Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat

ARIF AR-RASYIDIN BIN SHAFEI, 11423106243 (2019) HUKUM SHALAT JAMAK BAGI ORANG YANG SAKIT (STUDI KOMPERATIF PENDAPAT IMAM SYAFI’I DAN IMAM AHMAD BIN HANBAL). Skripsi thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Abstract

Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha memaparkan pandangan dua orang tokoh yang terpengaruh yaitu Imam Syafi’Idan Imam Ahmad bin Hanbal yang mempunyai pandangan yang berbeda tentang hukum shalat jamak bagi orang sakit ini. Imam Syafi’I berpendapat hukum shalat jamak bagi orang yang sakit adalah tidak boleh dilakukan. Manakala Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahawa hukum shalat jamak bagi orang yang sakit adalah boleh dilakukan. Dari perbedaan pendapat kedua tokoh tersebut, penulis merasakan amat menarik untuk mengkomparasikan kedua pendapat tersebut untuk mencari argumentasi dan dalil apa saja yang digunakan oleh kedua tokoh tersebut. Dari pemasalahan di atas penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut: pertama, bagaimana perbedaan pendapat Imam Syafi’I terhadap hukum shalat jamak bagi orang yang sakit, kedua, bagaimana pendapat Imam Ahmad Bin Hanbal tentang hukum shalat jamak bagi orang yang sakit ,ketiga, bagaimana analisis fiqh muqaranah terhadap hukum shalat jamak bagi orang yang sakit. Jenis penelitian ini adalah penelitian library research yaitu mengambil dan membaca serta menelaah literature-literature yang berhubungan dengan penelitian ini, sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan konseptual, yaitu penulis menelaaah konsep-konsep atau teori-teori yang dikemukan oleh Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang hukum shalat jamak bagi orang yang sakit, seterusnya menggunakan pendekatan perbandingan hukum yaitu penulis membandingkan pendapat Imam Syafi’I dengan Imam Ahmad bin Hanbal tentang hukum shalat jamak bagi orang yang sakit ini. Dalam masalah hukum shalat jamak bagi orang yang sakit ini kedua tokoh tersebut sama-sama teguh dengan argumentasi masing-masing. Imam Syafi’I berpendapat hukum shalat jamak bagi orang yang sakit adalah tidak dibolehkan berdasarkan kitab Al- Uum karya Imam Syafi’I tidak boleh bagi seseorang menjamakkan antara dua shalat, pada waktu shalat yang pertama daripada keduanya selain pada hujan.Manakala Imam Ahmad Bin Hanbal berpendapat hukum shalat jamak bagi orang yang sakit membolehkan karena berdasarkan kitab Al- Mugni Imam Ahmad Bin Hanbal shalat jamak adalah rukhsah yang diberlakukan karena suatu kebutuhan yang menghendakinya.Dari hasil penelitian, penulis lebih cenderung kepada pandapat Imam Syafi’I karena Imam Syafi’I mengatakan tidak ada riwayat yang qath’I dari Rasulullah SAW tentang menjamak shalat ketika sakit.

Actions (login required)

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat
View Item

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat

Sembahyang lima waktu ada jangka waktunya. Setiap kita pun diperintahkan agar melaksanakan sembahyang pada jangka waktu tersebut. Tidak mencuri start. Atau kedaluwarsa. Bagusnya sembahyang di awal waktu setelah azan dan iqomah. Semua itu berlaku bagi orang dalam keadaan sehat dan lapang tanpa halangan. Bagaimana mereka yang sakit atau berhalangan lain?

Dalam Fathul Mu‘in, Syekh Zainuddin Al-Malibari menerangkan.

و يجوز الجمع بالمرض تقديما وتأخيرا على المختار ويراعي الأرفق فإن كان يزداد مرضه كأن كان يحم مثلا وقت الثانية قدمها بشروط جمع التقديم أو وقت الأولى أخرها وضبط جمع متأخرون المرض هنا بأنه ما يشق معه فعل كل فرض في وقته كمشقة المشي في المطر بحيث تبتل ثيابه. وقال آخرون لا بد من مشقة ظاهرة زيادة على ذلك بحيث تبيح الجلوس في المرض وهو الأوجه

Menurut qaul yang mukhtar, seseorang dengan udzur sakit diperbolehkan menjamak dua sembahyang (Zuhur-Ashar dan Maghrib-Isya, -red.) baik jamak taqdim maupun ta‘khir. Ia boleh memilih waktu yang terbaik dari keduanya.

Maksudnya, bila sakitnya meningkat parah seperti panasnya semakin tinggi pada waktu Ashar atau Isya, maka boleh melakukan jamak taqdim dengan syarat jamak taqdim. Tetapi kalau sakitnya parah pada waktu Zuhur atau Maghrib, maka lakukan jamak ta‘khir.

Ulama muta’akhirin menyebut ketentuan bahwa sakit yang dimaksud di sini ialah sebuah penyakit yang membuat penderitanya sulit mengerjakan sembahyang pada waktunya. Persis kesulitan bergerak di saat hujan lebat yang dapat membuat pakaian menjadi basah.

Sementara ulama lain mengemukakan, kesulitan untuk jamak tidak boleh tidak mesti tampak dan lebih daripada itu. Kesulitannya kira-kira setingkat dengan kesulitan yang membolehkan seseorang sembahyang duduk. Inilah pendapat paling mengemuka.

Sementara Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi dalam I‘anatut Thalibin menegaskan sebagai berikut.

أما ما لا يشق على ذلك كصداع يسير وحمى خفيفة فلا يجوز الجمع معه

Adapun sakit yang tidak menyulitkan dalam melakukan sembahyang seperti kepala sedikit pusing atau badan agak meriang, maka tidak diperbolehkan menjamak dua sembahyang.

Bagaimana dengan kemacetan yang kerap mendera pengguna lalu lintas atau penumpang angkutan umum di saat jam macet? Ini juga mesti dilihat dari tingkat kemacetannya separah apa dan sesulit apa untuk melakukan sembahyang pada waktunya.

Kalau memang sangat sulit sekali, dengan menimbang keterangan Fathul Mu‘in berikut hasyiyah-nya seseorang bisa melakukan jamak menimbang tingkat masyaqqahnya yang tidak memungkinkan untuk sembahyang pada waktunya.

Ketentuan udzur yang memiliki tingkat masyaqqahnya sendiri, dibuat oleh kalangan ulama agar masyarakat umum memiliki panduan perihal kebolehan dan tidaknya menjamak dua sembahyang. Gampangnya, ketentuan itu dimaksud agar jangan sampai orang yang berudzur sya’ri memaksakan diri. Jangan juga orang yang senggang dan segar bugar mengambil jalan pintas; jamak. Wallahu A‘lam. (Alhafiz K)

Kumpulan Khutbah Menyambut Hari Kemerdekaan

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat
menjamak shalat

BincangSyariah.Com – Semua orang ingin dirinya selalu sehat. Pada kenyataannya, orang yang terlalu capek beraktivitas atau usia yang sudah menua tidak terhindar dari penyakit, baik penyakit ringan maupun sampai yang komplikasi. Saat dalam keadaan sakit, bolehkah melakukan shalat jamak, baik jamak takdim maupun jamak takhir?

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Muin menjelaskan demikian.

يجوز الجمع بالمرض تقديما وتأخيرا – على المختار – ويراعي الارفق، فإن كان يزداد مرضه – كأن كان يحم مثلا وقت الثانية قدمها بشروط جمع التقديم، أو وقت الاولى أخرها بنية الجمع في وقت الاولى.

Menjamak shalat karena sakit itu boleh, baik jamak takdim maupun jamak takhir menurut pendapat yang terbaik, dan disesuaikan konidisi yang paling memungkinkan. Bila sakit bertambah parah, misalnya demam semakin meninggi saat waktu kedua, maka sebaiknya yang dilakukan adalah jamak takdim sesuai syarat yang berlaku. Atau sakitnya bertambah parah di waktu shalat pertama, maka lakukanlah jamak takhir dengan niat pada waktu shalat pertama.

وضبط جمع متأخرون المرض هنا بأنه ما يشق معه فعل كل فرض في وقته، كمشقة المشي في المطر، بحيث تبتل ثيابه. وقال آخرون: لا بد من مشقة ظاهرة زيادة على ذلك، بحيث تبيح الجلوس في الفرض. وهو الاوجه.

Ulama mutaakhirin membatasi sakit yang boleh melakukan jamak di sini adalah sakit yang membuat payah melakukan shalat fardu pada setiap waktu. Batasannya itu sama seperti berjalan untuk berjamaah saat turun hujan yang menyebabkan baju basah. Ulama lain berpendapat bahwa masyaqqah sakit itu harus benar-benar tampak lebih dari itu. Ukurannya adalah sekiranya sakit tersebut menyebabkan kebolehan shalat sambil duduk.

Menurut Syekh Abu Bakar Syatha, kebolehan menjamak shalat tersebut didasarkan atas hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر وبين المغرب والعشاء بالمدينة من غير خوف ولا مطر قال فقيل لابن عباس ما أراد بذلك قال أراد أن لا يحرج أمته

Rasulullah saw. menjamak shalat Zuhur dan Asar, Magrib dan Isya, di Madina tanpa ada sebab takut ataupun hujan. Ditanyakan pada Ibnu Abbas, “Maksud Rasul melakukan jamak tersebut apa?” “Itu agar menjadi solusi bagi umatnya untuk tidak terlalu terbebani,” kata Ibnu Abbas. (HR Tirmidzi).

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat
Ilustrasi salat. ©Shutterstock

TRENDING | 13 November 2021 08:24 Reporter : Mutia Anggraini

Merdeka.com - Seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila memenuhi dalam syarat tertentu. Dalam ajaran Islam, salat lima waktu merupakan tiang agama yang wajib untuk dilaksanakan setiap muslim.

Namun, terkadang beberapa keadaan membuat muslim terdesak dan rentan untuk meninggalkan salat. Untuk itu, Allah SWT begitu mulia dan penuh kasih sayang terhadap umat-Nya dengan memberikan keringanan dalam menjalankan ibadah wajib tersebut. Hal itu secara langsung dapat dilakukan dengan salat jamak atau menggabungkan salat secara bersamaan.

Hal ini pun berkaitan dengan firman Allah SWT di dalam Alquran. Sebagaimana dalam bunyi surat Al-Baqarah ayat 286 berikut ini,

"Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sebatas kemampuannya" (QS. Al Baqarah: 286).

Namun, terdapat beberapa kondisi tertentu saja yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk melaksanakan salat secara dijamak. Maka dari itu, seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila terdesak pada suatu kondisi yang diperbolehkan dalam agama Islam.

Lantas, seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila dalam kondisi seperti apa? Melansir dari laman NU Online, berikut ulasan selengkapnya mengenai hukum salat jamak hingga tata caranya.

2 dari 7 halaman

Melakukan salat jamak bukan berarti bebas untuk kapan saja dan dimana saja. Dalam hal ini, para ulama sepakat untuk memberlakukan beberapa syarat sahnya seseorang untuk diizinkan melakukan salat jamak sesuai dengan dalil serta sunnah Rasulullah.

Adapun beberapa kondisi yang telah disepakati antara lain sebagai berikut,

1. Ibadah di Padang Arafah dan Muzdalifah

Seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila tengah beribadah di Padang Arafah dan saat malam Muzdalifah. Namun, para ulama menegaskan jika salat jamak di lokasi tersebut juga harus dikerjakan apabila kondisi mendesak.

Misalnya, seseorang dalam keadaan sakit atau harus segera bepergian bersama orang-orang tertentu dalam waktu yang mendesak. Oleh karena itu, salat jamak saat beribadah di Padang Arafah dan bermalam di Muzdalifah tidak dapat dilakukan tanpa alasan.

3 dari 7 halaman

Sementara itu, seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila sedang bepergian jauh dan sulit untuk menemukan waktu serta tempat yang tepat. Dalam hal ini, ulama telah sepakat untuk menentukan jarak minimal dari hal yang dimaksud bepergian.

Seorang muslim diperbolehkan untuk menjamak salat apabila tengah menempuh perjalanan jauh minimal 81 kilometer. Sementara itu, tujuan dari bepergian sendiri yakni bukan untuk hal-hal negatif hingga mendekati dosa.

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat
©Shutterstock

3. Sedang Dilanda Bahaya

Selain itu, seseorang diizinkan melakukan salat jamak apabila tengah dilanda bahaya. Seorang muslim diperbolehkan untuk menggabungkan salat apabila keselamatannya terancam dan harus segera menyelamatkan diri.

Beberapa contoh dari bahaya di masa kini yakni seperti bencana alam yang mampu mengancam jiwa seorang muslim. Pada kondisi demikian, seorang muslim diperbolehkan untuk menjamak salat untuk kebaikannya.

4 dari 7 halaman

Menggabungkan salat wajib ke dalam satu waktu memiliki aturan yang baku. Dalam agama Islam, seorang muslim dapat mengerjakan salat jamak sesuai dengan jenisnya. Adapun macam-macam salat jamak tersebut antara lain sebagai berikut,

1. Jamak Taqdim

Jamak taqdim merupakan penggabungan salat wajib yang dikerjakan pada awal waktu salat. Artinya, seorang muslim dapat mengerjakan dua salat di waktu salat yang pertama.

Misalnya, salat dzuhur dan ashar dikerjakan pada waktu masuknya salat dzuhur. Sementara itu, mengerjakan salat maghrib dan isya' di waktu salat maghrib.

2. Jamak Takhir

Sebaliknya, jamak takhir merupakan penggabungan salat fardhu yang dilakukan pada waktu salat kedua. Jamak takhir pun juga memiliki perbedaan mendasar pada bacaan niat salatnya.

Contoh mudah dari pengerjaan salat jamak takhir adalah salat dzuhur dan ashar yang dikerjakan pada waktu masuknya salat ashar. Sementara itu, mengerjakan salat maghrib dan isya' di waktu salat isya'.

5 dari 7 halaman

Membaca niat salat jamak taqdim Dzuhur dan Ashar (dilakukan di awal salat)

"Ushollii fardlozh zhuhri arbaa rakaaatin majmuuan maal ashri adaa-an lillaahi taaalaa."

Artinya: Aku sengaja salat fardu dhuhur 4 rakaat yang dijama dengan Ashar, fardu karena Allah Taaala.

Setelah selesai salat Dzuhur, tanpa dzikir atau ngobrol, langsung dilanjut salat Ashar dengan bacaan niat:

"Ushollii fardlozh ashri arbaa rakaaatin majmuuan maal dzuhri adaa-an lillaahi taaalaa."

Artinya: Aku berniat salat ashar 4 rakaat dijama dengan dhuhur, fardhu karena Allah Taaala.

2. Salat Maghrib dan Isya'

"Ushollii fardlozh maghribi thalaatha rakaaatin majmuuan maal isyaai jama taqdiimin adaa-an lillaahi taaalaa."

Artinya: Aku sengaja salat fardu maghrib 3 rakaat yang dijama dengan isyak, dengan jama taqdim, fardu karena Allah Taaala.

Setelah selesai salat maghrib, langsung dilanjut salat isya dengan bacaan niat:

"Ushollii fardlozh isyaai arbaa rakaaatin majmuuan maal maghiribi jama taqdiimin adaa-an lillaahi taaalaa."

Artinya: Aku berniat salat Isya empat rakaat dijamak dengan Magrib, dengan jama taqdim, fardhu karena Allah Taaala

6 dari 7 halaman

Sakit yang bagaimanakah sehingga seseorang diperbolehkan untuk menjamak shalat
©Shutterstock

1. Salat Ashar dan Dzuhur

"Usholli fardhol Ashri rok'ataini majmuu'an bidh dhuhri jam'a ta'khiiri qoshron lillaahi ta'aala."

Artinya: "Aku berniat salat fardhu Ashar dua rakaat digabungkan dengan salat Dzuhur dengan jamak takhir, diringkas karena Allah Ta'aala."

2. Salat Isya' dan Maghrib

"Usholli fardhol isya'i rok'ataini majmuu'an bil maghribi jam'a ta'khiiri qoshron lillaahi ta'aala".

Artinya: "Aku berniat salat fardhu Isya dua rakaat digabungkan dengan salat maghrib dengan jamak takhir, diringkas karena Allah Ta'aala."

7 dari 7 halaman

Pada dasarnya, tata cara shalat jamak dikerjakan hampir sama dengan mengerjakan shalat wajib seperti biasa, namun yang sedikit membedakan adalah pengucapan niat ssbelum mengerjakannya.

Secara lebih singkat, berikut tata cara shalat jamak yang dapat dilakukan:

1. Membaca niat shalat jamak.2. Mengerjakan shalat terdahulu dengan 2 rakaat.3. Setelah selesai, lalu dilanjutkan dengan membaca niat shalat jamak kembali.

4. Mengerjakan shalat selanjutnya dengan 2 rakaat.

(mdk/mta)