Pt freeport mendirikan sekolah-sekolah untuk masyarakat papua

Pt freeport mendirikan sekolah-sekolah untuk masyarakat papua
Pt freeport mendirikan sekolah-sekolah untuk masyarakat papua
SD Negeri Amamapare, Pulau Karaka, Mimika (AJI Papua)

AJI Papua

Tim Penulis : Dominggus Mampioper, Speedy Paraeng dan Jack Wally

Walau masyarakat Suku Kamoro tak lepas dari sungai sampan dan sagu tetapi semangat untuk membangun sekolah sangat besar, Buktinya pemerintah  kesulitan menjangkau daerah-daerah yang masih dalam konsesi PT Freeport Ind. Masyarakat berjuang secara swdaya membangun sekolah. Warga Pulau Karaka tak mau kalah merebut masa depan bagi anak-anak mereka.

Pagi itu, Selasa(21/02/12) cuaca di Pulau Karaka, Kampung Amamapare, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua sangat cerah. Mentari dari ufuk timur mulai memancarkan sinarnya membelah dinding-dinding pemukiman warga pulau karaka yang seluruhnya terbuat dari kayu termasuk beberapa jalan selebar satu meter yang menghubungkan sekolah dan beberapa rumah warga. Sesekali terdengar bunyi papan yang mulai rusak ketika orang sedang berjalan. Satu-satu murid-murid SD Negeri Amamapare mulai berdatangan. Merah butih baju kebanggaan mereka terlihat jauh mengiringi langkah kaki yang penuh semangat menuju sekolah.  Kebanyakan dari mereka tidak menggunakan sepatu, namun tidak mengurungkan niat mereka untuk mendapat pendidikan. Sesekali ada canda tawa saling ejek menghiasi alunan langkah mereka menuju ke sekolah.

Setelah berkumpul di Balai Kampung yang letaknya bersebelahan dengan sekolah untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan doa bersama. Usai berkumpul ratusan murid ini bergegas menuju ke kelas masing-masing untuk belajar. Namun sebagian tetap tinggal di Balai Kampung untuk belajar karena memang ruangan kelas yang tersedia tidak cukup menampung semua murid.

Kepala Sekolah SD Negeri Amamapare, Yulius Nawipa menuturkan, SD Negeri Amamapare berdiri sejak 19 Juni 2010. Ketika itu ia melihat banyak anak usia sekolah yang tinggal di Kampung Amamapare, Pulau Karaka yang sehari-hari hanya bermain ataupun mengikuti orang tua mereka mencari nafkah.  Dari situlah ia berniat mendirikan sekolah dengan mencoba mengkomunikasikan rencana tersebut kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, aparat kampung, tokoh masyarakat dan warga setempat. Warga Kampung Amamapare pun mulai membangun gedung sekolah dengan bahan seadanya.

Menurut Yulius, gedung sekolah dibangun dengan menggunakan konstruksi kayu dalam bentuk panggung. Di mana tiang penyangga gedung menggunakan kayu mangi-mangi (kayu bakau) dan atap dari daun nipah (daun sejenis daun pohon sagu atau palma). Sementara untuk dinding gedung sekolah, warga menggunakan papan dan tripleks bekas buangan dari PT Freeport Indonesia. Yulius menjelaskan, dengan gedung sekolah yang dibangun apa adanya ini, jadilah empat  ruang kelas. Namun dengan empat ruang kelas ini ternyata tidak mampu menampung anak didik mereka.

Pada awal pendirian sekolah dan dari hasil pendataan aparat kampung terhadap anak usia sekolah di kampung Amamapare diperoleh jumlah anak usia sekolah sekitar 600 murid yang dibagi dari kelas 1 hingga kelas 6. Anak usia sekolah yang terdapat di Kampung Amamapare pada umumnya telah memperoleh pendidikan formal di kampung mereka sebelumnya, sehingga pihak sekolah ketika itu membagi mereka sesuai dengan usia dan kelas terakhir yang mereka ikuti di sekolah sebelumnya.

Dengan jumlah murid yang begitu banyak, ruang sekolah yang tersedia tidak mampu menampung semua jumlah murid. Hal ini menyebabkan pihak sekolah menggunakan balai kampung dan halaman upacara bendera sebagai tempat untuk memberikan pelajaran. Untuk kelas 1 hingga kelas 3 menggunakan gedung sekolah yang dibangun secara swadaya, sementara untuk anak kelas 4 hingga 6 menggunakan balai kampung dan halaman upacara dengan menggunakan tenda agar anak terlindung dari sinar panas matahari. Aktifitas belajar mengajar di SD Negeri Amamapare dimulai dari pukul 8.00 WIT hingga pukul 12.00 WIT. Di sekolah ini tidak ada kursi dan meja, mereka belajar dilantai papan dengan posisi membungkuk ketika mencatat.

Sungguh ironis memang, di daerah yang penuh dengan Sumber Daya Alam SDA yang melimpah, masih terdapat sekolah yang sangat tidak layak. Kepala Sekolah SD Negeri Amamapare Yulius Nawipa mengatakan, sejak sekolah berdiri, ia telah meminta kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mimika dan PT Freeport Indonesia secara bersama untuk membangun gedung sekolah yang lebih layak untuk anak didiknya.

Namun sayang usulan tersebut hingga saat ini belum juga terealisasi. Ia menjelaskan, tahun ini (2012) Pemda Mimika telah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan gedung sekolah, namun hanya tiga ruangan, untuk itu ia meminta PT Freeport Indonesia juga membangun tiga ruang kelas sehingga total menjadi enam ruang kelas agar bisa menampung semua anak didiknya.

Yulius mengatakan, selain gedung sekolah yang tidak layak, ada faktor lain yaitu budaya yang menjadi kendala dan sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar di sekolah. Sebagai warga suku Kamoro yang memiliki adat istiadat yang sangat kental, mereka sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu sungai, sagu dan sampan. Orang Suku Kamoro sangat tergantung dengan tiga hal tersebut. Hal ini mengakibatkan sejak dini mereka sudah harus dididik mengenal alam. Budaya ini mengakibatkan setiap orang tua ketika hendak mencari nafkah yaitu mencari ikan, karaka (kepiting), udang ataupun menokok sagu sering mengajak anak mereka.
Dengan demikian anak menjadi tidak bersekolah karena mengikuti orang tuanya. Selain itu, ketika ada acara pesta adat seperti KARAPAU (pesta adat atau ritual adat untuk anak-anak suku Kamoro yang mulai masuk pada usia remaja atau dewasa) di kampung mereka, orang tua juga selalu mengajak anak mereka.  Hal inilah yang mengakibatkan anak mereka tidak dapat bersekolah dengan baik. Ironisnya pesta adat seperti ini biasa dilakukan selama 6 bulan mulai dari persiapan hingga hari H.

Yulius sering menyampaikan kepada orang tua agar tidak membawa serta anak mereka untuk pergi mencari nafkah ataupun mengikuti pesta adat karena mempangaruhi proses belajar mengajar anak mereka, namun hal ini tidak pernah diindahkan. Padahal niat anak untuk bersekolah sangat tinggi.

Guru yang mengajar di sekolah ini sebanyak 9 orang yang semuanya bertempat tinggal di Timika. Mereka setiap hari turun mengajar dengan mengikuti bus PT Freeport yang mengantar karyawan ke tempat kerja di Portsite, Pelabuhan Amamapare. Tidak adanya perumahan untuk guru mengakibatkan guru setiap hari harus pulang pergi untuk mengajar.

Menurut salah satu warga suku Kamoro yang bermukim di Kampung Amamapare, Pulau Karaka, Primus Kapiyau, dengan gedung sekolah yang tidak layak mengakibatkan anak menjadi tidak nyaman dalam mengikuti proses belajar mengajar. Namun mereka tetap bersekolah dengan kondisi yang apa adanya karena niat mereka sangat tinggi untuk dapat bersekolah. Kata dia sejak adanya sekolah, anak-anak di Kampung Amamapare sangat senang. Mereka jadi bisa membagi waktu bermain dan bersekolah. Sebelum ada sekolah mereka hanya bermain dan dipengaruhi lingkungan sekitar sehingga sering mabuk-mabukan. Namun dengan adanya sekolah kebiasan ini mulai hilang perlahan-lahan.

Sekolah yang ada ini, katanya, dibangun secara swadaya oleh warga karena orang tua juga merasa prihatin dengan anak mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal layak anak pada umumnya. Ia berharap, ada perhatian dari pemerintah dan PT Freeport Indonesia agar dapat membangun sekolah yang layak untuk anak-anak di Kampung Amamapare, Pulau Karaka demi masa depan mereka.

Sementara itu salah satu tokoh pemuda Suku Kamoro Georgerius Okuare menegaskan, PT Freeport Indonesia harus memiliki kepekaan dan tanggungjawab terhadap pendidikan anak di Kampung Amamapare, Pulau Karaka. Kata dia, Kampung Amamapare, Pulau Karaka hanya bersebelahan dengan pabrik pengolahan dan pengiriman emas, perak dan tembaga milik PT Freeport Indonesia namun perusahaan seolah-olah menutup mata terhadap kehidupan masyarakat setempat.

Freeport juga seperti mendiskriminasi warga suku Kamoro bila dibandingan dengan warga yang bermukim di pegunungan (suku Amungme). Perhatian Freeport hanya terfokus pada daerah pegungungan sementara untuk daerah pesisir warga suku Kamoro sangat tidak diperhatikan. Padahal limbah yang dihasilkan dari operasi pertambangannya yang menerima adalah warga pesisir atau suku Kamoro. Ia berharap Pemerintah dan PT Freeport Indonesia bisa saling bekerja sama untuk membangun sekolah yang layak untuk anak-anak suku Kamoro yang bermukim di Kampung Amamapare, Pulau Karaka.

Ramdani Sirait, Corporate Communication PT FI yang dihubungi baik tim Investigasi di Timika maupun di Jayapura hanya meminta stafnya di Jayapura untuk mengirimkan pertanyaaan seputar masyarakat di Pulau Karaka, mulai dari bantuan PT FI dan juga perihal kepindahaan warga dari Pulau Karaka. Sayangnya pihak Corcom PT FI tak memberikan jawaban maupun komentar. Hanya saja Pieter Tukan, staf Corcom PT FI mengatakan, semua pertanyaan sudah dikirim ke Ramdani Sirait Corporate Communication.

Sedangkan Lembaga Pendidikan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) juga tak menyentuh pendidikan masyarakat di Pulau Karaka yang mayoritas anak-anak dari Suku Kamoro.  Padahal fokus utama dari LPMAK adalah anak-anak, kedua pendidik dan tenaga pendidik, ketiga dukungan orangtua dan masyarakat, keempat sarana dan prasarana(stake-holder).

Undang-undang di Indonesia jelas mengatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Negara memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan setiap warga negara mengeyam pendidikan. selain itu, negara juga memiliki tanggungjawab untuk mendirikan bangunan sekolah yang layak agar anak dapat sekolah dengan nyaman. Namun regulasi ini bagi warga suku Kamoro hanya menjadi slogan biasa karena mereka sama sekali belum menikmati pendidikan yang baik layaknya anak-anak disekolah lain terutama di daerah kota.

Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kabudayaan Kabupaten Mimika Nilus Leisubun mengatakan, Pemerintah Kabupaten Mimika sangat konsen terhadap pendidikan dasar khususnya di daerah-daerah terpencil. Untuk Kampung Amamapare, Pulau Karaka, tahun ini pemerintah daerah akan membangun tiga ruang kelas dengan konstruksi kayu sesuai dengan kondisi daerah setempat. Kata dia, pemerintah tidak bisa sekaligus membangun 6 ruangan karena keterbatasan dana. Selain itu masih ada daerah lain yang juga membutuhkan perhatian yang sama. Namun untuk menuju kearah sekolah yang normal dengan bangunan gedung yang lengkap, perumahan guru, kantor dan perpustakaan akan dibangun secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan.

Menurut dia, khusus untuk kampung Amamapare, yang terpenting adalah adanya proses belajar mengajar sehingga menjauhkan anak-anak setempat dari ketertinggalan (kebodohan) ketimbang menunggu adanya gedung untuk melaksanakan pendidikan. Jaminan Pelayanan, kepastian Layanan, kepastian Jangkauan, kepastian Pendidikan dan kepastian Mutu menjadi sasaran perhatian Pemerintah Kabupaten Mimika untuk daerah-daerah pinggiran dan pedalaman.

Nelius Leisubun, Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Mimika menjelaskan, Pemerintah Daerah sejak dulu telah ingin mendirikan sekolah formal di Kampung Amamapare, namun terkendala dengan status lokasi tersebut. Menurutnya, daerah itu diklaim PT Freeport Indonesia sebagai lokasi yang masuk dalam kawasan konsesi perusahaan yang tidak diperbolehkan adanya aktifitas masyarakat. Dengan demikian pelayanan pemerintah seperti pendidikan dan kesehatan mengalami kendala.

Ia mengatakan, apabila sejak dulu sekolah telah didirikan, maka ratusan ataupun ribuan anak suku Kamoro yang bermukim di Kampung Amamapare dapat terselamatkan dari kebodohan (tidak bisa baca, tulis dan berhitung). Pemerintah Kabupaten Mimika secara hukum sangat menghormati kawasan perusahaan, namun di sisi lain ada ratusan anak-anak yang harus diselamatkan dari kebodohan, sehingga itu menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memberikan kepastian pelayanan hak dasar dan itu merupakan kewajiban dari pemerintah.

Kata dia, apabila tidak ada pelayanan hak daerah yang diberikan oleh pemerintah terhadap warga negara, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM. Kebodohan merupakan bencana sosial yang berdampak seumur hidup bagi setiap orang. Dengan bodoh maka akan mendekatkan diri pada kemiskinan dan ini dampaknya sangat besar terhadap tanggungjawab negara pada setiap warga negara.Ia menegaskan, tugas dan fungsi pemerintah adalah bagaimana memastikan rakyat Indonesia mendapat pelayanan Hak Dasar. Soal tempat dan lokasi yang bermasalah, sepanjang ada kehidupan dan warga negara di daerah itu, maka menjadi tugas pemerintah untuk menyelamatkan anak dari kebodohan.

Nilus Leisubun jugamengatakan, terkait dengan keberadaan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, harus juga memiliki kepedulian sosial terhadap pendidikan masyarakat, bukan hanya soal menyekolahkan anak pribumi di luar Timika, namun juga terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan di Timika. Sebagai Pemerintah, pihaknya tidak akan mengemis untuk soal ini kepada PT Freeport Indoenesia, namun semestinya itu adalah kepekaan perusahaan sebagai tanggungjawab sosial karena mereka berada disekitar perusahaan. Untuk pendidikan dan kesehatan (hak dasar) tidak boleh ada alasan apapun atau dibatasi karena ini hak dasar tujuan negara ini mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai suatu negara yang sejahtera. Dengan demikian tidak boleh ada larangan untuk pembangunan sarana pendidikan dan sekesatan termasuk pembangunan manusia di Kampung Amamapare, Pulau Karaka.

Setiap hari, masyarakat suku Kamoro yang bermukim di Kampung Amamapare, Pulau Karaka bermatapencaharian sebagai nelayan, pencari karaka (kepiting) dan menokok sagu untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Mereka tinggal di pulau seluas 5 hektar dengan rumah model panggung dengan konstruksi kayu. Sebagian dari hasil pencarian mereka, mereka jual ke kota Timika dan di Porsite (kawasan pelabuhan PT Freeport Indonesia) yang bersebelahan dengan kampung tempat tinggal mereka yang hanya dipisahkan dengan sungai. Dari hasil tangkapan mereka ini, setiap hari warga setempat bisa memperolah pendapatan sebesar Rp.200 ribu hingga Rp.300 ribu.

Salah satu Aparat Kampung Amamapare, Pulau Karaka Fakundus Natipia bercerita, awal mula ada kehidupan di Pulau Karaka karena adanya PT Freeport Indonesia. Sebelum masyarakat (suku Kamoro) mulai berdatangan untuk menempati lokasi tersebut, sejumlah karyawan yang bekerja di Portsite, Pelabuhan Amamapare sudah menempati Pulau Karaka terlebih dahulu.

Sejak tahun 1972, pulau Karaka mulai ada manusia yang menempati, namun itu awalnya adalah karyawan yang pindah dari Pit 11 (lokasi yang tidak jauh dari pulau Karaka saat ini) karena pertimbangan kedekatan tempat kerja dan tempat tinggal. Sejak itulah mulai ada aktifitas kehidupan di Pulau Karaka. Fakundus mengatakan, dulunya Pulau Karaka adalah tempat mencari karaka (kepiting) dari masyarakat yang bemukim di Kampung Tipuka dan Kampung Ayuka. Selain mereka pulau Karaka menjadi tempat persinggahan bagi warga suku Kamoro yang hendak mencari ikan di sungai maupun di laut. Mereka mendirikan pondok atau befak-befak sebagai tempat tinggal mereka sementara.

Seiring berjalannya waktu, warga masyarakat suku Kamoro mulai berdatangan dari berbagai kampung di pesisir pantai untuk menempati Pulau Karaka, kebanyakan mereka yang datang adalah dari warga kampung Timika Pantai, Atuka, Kekwa, Aikawapuka, Fanamo, Omawita, dan Otakwa. Ada juga warga dari Mimika Barat, Pronggo, Kipia dan Mapar, sementara untuk karyawan dari suku Biak, Bugis, dan Kei. Fakundus menjelaskan, Pemerintah Kabupaten Fak-fak dan PT Freeport Indonesia pernah merelokasi warga yang bermukim di Pulau Karaka (ketika itu Mimika masih menjadi salah satu kecamatan dari kabupaten fak-fak) ke Timika dan sebagian Kampung Cenderawasih di Pomako. Namun karena tidak dilakukan pengawasan, warga kembali menempati lokasi pulau hingga saat ini.

Warga beranggapan dengan tinggal dekat dengan areal perusahaan bisa membantu mereka untuk menjual hasil tangkapan mereka, karena setiap sore warga kampung Amamapare, pulau Karaka menjual udang, karaka (kepiting), dan ikan kepada karyawan di Portsite, Pelabuhan Amamapare milik PT Freeport Indonesia.
Tahun 2010 lalu, DPRD Mimika dan PT Freeport Indonesia berencana kembali merelokasi warga yang saat ini bermukim di Kampung Amamapare, namun hingga saat ini rencana tersebut belum terealisasi.

Fakundus mengatakan, pada prinsipnya warga mau dipindahkan (relokasi), namun Pemerintah dan PT Freeport Indonesia diminta untuk menyiapkan segala sesuatu untuk masyarakat. Masyarakat ingin dipulangkan ke kampung asal mereka ataupun dipindahkan ke lokasi baru, namun mereka meminta kepindahan atau kepulangan mereka dengan senyum. Saat ini jumlah penduduk di Kampung Amamapare Pulau Karaka, sebanyak 100 lebih Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa diperkirakan sekitar 1000 lebih.

Sebenarnya sejak adanya kehidupan di Kampung Amamapare, Pulau Karaka, masyarakat setempat sudah menginginkan adanya sekolah, namun selalu terkendala dengan larangan dari PT Freeport Indonesia untuk adanya pembangunan fasilitas publik di Kampung Amamapare. Hal ini mengakibatkan Pemerintah Daerah juga sepertinya ragu-ragu untuk membangun karena memang PT Freeport Indonesia menginginkan pulau Karaka dikosongkan dengan alasan masuk dalam kawasan perusahaan yang tidak boleh ada aktifitas publik di dalamnya.

Keberadaan SD Negeri Amamapare, kata Fakundus merupakan perjuangan warga setempat karena merasa prihatin dengan anak-anak mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal layaknya anak-anak yang lainnya. Gedung sekolah yang dibangun ini merupakan inisiatif warga, yang terpenting bagi warga adalah anak-anak mereka terhindar dari kebodohan karena ini merupakan kebutuhan dasar yang harus dimiliki setiap warga negara di negeri ini. Ia menjelaskan, niat anak-anak untuk belajar sangat tinggi, hanya saja mereka terkendala dengan pengaruh orang tua yang masih saja membawa anak mereka untuk pergi mencari nafkah ataupun mengikuti pesta adat seperti yang terjadi saat ini.

Sebagai perusahaan yang beroperasi di daerah mereka, Fakundus menegaskan, PT Freeport Indonesia sama sekali tidak memperhatikan masyarakat khususnya suku Kamoro. Padahal perusahaan juga memiliki tanggungjawab mencerdaskan anak adat tempat mereka melakukan operasional pertambangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun kata Fakundus perusahaan sepertinya menganaktirikan warga suku Kamoro bila dibandingkan dengan warga suku Amungme yang bermukim di pegunungan. Perusahaan sepertinya menutup mata dengan warga suku Kamoro yang bermukim di Kampung Amamapare, Pulau Karaka. Perusahaan beranggapan tidak ada penguhuni di Kampung Amamapare, sehingga sama sekali tidak diperhatikan dengan pembangunan, baik manusianya maupun dari sisi fisik kampung.

Pemerintah Daerah juga tidak pernah memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Bantuan perumahan dari Program Eme Neme juga tidak pernah dirasakan oleh masyarakat padahal bantuan itu sudah dijalankan sejak tahun 2010. Kata Fakundus, bantuan yang masyarakat dapatkan selama ini adalah dari Respek Provinsi Papua. Bantuan itu sudah mereka alokasikan untuk membangun jalan setapak yang terrbuat dari kayu karena kampung pulau karaka sering terendam air ketika air sungai pasang. Selain itu, pembangunan dua unir ruangan untuk sanggar PPK dan pengadaan tong air untuk menampung air hujan karena warga setempat sangat kesulitan memperoleh air bersih dan sejumlah kebutuhan masyarakat lainnya.

Secara administrasi, Kampung Amamapare, Pulau Karaka merupakan kampung yang diakui sebagai salah satu kampung dari Kabupaten Mimika. Ini terbukti dari adanya program bantuan dari Pemerintah Provinsi melalui program Respek. Kepala Sub Bagian Administrasi dan Aparat Kampung Bagian Pemerintahan Kampung Sekretariat Daerah Kabupaten Mimika, Petrus Palalangan mengatakan, Kampung Amamapare merupakan salah satu kampung yang masuk dalam Distrik Mimika Timur Jauh selain Kampung Ayuka, Fanamo, Ohotya dan Omawita. Itu merupakan kampung definitif dan sah dikui sebagai salah satu kampung di distrik mimika timur jauh. Kampung amamapare sejak 1996 sudah jadi kampung. Kata dia, secara administrasi, kampung ini juga masuk dalam kawasan PT Freeport Indonesia sehingga itu menjadi kawasan yang dikuasai oleh perusahaan.

Apabila dilihat dari kondisi kampung dan letak geografis, Petrus menjelaskan, kampung ini tidak layak huni, karena hanya terdiri dari 5 hektar dan sering terencam air ketika air sungai naik, makanya rumah warga semua terbuat dari kayu dengan model panggung.  Ia menambahkan, rencana relokasi warga tahap kedua ini tidak pernah melibatkan pihaknya sehingga ia sama sekali tidak tahu terkait dengan rencana ini. Terkait dengan pembangunan sarana publik ia sendiri mengaku kurang tahu rencana itu. Namun semua ini tergantung dengan Pemimpin Daerah. Walaupun Kampung Amamapare masuk dalam kawasan Freeport namun ada sejumlah warga negara yang memiliki hak untuk mendapat pelayanan dari pemerintah seperti kebutuhan dasar baik pendidikan dan kesehatan termasuk kebutuhan lainnya.*