiki Kaisha Shūeisha?) yaitu suatu perusahaan penerbitan Jepang yang berpusat di Tokyo. Shueisha didirikan pada tahun 1925 sebagai divisi penerbitan Shogakukan dalam ronde hiburan. Tahun berikutnya Shueisha diproduksi menjadi perusahaan terpisah. Divisi Jump Comics Shueisha yaitu salah satu penerbit manga utama. Shueisha pengahabisan mendirikan Hakusensha, yang kelak juga diproduksi menjadi perusahaan penerbitan yang sukses.

Shueisha menerbitkan majalah Weekly Shonen Jump dan menyelenggarakan Penghargaan Tezuka di Jepang. Shonen Jump yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1968, yaitu salah satu majalah manga terpopuler di dunia.

Shueisha, bersama dengan Shogakukan dan Hakusensha, yaitu pemilik Viz Media, penerbit manga dari kedua perusahaan di negara tersebut yang beroperasi di Amerika Serikat.

Majalah manga yang diterbitkan Shueisha

  • Akamaru Jump
  • Business Jump
  • Monthly Shonen Jump (tidak lagi diterbitkan)
  • Super Jump
  • Ultra Jump
  • V Jump
  • Weekly Shonen Jump
  • Young Jump
  • Margaret
  • Bessatsu Margaret
  • DX Margaret
  • The Margaret
  • Ribon
  • Ribon Original (tidak lagi diterbitkan)
  • YOU (majalah)
  • Young YOU (tidak lagi diterbitkan)
  • Office YOU

Majalah lainnya yang diterbitkan Shueisha

  • Playboy (versi Jepang)
  • Weekly Playboy
  • Non-No
  • Seventeen (versi Jepang)

Pranala luar

  • (Jepang) Situs web resmi Shueisha

edunitas.com


Page 7

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia akhir menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang ahli dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha[2] Beliau secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Luhur (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian luhur sejarawan dari awal ratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya selang tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pakar akan masalah ini,[3] sebagian luhur dari ilmuwan yang menjelaskan gagasan memperkirakan tanggal berkisar selang 20 tahun selang tahun 400 SM bagi waktu berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong lebih kurang tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai himpunan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun akhir. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong bagi menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakang ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, adalah dunia surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat beliau kelahiran, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha kelahiran dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan lokasi yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak aci yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan supaya Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Jika tidak, beliau akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang tajam kecerdikan dan sangat bijak, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai pengetahuan pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan adun. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa matang

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita menciptakan Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir jikalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa lokasi tinggal. Bagi itu Baginda memilih banyak orang bawahan bagi merawat Pangeran Siddharta, supaya putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta menginginkan izin bagi berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang beda diamatinya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, adalah orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa faedah kehidupan ini, jikalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula kelahiran. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan bagi meninggalkan istananya dan dengan disertai oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat bagi menerapkan Pelepasan Luhur dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, bagi pergi berguru mencari pengetahuan sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan akhir kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak berpuas diri karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Akhir beliau bertapa menyiksa diri dengan disertai lima orang pertapa. Belakangnya beliau juga meninggalkan metode yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi bagi mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, ratus tahun ke-1 atau ratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan akhir memperdalam metode bertapa dari dua pertapa lainnya, adalah pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari metode bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dimintanya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan metode bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Akhir pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha bagi melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Jika senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jikalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Jika senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Jikalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah bagi pertapa Gautama yang belakangnya memutuskan bagi membubarkan tapanya lalu pergi ke sungai bagi mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup bagi menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak akan meninggalkan lokasi ini sampai diri sendiri mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bertanya-tanya dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, belakangnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi saat bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak saat beliau berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung faedah kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung faedah suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran petuah Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama memperoleh gelar kesempurnaan yang selang lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Beliau Yang Telah Datang', Beliau Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan lain-lain. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, adalah Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga belakangnya mencapai usia 80 tahun, saat beliau menyadari bahwa tiga bulan lagi beliau akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di selang dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Luhur Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu tidak berkesudahan, karena telah aci dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan bagi mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dipunyai oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, beliau telah mengikrarkan Empat Prasetya yang sesuai Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, adalah

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri bagi melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh gerakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan kecerdikan, adalah

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, kelakuan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, dialog tiada faedah.
  • Kecerdikan (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih bagi kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang aci dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha yang tidak berkesudahan, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai metode Beliau telah berusaha bagi meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, adun atau buruk. Beliau hanya memperlihatkan tentang keadaan dunia sebagaimana keadaan. Buddha Gautama mengajarkan supaya setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, kelakuan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja mengajarkan melintasi ucapan, akan tetapi juga melintasi kelakuan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak aci belakangnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian bagi membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah menciptakan diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang luhur. Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Luhur Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Bentuk dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat bentuk dan sifat-Nya semata-mata, karena bentuk dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang aci bagi mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan metode bertapa. Buddha sejati tidak dapat diamati oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Luhur seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Luhur Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan bagi melihat dan mengetahui Buddha dengan aci.

Lihat pula

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Tautan luar

Wikidata: Gautama Buddha

Referensi


edunitas.com


Page 8

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia akhir menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang ahli dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Luhur (Sammāsambuddha) pada saat sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian luhur sejarawan dari awal ratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya selang tahun 563 SM hingga 483 SM; baru-baru ini, pada sebuah simposium para pakar akan masalah ini,[3] sebagian luhur dari ilmuwan yang menjelaskan gagasan memperkirakan tanggal berkisar selang 20 tahun selang tahun 400 SM kepada waktu berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong lebih kurang tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai himpunan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilaksanakan sekitar 400 tahun akhir. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong kepada menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakang ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, adalah dunia surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat dia kelahiran, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha kelahiran dalam keadaan lepas sama sekali dari kotoran tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan lokasi yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak aci yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan supaya Sang Pangeran jangan hingga melihat empat macam peristiwa. Jika tidak, dia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Saat kecil

Sejak kecil sudah tampak bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang tajam kecerdikan dan paling bijak, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta memiliki 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai pengetahuan pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan adun. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Saat matang

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita menciptakan Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir jikalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa lokasi tinggal. Kepada itu Baginda menentukan banyak orang bawahan kepada merawat Pangeran Siddharta, supaya putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Sebuah hari Pangeran Siddharta menginginkan izin kepada berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang beda dijaganya "Empat Kondisi" yang paling faedahnya, adalah orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa faedah kehidupan ini, jikalau keseluruhan akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus hingga berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula kelahiran. Pada sebuah malam, Pangeran Siddharta memutuskan kepada meninggalkan istananya dan dengan disertai oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat kepada menerapkan Pelepasan Luhur dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, kepada pergi berguru mencari pengetahuan sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan akhir kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak berpuas diri karena tidak mendapatkan yang diharapkannya. Akhir dia bertapa menyiksa diri dengan disertai lima orang pertapa. Beres dia juga meninggalkan metode yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi kepada mendapatkan Penerangan Agung.

Saat pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, ratus tahun ke-1 atau ratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan akhir memperdalam metode bertapa dari dua pertapa lainnya, adalah pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari metode bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dipersilakannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan metode bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Akhir pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha kepada melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilaksanakan tersebut.

Pada sebuah hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Jika senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jikalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Jika senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Jikalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut paling faedahnya bagi pertapa Gautama yang beres memutuskan kepada membubarkan tapanya lalu pergi ke sungai kepada mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup kepada menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya paling lemah dan maut hampir-hampir merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak akan meninggalkan lokasi ini hingga diri sendiri mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bertanya-tanya dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir-hampir Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, beres godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi saat bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak saat dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang faedahnya bhakti; kuning mengandung faedah kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang faedahnya kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung faedah suci; jingga faedahnya giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran petuah Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapatkan gelar kesempurnaan yang selang lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan lain-lain. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, adalah Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga beres mencapai usia 80 tahun, saat dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di selang dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Luhur Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu tidak berkesudahan, karena telah aci dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan kepada mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dipunyai oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang sesuai Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, adalah

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri kepada melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh gerakan yang disebabkan oleh tubuh, ucapan dan kecerdikan, adalah

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, kelakuan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, dialog tiada faedah.
  • Kecerdikan (citta): kemelekatan, niat buruk dan keyakinan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih kepada kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita paling berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang aci dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai metode Dia telah berusaha kepada meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Dia tidak pernah bersedia mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, adun atau buruk. Dia hanya memperlihatkan tentang keadaan dunia sebagaimana keadaan. Buddha Gautama mengajarkan supaya setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, kelakuan dan keyakinan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melintasi ucapan, akan tetapi juga melintasi kelakuan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak aci beres, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian kepada membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah menciptakan diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kebersihan, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang luhur. Dia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak bersedia memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Luhur Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Bentuk dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat bentuk dan sifat-Nya semata-mata, karena bentuk dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang aci kepada mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan metode bertapa. Buddha sejati tidak dapat dijaga oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Luhur seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Luhur Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah memiliki kebijaksanaan kepada melihat dan mengetahui Buddha dengan aci.

Lihat pula

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Tautan luar

Wikidata: Gautama Buddha

Referensi


edunitas.com


Page 9

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia akhir menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang ahli dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha[2] Dia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Luhur (Sammāsambuddha) pada saat sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian luhur sejarawan dari awal ratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya selang tahun 563 SM hingga 483 SM; baru-baru ini, pada sebuah simposium para pakar akan masalah ini,[3] sebagian luhur dari ilmuwan yang menjelaskan gagasan memperkirakan tanggal berkisar selang 20 tahun selang tahun 400 SM kepada waktu berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong lebih kurang tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai himpunan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilaksanakan sekitar 400 tahun akhir. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong kepada menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakang ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, adalah dunia surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat dia kelahiran, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha kelahiran dalam keadaan lepas sama sekali dari kotoran tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan lokasi yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak aci yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan supaya Sang Pangeran jangan hingga melihat empat macam peristiwa. Jika tidak, dia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Saat kecil

Sejak kecil sudah tampak bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang tajam kecerdikan dan paling bijak, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta memiliki 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai pengetahuan pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan adun. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Saat matang

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita menciptakan Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir jikalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa lokasi tinggal. Kepada itu Baginda menentukan banyak orang bawahan kepada merawat Pangeran Siddharta, supaya putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Sebuah hari Pangeran Siddharta menginginkan izin kepada berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang beda dijaganya "Empat Kondisi" yang paling faedahnya, adalah orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa faedah kehidupan ini, jikalau keseluruhan akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus hingga berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula kelahiran. Pada sebuah malam, Pangeran Siddharta memutuskan kepada meninggalkan istananya dan dengan disertai oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat kepada menerapkan Pelepasan Luhur dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, kepada pergi berguru mencari pengetahuan sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan akhir kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak berpuas diri karena tidak mendapatkan yang diharapkannya. Akhir dia bertapa menyiksa diri dengan disertai lima orang pertapa. Beres dia juga meninggalkan metode yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi kepada mendapatkan Penerangan Agung.

Saat pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, ratus tahun ke-1 atau ratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan akhir memperdalam metode bertapa dari dua pertapa lainnya, adalah pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari metode bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dipersilakannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan metode bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Akhir pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha kepada melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilaksanakan tersebut.

Pada sebuah hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Jika senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jikalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Jika senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Jikalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut paling faedahnya bagi pertapa Gautama yang beres memutuskan kepada membubarkan tapanya lalu pergi ke sungai kepada mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup kepada menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya paling lemah dan maut hampir-hampir merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak akan meninggalkan lokasi ini hingga diri sendiri mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bertanya-tanya dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir-hampir Dia putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, beres godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi saat bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak saat dia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang faedahnya bhakti; kuning mengandung faedah kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang faedahnya kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung faedah suci; jingga faedahnya giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran petuah Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapatkan gelar kesempurnaan yang selang lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Dia Yang Telah Datang', Dia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan lain-lain. Lima pertapa yang mendampingi Dia di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, adalah Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga beres mencapai usia 80 tahun, saat dia menyadari bahwa tiga bulan lagi dia akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di selang dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Luhur Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu tidak berkesudahan, karena telah aci dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan kepada mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dipunyai oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, dia telah mengikrarkan Empat Prasetya yang sesuai Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, adalah

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri kepada melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh gerakan yang disebabkan oleh tubuh, ucapan dan kecerdikan, adalah

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, kelakuan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, dialog tiada faedah.
  • Kecerdikan (citta): kemelekatan, niat buruk dan keyakinan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih kepada kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita paling berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang aci dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha yang tidak berkesudahan, Dia telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai metode Dia telah berusaha kepada meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Dia tidak pernah bersedia mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, adun atau buruk. Dia hanya memperlihatkan tentang keadaan dunia sebagaimana keadaan. Buddha Gautama mengajarkan supaya setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, kelakuan dan keyakinan masing-masing. Dia tidak saja mengajarkan melintasi ucapan, akan tetapi juga melintasi kelakuan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak aci beres, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Dia menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian kepada membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah menciptakan diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kebersihan, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang luhur. Dia dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak bersedia memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Luhur Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Bentuk dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat bentuk dan sifat-Nya semata-mata, karena bentuk dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang aci kepada mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan metode bertapa. Buddha sejati tidak dapat dijaga oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Luhur seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Luhur Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah memiliki kebijaksanaan kepada melihat dan mengetahui Buddha dengan aci.

Lihat pula

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Tautan luar

Wikidata: Gautama Buddha

Referensi


edunitas.com


Page 10

Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia akhir menjadi sang Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna). Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang ahli dari kaum Sakya') dan sebagai sang Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha[2] Beliau secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Luhur (Sammāsambuddha) pada masa sekarang. Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian luhur sejarawan dari awal ratus tahun ke 20 memperkirakan kehidupannya selang tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para pakar akan masalah ini,[3] sebagian luhur dari ilmuwan yang menjelaskan gagasan memperkirakan tanggal berkisar selang 20 tahun selang tahun 400 SM bagi waktu berpulangnya, sedangkan yang lain menyokong lebih kurang tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.

Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai himpunan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun akhir. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong bagi menerima biografi Sang Buddha yang diterangkan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakang ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Sang Buddha."[4]

Orang tua

Ayah dari Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahā Māyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta Gautama berpulang tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam/surga Tusita, adalah dunia surga luhur. Sejak meninggalnya Ratu Mahā Māyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Riwayat hidup

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Relief kelahiran Pangeran Siddhartha. Dari kuil Zen You Mitsu, Tokyo.

Kelahiran

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sala. Pada saat beliau kelahiran, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha. Siddhartha kelahiran dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan lokasi yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi seorang Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak aci yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan supaya Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Jika tidak, beliau akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah:

  1. Orang tua,
  2. Orang sakit,
  3. Orang mati,
  4. Seorang pertapa.

Masa kecil

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang tajam kecerdikan dan sangat bijak, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang sedang muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai, yaitu:

  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
  • Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)

Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai pengetahuan pengetahuan. Pangeran Siddharta menguasai semua pelajaran dengan adun. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun, Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:

  • Istana Musim Dingin (Ramma)
  • Istana Musim Panas (Suramma)
  • Istana Musim Hujan (Subha)

Masa matang

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeran Siddhartha melihat empat hal yang mengubah hidupnya.

Kata-kata pertapa Asita menciptakan Raja Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir jikalau putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa lokasi tinggal. Bagi itu Baginda memilih banyak orang bawahan bagi merawat Pangeran Siddharta, supaya putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian, sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Suatu hari Pangeran Siddharta menginginkan izin bagi berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang beda diamatinya "Empat Kondisi" yang sangat berfaedah, adalah orang tua, orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa faedah kehidupan ini, jikalau semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak kenal dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut.

Selama 10 tahun lamanya Pangeran Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra tunggalnya Rahula kelahiran. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan bagi meninggalkan istananya dan dengan disertai oleh kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat bagi menerapkan Pelepasan Luhur dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Setelah itu Pangeran Siddhartha meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, bagi pergi berguru mencari pengetahuan sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan akhir kepada Uddaka Ramāputra, tetapi tidak berpuas diri karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Akhir beliau bertapa menyiksa diri dengan disertai lima orang pertapa. Belakangnya beliau juga meninggalkan metode yang ekstrem itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi bagi mendapatkan Penerangan Agung.

Masa pengembaraan

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Pangeram Siddharta mencukur rambutnya dan menjadi pertapa, relief Borobudur.

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Patung Buddha dari Gandhara, ratus tahun ke-1 atau ratus tahun ke-2.

Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan akhir memperdalam metode bertapa dari dua pertapa lainnya, adalah pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari metode bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang dimintanya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan metode bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Akhir pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha bagi melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah menerapkan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.

Pada suatu hari pertapa Gautama dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:

Jika senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Jikalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Jika senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Jikalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu.

Nasehat tersebut sangat berfaedah bagi pertapa Gautama yang belakangnya memutuskan bagi membubarkan tapanya lalu pergi ke sungai bagi mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup bagi menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi diri sendiri tidak akan meninggalkan lokasi ini sampai diri sendiri mencapai Pencerahan Sempurna."

Perasaan bertanya-tanya dan ragu melanda diri pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara, setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan dengan iman yang teguh kukuh, belakangnya godaan Mara dapat dilawan dan ditaklukkannya. Hal ini terjadi saat bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Pertapa Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak saat beliau berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berfaedah bhakti; kuning mengandung faedah kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berfaedah kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung faedah suci; jingga berfaedah giat; dan campuran kelima sinar tersebut.

Penyebaran petuah Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa

Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama memperoleh gelar kesempurnaan yang selang lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Beliau Yang Telah Datang', Beliau Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan lain-lain. Lima pertapa yang mendampingi Beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Beliau menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, adalah Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".

Buddha Gautama berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga belakangnya mencapai usia 80 tahun, saat beliau menyadari bahwa tiga bulan lagi beliau akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di selang dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB pada bulan Mei, 543 SM).

Sifat Luhur Sang Buddha

Pemeluk agama Budha memiliki tempat tempat suci antara lain kusinagara yang berarti

Sang Buddha menjelang Parinirwana.

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas oleh waktu dan selalu tidak berkesudahan, karena telah aci dan memancar sejak manusia pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan bagi mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau kebodohan batin yang dipunyai oleh manusia. Pada waktu Pangeran Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, beliau telah mengikrarkan Empat Prasetya yang sesuai Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak terbatas, adalah

  1. Berusaha menolong semua makhluk.
  2. Menolak semua hasrat nafsu keduniawian.
  3. Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
  4. Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.

Buddha Gautama pertama melatih diri bagi melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan menghindarkan diri dari sepuluh gerakan yang diakibatkan oleh tubuh, ucapan dan kecerdikan, adalah

  • Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, kelakuan jinah.
  • Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, dialog tiada faedah.
  • Kecerdikan (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.

Cinta kasih dan kasih sayang seorang Buddha adalah cinta kasih bagi kebahagiaan semua makhluk seperti orang tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat atau dalam keadaan batin gelap, Sang Buddha akan memberikan perhatian khusus. Dengan Kasih Sayang-Nya, Sang Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di atas jalan yang aci dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan, hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".

Sebagai Buddha yang tidak berkesudahan, Beliau telah mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai metode Beliau telah berusaha bagi meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Beliau tidak pernah mau mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, adun atau buruk. Beliau hanya memperlihatkan tentang keadaan dunia sebagaimana keadaan. Buddha Gautama mengajarkan supaya setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai dengan watak, kelakuan dan kepercayaan masing-masing. Beliau tidak saja mengajarkan melintasi ucapan, akan tetapi juga melintasi kelakuan. Meskipun bentuk fisik tubuh-Nya tidak aci belakangnya, namun dalam mengajar umat manusia yang mendambakan hidup tidak berkesudahan, Beliau menggunakan jalan pembebasan dari kelahiran dan kematian bagi membangunkan perhatian mereka.

Pengabdian Buddha Gautama telah menciptakan diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Sang Buddha adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci. Karena itu, Sang Buddha adalah Raja Dharma yang luhur. Beliau dapat berkhotbah kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Sang Buddha mengkhotbahkan Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya, yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Luhur Sang Buddha akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.

Bentuk dan kehadiran Buddha

Sang Buddha tidak hanya dapat mengetahui dengan hanya melihat bentuk dan sifat-Nya semata-mata, karena bentuk dan sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang aci bagi mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal duniawi/menjalani hidup dengan metode bertapa. Buddha sejati tidak dapat diamati oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Luhur seorang Buddha tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Luhur Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan bagi melihat dan mengetahui Buddha dengan aci.

Lihat pula

  • Agama Buddha
  • Daftar Filsuf

Tautan luar

Wikidata: Gautama Buddha

Referensi


edunitas.com