PERTANYAAN tentang desentralisasi dan otonomi daerah

Banyak pertanyaan yang muncul ketika berbicara tentang desentralisasi, otonomi daerah, dan korupsi. Jika otonomi daerah dihentikan saat ini, apakah korupsi akan terjadi atau tidak? Kemiskinan akan tetap ada atau tidak? Atau, kemiskinan semakin meningkat atau tidak? Apakah benar masyarakat sipil semakin berdaya?

Sungguh, sesuatu yang tak mudah menjawab itu semua. Namun, jika kita merunut dari pelaksanaan otonomi daerah di negeri ini, dengan titik berat di kabupaten/kota, yang dimulai tahun 1999, serasa semakin sering saja ada pejabat di daerah, termasuk anggota DPRD, yang digiring ke kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau pengadilan karena terjerat kasus korupsi. Bahkan, selama periode Januari-Juni 2010 saja, sesuai data Indonesia Corruption Watch (ICW), ditemukan 176 kasus korupsi di pemerintah pusat dan daerah dengan 411 orang tersangka. Mereka bukan semuanya pejabat, memang, karena ada pula pengusaha dan masyarakat yang terjerat korupsi.

Angka yang mengejutkan disampaikan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, yang menyebutkan ada 155 bupati atau wali kota yang diperiksa atau masuk penjara karena terkait kasus korupsi. Ada 17 gubernur atau mantan gubernur yang juga masuk penjara atau menjadi tersangka karena kasus korupsi. Bahkan, ia menyebutkan, setiap minggu ada saja seorang kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi (Kompas, 18/1). Bandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru, selama lebih dari 30 tahun, hampir tidak ada kepala daerah yang diseret ke meja hijau karena korupsi meskipun tidak ada jaminan pemerintahan di daerah pada masa itu bebas dari korupsi.

Efektif versus demokratis
Maraknya praktik korupsi di daerah, dan juga di berbagai lembaga pemerintahan, selain eksekutif, tidak terlepas dari tata kelola birokrasi pemerintahan selama ini. Dahulu kita cuma membicarakan pemerintahan yang efektif (effective governance) dengan logika birokrasi dalam struktur organisasi yang sangat hierarkis. Namun, sekarang kita harus mengembangkan pemerintahan yang efektif, sekaligus demokratis (democratic governance).

Ini paling tidak pengalaman kita atau barangkali juga pandangan umum sering kali mendikotomikan antara demokrasi dan teknokrasi. Keinginan lebih baik kembali ke masa lalu yang lebih efektif karena reformasi hanya bikin repot cari nasi.

Demokrasi, tidak bisa kita mungkiri, adalah sebuah pilihan perjalanan bangsa kita. Namun, di sisi lain, effective governance juga merupakan sebuah keperluan yang tidak terelakkan lagi. Efektif dan efisien tentu saja.

Beberapa tahun terakhir ini sebetulnya ada ketakutan, demokratisasi menambah ruang korupsi pula. Korupsi yang awalnya di eksekutif, terutama di pusat, sekarang juga terjadi di lembaga legislatif dan pemerintahan daerah. Keinginan melawan korupsi juga membuka ruang baru korupsi di lembaga yudikatif. Korupsi di daerah menjadi subur, salah satunya karena ada desentralisasi dan otonomi daerah.

Apakah pasca-tahun 1998, gerakan reformasi, kita tak mempunyai instrumen yang memadai untuk memberantas korupsi? Apakah desain kelembagaan kita justru rentan korupsi? Karena itu, muncul asumsi, reformasi politik haruslah menghindari absolutisme kekuasaan di satu titik. Perlu dilakukan penyebaran kekuasaan, mengembangkan checks and balances.

Sebetulnya ada banyak sekali instrumen yang mencoba untuk mengembangkan democratic governance dan pemerintahan yang akuntabel. Instrumen itu dikembangkan selama 12 tahun terakhir. Misalnya, instrumen demokrasi yang menghubungkan antara masyarakat dengan negara dan pengambil keputusan. Kita punya proses pemilu yang kuat, dilaksanakan oleh komisi yang independen, mulai dari bawah sampai pemilihan presiden. Semestinya itu akan membentuk pemerintahan yang lebih representatif dan akuntabel. Sebab, rakyat punya akses dalam proses rekrutmen politik. Apalagi, kebebasan politik bagi rakyat juga sangat tinggi untuk berekspresi.

Logikanya, ini memperbaiki representasi politik, memperbaiki akuntabilitas pemerintah pada rakyat, karena masyarakat punya akses kontrol. Kebutuhan, permintaan (demand), meningkat bukan hanya reformasi perbaikan, bukan hanya dari sisi suplai. Itu satu instrumen yang sebetulnya sudah dikembangkan. ”Tetapi, apakah ada hasil dari instrumen itu?”

Selain memadukan pemerintahan yang efektif dan pemerintahan yang demokratis, sejak tahun 1999, melalui desentralisasi dan otonomi daerah, kita mulai menggeser lokus kekuasaan dan kewenangan dari pusat ke daerah. Dari peran dominan pemerintah/negara menjadi peran masyarakat yang lebih mengedepan. Namun, setelah lebih dari 11 tahun, apakah pemerintah daerah semakin berdaya dan masyarakat semakin berperan?

Dari angka perekonomian, peran pemerintah daerah memang semakin membesar. Sejumlah daerah kian mampu mengembangkan dirinya, bahkan pendapatan per kapita warganya lebih besar dibandingkan dengan pendapatan per kapita secara nasional. Namun, hal itu memang baru sebatas data. Realitasnya, rakyat di daerah yang kaya sumber daya alam belum tentu sejahtera. Di daerah yang kaya, seperti Kalimantan Timur, Riau, dan Papua, justru sejumlah pejabatnya terbelit persoalan korupsi.

Dominasi negara pun belum bergeser ke masyarakat? Keterlibatan masyarakat untuk menjadi kekuatan checks and balances (penyeimbang) pemerintah masih lemah. Peran masyarakat untuk memberikan masukan dan tekanan kepada pemerintah, termasuk di daerah, belum terlalu kuat.

Dalam perspektif desentralisasi ekonomi, faktanya aktivitas ekonomi masih terkonsentrasi di beberapa daerah saja. Kesejahteraan dinikmati beberapa daerah saja. Bahkan, secara keseluruhan pembangunan daerah masih dirasakan bias kota, kurang peduli pada pedesaan. Dari 11 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, misalnya, yang berpendapatan per kapita lebih besar dibandingkan dengan pendapatan per kapita provinsi hampir semuanya berada di ”jalur pistol”.

Satu-satunya dari 11 kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang berpendapatan per kapita tinggi, dan bukan beridentitas kota, adalah Kabupaten Cilacap. Namun, tingginya pendapatan per kapita itu lebih karena disokong perusahaan besar yang ada di wilayah itu.

Di sejumlah daerah, upaya peningkatan kesejahteraan rakyatnya itu memang amat bergantung pada partisipasi swasta karena dana pemerintah daerah terbatas. Namun, hal ini juga tetap menyisakan persoalan.

Kalau bicara tentang biaya untuk melakukan usaha di suatu daerah, selain biaya ilegal, ternyata survei juga membuktikan, biaya resmi pun tidak ada keseragaman di seluruh Indonesia. Jadi, ada disharmoni antara ketentuan peraturan perundangan nasional yang tidak ditaati di tingkat daerah.

Pengurusan tanda daftar perusahaan untuk perusahaan kecil, sesuai dengan peraturan nasional, biayanya Rp 100.000, tetapi di Bontang, Kalimantan Timur, misalnya, Rp 500.000.

Bicara tentang biaya ilegal, yang terindikasikan korupsi, survei yang dilakukan KPPOD memetakan dengan jelas bahwa polisi, militer, aparat pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, dan preman merupakan pengutip biaya yang melawan hukum itu.

Sangat sedikit dana dalam APBD yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur desa. Anggaran yang sedikit itu pun masih dikurangi untuk biaya ilegal jika diterima oleh masyarakat di pedesaan.

Bahkan, bukan hanya biaya ilegal, anggaran di daerah pun bias elite. Dana yang dialokasi untuk elite politik, yang jumlahnya sangat sedikit, terlalu besar apabila dibandingkan dengan anggaran yang disiapkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang pasti jumlahnya sangat besar. Akibatnya, pengangguran di negeri ini masih tinggi dan warga miskin masih mencapai lebih dari 31 juta jiwa.

Dalam definisi lain, warga yang harus dilayani program beras untuk keluarga miskin (raskin) atau Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mencapai 70 juta. Mereka sebagian besar tinggal di pedesaan, di daerah, dan di luar Ibu Kota.
Sumber: Kompas, 10 Maret 2011

Soal Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Konteks NKRI – Halo sobat Dinas.id, inilah rekomendasi contoh soal Modul Pembelajaran SMA PPKn, PKN Kelas X KD 3.4 SMA Ujian Akhir Semester (UAS), soal Ujian Tengah Semester (UTS) genap, ganjil, gasal. Yuk, pelajari kumpulan contoh soal-soal sesuai kisi-kisi yang sering muncul tentang materi desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks NKRI.

Untuk memudahkan mengerjakan latihan, silahkan pahami ringkasan materi di bawah ini:

Latar belakang otonomi daerah didasarkan pada keinginan pemerintah pusat dalam mewujudkan pemerintah daerah yang mandiri yang dapat mensejahterakan masyarakatnya dengan mengembangkan potensi yang ada didaerahnya.

Hubungan desentralisasi dengan otonomi daerah adalah hubungan sebab akibat. Di mana desentralisasi lebih ke arah proses pembentukan daerah otonom, sedangkan otonomi berkaitan dengan isi atau akibat dari pembentukan daerah otonom.

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan.

Inti dari tujuan otonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik pada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Prinsip-prinsip otonomi daerah adalah prinsip otonomi luas, prinsip otonomi nyata dan prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Sedangkan asas-asas otonomi daerah adalah desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

BACA JUGA:  Soal Kementerian Negara dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian

Soal Essay

Oke, bacalah petunjuk di bawah ini sebelum menjawab soal!

Tuliskan jawaban yang paling benar!

  1. Jelaskan latar belakang dilaksanakannya otonomi daerah!
  2. Sebutkan prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah?
  3. Jelaskan mengenai asas desentralisasi dalam otonomi daerah!
  4. Sebutkan tujuan otonomi daerah yang sangat dirasakan pemerintah daerah?
  5. Jelaskan prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah dalam melaksanakan otonomi daerah!

1. → Pembahasan:

Latar belakangnya adalah untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang terdapat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Upaya tersebut dilakukan untuk menjunjung tinggi hak-hak rakyat dan mewujudkan aspirasi rakyat karena kedaulatan negara berada ditangan rakyat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tidaklah mungkin pemerintahan pusat dapat bekerja sendiri, tetapi dapat didistribusikan kepada pemerintahan daerah. Adapun faktor lainnya seperti jumlah penduduk yang banyak, keberagaman bangsa Indonesia, wilayah yang luas dengan pulau-pulaunya, dasar negara dan konstitusi yang menghendaki negara demokratis serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan menjadi pertimbangan perlunya otonomi diselenggarakan di Indonesia.

2. → Pembahasan:

Pelaksanaan otonomi daerah dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

  • Otonomi seluas-luasnya artinya daerah diberi kewenangan untuk mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang ditetapkan undang-undang.
  • Otonomi nyata yaitu untuk menangani urusan pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembang sesuai potensi serta kekhasan daerah.
  • Otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan pemberian otonomi.

3. → Pembahasan:

Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. → Pembahasan:

Adapun tujuan dari otonomi daerah diantaranya adalah:

  • Pendidikan politik.
  • Menciptakan stabilitas politik.
  • Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
  • Membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal.
  • Pelaksanaan otonomi daerah diharapkan akan meningkatkan kemampuan pemeritah daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.
  • Pemerintah daerah akan lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang hadapi masyarakatnya.

5. → Pembahasan:

Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Berdasarkan rumusan tersebut pemerintah daerah memiliki wewenang membangun dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing. Daerah mampu bersaing untuk membuktikan kemampuan setiap daerah, madiri untuk menjadi daerah yang lebih baik tanpa menghilangkan keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Selain itu, daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan pemerintah. Artinya menjaga keutuhan wilayah NKRI demi mencapai tujuan negara.

Demikian prediksi soal dan jawaban UTS, UAS PKN Kelas 10, X SMA yang bisa kami sajikan, disimak secara saksama yah. Merdeka Belajar!

Apakah Ini Membantu? Follow Dinas.id di aplikasi Google News, KLIK DISINI