Program yang diajukan IMF untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah

TEMPO.CO, Jakarta - Sudah 20 tahun reformasi bergulir setelah Indonesia melewati masa krisis 1997/1998. Saat itu, Indonesia terpaksa berutang sebesar US$ 9,1 miliar kepada International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional untuk mengatasi krisis keuangan. Utang tersebut baru lunas di 2006.

Badai krisis ekonomi 1997 membuat nyaris semua sendi perekonomian Indonesia dan sejumlah negara di Asia lumpuh. Tak ada jalan lain kecuali meminta bantuan ke IMF untuk mengatasi kondisi Indonesia yang nyaris bangkrut.

Baca juga: BI: Perputaran Uang Sidang Tahunan IMF Capai Rp 4

Awalnya pada 31 Oktober 1997, Indonesia menandatangani Letter of Intent atau LoI yang pertama dengan IMF sebagai wujud kesepakatan IMF untuk membantu memulihkan Indonesia. Kesepakatan itu berujung keputusan IMF untuk memberikan bantuan senilai SpecialDrawingRights atau SDR 7.338 juta kepada pemerintah Indonesia pada 5 November 1997. Pencairan pertama senilai SDR 2.200 juta atau sekitar 3.040 dolar AS.

Dengan LoI yang pertama, keadaan keuangan Indonesia masih belum pulih. Lalu terjadilah LoI kedua yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Pinjaman IMF tersebut kemudian dicairkan secara bertahap hingga 2003. Setelah penandatanganan ini, kondisi Indonesia malah semakin buruk. Rupiah semakin terpuruk dan lebih buruk lagi efek dari likuidasi 16 bank. Rush terjadi di mana-mana. Penarikannya mencapai 30 persen dana pihak ketiga.

Krisis likuiditas perbankan terjadi dan memicu bank mengambil kebijakan menaikkan bunga untuk menahan masyarakat agar tidak menarik uangnya dari bank. Bunga dinaikkan 10 persen hingga mencapai 60 persen.

Langkah ini malah menjadi senjata makan tuan. Perbankan mengalami negativespread akibat biaya bunga lebih besar dari pendapatan bunga. Alhasil, ketika krisis terjadi, rupiah merosot tajam dan inflasi semakin tinggi membuat para pengusaha yang notabene adalah debitur perbankan menjadi kesulitan likuiditas. Banyak perusahaan jatuh bangkrut, terjadi kredit macet sementara biaya bunga bank terhadap deposan terus menumpuk.

Alhasil, pada 4 April 1998, pemerintah membekukan lagi 7 bank swasta nasional. Kemudian pada 28 Mei 1998, Bank Central Asia (BCA) diambil alih oleh pemerintah dan berstatus BTO (BankTakeOver). Inflasi yang tinggi diperparah lagi pengurangan subsidi BBM pada 4 Mei 1998 akibat konsekuensi LoI IMF. Sementara itu kerusuhan massa dan konflik horisontal maupun vertikal terjadi dimana-mana. Ujungnya, membawa kejatuhan Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun.

Warisan utang-utang Indonesia kepada IMF tersebut, baru lunas di era pemerintahan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 2006. Sisa cicilan utang yang dijadwalkan jatuh tempo pada 2010 senilai total US$ 7,5 miliar, dipercepat pelunasannya pada 2006. Sebelumnya, pada Juni 2006, bank sentral telah membayar US$ 3,7 miliar kepada IMF.

Deputi Gubernur Bank Indonesia kala itu, Hartadi A. Sarwono, mengatakan, total sisa pembayaran utang ke IMF yang dibayarkan adalah US$ 3,2 miliar. Perinciannya, US$ 3,1 miliar sisa utang pokok dan sisanya bunga utang. Menurut dia, percepatan pelunasan ini menghemat biaya negara. "Setelah dikurangi dengan biaya penalti karena mempercepat pembayaran (senilai US$ 500 ribu), kita bisa save US$ 21,5 juta," kata dia.

Ketika banyak orang mengkritik, IMF mengklaim telah memainkan peranan positif dalam membantu memulihkan ekonomi Asia saat diterpa krisis keuangan pada 1997. IMF memberikan bantuan dana yang besar untuk pemulihan tersebut. IMF berdalih langkah-langkah yang ditetapkan mereka tidak segera membuahkan hasil karena kurangnya transparansi atau keterbukaan.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan, anjloknya rupiah ke level Rp 14.000 dalam beberapa hari terakhir secara psikologis membangkitkan trauma masyarakat akan peristiwa krisis 1998. Dia menilai, saat ini kondisi pelemahan rupiah mirip dengan yang terjadi dengan gejala krisis ekonomi pada 1998. Bila saat ini dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, Tony melihat fundamental ekonomi Indonesia berada di posisi yang lebih baik.

Namun begitu, Tony menyebutkan ada perbedaan mendasar terkait kondisi krisis pada 1998 dengan saat ini. Pada 20 tahun silam terjadi krisis karena ada indikator utang luar negeri oleh swasta yang jatuh tempo. Jumlah utang yang sangat besar dan tidak diimbangi dengan cadangan devisa yang cukup membuat rupiah terpuruk makin dalam.

 "Kenapa terjadi krisis pada 1998? Karena ada satu indikator yang terluput dari perhatian BI saat itu, yakni utang luar negeri oleh swasta yang jatuh tempo," ujar Tony dalam sebuah acara diskusi bertajuk 'Gonjang-Ganjing Rupiah' di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.

Saat itu, kata Tony, peraturan devisa memang memperbolehkan pihak swasta untuk bebas berutang ke luar negeri dan tidak tercatat. "Ketika utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo tidak balance dengan cadangan devisa yang ada, terjadilah depresiasi rupiah yang sangat dalam. Ini satu titik lemah Bank Indonesia, Bank Dunia, dan IMF saat itu," tuturnya.

Setelah krisis 1998 itu, Indonesia sudah mulai belajar dan mencatatkan utang swasta. Sehingga dengan data yang ada, bisa mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Kendati demikian, struktur ekonomi Indonesia saat ini dinilai kurang kuat karena tidak berorientasi kepada ekspor.

Di tengah rupiah yang melemah, kritik kembali menyerang pemerintah karena pertemuan tahunan IMF-World Bank bakal digelar di Bali pada 12-14 Oktober 2018. Anggaran perhelatan akbar itu sekitar Rp 800 miliar. Banyak komentar negatif masyarakat di sosial media yang menyebutkan acara tersebut menghamburkan uang negara, saat kondisi perekonomian Indonesia tidak cukup stabil.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati atau Sri Mulyani meradang mendengarkan komentar tersebut. Kamis lalu, saat memberikan sambutan dalam acara pelantikan pejabat eselon III di Kementerian Keuangan, perempuan yang akrab disapa Ani itu mengingatkan kepada jajarannya untuk dapat menjelaskan hal tersebut kepada publik. "AnnualMeetingIMF-WorldBank ini bukan pesta, bukan penghamburan uang," ujar Sri Mulyani dengan nada sedikit tinggi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan selaku ketua panitia nasional (PanNas) penyelenggara acara juga berkali-kali mengatakan, perhelatan akbar tersebut akan lebih banyak menguntungkan Indonesia. Estimasi pemerintah, pertemuan itu akan dihadiri lebih dari 15 ribu peserta yang di antaranya merupakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 189 negara, serta perwakilan dari organisasi-organisasi internasional, pimpinan perbankan internasional, akademisi dari berbagai negara, dan petinggi berbagai perusahaan terkemuka dunia.

"Lebih dari setengah anggarannya akan kembali ke Indonesia, karena akomodasi untuk hotel dibayar sendiri oleh peserta acara. Segala infrastruktur yang dibangun pada akhirnya juga bermanfaat untuk Bali sebagai destinasi wisata," ujar Luhut di Jakarta, Selasa, 13 Maret 2018.

Bank Indonesia (BI) memprediksi perputaran uang dalam Annual Meeting IMF-World Bank yang akan digelar pada 9-14 Oktober 2018 mencapai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun. Kepala Unit Kerja Pertemuan Tahunan IMF World Bank 2018, Peter Jacobs mengatakan perkiraan hitungan tersebut masih minimal.

Setelah 20 tahun reformasi, Indonesia berusaha mengambil untung dengan menjamu dokter yang dulu disebut memberi resep yang salah bagi ekonomi Indonesia yang tengah sakit.

PDAT TEMPO 

Jakarta, CNN Indonesia -- Kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, terlihat ramai oleh pejabat dan wartawan yang menunggu tamu penting pada Kamis, 15 Januari 1998. Tak berselang lama, sosok yang ditunggu akhirnya hadir, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Michel Camdessus. Didampingi Penasihat Ekonomi Widjojo Nitisastro dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Presiden Soeharto menyambut hangat Camdessus dengan jabat tangan di pintu depan kediaman. Para pejabat itu lalu menuju sofa ruang tamu, untuk sementara duduk, mengobrol, dan menuai tawa, sembari menunggu momentum utama disiapkan.Pertemuan Camdessus dan Soeharto memang bukan hanya ajang silaturahmi atau berbasa-basi. Keduanya bertemu untuk menandatangani surat kesediaan (letter of intent/LoI) paket bantuan selama 5 tahun senilai US$43 miliar dari IMF untuk Indonesia. Seketika itu juga, Indonesia menjadi 'pasien' IMF demi pulih dari krisis ekonomi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam video berjudul "Jakarta: International Monetary Fund Rescue Package" yang diterbitkan AP Archive, Camdessus terlihat menyilangkan tangan sembari menatap Presiden Soeharto yang membungkuk untuk menggoreskan tanda tangan pada beberapa lembar dokumen perjanjian.Video berdurasi hampir tiga menit itu juga menunjukkan posisi tangan Camdessus masih dalam posisi bersedekap ketika Soeharto membacakan sambutan. "Melalui kerja sama ini, kami akan melaksanakan reformasi di berbagai bidang, ekonomi, moneter, termasuk perbankan," demikian penggalan pidato Presiden Soeharto. Kini giliran Camdessus berpidato, "Kami akan mendorong ekonomi Indonesia ke jalur yang solid untuk pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan panggilan untuk kita semua agar siap mulai bekerja dengan sekuat tenaga," ungkapnya.

Program yang diajukan IMF untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah
Gestur Michel Camdessus saat Presiden Soeharto menandatangani letter of intent dikritik karena menunjukkan sikap arogansi terhadap Indonesia yang memang berada dalam posisi lemah. (REUTERS)

Momentum itu menuai banyak komentar, tak hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga pimpinan dunia. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad bahkan memprotes gestur Camdessus karena menunjukkan sikap arogansi terhadap Indonesia yang memang berada dalam posisi lemah.Tak dipungkiri, Indonesia memang tengah 'cidera'. Betapa tidak? Keruntuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat efek domino rontoknya Baht Thailand sejak Juli 1997 menimbulkan kepanikan.

Selama bertahun-tahun, sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) memberikan kepastian pada dunia usaha. Kurs rupiah hanya bergerak pada rentang terbatas, dan persediaan devisa dijamin cukup untuk intervensi otomatis oleh Bank Indonesia (BI).

Namun, gejolak ekonomi di kawasan Asia membuat Indonesia ikut mengubah sistem kurs jadi mengambang penuh (fully floating) pada Agustus 1997. Kurs dibiarkan bergerak murni oleh kekuatan pasar, sehingga membuat pelaku pasar panik, lalu berburu dolar AS demi menyelamatkan aset masing-masing.

Menghadapi gejolak kurs, pemerintah dan BI mengetatkan kendali moneter dan fiskal pada Agustus-September 1997. Khusus moneter, suku bunga SBI dinaikkan dari 11,6 persen menjadi 30 persen. Masalahnya, hal itu justru membuat bank nasional sesak mengelola likuiditas dan terpaksa meminta bantuan likuiditas BI (BLBI) agar tetap bisa beroperasi.Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) era 1998 Boediono menyebut bank sentral menghadapi dilema. Jika tak memberi bantuan, bank nasional tak akan kuat bernapas dan krisis bisa semakin menyesakkan. Jika memberi bantuan, artinya BI melonggarkan aturan dan gagal menahan permintaan devisa.

"Karena pilihan pertama dianggap mengandung risiko lebih besar, opsi kedua yang dipilih," ungkap Boediono dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah yang terbit 2016 lalu.

Program yang diajukan IMF untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah
Paket bantuan IMF yang diberikan pada Indonesia saat terjadi krisis ekonomi 1998 justru membuat kondisi perekonomian makin terpuruk. (REUTERS)

Ketika kondisi memburuk, Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk menjadi dokter penyembuh krisis. Saat itu, Indonesia didiagnosis mengalami moneter berskala sedang. Terapi yang diperlukan antara lain, mengetatkan kebijakan fiskal dan moneter, serta menetapkan batas maksimal pertumbuhan uang primer. Selain itu, membenahi sektor perbankan dengan menutup 16 bank sakit, serta menjalankan reformasi struktural dengan mengendalikan likuiditas dan menyehatkan sejumlah bank yang berpotensi hidup sehat. Namun, harapan seringkali tak sesuai kenyataan. Sejumlah program gagal mencapai sasaran.Mantan Menteri Keuangan itu menilai kegagalan disebabkan beberapa faktor. Antara lain, informasi mengenai kondisi perbankan tidak lengkap dan akurat, terutama terkait utang luar negeri swasta. "Tidak ada sistem penjaminan penuh atas simpanan di bank saat bank ditutup. Pelaksanaan di lapangan juga tidak konsisten, sehingga mengurangi kredibilitas program,"papar Boediono.

Program yang diajukan IMF untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah
Krisis moneter 1998 sempat membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok ke angka Rp16 ribu. (REUTERS)

Ia menyebutkan biaya langsung yang ditanggung pemerintah dalam bentuk surat utang mencapai Rp620,9 triliun. Terdiri dari, biaya BLBI Rp144,5 triliun, biaya rekapitulasi dan lain-lain yang diinjeksikan kepada bank Rp476,4 triliun (Rp188,2 triliun kepada bank swasta dan Rp288,2 triliun kepada bank BUMN). Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2006, jumlah yang bisa dikembalikan oleh BPPN adalah Rp188 triliun.Ekonom PT Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menilai obat yang diberikan IMF ternyata sangat pahit untuk ditelan ekonomi Indonesia. Dalam kebijakan BLBI, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dengan memasukkan aset-aset tidak berharga dalam daftar aset untuk mendapat dana penjaminan. Hal itu terjadi karena situasi sedang panik dan tak ada kontrol dari lembaga terkait. Senada dengan ekonom lain, Lana berpendapat usulan IMF untuk melikuidasi 16 bank nasional adalah kesalahan paling besar yang menimbulkan efek psikologis sangat buruk bagi sektor moneter. "Dulu kita itu menganggap obat IMF baik, tapi ternyata salah dokter. Mereka pikir likuidasi 16 bank yang lain akan sehat, ternyata salah," katanya.Menurut Lana, IMF seharusnya memberi nasihat kebijakan ekonomi disertai rambu-rambu dan efek samping yang jelas dan terukur, sehingga pemerintah tahu risiko yang akan dialami ke depan. "Seharusnya, tanggung jawab itu ada di IMF karena dia sudah menjadi dokter. Tidak cuma memberi obat, tapi juga memberitahu efek sampingnya seperti apa," tegas Lana.

Program yang diajukan IMF untuk memperbaiki keadaan perekonomian Indonesia adalah
Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli (tengah) menilai Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menerima bantuan sekaligus nasihat IMF. (AFP PHOTO / OKA BUDHI)

Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menilai Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menerima bantuan sekaligus nasihat IMF. Ironisnya, Indonesia justru menjadi negara yang paling terpuruk dalam menghadapi krisis moneter 20 tahun silam. Keputusan menerima uluran tangan IMF merupakan kesalahan terbesar rezim Orde Baru. Pasalnya, IMF menyarankan berbagai program kebijakan yang tak masuk akal dan malah membuat kondisi ekonomi nasional justru semakin terpuruk.
"IMF bikin blunder karena menawarkan paket bantuan dengan syarat yang banyak sekali, susah dipenuhi, mengada-ngada, pemerintah terpaksa manut," tuturnya. Kebijakan likuidasi 16 bank yang dianggap sakit justru menihilkan kepercayaan masyarakat, sehingga menarik seluruh dana mereka dalam bentuk tunai untuk dialihkan ke luar negeri. Alhasil, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS justru semakin longsor. Tak hanya itu, BLBI juga menjadi pangkal 'perampokan' uang negara oleh para perusahaan keuangan. Selain itu, kenaikan suku bunga turut memperparah situasi ekonomi. Bank-bank swasta banyak dimiliki oleh grup konglomerasi dan sebagian besar dana kredit disalurkan untuk entitas bisnis grup itu sendiri. Alhasil, kredit bank macet.
"IMF teorinya textbook (teks buku). Menurut mereka, kalau orang tak percaya mata uang, tingkat bunga naik saja. Mereka pikir orang tak akan alihkan dana, padahal salah besar," paparnya. Dalam perkembangannya, banyak pihak menduga IMF sengaja memberi resep yang keliru untuk membuat situasi politik memanas. Terlebih, Presiden Amerika Serikat saat itu Bill Clinton disebut-sebut tak lagi menyukai kepemimpinan Orde Baru. "Mungkin ini motif untuk menjatuhkan presiden atau motif ekonomi, tapi sulit untuk dideteksi," katanya.

Terlepas dari isu intervensi IMF dan pemerintah AS dalam pergolakan ekonomi Indonesia, rezim yang berjalan lebih dari tiga dekade itu pun akhirnya tumbang. (bir/asa)