Reproduksi secara partenogenesis embrio berkembang internal terdapat amnion anak kurang pengasuhan

* The preview only show first 10 pages of manuals. Please download to view the full documents.

Loading preview... Please wait.

Download Bab. 16. Reproduksi t&h PDF for free.

About Us

We believe everything in the web must be free. So this website was created for free download documents from the web. We are not related with any websites in any case.

Disclaimer

We are not liable for the documents. You are self-liable for your save offline.

This site utilizes cookies to guarantee you get the best experience on our site. You can learn how to disable cookie here.

Privacy Policy

We are committed to ensuring that your privacy is protected.

You can ask for link removal via contact us.

Ular bernama Thelma ini benar-benar membuat bingung dan kaget pada penjaganya.

Piton dengan panjang enam meter ini menghabiskan empat tahun sendirian di Kebun Binatang Louisville di AS, tanpa sekalipun bertemu dengan ular jantan spesiesnya. Tapi, dia tiba-tiba saja memproduksi 61 butir telur, dan menghasilkan enam anak yang sehat.

Mungkin, dia pernah berhubungan dengan ular jantan bertahun-tahun lalu dan menyimpan sperma di perutnya?

Tes genetik yang dilakukan tak lama kemudian mengungkap jawabannya.

Thelma menjadi piton pertama di dunia yang mampu melakukan reproduksi tanpa kawin dengan pejantan.

Dia melakukannya dengan menyatukan sel telur dengan sel yang dihasilkan dari sel yang membelah diri yang disebut polar body. Semuanya memainkan peran yang sama dengan sperma yaitu untuk memicu sel telur berkembang menjadi embrio.

Setiap keturunannya berisi dua salinan setengah kromosom Thelma. Jadi mereka adalah setengah klon dari Thelma.

Walau luar biasa, kita bisa melihat bahwa Thelma dan anak-anaknya tidaklah unik.

Para ilmuwan menemukan bahwa kelahiran tanpa peran pejantan terjadi di banyak spesies (seperti amfibi, reptil, ikan, dan burung) dengan alasan yang tidak sepenuhnya kita ketahui.

Awalnya, kelahiran tanpa pejantan yang dikenal dengan istilah parthenogenesis diduga terjadi akibat situasi ekstrem. Ini tercatat hanya terjadi pada binatang dalam penangkaran, misalnya, mungkin karena stres atau isolasi. Cara ini menjadi jalan untuk meneruskan keturunan ketika tidak ada pilihan lain.

Tapi bisa jadi tidak demikian. Kini diketahui bahwa beberapa betina yang masih perawan juga menghasilkan keturunan walau ada kehadiran pejantan.

Fakta lain menunjukan bahwa ini terjadi juga di alam liar, dan beberapa bahkan melakukan itu ratusan juta tahun yang lalu. Fenomena ini menguntungkan, terutama di dunia modern saat populasi sejumlah spesies turun drastis. Tetapi hal ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang pentingnya seks.

Dan satu pertanyaan lain: mengapa di antara vertebrata, hanya ikan, reptil, dan burung yang bisa melakukannya? Sedangkan mamalia termasuk manusia tampaknya tidak bisa? Bahkan ini pun masih belum pasti.

Mungkin fenomena hamil tanpa seks pada hewan bertulang belakang yang paling bisa dipahami adalah pada spesies kalkun domestik. Pada tahun 1800, sejumlah laporan muncul tentang fenomena ini pada ayam. Kemudian, peneliti mulai melakukan riset pada kalkun, dan menemukan bahwa unggas besar ini bisa juga bertelur tanpa dibuahi.

Bayi kalkun yang dihasilkan selalu jantan - menegaskan kekhasan genetik pada burung di mana kromosom seks lelaki lebih dominan. Anak-anak kalkun hasil parthenogenesis ini kemudian menjadi dewasa, tampak seperti pejantan pada umumnya, dan sukses bereproduksi.

Kasus pada kalkun ini dianggap sebagai fenomena yang menggelitik rasa penasaran saja; sebuah kasus buatan yang dibuat pada kondisi tertentu.

Namun dalam 15 tahun terakhir, mulai banyak bermunculan laporan-laporan aneh dan mengagumkan tentang fenomena virgin birth pada ikan, ular, dan kadal di penangkaran.

Pada 14 Desember 2001, misalnya, satu dari tiga hiu martil bonnethead betina di penangkaran melahirkan anak perempuan. Tiga ibu hiu ini sebelumnya ditangkap waktu masih kecil di perairan lepas Florida Keys, AS.

Belum ada dari mereka yang prnah bertemu dengan hiu jantan, dan semuanya masih perawan.

Tetapi satu dari mereka telah melahirkan, lapor sebuah tim yang dipimpin oleh Demian Chapman di Stony Brook University, AS.

Kemudian, tes genetis mengkonfirmasi bahwa tidak ada pejantan yang terlibat dalam kehamilan, dan sejak itu fenomena ini ditemukan juga pada empat spesies hiu lain.

"Sepertinya ini bisa trjadi pada spesies hiu manapun," kata Chapman kepada BBC Earth.

Pada 2006, para ilmuwan juga melaporkan bahwa dua ekor Komodo (spesies kadal raksasa terbesar di dunia yang berasal dari pulau Komodo, Indonesia) juga mengalami kehamilan tanpa seks. Keduanya berada di penangkaran dan dipelihara di tempat yang terpisah, satu di Kebun Binatang Chester dan satu lagi di Kebun Binatang London di Inggris.

Saat itu, para peneliti berspekulasi bahwa kadal raksasa ini memiliki kemampuan untuk mengganti kemampuan reproduksinya dari seksual menjadi aseksual ketika berada dalam situasi ekstrem saat tidak ada pejantan di sekelilingnya.

Beberapa tahun terakhir, ilmuwan juga mendokumentasikan spesies ular berbeda, termasuk Boa dan Sanca (seperti Thelma), yang melahirkan tanpa peran jantan.

Pertanyaannya mengapa harus begitu?

Jawabannya mungkin ada pada kasus kadal whiptail.

Ada banyak spesies whiptail yang dihasilkan dari perkawinan campur. Perkawinan campur antar spesies ini selalu menghasilkan keturunan betina, sehingga peran jantan dalam reproduksi terputus.

Betina-betina ini kemudian bereproduksi secara aseksual, menghasilkan generasi betina baru, dan seterusnya.

Menciptakan klub yang eksklusif memiliki keuntungan evolutif; jika satu dari kadal ini terpencar, dia bisa berkembang biak sendiri. Whiptail lain yang membutuhkan pejantan akan terputus garis keturunannya.

Ini adalah jenis parthenogenesis spesifik yang hanya terjadi tanpa kehadiran jantan, dan bisa menjadi alasan mengapa fenomena unik ini terjadi pada whiptail.

Thelma sang ular, juga diperkirakan hamil sendiri dengan alasan yang sama. Tanpa adanya pejantan, dia tidak memiliki pilihan.

Dan dengan asupan makan yang cukup dan dikandangkan di tempat luas, dia memiliki kondisi optimal untuk membuat lompatan biologis, kata Bill McMahon, ilmuwan yang membantu menjaga Thelma.

Tapi reproduksi aseksual tidaklah selalu menguntungkan karena kurangnya keragaman genetis. Sejumlah binatang yang mengkloning diri mereka sendiri membuat garis keturunan mereka rentan atas penyakit dan ancaman lain karena kurangnya variasi genetis itu.

Ilmuwan kemudian dikejutkan dengan temuan bahwa hewan bertulang belakang ternyata juga bisa hamil tanpa pejantan di alam liar.

Pada tahun 2012, para peneliti menemukan bahwa spesies ular pit-viper memiliki kemampuan itu di alam liar.

Warren Booth dari University of Tulsa dan rekan-rekannya mengampil 59 contoh kotoran dari dua spesies ular pit viper ular untuk dianalisa "sidik jari DNA" mereka.

Dia menemukan bahwa dua ular dihasilkan melalui kelahiran perawan, melalui proses yang disebut partenogenesis fakultatif.

Jadi stres penangkaran mungkin tidak memicu mode ekstrim reproduksi ini. Terlebih lagi, ular jantan pit-viper di alam liar amat berlimpah. Jadi betina tidak memiliki kelahiran perawan hanya karena mereka tidak punya pilihan lain.

"Kami biasa menyebutnya sebagai partenogenesis fakultatif, hal baru dari evolusi tapi tak terlalu baru seperti banyak orang pikir," kata Booth pada BBC Earth.

Booth mencurigai bahwa kelahiran perawan sebenarnya merupakan model kuno reproduksi vertebrata.

Spesies-spesies yang jago dan telah lama melakukannya adalah Boa dan Piton. Spesies yang baru-baru ini berkembang, seperti ular kobra, memiliki reproduksi yang kurang baik, menghasilkan hanya satu atau dua bayi melalui kelahiran perawan, tetapi kemudian sering mati.

Mungkin ketika saat ular purbakala hidup, jutaan tahun yang lalu, jumlahnya begitu sedikit atau sangat sulit menemukan pasangan sehingga mereka tak mau repot dan mengklon dirinya saja sebagai gantinya. Catatan fosil sayangnya tidak dapat mengkonfirmasinya.

Juga mungkin cukup sulit untuk menemukan berapa banyak spesies di alam liar yang benar-benar mereproduksi dengan cara ini.

Hampir mustahil untuk mengetahui apakah ikan di alam liar mengalami kelahiran perawan atau tidak. Satu-satunya cara untuk membuktikannya adalah mengumpulkan DNA dari hiu betina dan bayi-bayinya, untuk menentukan asal usul mereka.

Jadi beberapa hal masih menjadi teka-teki. Mengapa mereka harus mereproduksi sendiri? Ketika reproduksi aseksual memiliki begitu banyak kerugian? Terutama di alam liar, di mana jumlah laki-laki begitu banyak? Dan bahkan jika kelahiran perawan telah terjadi sejak jaman purbakala, mengapa masih dilakukan di era modern?

Satu jawaban mungkin sebetulnya ada pada pertanyaan itu sendiri.

Jika reproduksi aseksual tidak menguntungkan, seperti yang dipikirkan, maka hal itu tidak akan bertahan lama, kata James Hanken, biologis dari Harvard University, Massachusetts, AS.

Jadi walau keragaman genetis cukup penting, itu bukan segalanya. Hal ini didukung dengan bukti dari bayi-bayi 'ajaib' itu sendiri.

Bayi hiu dari ibu perawan misalnya cukup sehat dan "bersih dari semua gen resesif yang merusak", kata Chapman.

Betina juga memutuskan untuk bereproduksi sendiri karena reproduksi seksual 'bisa cukup mahal', menurut salah satu rekan Booth, Gordon Schuett dari Georgia State University di Amerika Serikat. Betina harus menunggu para jantan bersaing dan memperebutkan mereka, dan akan sulit untuk menemukan jantan yang ideal.

Satu ide lainnya adalah bahwa sesuatu selain evolusi sedang bekerja. Kelahiran perawan mungkin dipicu oleh beberapa faktor luar, faktor hormon, atau ketidakseimbangan hormon. Atau bahkan patogen, seperti virus, atau parasit. Ada spesies tawon, misalnya, yang mulai bereproduksi secara aseksual ketika terinfeksi dengan bakteri tertentu.

Tapi ada satu teka-teki yang belum terjawab. Jika kasus partenogenesis terjadi lebih luas dari apa yang ilmuwan perkirakan, maka mungkinkah mamalia, termasuk primata (juga manusia), melakukannya?

Tapi belum ada kasus yang ditemukan terkait kelahiran perawan pada mamalia, baik di penangkaran atau alam liar.

Tapi pada 1930-an di Universitas Harvard, Massachusetts, AS, seorang ilmuwan Gregory Pincus mulai menyelidiki sistem reproduksi mamalia. Karyanya itu membuat dia terlibat dalam terciptanya pil kontrasepsi manusia.

Pada saat itu ia (dengan kontroversial) mengaku berhasil memicu partenogenesis pada kelinci, suatu prestasi yang tak bisa diulang oleh ilmuwan lain.

Beberapa dekade kemudian, pada 2004, para ilmuwan melaporkan bahwa mereka merekayasa genetika tikus sehingga hewan itu memiliki kemampuan hamil sebagai perawan. Keturunannya tidak hanya bertahan, mereka mampu memiliki keturunan sendiri.

Para peneliti saat ini mengatakan bahwa tetap sangat tidak mungkin, dan bahkan mungkin mustahil, untuk mamalia perawan secara alami menghasilkan keturunan yang layak, karena beberapa aspek biologis dasar mereka.

Tapi mungkin, suatu hari nanti, di suatu tempat, entah bagaimana, mamalia akan mengejutkan kita semua.

Sama seperti Thelma si ular, dan semua ayam, kalkun dan hiu telah lakukan, dia akan berbaring dan melahirkan secara ajaib - satu yang pada akhirnya akan menantang pandangan-pandangan dasar kita tentang reproduksi.