Salah satu contoh suku yang menganut budaya patriarki adalah

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.[1] Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Beberapa masyarakat patriarkal juga patrilineal, yang berarti bahwa properti dan gelar diwariskan kepada keturunan laki-laki. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki serta menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya.[2]

Sistem sosial patriarki menjadikan laki-laki memiliki hak istimewa terhadap perempuan. Dominasi mereka tidak hanya mencakup ranah personal saja, melainkan juga dalam ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan lain-lain.[3] Dalam ranah personal, budaya patriarki adalah akar munculnya berbagai kekerasan yang dialamatkan oleh laki-laki kepada perempuan. Atas dasar "hak istimewa" yang dimiliki laki-laki, mereka juga merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi tubuh perempuan.[3]

Secara historis, patriarki telah terwujud dalam organisasi sosial, hukum, politik, agama dan ekonomi dari berbagai budaya yang berbeda. Bahkan ketika tidak secara gamblang tertuang dalam konstitusi dan hukum, sebagian besar masyarakat kontemporer adalah, pada praktiknya, bersifat patriarkal.

  • Matriarki

  1. ^ Bressler, Charles E. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed. Pearson Education, Inc. 2007. ISBN-13: 978-0-13-153448-3
  2. ^ Ade Irma Sakina, Dessy Hasanah Siti A. (2017). "Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia". Share: Social Work Journal. 7 (1): 72. ISSN 2339-0042. Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
  3. ^ a b Guamawarti, Nandika Ajeng. 2009. Suatu Kajian Kriminologis Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Relasi Pacaran Heteroseksual. Jurnal Kriminologi Indonesia Vol 5 No. 1

  • (Inggris)Artikel Encyclopedia Americana edisi 1920 tentang sistem patriarki
 

Artikel bertopik sosiologi ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Patriarki&oldid=19229986"

Matriarki adalah dominasi kepemimpinan perempuan. Dalam masyarakat atau kelompok yang menganut matriarki, otoritas menurun dari garis ibu, berbeda dengan patriarki yang merupakan dominasi kepemimpinan laki-laki. Matriarki cukup umum ditemukan di negara-negara Asia dan Afrika.[1]

Matriarki mengimplikasikan adanya negosiasi kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki sebagai upaya menentang tradisi patriarki dimana laki-laki lebih dominan dalam membuat keputusan-keputusan penting. Matriarki menentukan bentuk-bentuk kultural, khususnya dalam persoalan agama dan keluarga. Perempuan akan mempunyai pilihan dari pasangan suaminya dan anak akan mengikuti nama keluarga ibunya serta warisan diturunkan menurut garis ibu. Keluarga ibu berhak akan anak-anak dan dapat melakukan klaim terhadap pemeliharaan keluarga. Walau begitu, laki-laki tertua dari keluarga memainkan peranan sebagai kepala keluarga dan karenanya dapat dilakukan negosiasi kekuasaan dalam suatu keluarga.[1] Salah satu masyarakat matrilineal terbesar di dunia merupakan suku Minangkabau di Sumatra Barat.Kaum wanita dalam suku Minangkabau memiliki keistimewaan khusus serta dapat mengambil peranan penting di dalam komunitas. Peranan-peranan tersebut temasuk peran sebagai pemilik harta warisan, penerus keturunan, serta 'manajer' bagi keluarga masing-masing.[2] Dalam sistem sosial matriarki di Minangkabau, seorang lelaki bagaikan "orang luar" dari keluarga matrilineal istrinya. Anak-anak dari suatu keluarga secara otomatis akan menjadi keluarga ibu mereka karena sistem matrilineal, memakai nama suku ibu alih-alih nama suku ayah.[2]

  • Patriarki
  1. ^ a b Rokhmansyah, Alfian (2016). Pengantar Gender dan Feminisme : Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Garudhawaca. hlm. 35. 
  2. ^ a b "Sisa-sisa Matriarki di Nusantara". forum.detik.com. Diakses tanggal 3 Oktober 2017. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Matriarki&oldid=18971873"

Oleh : itsram | | Source : ITS Online

Potret Kartini (sumber: suaramuslim.net)

Kampus ITS, Opini — “Tuntutan” bagi perempuan untuk bisa melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak masih sering kita jumpai di Indonesia. Tak hanya itu, ketika ada di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut, sudah pasti cibiran menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Lantas, apakah hal tersebut merupakan suatu hal yang benar? Jika tidak, mengapa hal tersebut masih kental tertanam di dalam masyarakat, khususnya Indonesia?

Menilik Perjuangan Feminisme Kartini

Menilik sejarah, Indonesia pernah memiliki pejuang emansipasi wanita yang bahkan keteladanannya dalam memperjuangkan kesamaan kedudukan antara perempuan dengan laki-laki menempatkan tanggal lahirnya sebagai salah satu hari besar nasional. Tokoh tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah RA Kartini. Sosok yang sudah sangat akrab di telinga kita tersebut bahkan juga diabadikan dalam sebuah lagu berjudul “Ibu Kita Kartini”.

Dilatarbelakangi oleh pembatasan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, Kartini mulai melakukan perjuangannya mengkampanyekan kesetaraan gender melalui tulisan-tulisannya. Beberapa kali hasil tulisannya pun dimuat dalam sebuah majalah Belanda De Hollandsche Lelie. Sejak saat itu, sebuah gagasan baru mengenai persamaan hak bagi wanita pribumi mampu mengubah pandangan masyarakat luas. Alhasil hingga kini gerakan persamaan kedudukan ini terus digalakkan.

Meskipun telah digaungkan oleh Kartini dan diikuti gerakan-gerakan wanita modern, nyatanya hingga detik ini praktik budaya patriarki masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tampak dari hubungan laki-laki dan perempuan yang masih terlihat timpang, dimana kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, dimarginalkan, hingga didiskriminasi. Hal ini menyebabkan terbelenggunya kebebasan perempuan dan mengganggu hak-hak perempuan.

Ilustrasi patriarki yang membelenggu perempuan. (sumber conatusnews.com)

Langgengnya Patriarki dan Stigma Perempuan dengan Pekerjaan Domestik

Pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam mulai mengatur keuangan memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga, menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, serta keperluan lain. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak dikuasai oleh perempuan. Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.

Jika melihat sejarahnya memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik sedangkan laki-laki lah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang disepakati. Namun dalam prakteknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan domestik.

Ilustrasi kesetaraan kedudukan dan hak antara laki-laki dan perempuan. (sumber: freepik.com)

Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hukum

Banyak yang berkata bahwa agama menjadi salah satu faktor budaya patriarki ini kental tertanam pada kehidupan manusia. Namun, apakah patriarki merupakan hal yang benar menurut agama?

Sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Khalifah pada surat tersebut bermakna menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya. Al-Zamakhsyarî menafsirkan makna khalifah pada surah ini tidak hanya berarti Adam (mewakili laki-laki).

Senada dengan argumen tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam dan anak cucunya. Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus penuh rasa sabar dan tabah, membawa masyarakatnya kepada tujuan yang sesuai dengan petunjuk Allah, membudayakan kebaikan, taat beribadah, optimis, dan kuat serta terpercaya. Dari beberapa kriteria tersebut, maka konsep kepemimpinan dalam Islam dapat dilakukan oleh siapapun baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Banyak ulama yang menjadikan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Ayat ini diartikan perempuan berada dalam posisi yang dipimpin dan penafsiran klasik ini sering dijadikan argumen penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan lebih besar dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini berpengaruh secara universal dalam menentukan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah kehidupan bermasyarakat.

Mawlana Utsmani menanggapi penafsiran ini berpendapat bahwa seandainya Allah bermaksud menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan, Allah akan menggunakan ungkapan yang lebih jelas seperti “karena Dia (Allah) telah melebihkan laki-laki atas mereka perempuan”. Sehingga Surah An-Nisa ayat 34 tidak bisa dijadikan landasan superioritas laki-laki. Dalam Al-Quran juga dicontohkan bagaimana perempuan memimpin sebuah negara.

Dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat 23, Allah berfirman “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgahsana yang besar.” Perempuan yang dimaksud tak lain adalah ratu yang memerintah kaum Saba yang dikenal dalam sejarah dengan nama Balqis. Dalam kepemimpinannya, Balqis sanggup membawa rakyatnya kepada kemakmuran dan ketentraman. Ayat ini mempertegas pula posisi wanita mampu menjadi pemimpin ketika memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Selain dalam A-Quran, isu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan juga telah diformalkan di Indonesia salah satunya pada Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Pasal 15, yang berbunyi “Setiap orang berhak memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Akhirnya, selain dari sisi hukum, praktek mengenai cara membangun tradisi kehidupan yang tidak bias gender perlu digalakkan.

Sebagai negara republik, perlu ditumbuhkan budaya demokratis dalam segala aspek akan menjamin keharmonisan diantara sesama. Dengan begitu pikiran dan perbuatan yang patriarkis dapat perlahan dihilangkan.

Ditulis oleh:

Gita Rama Mahardhika
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2018
Reporter ITS Online