Salah satu pengeluaran rutin pemerintah digunakan untuk belanja pegawai


Page 2

Penyederhanaan tatalaksana pengawasan pabean dan cukai dengan cara penerapan risk management dan pemberdayaan post clearance control (verifikasi dan audit) secara optimal. Diterbitkan surat keputusan pemberian fasilitas penundaan pembayaran cukai atas pemesanan pita cukai. Penerimaan dibidang kepabeanan dan cukai adalah sebagai berikut : Dalam Tahun Anggaran 1998/1999 penerimaan pabean Rp. 2.328,4 milyar, penerimaan cukai Rp. 7.677,9 milyar dan penerimaan pajak dalam rangka impor dalam Tahun Anggaran 1998/1999 tercatat sebesar Rp. 10.965,2 milyar. Dalam Tahun Anggaran 1998/1999 realisasi penerimaan cukai Rp. 7.677,9 miliar, kalau dilihat secara rinci penerimaan cukai telah didominasi oleh penerimaan cukai

hasil tembakau sebesar Rp. 7.425 miliar, cukai minuman yang mengandung etil alkohol Rp. 209,3 miliar, cukai etil alohol Rp. 23,1 miliar dan penerimaan lain-lain Rp. 19,5 miliar, sedang penerimaan cukai mencapai 3,29 kali lebih besar daripada pene-rimaan Pabean. Rendahnya penerimaan pabean antara lain disebabkan karena banyaknya impor bebas bea masuk sebagai akibat diberikannya fasilitas pembebasan (baik melalui Bapeksta maupun BKPM) dan pembebasan lainnya. Selama periode April 1998 sampai dengan Maret 1999 telah diberikan fasilitas pembebasan bea masuk sebanyak 1754 surat keputusan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri dengan nilai devisa US$ 16.921,6 juta pada Sektor Pertanian (US$ 501,8 juta), Sektor Manufaktur (US$ 12.578,6 juta) dan Sektor Jasa (US$ 3.841,1

Bea Cukai di Bandara Sukata

juta). Dengan perkiraan nilai tukar US$ rata-
rata selama satu tahun terakhir sebesar Rp 8.000,00 dengan tarip rata-rata sebesar 5 persen, maka bea masuk yang dibebaskan sebesar Rp 6.768,6 milyar.

Selama periode satu tahun terakhir ini telah

dilakukan verifikasi dokumen impor, ekspor dan cukai sebanyak 146.480 set dan 11.094. Dari hasil verifikasi tersebut diterbitkan pemberitahuan tambah bayar sebesar Rp. 142,9 milyar dan restitusi sebesar Rp. 2,0 milyar. Sedangkan tagihan sebagai hasil dari verifikasi dokumen cukai adalah sebesar Rp.

21,5 juta. Untuk periode yang sama telah

dilakukan audit terhadap 310 perusahaan yang bergerak dibidang kepabeanan dan cukai diseluruh Indonesia. Jumlah tagihan berupa bea masuk, cukai dan pajak-pajak

lainnya adalah sebesar Rp. 37,8 milyar. Penerimaan Negara Bukan Pajak

Kebijakan yang diarahkan untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencakup restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara lebih umum, peningkatan penertiban, penagihan dan penyetoran serta pengawasan penerimaan negara bukan pajak terus dilanjutkan.

Penerimaan negara bukan pajak dalam APBN Tahun Anggaran 1998/1999 adalah sebesar Rp. 26,66 triliun dan untuk Tahun Anggaran 1999/2000 adalah sebesar Rp. 25,80 triliun.

dalam Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000. Dalam dua tahun anggaran tersebut, pinjaman program dan pinjaman proyek yang berhasil diperoleh cukup besar, yaitu mencapai sekitar enam persen terhadap PDB. Sisi Pengeluaran Pengeluaran Rutin

Kebijakan pengeluaran rutin senantiasa ditujukan untuk mendukung tercapainya kelancaran kegiatan operasional pemerintahan dan pembangunan, serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Langkah-langkah pengendalian dan penghematan pengeluaran rutin yang selama ini dijalankan tetap dipertahankan tanpa mengorbankan efektivitas pelaksanaan administrasi dan roda pemerintahan. Pengendalian biaya operasional dan pemeliharaan serta pengurangan secara bertahap berbagai macam subsidi merupakan beberapa bentuk efisiensi yang dilaksanakan. Walaupun demikian, dalam dua tahun terakhir, pengeluaran rutin yang cukup besar tidak dapat dihindari terutama karena melemahnya nilai tukar rupiah, tingginya laju inflasi serta diperlukannya berbagai pos pembiayaan baru untuk mendukung program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Salah satu alokasi pengeluaran rutin yang besar digunakan untuk belanja pegawai, yang merupakan sarana bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil, anggota TNI dan pensiunan. Kebijakan belanja

Penerimaan Luar Negeri

Dalam upaya mengantisipasi penurunan penerimaan dalam negeri di satu sisi dan adanya tuntutan untuk melindungi masyarakat miskin melalui berbagai jenis subsidi dan berbagai pengeluaran untuk social safety net, maka ditempuh kebijakan untuk meningkatkan penerimaan luar negeri. Pinjaman program yang sejak tahun 1993/1994 hingga 1997/1998 sudah tidak dimanfaatkan lagi, pinjaman ini digunakan lagi untuk menopang kegiatan ekonomi nasional

nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

pegawai diberikan dalam bentuk finansial dan nonfinansial. Kebijakan finansial berupa kenaikan gaji, sedangkan kebijakan nonfinansial dilaksanakan melalui penyempurnaan aspek ketatalaksanaan yang dapat meningkatkan efisiensi pelayanan administrasi kepegawaian. Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengadaaan dan pendistribusian anggaran rutin daerah dilakukan perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi.

Beberapa kebijakan penting yang ditempuh selama Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000 meliputi:

Memberikan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) sebesar 15 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga bagi pegawai negeri sipil, anggota TNI dan pensiunan, yang dilaksanakan dalam Tahun Anggaran 1998/1999. Kemudian, dalam Tahun Anggaran 1999/2000, pemerintah menetapkan kenaikan gaji sebesar Rp 155.250 untuk setiap pegawai negeri terhitung sejak 1 April 1999.

Pada Tahun Anggaran 1998/1999 pemerintah melakukan penundaan (rescheduling) atas sebagian pembayaran pokok pinjaman luar negeri, terutama pinjaman bilateral dan fasilitas kredit ekspor. Penundaan tersebut dilakukan atas persetujuan negara-negara donor yang tergabung dalam Paris Club pada bulan September 1998 dan dimaksudkan untuk mengurangi beban anggaran berkaitan dengan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang besar. Rescheduling mencakup penundaan hutang pokok pinjaman bilateral dan kredit ekspor Tahun Anggaran 1998/99 sebesar US$ 1.775,4 juta dan Tahun Anggaran 1999/2000 sebesar US$ 2.730,7 juta. Jumlah yang direscheduling tersebut dapat diangsur ratarata dalam 15 angsuran selama delapan tahun mulai tahun 2002. Pengeluaran rutin juga dialokasikan untuk beberapa jenis subsidi untuk menjamin ketersediaan bahan pokok dan stabilitas harga yang dapat dijangkau masyarakat serta dalam rangka memperkuat progam Jaring Pengaman Sosial. Beberapa jenis subsidi baru yang dialokasikan dalam Tahun Anggaran 1998/1999 adalah subsidi beras, gula pasir, kedelai, gandum, jagung, bungkil kedelai, pakan ternak, serta obat-obatan. Walaupun demikian dan dengan pertimbangan bahwa subsidi dapat menimbulkan inefisiensi perekonomian serta merupakan beban bagi keuangan negara, maka sejak September 1998 pemerintah menghapuskan subsidi gandum, gula pasir, dan kedelai. Pemerintah juga meniadakan subsidi BBM jenis avtur dan avigas sejak Februari 1999. Selama puluhan tahun, penyusunan anggaran rutin dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab kantor pusat departemen/lembag bersama Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan (sentralisasi).

Dalam memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah sejalan dengan era reformasi, alokasi dana rutin daerah untuk belanja non pegawai yang disalurkan melalui penibiayaan desentralisasi pada Taliun Anggaran 1999/2000 telah ditingkatkan menjadi 81.48 persen dari tahun anggaran sebelumnya hanya sebesar 64.71 persen.

daerah. Sejalan dengan itu, pada Tahun Anggaran 1999/2000 sebagian besar penyusunan anggaran pembangunan telah dilaksanakan di daerah.

Di awal pelaksanaan Kabinet Reformasi Pembangunan, fungsi anggaran belanja pembangunan mengalami perubahan peran dan orientasi ditekankan pada rescue dan recovery kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Selain itu, dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) dana pembangunan daerah bagi proyek-proyek yang bersifat khusus (specific grant) menjadi dana pembangunan yang bersifat umum (block grant) atau yang bersifat specific block grant. Kebijakan anggaran belanja pembangunan diarahkan untuk mendukung program pembenahan dan restrukturisasi perbankan dalam rangka memulihkan kembali sistem perbankan nasional agar secepatnya mampu melaksanakan fungsinya sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Anggaran belanja pembangunan diarahkan kepada upaya mempercepat terciptanya pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air diantaranya, melalui program Jaring Pengaman Sosial pada sektor pembangunan daerah dan transmigrasi, sektor pertanian dan kehutanan, sektor transportasi, meterologi dan geofisika, sektor pendidikan, sektor perdagangan, pengembangan usaha nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pemuda dan olah raga, sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak dan remaja, serta sektor perumahan dan pemukiman.

Beberapa kebijakan penting yang ditempuh selama Tahun Anggaran 1998/1999 dan 1999/ 2000 meliputi:

Prioritas alokasi seluruh proyek-proyek. Anggaran yang dapat disisihkan dari hasil kaji ulang proyek-proyek tersebut direalo-

kasikan untuk membantu meringankan beban


masyarakat akibat krisis atau digunakan
untuk kegiatan-kegiatan lebih produktif yang secara langsung dapat memulihkan kondisi perekonomian nasional. Selanjutnya kebijakan reformasi pem- bangunan ditekankan pada tercapainya pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan pengembangan ekonomi rakyat yang sebagian besar berbasis di

Monitoring dan Evaluasi Program Jaring Pengaman Sosial

Mengingat anggaran negara untuk keperluan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) cukup besar, maka pelaksanaan program tersebut perlu dimonitor dan dievaluasi. Tujuan dari monitoring dan evaluasi program JPS yang dilakukan Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) Departmen Keuangan, adalah mengukur efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program JPS maupun dampak ekonomi yang ditimbulkan, baik kepada masyarakat maupun pereknomian daerah setempat. Pendekatan untuk mengukur efisiensi pelaksanaan program dilakukan dengan memperhitungkan besarnya kebocoran dana program dan untuk mengukur efektivitas didekati dengan memperhitungkan kesalahan sasaran (tergetting error) yang terjadi. Di samping itu, dalam kerangka pengukuran efisiensi dan efektivitas, juga dilakukan evaluasi terhadap kemampuan lembaga (institutional capacity) pelaksana di tingkat dati II untuk melaksanakan program JPS. Ada enam program JPS yang dimonitor, yaitu: (i) Operasi Pasar Khusus (Opsus) Beras, (ii) Penyaluran Dana Bantuan Operasional (DBO) untuk SD hingga SMU, (111) Pemberian Beasiswa bagi murid SD hingga SMU, (iv) Penanggulangan Pengangguran Pekerja Terampil (P3T), (v) Penanggulangan Dampak Kekeringan dan Masalah Ketenagakerjaan (PDKMK), dan (vi) Padat Karya Sektor Kehutanan (PKSK). Pemi

lihan keenam program tersebut didasarkan pada kondisi bahwa hingga bulan Oktober 1998, hanya enam program ini yang dananya sudah direalisasikan dan beberapa data pendukungnya diperoleh dari instansi pelaksana teknis.

Metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang menggambarkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program JPS adalah dengan melakukan survey, baik kepada instansi pelaksana program maupun kepada kelompok sasaran. Instansi pelaksana tidak berarti selalu lembaga pemerintah, mengingat untuk program tertentu (misalnya P3T) juga melibatkan LSM sebagai pelaksana. Dengan pertimbangan bahwa pengaruh krisis lebih berat dirasakan oleh penduduk di pulau Jawa dan terbatasnya anggaran, maka survey dibatasi hanya pada 14 Dati II di Pulau Jawa. Sedangkan pelaksanaan survey dilakukan dalam dua tahap, dimana pada tahap pertama bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan program JPS dilapangan (yang berkaitan dengan aspek efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program), dan dalam tahap kedua bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan dampak pelaksanaan program. Khusus untuk program Beasiswa & DBO, dan program Opsus Beras,

dalam tahap kedua masing-masing bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap peran Komite dalam menentukan alokasi dan seleksi penerima Program DBO & Beasiswa, dan melakukan evaluasi terhadap perubahan kebijakan pemeritah dalam penyediaan beras bagi keluarga Pra Sejahtera dari 10kg/KPS/bulan menjadi 20 kg/KPS/bulan. Jika dalam tahap pertama dilakukan survey pada 14 lokasi sampel, maka dalam survey tahap kedua hanya dilakukan terhadap 10 lokasi Dati II (masing-masing 2 lokasi untuk 5 program) yang sebelumnya juga telah menjadi lokasi sampel tahap pertama. Pelaksanaan survey tahap pertama dilakukan pada bulan Oktober 1998 dan untuk tahap kedua dilaksanakan pada bulan Februari 1999.

Secara umum hasil monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan enam program JPS dalam


Page 3

tahap pertama menunjukkan bahwa: (i) kesalahan sasaran terjadi di seluruh program JPS yang dievaluasi, dengan tingkat kesalahan bervariasi antar program, (ii) kebocoran juga ditemui diseluruh program JPS yang dievaluasi dengan tingkat kebocoran tertinggi pada pelaksanaan program P3T dan yang terendah pada program PDKMK, (iii) terjadinya kebocoran dana dan kesalahan sasaran dalam pelaksanaan program JPS sangat terkait erat dengan kapasitas dari instansi pelaksana, baik dalam pemahaman terhadap disain program, meningkatnya dana dengan jumlah yang fantastis yang harus dikelola dibandingkan dengan dana yang dikelola sebelum melaksanakan program JPS, dan terbatasnya sumberdaya manusia yang ada di instansi pelaksana sejak tahapan perencanaan hingga tahapan monitoring. Hasil dari kegiatan monitoring dan evaluasi pada tahap pertama kemudian disusun dalam bentuk laporan hasil monitoring dan evaluasi, kemudian dikirimkan kepada (i) Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, (ii) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, (iii) Ketua dan Wakil Ketua BAPPENAS, (iv) Ketua Tim Pengendali Program JPS, (v) World Bank, dan (vi) Asian Development Bank.

Hasil monitoring dan evaluasi tahap kedua menunjukkan fakta, antara lain: (i) adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan program Opsus beras ternyata mengakibatkan subsidi yang tidak diterima kelompok sasaran (KPS) meningkat, (ii) akibat anggota komite tidak berperan aktif dan indikator yang ditetapkan pusat sering tidak relevan dengan kondisi di daerah, maka dalam pelaksanaan pro

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Sampai dengan tahun 1998, belum ada sistem yang jelas tentang tata cara pembiayaan berdasarkan tiga asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembiayaan atas pelaksanaan kewenangan pemerintahan menurut ketiga asas tersebut masih sering terdapat kerancuan. Tugas daerah otonom dalam rangka desentralisasi ada yang dibiayai dari dana DIP/APBN padahal semestinya dibiayai dari dana APBD. Sebaliknya ada pula tugas-tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang tidak disediakan dana yang cukup dari APBN, sehingga memerlukan pembiayaan dari APBD.

Guna memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi Pemerintah Daerah disediakan subsidi/bantuan dari Pemerintah Pusat berupa Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan beberapa jenis Bantuan Pembangunan Daerah (Bantuan Inpres). SDO mencakup dana untuk membiayai pelaksanaan baik desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan tanpa mengadakan pembedaan antara ketiga jenis asas tersebut. Sebagian besar SDO diberikan untuk membiayai gaji pegawai Pemda. Pembiayaan pegawai melalui sistem SDO tersebut cenderung mendorong Pemda untuk mengisi semua jabatan yang diserahkan Pusat tanpa mempertimbangkan apakah jabatan tersebut memang perlu atau tidak; mendorong Pemda untuk mengabaikan biaya pegawai dalam perencanaan kegiatan, seperti pemungutan pajak dan retribusi; dan tidak memungkinkan fleksibilitas dalam pemilihan tata cara penyelesaian tugas, misalnya dalam hal pemborongan pelayanan tertentu kepada perusahaan swasta sebagai alternatif dari pelaksanaan oleh aparatur Pemda sendiri.

Sistem subsidi/bantuan tersebut tidak mengandung unsur insentif yang efektif guna mendorong Pemda untuk meningkatkan hasil PAD. Dasar pembagian subsidi/bantuan kepada Pemda tidak memperhatikan perbedaan ke

Penerapan otonomi daerah yang menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan efisien perlu berlandaskan pada pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas di antara berbagai tingkat pemerintahan (Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota). Pembagian kewenangan dan tanggung jawab tersebut sangat penting dikaitkan dengan penentuan dasardasar hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pembagian kewenangan dan tanggung jawab harus menjadi dasar pembagian sumbersumber keuangan antara Pusat dan Daerah. Dalam menentukan dasar-dasar pembagian sumber keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dipertimbangkan keadaan yang berbeda dalam hal potensi ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah juga harus diperhitungkan sehingga perbedaan antara daerah yang berkembang dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.

mampuan antar Pemda untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang sebagian pembiayaannya telah tersedia dari PAD serta bagi hasil pajak dan bukan pajak. Selain itu, kepastian tentang jumlah dana subsidi/bantuan yang diberikan selama ini kurang memadai sehingga menyulitkan Pemda dalam penyusunan rencana dan program jangka menengah.

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas dan dengan didorong oleh tuntutan masyarakat sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfataan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka ditetapkan program untuk menyusun peraturan perundang-undangan mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diharapkan dapat :

memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian Daerah; menciptakan sistem pembiayaan Daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan,

partisipatif, bertanggungjawab (account-


able), dan pasti; mewujudkan sistem perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan daerah, men-

dukung pelaksanaan otonomi daerah dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat, mengurangi kesenjangan antar

daerah dalam kemampuannya untuk mem-

biayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan; menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah; mempertegas sistem pertanggungjawaban

keuangan oleh Pemerintah Daerah; dan

menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.

Peraturan perundang-undangan tersebut dapat menciptakan sistem perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang rasional, logis, mantap, dan dinamis yang didasarkan pada pembagian tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan oleh daerah dalam rangka desentralisasi; memberikan kepastian bagi daerah mengenai sumber-sumber keuangan serta penggunaannya; mendorong prakarsa Pemda dan

bunga yang tajam. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang berjangka satu bulan, misalnya, meningkat tajam menjadi 70,44 persen dalam bulan Agustus 1998. Suku bunga SBI ini dalam keadaan normal, sebelumnya terjadinya krisis bulan Juni 1997 hanya sebesar 10,50 persen. Konsekuensinya, sektor perbankan menderita spread negatif, yaitu biaya dana (suku bunga simpanan) jauh lebih besar dari pendapatan (suku bunga pinjaman) dan sektor riil (sektor usaha) mendapat pukulan yang berat, karena biaya dana yang meningkat tajam dan penyaluran kredit yang tidak lancar dari sektor perbankan.

Untuk menindaklanjuti Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut kini sedang dipersiapkan peraturan pelaksanaannya yaitu :

Peraturan Pemerintah tentang Dana Per- imbangan;

Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman

Daerah;

Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan

Dekonsentrasi;

Peraturan Pemerintah tentang Pembiayaan

Tugas Pembantuan;

Peraturan Pemerintah tentang Pokok-pokok

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;

Peraturan Pemerintah tentang Informasi

Keuangan Daerah; Keputusan Presiden tentang Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kebijakan Moneter

Dalam rangka menciptakan iklim yang mendukung upaya menurunkan laju inflasi dan memungkinkan terjadinya apresiasi dan stabilitas nilai tukar rupiah, telah dilaksanakan kebijakan pengetatan likuiditas melalui instrumen operasi pasar terbuka. Hasil dari pelaksanaan kebijakan tersebut tercermin pada menurunnya pertumbuhan uang beredar (MI) yaitu dari 6,0 persen dalam periode April-Oktober 1997 menjadi 1,4 persen dalam periode yang sama tahun 1998. Sementara itu, dalam bulan April-Oktober 1998 pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) mencapai 18,3 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang sama tahun 1997 yang hanya mencapai 15,7 persen.

Dilema dari pelaksanaan kebijakan moneter ketat tersebut adalah terjadinya eskalasi suku

Walaupun demikian, nilai rupiah telah menguat dan bergerak dalam kisaran yang cukup realistis. Hingga Juni 1999 nilai tukar rupiah telah mengalami penguatan sekitar 8.000 poin dan bergerak stabil pada level Rp 6.800-an, dibandingkan dengan posisi nilai tukar pada bulan Juli 1998 yang berada pada titik terendah Rp 14.700 per dolar AS serta dengan kisaran fluktuasi yang demikian tajam dan cepat.

Seiring dengan menguatnya nilai tukar rupiah, inflasi juga dapat diturunkan dengan tajam. Dalam bulan Maret hingga Mei 1999 bahkan terjadi deflasi (penurunan tingkat harga rata-rata), yang masing-masing adalah minus 0,18, minus 0,68 dan minus 0,28 persen, sehingga inflasi dalam tahun 1999 diperkirakan akan jauh lebih rendah dari inflasi tahun 1998. Selanjutnya, penguatan nilai tukar rupiah dan penurunan inflasi juga telah menghasilkan penurunan suku bunga SBI dari level tertinggi 70,6 persen pada lelang tanggal 2 September 1998 menjadi 18,84 persen pada lelang tanggal 30 Juni 1999. Demikin juga halnya dengan suku bunga bank-bank umum yang menunjukkan kecenderungan penurunan serta spread antara suku bunga deposito dan suku bunga pinjaman telah mulai bergerak ke arah normal kembali. Seiring dengan itu, kegiatan pasar modal telah bangkit kembali seperti yang ditunjukkan oleh IHSG yang telah mencapai angka sekitar 700-an, mendekati tingkat IHSG sebelum krisis.

NILAI TUKAR RUPIAH

1998 - 1999

0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Restrukturisasi Dan Rekapitalisasi Perbankan

Rentannya perbankan nasional terhadap gejolak nilai tukar rupiah disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut. Pertama, terbukanya perbankan nasional terhadap resiko pergerakan kurs yang dikarenakan besarnya kewajiban perbankan nasional dan sektor swasta non perbankan dalam valuta asing. Dalam tiga tahun terakhir (1995-1997) kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing meningkat tajam, yang tercermin dari memburuknya posisi devisa netto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing. Kedua, kredit bermasalah pada beberapa bank nasional cenderung meningkat, sementara efisiensi usaha memburuk. Ketiga, kondisi internal perbankan yang lemah, yang ditandai oleh lemahnya manajemen, konsentrasi kredit yang berlebihan, terbatas dan kurang transparannya informasi kondisi keuangan bank, dan belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Dengan kondisi perbankan nasional tersebut, gejolak nilai tukar rupiah telah menyebabkan beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas yang sangat besar, yang pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis perbankan nasional. Dalam perkembangannya, krisis perbankan semakin dalam dan berat, karena diperburuk oleh merosotnya kepercayaan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri terhadap perbankan nasional, yang ditandai dengan penarikan tunai dana perbankan dan pemindahan dana secara besarbesaran dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai kuat.

Untuk memulihkan kepercayaan para deposan dan kreditor dalam dan luar negeri pada sistem perbankan Indonesia, dan dalam rangka membangun kembali sistem perbankan yang sehat, Pemerintah menetapkan kebijaksanaan : (a) memberikan jaminan penuh kepada seluruh


Page 4

nasabah deposan dan kreditor bank-bank umum nasional, yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan (b) sebagai bagian dari usaha pemulihan perbankan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Pemerintah menjamin bahwa tagihan-tagihan dari para nasabah deposan dan kreditor bank-bank yang berbadan hukum Indonesia akan dipenuhi dengan segera. Jaminan berlaku atas kewajiban baik dalam rupiah maupun valuta asing. Pengecualian terhadap jaminan ini adalah pada hutang pemegang saham dan hutang subordinasi. Penerapan jaminan berlaku sama untuk bank swasta maupun bank pemerintah, termasuk bank yang sedang dalam proses restrukturisasi (merger, akuisisi, konsolidasi, dan lain sebagainya). Jaminan diberlakukan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu dua tahun. Adapun tugas utama BPPN yaitu : (a) melakukan penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia, (b) menangani penyelesaian aset bank baik fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Asset Management Unit = AMU). dan (c) mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank. Dengan adanya program penjaminan maka kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional dapat tetap dipertahankan.

nesia) ke dalam Bank Mandiri; dan (vi) meluncurkan berbagai peraturan yang menjamin kehati-hatian.

Program Rehabilitasi dan Hasil yang Dicapai

Dalam rangka restrukturisasi perbankan, enam strategi diterapkan oleh pemerintah, yaitu: (i) melakukan program penjaminan bagi nasabah dan deposan (ii) mendorong dilakukannya rekapitalisasi terhadap bank-bank yang layak hidup: (111) menyelesaikan kelanjutan status bank Bank Take Over dan bank Beku Operasi; (iv) menyepakati dengan pemilik bank atas langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah; (v) memantapkan penggabungan empat bank pemerintah (Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Dagang Negara dan Bank Ekspor Impor Indo

Bank-bank yang mengalami masalah dan telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) lebih dari 500 persen modal sendiri dialihkan pengelolaannya dibawah BPPN. Mengingat besarnya anggaran yang diperlukan, maka proses rekapitalisasi perlu dilakukan secara transparan dan obyektif. Untuk itu, prosesnya selalu diumumkan Pemerintah, yakni:

due dilligence pengelompokan bank atas dasar kondisi modal penilaian rencana kerja

fit and proper test

pengikatan perjanjian bagi bank-bank yang memenuhi persyaratan penyetoran modal

Program rekapitalisasi dilaksanakan dengan mewajibkan bank-bank menyusun rencana kerja yang jelas dan disetujui Bank Indonesia, serta menyetor sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah kebutuhan rekapitalisasi, sedangkan pemerintah menyediakan 80 persen. Sifat pendanaan pemerintah tersebut adalah penyertaan modal, yang dapat dilepas kembali pada harga yang memberikan peluang untuk mendapatkan nilai tambah. Penyertaan dilakukan dengan konversi BLBI menjadi penyertaan (equity)

pemerintah serta dengan obligasi, sehingga yang dibebankan adalah bunganya. Pada waktu bersamaan pemerintah akan memperoleh penerimaan dari penjualan aset (yang dikuasai BPPN), para pemilik lama bank-bank Bank Take Over (BTO) dan Bank Beku Operasi (BBO) yang dapat digunakan untuk mendukung pembayaran beban bunga. Dari due dilligence yang dilakukan diketahui bahwa (i) 54 bank mempunyai capital adequacy ratio (CAR) 4 persen atau lebih (kategori A), (ii) 56 bank mempunyai CAR antara minus 25 persen sampai plus 4 persen (kategori B), dan (iii) 40 bank mempunyai CAR kurang dari minus 25 persen (kategori C). Bank yang dapat dipertimbangkan ikut serta dalam program rekapitalisasi adalah bank dalam kelompok kategori B. Sedangkan, bank-bank kategori C diberi kesempatan untuk segera (dalam waktu 30 hari sejak panggilan Bank Indonesia) menambah modal sendiri, agar dapat masuk kategori B.

Adapun contoh ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank-bank kategori B untuk dapat turut serta dalam program rekapitalisasi adalah : pertama, menyusun suatu rencana kerja yang berisi langkah-langkah yang akan diambil sampai dengan akhir tahun 2001 yang menunjukkan bahwa akan mampu beroperasi dengan baik. Langkah-langkah ini mencakup jadwal penyelesaian semua kredit bermasalah dan pinjaman kepada grup untuk properti di luar kredit pemilikan rumah sederhana (KPPRS) dan rumah sangat sederhana (KPRSS) dan jadwal untuk mencapai CAR delapan persen dalam waktu selambat-lambatnya tiga tahun. Kedua, menyelesaikan kredit kepada kelompok sendiri yang melebihi ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Ketiga, menyerahkan. 20 persen dari kekurangan modal dalam waktu 4 (empat) minggu setelah rencana kerjanya disetujui Bank Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan obligasi senilai Rp 157,61 triliun dengan perincian Rp 103,831 triliun akan digunakan untuk membiayai program rekapitalisasi perbankan

(delapan bank swasta, 12 BPD, Bank BCA, Bank Danamon, Bank PDFCI dan Bank Tiara), dan sisanya Rp 53,779 triliun untuk menjamin penutupan kewajiban bank-bank yang sudah ditutup pemerintah tahun 1998 dan tahun 1999.

Berdasarkan tingkat bunganya, obligasi pemerintah dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu:

Obligasi dengan tingkat bunga mengambang (floating rate bond) senilai Rp 95,149 triliun, dengan pembayaran bunga dilakukan 3 bulan sekali dan masa jatuh tempo selama-lamanya 15 tahun sejak tanggal penerbitan. Obligasi ini diterbitkan untuk menutup modal negatif sehingga rasio kecukupan modal mencapai 0 (nol) persen. Sampai saat ini telah diterbitkan 16 seri dengan masa jatuh tempo 3

sampai 10 tahun. b. Obligasi dengan tingkat bunga tetap (fixed

rate bond) senilai Rp 8,682 triliun yang dipakai untuk meningkatkan CAR sehingga mencapai 4 persen. Bunga obligasi dibayar 6 bulan sekali dengan masa jatuh tempo selama-lamanya 15 tahun. Sampai saat ini telah terbit dua seri dengan masa jatuh tempo 5 sampai 10 tahun dengan tingkat bunga masing-masing 12 persen dan 14 persen. Obligasi yang diindeksasi (indexed bond) senilai Rp 53,779 triliun yang akan digunakan untuk menutup kewajiban pemerintah kepada BI karena program pen

pertama dalam proses restrukturisasi yang telah diselesaikan adalah klasifikasi debitur kedalam kelompok A, B, C dan D yang terkait dengan itikad baik debitur serta prospek dari bisnis yang ada.

jaminan. Obligasi mempunyai bunga sebesar 3 persen dan akan dibayar setiap 6 bulan sekali dengan masa jatuh tempo 20 tahun.

BPPN menempuh berbagai macam cara dalam upaya dalam rangka mengembalikan dana pemerintah yang telah dikeluarkan dalam proses restrukturisasi perbankan ini. Hal ini dilakukan antara lain dengan pengalihan aset Pemegang Saham Bank, pengalihan saham bank, maupun pengalihan aset bank yang bermasalah. Selanjutnya juga dilakukan restrukturisasi atas hutang-hutang debitur pada bank yang bermasalah tadi.

Salah satu kunci utama penyehatan perbankan nasional adalah bangkitnya kembali perusahaan-perusahaan domestik yang terpukul akibat krisis ekonomi. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah debitur bank-bank yang pelunasan kreditnya sebagian besar mengalami kemacetan (nonperforming loan). Untuk membangun kembali perusahaan-perusahaan tersebut, pemerintah membantu mereka dalam merestrukturisasi hutang-hutang baik hutang dalam negeri maupun luar negeri melalui Indonesian Debt Restucturing Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta (Jakarta Initiative). Selain itu, pemerintah juga telah menyempurnakan undang-undang kepailitan (bankruptcy law) serta membenahi ketentuan mengenai corporate governance dan financial disclosure.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengembalian dana dari Bank yang dipinjamkan pada pemilik bank yang telah melanggar ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BPMK). Pemerintah telah meminta kepada para pemilik bank untuk membayar kembali dana yang dipinjamkan tersebut. Sejumlah pemilik bank telah mengembalikan dana dimaksud dalam bentuk aset perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan. Untuk tiap kelompok perusahaan yang diserahkan oleh pemilik bank, maka dibentuk Perusahaan Induk (holding company) yang akan mengelola perusahaan-perusahaan tersebut. Sampai saat ini jumlah perusahaan yang sudah dan akan diserahkan kepada BPPN adalah 153 perusahaan yang terdiri dari lima Perusahaan Induk

Total aset-aset yang telah dialihkan ke BPPN, sampai dengan akhir Juni 1999 telah mencapai Rp. 326,6 triliun. Nilai ini berasal dari aset-aset di bawah pengelolaan Aset Manajemen Kredit, sebesar Rp. 214,6 triliun; serta yang berasal dari aset-aset di bawah pengelolaan Aset Manajemen Investmen senilai Rp. 112,0 triliun.

Sejalan dengan proses restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan, maka saat ini BPPN tengah menangani sekitar 1600 debitur yang hutangnya macet dan perlu ditindaklanjuti. Tahap

Penjualan kredit/hak tagih

Penyelesaian secara hukum Pemilihan alternatif ditentukan dengan memperhatikan potensi keberhasilan melalui penilaian terhadap itikad dan prospek debitur.

asuransian yang tadinya dalam dua tahap (izin prinsip dan izin usaha) menjadi hanya satu tahap (izin usaha) dan ditetapkannya deregulasi ketentuan investasi yang memberikan keleluasaan bagi perusahaan asuransi dalam mengelola kekayaan (investasi) dengan tetap mempertimbangkan keamanan dana tertanggung dan keuntungan bagi perusahaan.

d. Berkaitan dengan aspek itikad dan prospek

debitur, pemerintah membagi debitur men- jadi empat, yaitu:

Debitur A: itikad baik, prospek usaha ada Debitur B: itikad baik, prospek usahanya tidak cukup Debitur C: itikad kurang, prospek usaha ada Debitur D: itikad kurang, prospek usaha-

nya tidak cukup e. Setelah penilaian kategori debitur, dilakukan penyelesaian:

Debitur A dilakukan negosiasi guna mencari cara restrukturisasi yang dapat

disepakati untuk penyelesaian kredit

bermasalah. Debitur B dilakukan penyelesaian secara komersial, misalnya pengambilalihan agunan. Debitur C dilakukan langkah-langkah melalui proses agar menjadi kooperatif. Apabila debitur tetap tidak kooperatif, maka proses hukum dilanjutkan antara lain dengan penyitaan kepailitan. Debitur D dilakukan langkah-langkah melalui proses hukum, termasuk penyi- taan dan kepailitan.

Perasuransian dan Dana Pensiun

Di bidang Perasuransian telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang merupakan perubahan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992, yang dimaksudkan antara lain untuk melakukan penyesuaian atas kebutuhan ketentuan yang dapat meningkatkan perlindungan terhadap tertanggung asuransi (masyarakat) sekaligus mendorong terciptanya iklim usaha yang baik bagi penanggung (perusahaan asuransi). Adapun materi perubahan antara lain berupa penyederhanaan tahap perizinan usaha bagi perusahaan per

Di bidang Dana Pensiun telah dilakukan penyederhanaan persyaratan untuk mendapatkan pengesahan Menteri Keuangan atas pembentukan Dana Pensiun. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 344/KMK.017/1998 menghapus syarat berupa nomor pokok wajib pajak, neraca awal (sepanjang Dana Pensiun yang akan dibentuk tidak memiliki dana awal), dan riwayat hidup pengurus dan dewan pengawas, yang sebelumnya harus disertakan pada setiap permohonan pengesahan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan sebelumnya.

Penghapusan batas maksimum penghasilan dasar pensiun yang digunakan untuk menentukan besar iuran dan atau manfaat pensiun tidak lagi ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998. Dengan demikian, setiap peserta Dana Pensiun secara teoritis dapat menabung sebanyak-banyaknya untuk menjamin kesinambungan penghasilannya di hari tua.

Perkembangan Pasar Modal

Perkembangan Pasar Modal Indonesia ditandai dengan berbagai gejolak ekonomi maupun politik di samping masih berlanjutnya krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia. Tidak sedikit Emiten dan Perusahaan Publik yang juga terkena dampak dari krisis ekonomi mengalami masalah keuangan, terutama disebabkan oleh kerugian valuta asing. Sebagai akibat kerugian tersebut Emiten dalam penyusunan laporan keuangannya perlu melakukan penyesuaian akuntansi transaksi yang dilakukan dalam mata uang asing.

Berkaitan dengan dampak krisis ekonomi, telah diambil beberapa kebijaksanaan yang dapat meringankan para pelaku pasar modal antara lain :

Menunda berlakunya kewajiban pemenuhan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD)

bagi Perusahaan Efek termasuk mengenai kewajiban anggota direksi Perusahaan Efek untuk memiliki izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan Efek. Menerbitkan peraturan tentang pembelian kembali saham dan penambahan modal dengan melakukan penawaran umum tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu serta diperpendeknya masa penawaran umum tersebut. Menetapkan peraturan yang mengatur tentang persyaratan komisaris dan direktur bursa efek. Menerbitkan izin usaha Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek izin orang perseorangan kepada Wakil Perusahaan Efek, serta memberikan pernyataan efektif kepada Emiten dalam rangka melakukan


Page 5

Penawaran Umum (IPO) maupun Penawaran Umum Terbatas.

yang mencakup periode laporan yang berakhir setelah 1 Januari 1998.

Berbagai kebijaksanaan di bidang pasar modal tersebut menghasilkan perkembangan :

Bapepam telah memberikan izin usaha kepada empat badan usaha dan 453 izin orang - perseorangan sebagai Perantara Pedagang Efek (WPPE). Sedangkan sebagai Wakil Penjamin Emisi Efek (WPEE) telah dikeluarkan izin sebanyak 121 orang. Izin orang perseorangan juga diberikan kepada tiga Manajer Investasi (MI), 107 Wakil

Manajer Investasi (WMI), satu Penasihat

Investasi, 57 Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (WAPERD) dan dua orang Penasihat Investasi sebagai Pemeringkat Efek. Jumlah perusahaan yang melakukan emisi saham melalui IPO sebanyak empat perusahaan, penawaran umum tanpa right

issue satu perusahaan, penawaran umum

terbatas 30 perusahaan, perusahaan publik dua perusahaan. Akumulasi nilai emisi saham sampai dengan bulan Mei 1998 telah mencapai Rp72.313,4 miliar dan meningkat 253,79 persen menjadi Rp183.527,3 miliar sampai dengan akhir bulan Juni 1999. Sedangkan akumulasi nilai emisi obligasi bulan Mei 1998 sebesar Rp18.740,5 miliar meningkat sebesar 3,46 persen menjadi Rp19.389,4 miliar sampai bulan akhir Juni 1999. Dalam setahun Bapepam telah menjatuhkan lima kali sanksi administratif berupa

peringatan, satu kali pembekuan kegiatan

usaha serta denda kepada Emiten, Perusahaan Efek, Biro Administrasi Efek, Manajer Investasi, Bank Kustodian dan Wali Amanat, dengan nilai keseluruhan denda sebesar Rp10,4 milyar.

Menyederhanakan peraturan mengenai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu sehinga proses pelaksanaan right issue yang semula 107 hari dipersingkat menjadi 42 hari. Bagi perusahaan yang tidak melakukan lindung nilai (hedging), diberikan perlakuan akuntansi atas selisih kurs sebagai akibat transaksi untuk Emiten dan Perusahaan Publik dengan mengacu pada ketentuan PSAK Nomor 10. Pelaksanaan ketentuan ini diatur dalam Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.10 tentang Akuntansi Dalam Mata Uang Asing tanggal 7 September 1998 dan berlaku untuk penyusunan laporan keuangan


Page 6

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 berangsur-angsur sudah mulai membaik, sebagaimana terlihat dalam indikator ekonomi makro seperti nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga. Ketika krisis ekonomi sedang berlangsung, pada tanggal 21 Mei 1998, terjadi perubahan kabinet yaitu dari Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi Pembangunan. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas utama dari Kabinet Reformasi Pembangunan adalah memulihkan perekonomian nasional dengan mengutamakan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam masa bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan kondisi sektor industri dan perdagangan, melalui program reformasi pembangunan baik dalam bidang produksi, distribusi maupun dalam bidang peraturan perundang-undangan di sektor industri dan perdagangan. Hasil dari program tersebut, banyak kemajuan yang telah dicapai, namun juga masih ada yang belum dapat diatasi dengan baik, misalnya penurunan tingkat pertumbuhan nilai ekspor non migas.

Melalui Buku ini mudah-mudahan para pembaca dapat memperoleh gambaran secara garis besar mengenai program yang telah dilakukan dan hasil yang dicapai oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam mengupayakan pemulihan sektor industri dan perdagangan khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya dalam Masa Bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan.


Page 7

Krisis ekonomi yang dimulai dengan terjadinya krisis moneter pada saat memasuki paruh kedua tahun 1997, telah menimbulkan dampak yang sangat buruk berupa kemundurankemunduran yang dialami oleh sektor industri dan sektor perdagangan. Secara makro dampak dari terjadinya krisis ekonomi tersebut dapat dilihat dalam perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB).

Perkembangan nilai PDB triwulanan tahun 1998 berdasarkan harga konstan tahun 1993, PDB sektor Industri Pengolahan Bukan Migas selama triwulan I masih sedikit mengalami peningkatan sebesar 1,46% dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 1997 namun mengalami penurunan sebesar 14,40% dibanding dengan triwulan IV tahun 1997. Kemudian selama triwulan II tahun 1998 telah mengalami penurunan sebesar 13,67% dibanding dengan triwulan yang sama tahun 1997, demikian juga semakin mengecil dibanding dengan triwulan I tahun 1998 atau turun 11,51%. Di sini tampak bahwa perkembangan nilai produk sektor industri selama semester I tahun 1998 mengalami kemunduran dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang cenderung berlangsung terus sehingga selama tahun 1998, PDB sektor Industri pengolahan Bukan Migas mengalami penurunan 13,35% dibanding dengan tahun sebelumnya. Adanya penurunan nilai produk ini menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan kegiatan produksi akibat terkena dampak krisis ekonomi.

Di antara sektor Industri Pengolahan Bukan Migas ini terdapat industri yang masih sedikit dapat bertahan karena lebih banyak mengandalkan bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri dan selain itu, sebagian produknya diekspor. Sebaliknya industri yang banyak mengandalkan bahan baku dan penolong yang diimpor dan produknya hanya dijual di pasar domestik, banyak mengalami penurunan kegiatan yang sangat drastis. Industri Makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku dan penolong yang sebagian besar berasal dari dalam negeri dan produknya sebagian diekspor, selama triwulan I dan triwulan II tahun 1998 PDB industri ini meningkat masing-masing sebesar 28,37% dan 8,40% dibanding dengan periode yang sama tahun 1997, baru kemudian pada triwulan III dan IV menurun masing-masing sebesar 13,24% dan 18,93%. Di lain pihak, industri Alat Angkut, Mesin dan Peralatannya yang banyak menggunakan bahan baku dan penolong dari impor dan hanya mengandalkan pasar dalam negeri, selama triwulan I dan II tahun 1998 PDB industri ini telah mengalami penurunan masing-masing sebesar 37,94% dan 55,44% dan terus berlanjut selama triwulan III dan IV tahun 1998, bahkan semakin tinggi laju penurunannya yakni masing-masing sebesar 59% dan 57,14%. Tingginya penurunan nilai tukar Rupiah menyebabkan harga jual produk dari dalam negeri meningkat pesat, di lain pihak daya beli masyarakat merosot drastis, sehingga praktis jumlah penjualan kendaraan bermotor, mesinmesin, dan perlengkapannya menurun yang pada akhirnya memukul kegiatan produksi industri ini.

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TANPA MIGAS TRIWULANAN TAHUN 1998

(Dalam persen)

: Dihitung berdasarkan nilai PDB menurut harga konstan tahun 1993

dari suatu triwulanan tahun 1998 terhadap triwulanan yang sama tahun 1997

Secara lebih mikro gambaran dari terjadinya kemunduran kegiatan di sektor industri dapat dilihat dari perkembangan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang sektor industri pada periode Januari - Juni 1998 dibanding dengan keadaan

pada saat normal (tahun 1996) sebelum terjadinya krisis ekonomi yang tercantum pada tabel berikut. Gambaran ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan pada bulan Juli 1998.

PERKEMBANGAN PEMANFAATAN KAPASITAS TERPASANG INDUSTRI

TAHUN 1996 DAN SEMESTER I TAHUN 1998

sebesar 80,2%. Kedua industri ini adalah industri yang menggunakan sumber daya alam di dalam negeri, sehingga terjadinya kemerosotan nilai tukar Rupiah tidak terlalu memukul kegiatan produksinya, bahkan mampu memanfaatkan situasi ini untuk meningkatkan daya saing di pasar internasional.

Melemahnya nilai tukar Rupiah membawa dampak negatif bagi seluruh kegiatan ekonomi termasuk di sektor industri. Dampak tersebut antara lain berupa kenaikan biaya produksi industri secara keseluruhan. Biaya-biaya yang meningkat dan membebani kegiatan produksi, selain kenaikan harga bahan baku dan penolong juga biaya tenaga kerja, biaya energi dan biaya pelabuhan serta transportasi. Tarif listrik per KVA per bulan untuk biaya beban di atas 201 KVA (Kategori 1-3 dan 1-4) pada tanggal 5 Mei 1998 dinaikkan dari Rp. 5.060,- menjadi Rp. 16.000,- atau meningkat sebesar 216%. Hal ini pada akhirnya menyebabkan harga produknya meningkat dan apabila daya serap pasar menurun karena daya beli masyarakat merosot, maka hal ini mengakibatkan industri- industri tersebut mengurangi produksi, bahkan menutup kegiatan usahanya.

berlaku masih mengenakan tarif yang tinggi terhadap bahan baku dan setengah jadi yang sangat diperlukan bagi industri-industri hilir, sehingga industri hilir baik yang berorientasi ekspor maupun pasar dalam negeri kurang dapat berkembang dengan baik. Sebagai contoh adalah industri kimia yang menghasilkan bahan kimia yang diperlukan oleh berbagai industri hilir seperti tekstil, plastik, sabun, pembungkus (packaging), serta ban kendaraan, sehingga produkproduk hilir ini kurang dapat bersaing di pasar domestik terhadap barang impor maupun di pasar ekspor.

Organization (WTO). Kebijakan tersebut adalah Kebijakan Otomotip tahun 1993 tentang pemberian insentip perpajakan bagi pencapaian kandungan lokal dan kebijakan tahun 1996 tentang mobil nasional yang berdasarkan ketentuan WTO kedua kebijakan tersebut harus dihapus paling lambat tanggal 22 Juli 1999.

Perdagangan Dalam Negeri

Setelah terjadi peristiwa kerusuhan pada tanggal 14-15 Mei 1998 yang kemudian diikuti dengan rusaknya lokasi-lokasi kegiatan ekonomi termasuk beberapa pasar dan pertokoan serta munculnya masalah keamanan di beberapa daerah, maka kebanyakan jalur-jalur distribusi mengalami gangguan, bahkan beberapa di antaranya sudah tidak berfungsi lagi. Sebagai

Permasalahan kelembagaan juga dijumpai di bidang industri, seperti adanya kebijakan otomotip yang tidak sesuai dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia-World Trade

PERKEMBANGAN LAJU INFLASI PERIODE SEMESTER I TAHUN 1996-1998


Page 8

akibatnya arus distribusi barang antar daerah menjadi tidak lancar, sehingga terjadi kelangkaan barang terutama kebutuhan pokok masyarakat yang pada akhirnya menimbulkan kenaikan harga yang tinggi. Gambaran ini dapat dilihat pada perkembangan laju inflasi yang diukur dengan perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang selama periode Januari-Juni (Semester I) 1998 telah mencapai 46,55%, sedangkan pada periode yang sama tahun 1996 dan 1997 masing-masing hanya sebesar 4,06% dan 2,56%. Selain akibat terjadinya peristiwa kerusuhan pada bulan Mei 1998, dampak dari krisis ekonomi juga telah mendorong harga-harga seluruh barang konsumsi masyarakat meningkat pesat dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, sehingga laju inflasi selama tahun 1998 mencapai 77,63% sedangkan pada tahun 1996 dan 1997 masing-masing hanya sebesar 5,17% dan 11,05%.

Kelompok Bahan Makanan mengalami peningkatan harga yang tertinggi setelah kelompok Sandang selama semester I tahun 1998 dengan perubahan IHK sebesar 62,93%. Pengaruh kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1997 membawa dampak pada merosotnya produksi hasil pertanian, kemudian ditambah lagi merosotnya nilai tukar Rupiah mendorong kenaikan harga hasil pertanian yang diimpor. Sehingga dengan terganggunya sistem distribusi barang yang menyebabkan kelangkaan barang di pasar, maka kenaikan harga bahan makanan yang sangat tinggi merupakan cerminan dari akumulasi dari segala permasalahan tersebut.

Kelompok Sandang mengalami kenaikan harga tertinggi yakni sebesar 76,61%, karena terbawa oleh adanya kenaikan harga bahan baku terutama kapas dan serat buatan karena terdorong oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

hilangnyakepercayaan luar negeri juga berpengaruh besar, sehingga pengusaha sulit melakukan impor bahan baku dan penolong serta banyak pelanggan mereka mengalihkan pesanan ke negara-negara lain.

Guna dapat meredam laju inflasi, pemerintah berusaha untuk mengupayakan ketersediaan barang di pasar dalam jumlah cukup dengan tingkat harga yang wajar dan tidak bergejolak. Upaya ini selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, juga untuk menyehatkan perekonomian makro. Perdagangan Luar Negeri

Terjadinya kemerosotan nilai tukar Rupiah seharusnya dapat meningkatkan daya saing produk yang diekspor. Namun pengaruh kemerosotan nilai tukar Rupiah tersebut dapat dikalahkan oleh masalah-masalah lain yang menghambat ekspor yang justru lebih kuat pengaruhnya, sehingga laju pertumbuhan ekspor non migas selama tahun 1998 menjadi semakin melemah.

Selama semester I tahun 1998, kemerosotan nilai tukar Rupiah membawa dampak positif terhadap ekspor Hasil Pertanian ditambah lagi harganya di pasar internasional cukup baik, sehingga nilainya meningkat sebesar 29,05% dibanding dengan ekspor selama periode yang sama tahun 1997, dimana pada tahun sebelumnya hanya meningkat 1,12%. Sebaliknya, ekspor Hasil Pertambangan mengalami penurunan sebesar 24,10% sehubungan dengan permintaan dunia melemah karena terjadinya krisis ekonomi terutama yang melanda di kawasan Asia Timur dan Tenggara dan harganya di pasar dunia turun. Sedangkan ekspor Hasil Industri selama semester I tahun 1998 relatif masih bertahan dengan laju pertumbuhan yang relatif sama dengan laju pertumbuhan selama tahun 1997, yakni 7,68%, berkat dukungan dari peningkatan ekspor Pulp

Faktor keamanan setelah terjadi kerusuhan pada bulan Mei 1998 merupakan salah satu masalah utama, sehingga kegiatan produksi dan pengangkutan barang, termasuk barang yang diekspor menjadi terganggu. Selain itu,

PERKEMBANGAN EKSPOR SEMESTER I TAHUN 1996, 1997 dan 1998

(Dalam US$ Juta)

Selain permasalahan yang dihadapi oleh industri sebagai produsen barang ekspor yang telah disebutkan dimuka, permasalahan lain di bidang ekspor adalah belum tersedianya lembaga pembiayaan ekspor. Sehingga ketika timbul ketidak-percayaan dari pihak luar negeri khususnya terhadap letter of credit (L/C) yang diterbitkan oleh kalangan perbankan di Indonesia, sekalipun Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas penjaminan L/C atau fasilitas pembiayaan L/C dengan penerapan berbagai skema yang didanai oleh beberapa negara donor dan disalurkan melalui perbankan umum, maka tetap belum dapat memulihkan kepercayaan. Di samping itu, pembiayaan ekspor yang dilakukan oleh perbankan umum akan sangat mahal karena tingkat suku bunganya yang tinggi. Semula Bank Ekspor-Impor Indonesia ditugasi untuk mendanai kegiatan ekspor dan impor yang terkait dengan keperluan ekspor, namun dalam perkembangannya telah berubah fungsinya menjadi bank umum biasa.

dan Kertas dan produk Hasil Pengolahan Emas dan Perak, Logam Mulia dan Perhiasan terutama karena meningkatnya harga emas di pasar internasional. Komoditi utama ekspor Hasil Industri lainnya yang cukup menonjol peningkatan ekspornya adalah Besi Baja sehingga karena laju pertumbuhan ekspornya sangat cepat akhirnya terkena tuduhan dumping di negara tujuan utama ekspor yakni Amerika Serikat.

Secara keseluruhan, ekspor selama semester I tahun 1998 turun 5,38% sehubungan dengan adanya penurunan ekspor migas karena harganya di pasar internasional menurun, akibat stok yang berlimpah. Di lain pihak, laju pertumbuhan ekspor non migas tidak mampu mengkompensasi penurunan ekspor inigas tersebut, bahkan laju pertumbuhan pada semester I tahun 1998 sudah lebih kecil dibandingkan dengan periode yang sama tahun 1997.

Kemerosotan total ekspor yang terjadi pada semester I terus berlanjut sepanjang tahun 1998. Pada tahun 1998 total ekspor menurun 8,60% dan ekspor non migas mengalami penurunan 2.02%. Penurunan ekspor non migas merupakan kejadian yang pertama kali terjadi setidak-tidaknya selama periode tahun 1990-an. Ekspor Hasil Pertanian yang selama semester I meningkat pesat, ketika memasuki semester II mulai mengalami penurunan laju peningkatan, sehingga selama tahun 1998 meningkat lebih lambat yakni 11.73%. Hal ini berkaitan dengan adanya kecenderungan penurunan harga komoditi primer hasil pertanian di pasar internasional akibat keberhasilan panen di beberapa negara produsen dan ditambah masih lemahnya permintaan pasar. Sehingga praktis penurunan nilai tukar Rupiah tidak memberikan dampak pada peningkatan ekspor non migas, bahkan ada beberapa produk Hasil Industri yang mendapatkan tekanan harga per satuan dari para importirnya di luar negeri, sehingga nilai ekspornya hanya meningkat tipis sekalipun volumenya meningkat pesat, misalnya Tekstil dan Produk Tekstil yang selama tahun 1998 hanya meningkat sebesar 0,01%.

Permasalahan tidak diakuinya L/C yang diterbitkan perbankan Indonesia oleh perbankan di luar negeri, menimbulkan kesulitan impor bahan baku dan penolong yang diperlukan oleh industri, sehingga kegiatan produksi menjadi terhenti. Di samping itu, kegiatan impor barang konsumi juga terganggu sehingga terjadi kelangkaan barang kebutuhan konsumsi masyarakat.

Perkembangan penurunan impor selama semester I tahun 1998 dibanding dengan periode yang sama dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya menggambarkan bahwa adanya penurunan kegiatan produksi, penurunan tingkat konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan penurunan tingkat pendapatan, dan penurunan kegiatan penanaman modal. Penurunan impor akan terhenti, apabila terjadi pemulihan ekonomi yang ditandai antara lain dengan mulainya terjadi peningkatan ekspor, khususnya ekspor non migas hasil industri.

Tujuan, Sasaran dan Program Kegiatan

Tujuan

Program kegiatan Departemen Perindustrian dan Perdagangan ditujukan untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan yakni pada tahun 2020 Indonesia diharapkan telah menjadi negara industri baru sekaligus bangsa niaga yang tangguh. Sebagai negara industri baru nantinya memiliki industri yang kuat dan maju, berdaya saing tinggi, bertumpu pada sumber daya manusia industrial yang berkualitas serta semakin mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi tinggi. Sebagai bangsa niaga yang tangguh akan dicirikan oleh mampu bersaing secara andal di pasar dalam dan luar negeri dengan perekonomian nasional yang semakin berorientasi ke pasar global. Sasaran Pokok

Dalam mengatasi krisis ekonomi, program kegiatan di sektor industri dan perdagangan diarahkan kepada upaya pencapaian sasaran pokok yaitu ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat serta berputarnya kembali roda perekonomian nasional. Sasaran pokok tersebut hanya dapat diraih apabila Indonesia mampu mengembalikan kepercayaan internasional. Pulihnya kepercayaan yang datangnya dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat, akan mendorong kembali kepercayaan sektor swasta, baik domestik maupun asing. Program Kegiatan Sektor Industri

Untuk mencapai sasaran pokok tersebut, program kegiatan di sektor industri diarahkan pada pengembangan industri yang mempunyai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif, dengan mengutamakan pada industri agro serta lebih memberdayakan industri kecil dan menengah. Langkah-langkah yang diambil meliputi:

Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka

Pengembangan industri logam untuk mendukung pembuatan mesin/peralatan pabrik yang menunjang pengembangan agroindustri. Pengembangan industri kendaraan niaga yang saat ini telah berkembang cukup mantap dan industri sedan kecil sebagai wahana bagi pengembangan industri komponen yang berdaya saing global. Namun dalam masa krisis ekonomi ini pro- gram pengembangan industri kendaraan (otomotip) difokuskan pada upaya penye- lamatan (rescue) industri akibat terjadinya krisis ekonomi dan setelah itu baru di- lanjutkan dengan pengembangan industri otomotip jangka panjang yang efisien dan mampu bersaing di pasar global. Peningkatan kemampuan industri komponen

untuk tujuan ekspor, yaitu dengan mem-

berikan kesempatan kepada industri komponen yang telah ada agar terus berkembang serta menarik investasi baru.

Salah satu industri komponen yang di-

kembangkan adalah industri komponen kendaraan bermotor yang proses pengem- bangannya didukung oleh kebijakan di bidang otomotif yang antara lain mem- berikan tarif/bea masuk yang rendah bagi

bahan baku yang akan digunakan bagi

industri tersebut dan sebaliknya memberikan tarif/bea masuk yang lebih tinggi bagi barang jadinya. Pengembangan teknologi informasi yang mendukung kebutuhan domestik antara lain

untuk memfasilitasi E-Commerce.

Pengembangan industri utama penghasil devisa dan menyerap tenaga kerja banyak,

Industri Agro

Pengembangan agroindustri yang diarahkan
untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam upaya menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan pangan masya- rakat Pengembangan industri hilir yang meng- hasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan menciptakan kesempatan kerja. Pengembangan industri pangan alternatif, antara lain seperti industri tepung cassava, jagung, serta komposit Pengamanan ketersediaan bahan baku dengan mencari substitusi bahan baku impor, dan pengamanan pasokan impor dan mengolah jenis bahan baku baru. Program

ini antara lain dilakukan dengan menumbuhkan industri substitusi bahan baku pakan ternak yang menggunakan bahanbahan lokal. Pelaksanaan program ini didukung oleh Kebijakan Penurunan Bea Masuk Bahan Baku Industri Kemasan Pangan. Perwujudan kemitraan antara produsen bahan baku dengan pengusaha industri hilir antara lain seperti kemitraan nelayan dengan pengusaha industri pengalengan ikan.

Program Kegiatan Sektor Perdagangan

Program kegiatan di sektor perdagangan diarahkan pada berfungsinya mekanisme pasar tanpa distorsi, sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif. Langkah-langkah yang diambil meliputi:


Page 9

Pemberian perhatian khusus pada bahan baku obat-obatan dan peralatan kesehatan dengan memberikan kemudahan-kemudahan berupa penurunan bea masuk (tarif) dan penghapusan bea masuk tambahan.

(produk kulit, gabus, bijih logam, sisa alumunium) dan mengurangi pajak ekspor (kelompok kayu, kelompok rotan, kelompok pasir). Penerapan pajak ekspor yang diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditikomoditi ekspor, dan besarnya pajak ekspor tersebut selalu disesuaikan dengan keadaan pasar di luar negeri dan tingkat produksi atau ketersediaan komoditi yang bersangkutan di dalam negeri. Pengiriman misi khusus yang dipimpin langsung oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan mengangkat “special envoy” yang berasal dari para pengusaha dalam rangka upaya menumbuhkan kembali kepercayaan internasional dan sekaligus mendorong peningkatan perdagangan dan investasi Promosi ekspor yang antara lain dilaksanakan dalam bentuk Pameran Produk Ekspor dan mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Peningkatan peran Bursa Komoditi dengan melakukan Persiapan Pelaksanaan Perdagangan Berjangka seperti yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Pemberdayakan ekonomi rakyat melalui peningkatan peran UKM

Program Khusus untuk Usaha Kecil dan Menengah

Beberapa program khusus untuk Usaha Kecil dan Menengah yang diarahkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terutama yang bergerak di sektor industri dan perdagangan. Program-program tersebut adalah:

Tranparansi dan Akuntabilitas Kegiatan Perusahaan

Pemberian bantuan pemasaran dan promosi kepada UKM dengan mendirikan Indonesia Emporium/Outlet di Batam dan menyediakan fasilitas tempat pameran secara cuma-cuma dengan berkerjasama dengan pihak swasta.

Dalam rangka terciptanya transparansi dalam kegiatan perusahaan, dan terciptanya praktik bisnis yang sehat, hati-hati (prudent) dan etis, serta terwujudnya efisiensi dan produktivitas usaha, maka dilakukan Penyelenggaraan Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan (LKTP). Kegiatan ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Peningkatan Kualitas Dengan Melalui Penerapan Standard

Perusahaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan yang ditindak-lanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 525/MPP/Kep/XI/1998 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan. Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1999. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketersediaan data dan informasi keuangan perusahaan yang sistematis, terpadu, akurat dan dapat dipercaya (reliable) serta meningkatkan akuntabilitas perusahaan melalui keterbukaan (disclosure), terutama dalam sistem pelaporan keuangan perusahaan.

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan produktivitas di sektor industri, serta meningkatkan daya saing guna menunjang program peningkatan ekspor dilakukan beberapa program kegiatan, yakni Sertifikasi Produk Pengggunaan Tanda Standard Nasional Indonesia (SNI); Pemberdayaan Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu Nasional (Setifikasi SNI 19-9000/ ISO-9000); dan Promosi Mutu yang khususnya ditujukan kepada Industri dan Pedagang Kecil dan Menengah (IPKM); serta Identifikasi dan Perumusan Standard.

Pelaksanaan Program dan Hasil Yang Dicapai

Perkembangan Makro

Perkembangan ekonomi makro selama triwulan I dan II atau semester I tahun 1999 yang sebagian diindikasikan oleh perkembangan PDB dan laju inflasi merupakan cerminan dari sebagian hasil-hasil kebijakan dan program kegiatan yang telah dikeluarkan selama masa bakti Kabinet Reformasi Pembangunan, khususnya di sektor industri dan perdagangan.

Setelah selama tahun 1998, nilai PDB sektor Industri Pengolahan Tanpa Migas menurut harga konstan tahun 1993 mengalami penurunan sebesar 13,35%, memasuki triwulan I tahun 1999 mengalami perlambatan penurunan menjadi 12,05%, namun pada triwulan II tahun yang sama sudah meningkat sebesar 1,15%. Cabang industri yang sejak triwulan I dan II tahun 1999 memiliki

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN TANPA MIGAS TRIWULANAN

TAHUN 1999

Catatan : Dihitung berdasarkan nilai PDB menurut harga konstan tahun 1993 triwulan I dan

triwulan II tahun 1999 (angka sangat sementara) terhadap triwulan yang sama

tahun 1998. Sumber : BPS (diolah)

PDB. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan PDB tersebut sudah hampir mencapai titik terendah dan beberapa di antara cabang-cabang industri sudah mencapai titik balik (turning point), sehingga pada triwulan berikutnya kegiatan produksinya akan mulai pulih yang pada akhirnya akan menghasilkan peningkatan nilai PDB.

PDB yang sudah meningkat adalah industri Makanan. Minuman dan Tembakau sebesar 7.06% dan 9,35%; Kertas dan Barang Cetakan sebesar 1.27% dan 10,35%; dan Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet sebesar 8,95% dan 12.97% Angka-angka pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa laju peningkatan kegiatan produksi industri-industri tersebut dari triwulan I ke triwulan II sudah semakin cepat. Hal ini menandakan bahwa kegiatan produksinya selama tahun 1999 telah mulai pulih mendekati keadaan normal sebelum terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan cabang-cabang industri lainnya, sekalipun memiliki nilai PDB yang mengecil namun dari triwulan I ke triwulan II tahun 1999 sudah menunjukkan adanya perbaikan yang ditandai dengan melambatnya laju penurunan

Secara lebih mikro dapat ditunjukkan melalui hasil survei yang dilakukan pada bulan Mei 1999 terhadap perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor industri, yakni perkembangan pemanfaatan kapasitas terpasang sektor industri selama 4 (empat) bulan pertama (Januari-April) tahun 1999 dibandingkan dengan perkembangan selama periode Juni-Desember 1998.


Page 10

Kegiatan penyelamatan dan pemulihan terhadap kedua belas jenis industri tersebut, berupa:

sehingga mengurangi daya saing, tidak dipercayainya perbankan nasional dalam penerbitan L/C yang diperlukan untuk mengimpor bahan baku dan penolong, masih adanya kekuatiran para importir untuk melakukan pemesanan barang dari Indonesia, dan merosotnya harga beberapa produk primer di pasar Internasional.

Peningkatan jumlah perusahaan yang telah mendapatkan Tanda Pengenal Perusahaan Eksportir Tertentu (TPPET) Produsen agar mampu melakukan terobosan ekspor. Mengupayakan terjadinya sinergi yang kuat antara industri yang masih berproduksi dengan industri yang telah hampir mati. Melakukan koordinasi dengan industriindustri agrobase yang membutuhkan barang modal terutama yang berasal dari industri permesinan dan perekayasaan. Mencari masukan dari pihak industri tentang batasan dan pengertian tentang R & D serta pelatihan yang layak untuk memperhitungkan fasilitas perpajakan dan mengupayakan landasan hukum mengenai pemberian fasilitas tersebut.

Dalam rangka menanggulangi dampak krisis ekonomi yang kini masih berlangsung, maka pengembangan industri diarahkan pada kegiatan penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) industri-industri yang diprioritaskan pada 12 industri yang masih memiliki earning capacity tinggi, seperti yang tercantum pada tabel berikut.

TINGKAT EARNING CAPACITY SUB SEKTOR INDUSTRI

LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA

Pakaian jadi

Kain Sepatu olah raga

Benang HRC/Plate

Baja kasar Sepatu/alas kaki lainnya Komponen KBM Batang kawat

CRC Produk tekstil lainnya

VCR

248,0 230.6 176,8 150,7 130,8 105,7


Page 11

Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan

Seperti halnya dengan Sub Sektor Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka, program penyelamatan dan pemulihan di Sub Sektor Industri, Kimia dan Hasil Hutan difokuskan pada industri- industri yang memiliki tingkat earning capacity yang besar seperti tercantum pada tabel berikut.

masyarakat dengan mengupayakan ketersediaan bahan baku dan penolongnya yang berasal dari impor dan untuk itu telah dikeluarkan SK Menkeu Nomor 467/ KMK.01/1998 tentang Pembebasan Bea Masuk atas impor bahan baku/penolong untuk industri makanan dan minuman, serta industri kemasan makanan/minuman pada tanggal 26 Oktober 1998 yang mencakup 60

TINGKAT EARNING CAPACITY SUB SEKTOR INDUSTRI

LOGAM, MESIN, ELEKTRONIKA DAN ANEKA


Page 12

yang merupakan ke 13 kalinya diselenggarakan di Jakarta dan berlangsung pada tanggal 21-25 Oktober 1998. Jumlah peserta yang mengikuti PPE '98 sebanyak 800 perusahaan dan dihadiri oleh 2.799 orang yang berasal dari 99 negara. Pengunjung terbesar berasal dari Eropa Barat 715 orang, Timur Tengah 527 orang, ASEAN 383 orang, Afrika 248 orang, Asia Timur 199 orang, Amerika Utara 139 orang, Australia 122 orang, dan Amerika Selatan 55 orang, dan sisanya dari kawasan lainnya. Produk yang ditampilkan antara lain Furniture, Handicrafts, Tekstil dan Produk Tekstil, Sepatu dan Alas Kaki lainnya, Barang dari Kulit, Travel Goods, Plasticware, Bahan Bangunan, Produk-produk Eletronik, Alat-alat Listrik, Stationeries, Makanan, Produk Pertanian dan Produk Pertambangan. Nilai transaksi yang terjadi selama pameran berlangsung mencapai US$. 71,2 juta yang terutama diperoleh dari transaksi dengan pembeli yang berasal dari

Belanda sebanyak US$ 8,4 juta (11,8%), Agen Pembelian Asing di Indonesia US$ 5,8 juta (8,2%), Saudi Arabia US$ 5,7 juta (8,1%), Spanyol US$ 4,1 juta (5,7%), Mesir US$ 3,6 juta (5,1%), dan Jerman US$ 3,3 juta (4,7%). Adapun produk-produk yang diminati adalah Furniture yang nilai transaksinya sebesar US$ 18,8 juta (26,5%), Handicrafts US$ 11,7 juta (16,5%), Glass Ware dan Produk Plastik US$. 10,5 juta (14,8%), Tekstil dan Pakaian Jadi US$ 5,3 juta (7,5%), Stationeries US$ 4,1 juta (5,7%), serta Produk Elektronik dan Alat-alat Listrik US$ 3,8 milyar (5,3%).

Selain promosi dalam bentuk penyelenggaraan pameran di Jakarta juga dilakukan pameran produk-produk ekspor di daerah-daerah yang biasanya digabungkan dengan pameran atau kegiatan lain yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha setempat, serta mengikuti pameran-pameran di luar negeri.

Pameran Produk Ekspor ke-13 (PPE '98), 21 - 25 Oktober 1998


Page 13

Transparansi dan Akuntabilitas Kegiatan Perusahaan

Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah Indonesia telah mengadukan masalah ini ke WTO dan organisasi ini telah membentuk panel bersama Uni Eropa yang ekspornya juga terkena hambatan. Dalam panel pihak Argentina telah dinyatakan kalah, dan sebagai konsekwensinya pemerintahnya harus segera mencabut kebijakan tersebut. Namun negara ini mengajukan banding yang keputusan akhirnya akan keluar setelah pengajuan banding tersebut. Upaya pengajuan Argentina ke panel WTO ini merupakan yang pertama kalinya dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Di lain pihak Indonesia juga pernah diajukan ke panel WTO oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang dalam kasus kebijakan mobil nasional Timor dan telah dinyatakan kalah, sehingga kebijakan tersebut harus segera dicabut paling lambat tanggal 22 Juli 1999.

Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendaftaran Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan (LKTP) dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) di 7 (tujuh) kota, yaitu Jakarta, Pekanbaru, Denpasar, Medan, Surabaya, Pontianak, dan Manado. Di samping itu, juga dipersiapkan sarana komputerisasi dan piranti lunaknya untuk pengolahan dan penyimpanan serta penyebaran informasi. Informasi yang telah terkumpul dapat diakses secara bebas oleh masyarakat, antara lain melalui homepage yang dikelola oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan alamat: http://www.lktp.dprin.go.id.

Pada tahap awal pendaftaran LKTP, hanya diwajibkan bagi Perseroan Terbatas yang mempunyai salah satu kriteria sebagai berikut:

Merupakan Perseroan Terbuka (PT Tbk), yaitu perseroan atau BUMN yang telah menjual sahamnya di pasar modal. Bidang usaha perseroannya berkaitan dengan pengerahan dana masyarakat. Mengeluarkan surat pengakuan hutang. Memiliki jumlah aktiva atau kekayaan paling sedikit Rp. 50 milyar.

Selanjutnya untuk meningkatkan jenis dan jumlah perusahaan yang diwajibkan untuk menyampaikan LKTP, maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1999 tentang PerubahanAtas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1998 tentang Informasi Keuangan Tahunan Perusahaan yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juli 1999 dengan cakupan perubahan/tambahan ketentuan sebagai berikut:

Kesepakatan Perdagangan

Dalam rangka memperluas akses bagi ekspor non migas, sedang dipersiapkan konsep naskah kesepakatan perdagangan dengan pemerintah Papua New Guinea (PNG). Manfaat yang diharapkan dari terwujudnya kesepakatan tersebut nantinya adalah PNG dapat dijadikan Buffer Zone bagi kepentingan Indonesia, khususnya untuk produk-produk yang diekspor ke negara-negara Pasifik seperti Australia, New Zealand, Fiji, Vanuatu, Samoa Barat, dan Tonga. Sebaliknya juga digunakan untuk mendapatkan pasok untuk memenuhi kebutuhan wilayah Indonesia.

Selanjutnya dalam rangka meningkatkan diplomasi perdagangan melalui diplomasi yang lebih pro-aktif dan ofensif pada forum internasional, telah ditandatangai Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan pemerintah Australia. Penadatangan kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kasus Holding Order terhadap komoditi ekspor non migas.

aktiva atau kekayaan minimal Rp. 25 milyar, atau merupakan debitur yang diwajibkan oleh bank untuk diaudit.

Peraturan perundang-undangan tersebut mencakup :

Perusahaan asing yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di Indonesia, termasuk agen dan kantor perwakilan. Seluruh BUMN kecuali Perjan, dan seluruh BUMD.

Ketentuan di atas akan mulai diberlakukan mulai Tahun Buku 1999. kecuali mengenai batas minimal nilai aktiva sebesar Rp. 25 milyar yang mulai diberlakukan mulai Tahun Buku 2000. Jumlah perusahaan yang menyerahkan LKTP sampai dengan tanggal 20 Juli 1999 sebanyak 1239 perusahaan yang terdiri Perseroan Terbatas Tbk sebanyak 164, Non Tbk sebanyak 940 dan BUMN sebanyak 35 perusahaan, sedangkan target yang diperkirakan selama Tahun Buku 1998 sebanyak 3000 perusahaan. Masih kecilnya jumlah perusahaan yang menyerahkan LKTP tersebut antara lain disebabkan:

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Kelahiran Undang-Undang tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kebijakankebijakan yang kurang mendukung pembangunan nasional. Kemudahankemudahan yang diberikan pemerintah kepada para pelaku usaha tertentu yang cenderung monopolistik, kurang memperhatikan para pelaku usaha lain dan kurang mementingkan kepentingan umum. Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mencegah adanya praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dengan memberi kesempatan yang sama kepada para pelaku usaha untuk berusaha di berbagai sektor ekonomi. Selain itu untuk menjamin adanya persaingan yang sehat dan wajar serta mencegah adanya praktek monopoli dan menghindarkan konsentrasi ekonomi di satu tangan tertentu atau kelompok tertentu. Untuk mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, maka di dalam undang-undang ini diatur ketentuanketentuan antara lain sebagai berikut:

Perjanjian-perjanjian yang dilarang, yakni diatur pada pasal-pasal mengenai oligopolistik, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Sebagian besar perjanjian ini dilarang, apabila perjanjian-perjanjian tersebut akan mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat dan sebagian dilarang sekalipun tidak mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.

Kegiatan yang dilarang, yakni diatur pada pasal-pasal mengenai penguasaan produksi atas barang atau jasa tertentu, penerima pasokan atau pembeli tunggal, penguasaan pasar, dan persengkokolan. Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang akan mengawasi dan menerapkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam menangani pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha, Komisi memutuskan perkara-perkara tersebut secara independen, terlepas dari pengaruh pemerintah atau pihak lain. Tata cara penanganan perkara dan penjatuhan sanksi dan pidana. Tentang pengecualian dari ketentuanketentuan undang-undang ini.

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha berdasarkan atas Keputusan Presiden Nomor 75 tentang Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang diterbitkan pada tanggal 8 Juli 1999. Komisi ini bertugas mengawasi para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Artinya Komisi mempunyai wewenang penuh dalam mengawasi dan menerapkan pelaksanaan undang-undang ini yang tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan dan pihak lain. Secara organisatoris, Komisi tidak berdiri di bawah salah satu Departemen tertentu, melainkan berdiri sendiri yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.

kelemahan konsumen yakni tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah yang hal ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, UndangUndang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat guna melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka penegakan aturan hukum dan pemberian perlindungan terhadap konsumen dapat diberlakukan sama bagi setiap konumen maupun pelaku usaha, dengan kata lain undang-undang ini diharapkan dapat menempatkan posisi konsumen yang selama ini cenderung hanya menjadi obyek ke posisi menjadi subyek dalam kegiatan perekonomian.

Dalam rangka upaya mewujudkan perlindungan konsumen secara optimal, pemerintah menyadari perlunya partisipasi aktif dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, pelaku usaha maupun akademisi/tenaga ahli. Untuk itu,

/

, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini nantinya dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) beranggotakan wakil-wakil dari seluruh potensi atau kekuatan yang terlibat dalam upaya perlindungan konsumen dan berkedudukan di Ibukota. Badan ini merupakan mitra pemerintah di dalam pengembangan upaya perlindungan konsumen dengan fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, khususnya dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen. Badan ini juga bertugas mendorong berkembangnya organisasi lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dan menyebarluaskan informasi tentang perlindungan konsumen serta meningkatkan sikap keberpihakan kepada konsumen yang posisinya saat ini masih lemah.

Selain BPKN, sesuai dengan UndangUndang juga akan dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) beranggotakan unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah

komitmen terhadap kesepakatan yang tercantum dalam Letter of Intent yang dibuat oleh Pemerintah dan IMF.

yang pembentukannya dilakukan secara bertahap di seluruh daerah tingkat II (Kabupaten dan Kota Madya) dengan pertimbangan untuk memudahkan penyelesaian permasalahan konsumen yang dirugikan. Badan ini bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, dan diharapkan penyelesaian sengketa melalui badan ini dapat dilakukan lebih cepat dan efisien.

Penghapusan Pencabutan subsidi dan Tata Niaga tersebut antara lain berupa:

Penghapusan subsidi pupuk yang sebagai gantinya para petani mendapatkan kredit dengan bunga bersubsidi dalam bentuk Kredit Usaha Tani (KUT).

Penghapusan subsidi yang diperlukan untuk

penanganan pangan yang ditangani oleh BULOG melalui KLBI sekaligus juga tata

niaganya, mencakup untuk komoditi gula

pasir, tepung terigu dan kedelai. Sebagai gantinya pengadaan komoditi tersebut melalui impor dapat dilakukan oleh importir umum dengan bea masuk yang sangat rendah atau bahkan nol persen. Subsidi terhadap gula pasir masih diberikan kepada petani tebu dengan melalui pembelian gula pasir hasil penggilingan tebu milik petani dengan

harga Rp. 2500,-/kg oleh pabrik-pabrik gula

yang harga tersebut di atas harga gula pasir

impor. Namun subsidi hanya diberikan untuk

selama musim giling tebu tahun 1999 dan tata niaganya bebas. Subsidi pangan khususnya beras juga masih diberikan kepada kelompok masyarakat miskin yang digolongkan dalam kelompok Pra-Sejahtera dalam bentuk beras sebanyak 20 kilogram

(sebelumnya 10 kg) untuk setiap kepala

keluarga setiap bulan dengan harga

Rp. 1.000,-/kg yang dilakukan melalui


Operasi Pasar Khusus (OPK) oleh peme- rintah daerah setempat dengan melibatkan masyarakat atau LSM secara langsung.

Pemberian subsidi dalam rangka membantu kehidupan masyarakat banyak oleh pemerintah diubah sistemnya dari pemberian subsidi kepada komoditi yang dikonsumsi menjadi pemberian subsidi kepada target kelompok masyarakat, guna menghindari kebocoran atau tidak tercapainya sasaran yang dituju. Dengan adanya penghapusan subsidi ini dapat dihemat anggaran pembiayaan untuk keperluan subsidi yang telah disediakan oleh pemerintah dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN). Hal ini dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pembebasan tata niaga beberapa komoditi pangan yang semula masih ditangani oleh BULOG, sehingga pasar terhindar dari distorsi. Sebaliknya bagi kelompok masyarakat yang dianggap memerlukan subsidi masih dapat memperolehnya, tanpa tercampur dengan kelompok masyarakat lain yang tidak membutuhkan.

Pencabutan Insentif Bagi Industri Otomotip

Penghapusan subsidi dan tata niaga beberapa jenis barang ini juga dalam rangka memenuhi

Dalam rangka melaksanakan keputusan Dispute Settlement Body (DSB)-WTO di bidang otomotip, telah dicabut berbagai kebijakan di Operasional Anti Dumping (TOAD) yang bertugas melaksanakan kegiatan operasional dalam hal menanggulangi importasi barang dumping dan atau barang mengandung subsidi.

bidang otomotip yang dikeluarkan pada tahun 1993 tentang pemberian insentif perpajakan bagi pencapaian kandungan lokal oleh industri otomotip dan tahun 1996 tentang program mobil nasional (MOBNAS). Sesuai dengan keputusan DSB-WTO, kedua kebijakan tersebut harus dihapus paling lambat 12 bulan sejak pengesahan keputusan tersebut atau tanggal 22 Juli 1999. Sebagai gantinya adalah dikeluarkan kebijakan otomotip yang baru seperti yang telah diuraikan di dalam Bab III. dan kebijakan otomotip tersebut dikeluarkan lebih cepat dibanding dengan batas akhir yang ditentukan oleh WTO.

Penerapan Standard

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan efisiensi produksi dan peningkatan produksitivitas di sektor industri, serta meningkatkan daya saing guna menunjang program peningkatan ekspor, telah dilakukan program kegiatan sebagai berikut:

Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standard Nasional (SNI)

Pencabutan BULOG sebagai State Trading Enterprise

Selain itu, upaya-upaya penyesuaian kebijakan di dalam negeri dengan ketentuanketentuan yang ditetapkan WTO juga dilakukan pada bidang-bidang lain, seperti pencabutan notifikasi BULOG ke WTO sebagai State Trading Enterprise.

Pengamanan Industri Terhadap Barang Impor Dumping

Industri dalam negeri (produsen) perlu dilindungi dari barang-barang impor dengan harga dumping atau di subsidi, karena selain hal ini menimbulkan kompetisi yang tidak fair terhadap produk-produk buatan dalam negeri sehingga dapat menyebabkan kerugian, dan juga melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia-World Trade Organization (WTO). Untuk itu telah dibentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. KADI memiliki tugas pokok : melakukan penyelidikan terhdap barang-barang impor yang dituduh sebagai barang-barang dumping atau barang-barang yang mengandung subsidi.

Dalam rangka mendukung kegiatan operasional KADI, maka dibentuk Tim

Sertifikasi produk penggunaan tanda SNI diberikan kepada yang mampu menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan Standard Nasional Indonesia (SNI) secara konsisten. Dalam tahun 1998 telah diberikan kepada 125 perusahaan sejumlah 168 sertifikat dan pada semester I tahun 1999 diberikan kepada 29 perusahaan sejumlah 44

perusahaan. b. Pemberdayaan Lembaga Sertifikasi Sistem

Mutu Nasional (sertifikasi SNI 19-90001 ISO-9000) Sertifikasi ISO-9000 di Indonesia pertama kali diperoleh perusahaan industri pada akhir tahun 1992 dan sampai dengan April 1999 jumlah perusahaan yang berhasil memperoleh sertifikast SNI 19-9000/ISO- 9000 mencapai 687 perusahaan dengan komposisi 28% dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu (LSSM) Nasional,

sedangkan sebagian besar yakni 72%

dikeluarkan oleh LSSM Asing. Pada saat ini diupayakan pemberdayaan LSSM nasional agar mampu mengejar kemampuan yang dimiliki LSSM Asing.

Khusus untuk Industri dan Pedagang Kecil

dan Menengah (IPKM) diupayakan pemberian pelatihan dan konsultasi kepada perusahaan yang digolongkan IPKM


Page 14

Pada kesempatan ini marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Taufiq dan Hidayah-Nya kepada kita sekalian, sehingga dalam kondisi yang penuh tantangan ini pertanian telah berperan sebagai katup pengaman dan sektor andalan dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut terutama dalam menyediakan pangan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan penciptaan kesempatan kerja di pedesaan.

Kabinet Reformasi Pembangunan memulai masa kerjanya di tengah-tengah kondisi krisis, yang dimulai dari krisis moneter yang berkelanjutan pada krisis ekonomi. Untuk sektor pertanian, permasalahan diperberat lagi dengan adanya musim kemarau yang panjang. Dalam menghadapi krisis ekonomi ini, salah satu tugas utama sektor pertanian adalah memantapkan ketahanan pangan dan memberdayakan ekonomi rakyat (petani, peternak dan nelayan).

Untuk pengemban tugas tersebut dalam tempo yang relatif singkat jajaran Departemen Pertanian kembali mencoba menajamkan kebijakan, strategi, dan program-program pembangunan pertanian. Diantaranya telah dicetuskan agenda reformasi pembangunan pertanian dan kebijakan operasional yang dituangkan dalam bentuk Gerakan Mandiri (Gema), yaitu Gema Palagung 2001, Gema Hortina 2003, Gema Proteina 2001, dan Protekan 2003. Melalui program-program tersebut alhamdulillah berbagai sasaran pembangunan pertanian dapat dicapai dengan baik.

Dalam periode masa bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan Mei 1998 - Nopember 1999 yang singkat ini, saya beserta seluruh jajaran Departemen Pertanian di Pusat dan Daerah telah berusaha dan bekerja keras agar mandat yang diberikan dapat diemban dengan sebaik-baiknya. Pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie, Presiden Republik Indonesia atas kepercayaan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama memimpin Departemen Pertanian.

Penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada seluruh jajaran pertanian terutama para petani, nelayan dan dunia usaha sebagai pelaku utama pembangunan pertanian atas pengabdiannya dan kerja keras yang tidak mengenal lelah dalam membangun pertanian. Saya ucapkan terima kasih kepada semua instansi di tingkat Pusat dan Daerah, media massa dan semua pihak atas kerja sama yang sangat baik selama ini.

Akhirnya perkenankanlah saya mengajak kepada seluruh jajaran pertanian untuk bertekad terus meningkatkan upaya pembangunan pertanian agar lebih mampu memberikan sumbangan positif seperti yang didambakan oleh bangsa Indonesia.

Terima kasih dan selamat bekerja.

Prof. Dr. Ir. H. Soleh Solahuddin, MSc.

Menteri Pertanian Prof. Dr. Soleh Solahuddin, mengamati alat dan mesin pertanian untuk membuat irisan singkong, alat ini sangat membantu masyarakat dalam usaha kripik singkong

Menteri Pertanian Prof. Dr. Soleh Solahuddin, sedang panen padi pada areal Program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung (Gema Palagung) 2001, sebagai upaya khusus untuk mencapai swasembada pada tahun 2001

Untuk melaksanakan Ketetapan MPR tersebut, diperlukan penjabaran ke dalam kebijakan dan langkah-langkah operasional berupa terobosan-terobosan yang sifatnya reformis sehingga tugas tersebut dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar dari krisis ekonomi dan politik yang melanda negara saat ini ialah melaksanakan reformasi total. Reformasi yang dimaksud ialah pembaharuan, penyempurnaan dan penataan ulang seluruh pranata sosial ekonomi, politik dan hukum berdasarkan prinsip demokrasi dan transparansi untuk mewujudkan kemakmuran yang adil dan beradab. Dengan pengertian demikian, reformasi total akan berarti upaya penyempurnaan terhadap seluruh pranata pembangunan di seluruh sektor, termasuk sektor pertanian.

Seluruh komponen bangsa menyadari perlunya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi krisis ini. Melalui penyelenggaraan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998 telah dirumuskan acuan utama bagi penanganan masalah yang sedang dihadapi bangsa ini, antara lain dituangkan dalam Ketetapan MPRRI No. X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara”. Ketetapan MPR ini antara lain mengamanatkan Kebijakan Reformasi Pembangunan bidang ekonomi bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan sasaran terkendalinya (1) nilai kurs rupiah pada tingkat yang wajar, (2) tersedianya kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan dengan harga yang terjangkau, dan (3) berputarnya roda perekonomian nasional,

Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang pelaksanaannya juga memerlukan reorientasi dan reformasi. Oleh karena merupakan sektor yang keragaannya sangat mempengaruhi perikehidupan penduduk Indonesia secara umum, dan penduduk pedesaan serta lapisan terbawah secara khusus, maka reformasi di sektor pertanian harus dilakukan secara bertahap namun berkelanjutan, sehingga dampaknya tidak terjadi secara mendadak dan dalam skala besar yang mungkin dapat menghambat proses reformasi pembangunan itu sendiri.

Laporan pertanggungan jawaban ini mengajukan peranan dan posisi sektor pertanian dalam pembangunan selama ini, pemahaman

, terhadap tuntutan reformasi dan penajaman strategi, visi, misi dan tujuan pembangunan pertanian dalam rangka memperkokoh sistem pertanian dan perekonomian nasional melalui pemberdayaan dan peningkatan kemandirian petani, peternak dan nelayan. Selain itu disajikan juga alternatif kebijakan sebagai bahan pertimbangan pembangunan pertanian selanjutnya.

Dinamika Lingkungan Strategis

Arus liberalisasi dan globalisasi ekonomi sebagai konsekuensi dari kesepakatan GATT/ WTO (General Agreement on Tariff and Trade/ World Trade Organization) yang ditopang oleh revolusi teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi telah membuat perekonomian setiap negara terintegrasi secara global. Liberalisasi ekonomi memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi internasional serta menghapus segala proteksi dan subsidi bagi perekonomian domestiknya, namun wajib melindungi hak milik atas kekayaan material maupun hak cipta intelektual. Perpaduan antara liberalisasi ekonomi dan revolusi teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi telah mengaburkan batasbatas geografis antar negara sehingga setiap negara terintegrasi ke dalam suatu masyarakat dunia yang tanpa batas (borderless world). Dalam kondisi demikian, menciptakan kemandirian ekonomi adalah merupakan suatu tantangan besar, dan kemandirian ekonomi hanya dapat dipertahankan dengan memantapkan ketahanan ekonomi melalui peningkatan keunggulan kompetitif dan daya saing.

pertanian. Dalam kaitan ini sektor pertanian harus disiapkan untuk dapat bersaing secara global.

Secara umum, pertarungan global telah bergeser dari motif ekonomi ideologi ke motif penguasaan manfaat ekonomi, dari medan pertarungan angkatan perang ke persaingan pasar, dari strategi aliansi (blok) militer ke aliansi area perdagangan regional, dari ukuran ketangguhan supremasi militer ke keunggulan kompetitif. Ketahanan ekonomi dan ketahanan ideologibudaya merupakan faktor kunci dalam menghadapi tantangan global pada masa kini dan lebih-lebih pada era milenium mendatang. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia dalam dua tahun terakhir merupakan contoh yang nyata betapa besarnya kekuatan ekonomi global mampu merusak tatanan ekonomi negara-negara berkembang yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

Selain itu, arus konvergensi budaya dan gaya hidup global mulai tampak sebagai akibat langsung dari munculnya “satu komunitas dunia”. Hilangnya batas wilayah akan membuat penduduk setiap negara berinteraksi secara langsung dan intensif, sehingga kebudayaan dan gaya hidup mereka saling beradaptasi dan berubah menuju pada pola yang homogen. Hal ini akan membuat berubahnya pola perilaku masyarakat dalam berpikir, bersikap dan bertindak, termasuk dalam perilaku permintaan untuk komoditas hasil-hasil

Di tingkat regional juga terjadi perubahan peta politik dan perekonomian yang terus berkembang secara dinamis. Dilain pihak, dalam satu kawasan regional dengan kondisi agro ekosistem yang tidak banyak berbeda, produkproduk pertanian yang dihasilkan cendrung merupakan produk substitusi yang dekat. Dengan demikian produksi pertanian dari negara tetangga merupakan potensi pesaing bagi Indonesia dalam perdagangan komoditas pertanian di pasar dunia. Persaingan tersebut semakin tajam dengan munculnya blok dan perjajian perdagangan regional seperti APEC,AFTA, MEE, NAFTA, serta blok-blok perdagangan lainnya .

Sementara itu, perubahan sosial, ekonomi dan politik global saling terkait dan saling mempengaruhi. Sejak terjadinya perubahan peta politik di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur serta kawasan Balkan, diikuti dengan pudarnya komunisme dunia, dapat diidentifikasi

dua hal kecenderungan kuat dalam tatanan pergaulan dunia, yang menunjukkan semakin dominannya peran negara-negara maju.

Pertama, ekonomi merupakan kekuatan baru yang sangat menentukan dalam politik internasional. Keterpurukan beberapa negara adidaya hampir selalu dimulai dengan memburuknya perkonomian di negara-negara tersebut. Bantuan negara-negara maju diberikan dengan syarat berdasarkan nilai-nilai yang secara dominan ditetapkan mereka. Hal ini dialami oleh negara-negara pengguna bantuan International Monetary Fund (IMF) dalam upaya pemulihan ekonomi pada saat krisis. Indonesia merasakan tekanan politik yang berat dari negara-negara maju sebagai syarat untuk memperoleh bantuan pemulihan ekonomi akibat krisis. Peran Badan dan Organisasi Dunia banyak ditentukan oleh negara-negara donor dan bias kepada kepentingan negara-negara yang perekonomiannya kuat.

Kedua, globalisasi ternyata tidak selalu menciptakan peluang tetapi juga menyebabkan kendala akses seperti yang dialami oleh negaranegara yang belum siap memasuki era globalisasi. Kondisi ini bertambah parah karena ternyata muncul bentuk proteksi baru yang legal dalam aturan perdagangan internasional, tetapi merupakan hambatan-hambatan teknis (technical barriers) bagi negara-negara sedang berkembang. Standar kualitas yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh negara-negara pengimpor produk pertanian tidak mudah dipenuhi oleh negaranegara eksportir yang termasuk ke dalam kelompok negara berkembang.

Dinamika lingkungan strategis domestik yang diperkirakan sangat berpengaruh terhadap keragaan sektor pertanian di masa mendatang sangat banyak dan beragam intensitasnya. Pada dua tahun terakhir proses reformasi total sudah jelas akan juga berdampak pada pembangunan pertanian. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian diantaranya diuraikan berikut ini.

Pertama adalah dinamika sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perubahan struktur demografis; ditinjau dari jumlah, komposisi umur, proporsi angkatan kerja, tingkat pendidikan dan struktur pendapatan. Dinamika tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keragaan sektor pertanian di masa mendatang. Tiga hal utama yang merupakan dampak dari perubahan ini adalah :

Meningkatnya permintaan terhadap produk pertanian, baik dalam jumlah, kualitas maupun keragamannya. Keadaan ini merupakan suatu peluang tetapi sekaligus sebagai tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti ketersediaan pasar bagi produk pertanian, sehingga dapat ditinjau sebagai suatu peluang. Di sisi lain, peningkatan permintaan produk pertanian akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu peningkatan produksi dan kualitasnya. Ketidakmampuan meningkatkan produksi pertanian akan menimbulkan tekanan pada harga-harga hasil pertanian yang dapat mempengaruhi inflasi dan menimbulkan peningkatan kebutuhan impor yang akan menguras devisa. Meningkatnya ketersediaan tenaga kerja. Hal ini disamping dapat dilihat sebagai aset produktif untuk mendukung pembangunan pertanian, juga dapat menimbulkan masalah karena umumnya tenaga kerja yang berumur muda dan berpendidikan lebih tinggi tidak tertarik bekerja di sektor pertanian rakyat yang berskala kecil. Apabila sektor-sektor ekonomi secara terpadu tidak mampu menyediakan kesempatan kerja produktif

Melihat situasi demikian, para pakar dan pemimpin bangsa menyadari bahwa pengembangan ekonomi harus bertumpu pada kekuatan dan keunggulan sumberdaya domestik. Dalam hal Indonesia, maka sektor pertanian yang berbasis sumberdaya domestik seyogyanya merupakan sektor andalan (leading sector) dalam pembangunan ekonomi nasional yang perlu didukung oleh sektor-sektor terkait.


Page 15

bagi mereka, maka secara potensial akan menjadi masalah sosial-ekonomi yang rawan. Meningkatnya tekanan permintaan lahan untuk pemukiman penduduk. Proses ini akan semakin mempercepat konversi lahan pertanian untuk penggunaan non pertanian. Sementara itu, terjadi pula penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini tentu akan membuat kapasitas produksi sektor pertanian semakin menurun. Lebih dari pada itu, harga lahan pun akan meningkat sehingga harga pokok komoditas pertanian semakin tinggi, yang tentunya akan menurunkan daya saingnya di pasar domestik dan internasional. Untuk mengatasi masalah ini pengembangan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan merupakan salah satu strategi untuk mengatasinya.

Kedua adalah semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya alam bagi pembangunan pertanian. Luas lahan pertanian terus menurun akibat konversi untuk kegiatan industri, tempat pemukiman dan kegiatan ekonomi lainnya. Laju konversi lahan pertanian di Jawa jauh lebih cepat dibandingkan di luar Jawa. Terjadinya penurunan luas lahan pertanian tersebut, terutama di Jawa yang kondisi lahan pertaniannya lebih subur dan menjadi daerah basis tanaman pangan tentu akan berpengaruh pada kemampuan meningkatkan ketahanan pangan. Di pihak lain pencegahan laju penurunan luas lahan tersebut juga tidak mudah karena desakan kebutuhan lahan untuk pemukiman, infrastruktur dan industri.

Secara umum, tingkat pemanfaatan sumberdaya perairan yang terdiri dari perairan umum, perairan payau, lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi kolam, perairan laut teritorial, perairan ZEE, masih belum optimal. Pada beberapa wilayah, intensitas pemanfaatan sumberdaya perairan tersebut untuk perikanan telah cukup tinggi, namun banyak wilayah perairan lain yang pemanfaatannya masih rendah. Selain itu kompetisi pemanfaatan air semakin meningkat antara kebutuhan pertanian, industri,

maupun rumah tangga sehingga kelangkaan air semakin dirasakan. Isu lain yang menyangkut air adalah berkaitan dengan kualitas air yang di beberapa tempat tercemar sehingga menjadi ancaman bagi kelangsungan proses produksi pertanian. Gerakan hemat air dan isu kualitas air semakin menjadi perhatian berbagai kalangan ilmuwan dan praktisi.

Ketiga adalah perubahan tatanan sosial, budaya dan politik yang sangat cepat dan mendasar. Arus reformasi yang dimulai pada awal tahun 1998 telah membawa perubahan yang sangat fundamental pada nilai-nilai politik, budaya, dan sosial yang dianut masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut menimbulkan implikasi pada pelaksanaan pembangunan dalam beberapa hal:

Makin meningkatnya tuntutan masyarakat agar pembangunan dilaksanakan secara transparan dan melibatkan secara intensif peran serta masyarakat. Sudah dimulainya desentralisasi dalam pem- bangunan, baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Kebijakan ini sebagai respon adanya tuntutan agar aspirasi daerah dalam pembangunan hendaknya mendapat perhatian dan bahan pertimbangan utama. Makin mendesaknya tuntutan pemerataan pembangunan antar daerah dan antar golongan masyarakat. Tuntutan ini dikaitkan

dengan pembagian pendapatan/keuangan

yang adil antara pusat dan daerah berdasarkan kekayaan yang dimiliki daerah dan perlunya mengembangkan perekonomian yang berpihak pada rakyat (ekonomi kerakyatan).

(1) Tantangan

Untuk memainkan perannya sebagai suatu sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional, pembangunan pertanian dihadapkan pada berbagai tantangan sekaligus kendala yang sifatnya dinamis. Beberapa aspek yang penting dipahami bersama diantaranya diuraikan berikut ini.


Page 16

Program Kegiatan, Tugas, Sasaran

Dan Lain Sebagainya

Peran Pertanian Pada Era Reformasi

ketahanan pangan dan sekaligus ketahanan nasional.

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. dan bahkan dalam era reformasi ini diharapkan untuk berperan di garis depan dalam mengatasi krisis ekonomi. Dengan peran strategis tersebut sektor pertanian patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Pertama, sektor pertanian merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia, karena hampir setengah dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini. Hal ini berarti upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia akan lebih efektif dilakukan melalui pembangunan pertanian. Namun demikian, pada era reformasi ini pendekatan pembangunan pertanian dalam hal ketenagakerjaan bukan lagi penciptaan lapangan kerja dari sisi kuantitas saja, tetapi diarahkan pada penciptaan lapangan kerja produktif yang mampu memberikan upah atau imbalan pendapatan yang layak dan sebanding dengan sektor-sektor lainnya.

Ketiga, sektor pertanian masih tetap menempati posisi penting sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) atau pendapatan nasional. Lebih dari itu, sektor pertanian memiliki keunggulan khas dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, antara lain: (a) produksi pertanian berbasis pada sumberdaya domestik, kandungan impornya rendah dan relatif lebih tangguh menghadapi gejolak perekonomian eksternal, dan (b) produk pertanian yang berbasis sumberdaya alam relatif lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi makro, seperti gejolak moneter, nilai tukar maupun fiskal. Dengan demikian, upaya mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini telah terbukti dari fakta empiris, di saat Indonesia menghadapi krisis dan secara nasional mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, hanya sektor pertanianlah yang tumbuh positif.

Keempat, sektor pertanian merupakan penyumbang devisa yang relatif besar dan ternyata cukup lentur dalam menghadapi gejolak moneter dan krisis ekonomi. Oleh karena produksinya berbasis pada sumberdaya domestik maka ekspor produk pertanian relatif lebih tangguh yang terbukti dengan ekspor pertanian yang relatif stabil dengan penerimaan ekspor yang meningkat pesat pada saat krisis ini. Tersedianya devisa yang cukup merupakan syarat untuk dapat mengimpor barang produksi dan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan demikian, melalui sumbangan devisa yang relatif besar dan stabil, sektor pertanian telah berperan positif dalam memantapkan ketahanan ekonomi nasional.

Kedua, sektor pertanian merupakan penghasil bahan makanan pokok, sementara itu ketahanan pangan merupakan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi maupun ketahanan politik. Dalam kondisi perekonomian global maupun domestik yang tidak stabil maka ketahanan pangan yang paling mantap ialah melalui pencapaian swasembada. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk mewujudkan, memulihkan, dan mempertahankan swasembada merupakan upaya strategis untuk memantapkan

Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Pertanian

3) Melestarikan sumberdaya alam dan kekayaan

yang terkandung didalamnya. 4) Memberdayakan sumberdaya manusia

pertanian agar mampu berperan dalam era global.

5) Mengembangkan teknologi pertanian

strategis dan ramah lingkungan. 6) Menyelaraskan kesaling-tergantungan

kegiatan pertanian antar wilayah dan antar sektor.

Visi pertanian memasuki abad 21 adalah pertanian moderen, tangguh dan efisien. Hal ini berarti bahwa pertanian yang dicita-citakan adalah pertanian yang responsive terhadap perubahan lingkungan strategis dengan memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi ramah lingkungan spesifik lokasi, yang telah teruji dan dengan memanfaatkan informasi dengan benar, sehingga secara sistematik dan holistik integralistik dapat mengintegrasikan sektor pertanian kedalam sektor-sektor lainnya. Dengan pemikiran seperti tersebut maka pertanian yang akan datang diharapkan mampu menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan permintaan pasar, baik untuk kebutuhan industri maupun untuk konsumsi, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya. Dengan demikian, maka dukungan sektor pertanian kepada sektor-sektor lainnya akan semakin nyata dan kuat, dan pada saat yang bersamaan, masyarakat juga dapat memperoleh bahan pangan dengan kualitas yang baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas sumberdya manusia Indonesia. Dengan visi pertanian seperti tersebut, maka visi misi Departemen pertanian dapat dirumuskan untuk mewujudkan masyarakat yang sehat dan produktif melalui pembangunan pertaian yang selaras dengan alam.

Untuk mewujudkan visi pertanian tersebut, misi pembangunan pertanian adalah memberdayakan petani, peternak dan nelayan menuju suatu masyarakat tani yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan. Sebagai lembaga aparatur pemerinthan, misi Depatemen Pertanian dirumuskan sebagai berikut : 1) Mengamankan ketersediaan pangan dan

hasil-hasil pertanian lainnya secara

berkelanjutan. 2) Menciptakan peluang ekonomi bagi

pengembangan agribisnis dan ekonomi pedesaan.

Sejalan dengan visi dan misi tersebut, tujuan pembangunan pertanian pada era reformasi terfokus kepada upaya untuk : 1) Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup

petani, peternak dan nelayan. 2) Meningkatkan ketahanan pangan nasional. 3) Menghasilkan produk-produk pertanian yang

berdaya saing tinggi untuk mengisi pasar

domestik dan ekspor. 4) Meningkatkan lapangan kerja dengan

produktivitas tinggi dan kesempatan

berusaha yang efisien di bidang agribisnis. 5) Meningkatkan kemandirian petani-nelayan

dan pemberdayaan kelembagaan serta prasarana pertanian.

Penjabaran Ketetapan MPR 1998 Hasil Sidang Istimewa

Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan pertanian dilaksanakan guna mewujudkan amanat rakyat untuk melaksanakan reformasi di segala bidang, yang telah dirumuskan melalui Sidang Istimewa MPR. Ketetapan MPR hasil Sidang Istimewa No. X/MPR/1998, memuat amanat untuk memulihkan kembali perekonomian nasional yang sedang terpuruk dalam jangka waktu yang singkat. Dari berbagai butir agenda kebijakan bidang ekonomi yang dirumuskan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998, butirbutir yang langsung terkait dengan tugas dan yang luas kepada usaha kecil, menengah dan koperasi. Peningkatan kemitraan yang saling menguntungkan antara petani/ pengusaha kecil dan pelaku usaha lainnya untuk mewujudkan demokratisasi ekonomi.

Pemberian prioritas dukungan kepada pengusaha ekonomi lemah.

Tanah sebagai basis pertanian digunakan untuk memberikan kemakmuran sebesarbesarnya bagi petani-nelayan kecil.

fungsi Departemen Pertanian adalah (sesuai dengan bunyi dalam Ketetapan tersebut):

Menyediakan sembilan bahan pokok dan obat-obatan yang cukup dan terjangkau oleh rakyat, baik melalui peningkatan produksi dalam negeri maupun impor. Golongan miskin, khususnya yang tidak memiliki daya beli, menjadi prioritas utama melalui kebijakan subsidi yang terarah. Kebijakan dan program diversifikasi pangan diperluas sehingga dapat mengurangi ketergantungan pangan rakyat hanya kepada beras. Menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama kegiatan-kegiatan yang berbasis pada ekonomi rakyat dan berorientasi ekspor,

sebagai dasar untuk menciptakan landasan

ekonomi yang kuat. Mendayagunakan potensi ekonomi dari sumberdaya alam khususnya sumberdaya

kelautan termasuk pengamanannya untuk

meningkatkan ekspor. Melaksanakan deregulasi ketetapan- ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi dan perdagangan. Melakukan penyelamatan sosial melalui program-program khusus bagi mereka yang putus kerja, yang mengalami hambatan usaha dan mencegah laju pengangguran terbuka serta laju kemiskinan.

Sedangkan butir-butir Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang “Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan RI”, yang terkait dengan pembangunan pertanian adalah :

Implementasi dari konsep, strategi dan kebijakan pembangunan pertanian era reformasi berupa program-program pembangunan pertanian. Kerangka program pembangunan yang berlaku saat ini (rumusan dari Repelita VI) sudah kurang cocok dengan rumusan-rumusan di atas, sehingga perlu ada konsep baru. Namun saat ini kesepakatan nasional mengenai struktur programprogram pembangunan pertanian tersebut belum ada. Sehubungan dengan itu, dengan mengkaitkan pada program-program pembangunan yang berlaku saat ini, fokus pembangunan pertanian era reformasi dalam jangka pendek sampai menengah mengacu pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu (a) peningkatan ketahanan pangan, (b) pengembangan ekonomi rakyat (petani, peternak, nelayan) dan (c) peningkatan ekspor dan substitusi impor.

(1) Peningkatan Ketahanan Pangan

Nasional

Pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional. Pengelolaan sumberdaya alam secara efektif dan efisien dengan memberikan kesempatan

Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya bahan pangan dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu untuk menopang aktivitas sehari-harinya sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, dalam pengertian kebijakan operasional, ketahanan pangan menyangkut ketersediaan, aksesibilitas (keterjangkauan) dan stabilitas pengadaannya. Peningkatan ketahanan pangan menjadi salah satu (3) Peningkatan Ekspor

Salah satu peran penting pertanian adalah dalam penerimaan dan penghematan devisa melalui penyediaan bahan baku dan bahan pangan. Peran ini perlu terus dilanjutkan dengan mengacu pada kondisi perdagangan internasional yang telah diliberalisasikan melalui berbagai kesepakatan, baik multilateral, regional maupun bilateral, seperti WTO, AFTA dan kerjasama perdagangan antar negara.

Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi

fokus pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar, kualitas pangan yang dikonsumsi akan menentukan kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa, keterkaitan pangan kedepan dan kebelakang dalam pertumbuhan ekonomi nasional sangat tinggi dan ketahanan pangan mempunyai pengaruh yang erat dengan ketahanan nasional. (2) Pengembangan Ekonomi Petani

Nelayan

Pengembangan ekonomi rakyat di sektor pertanian, yaitu petani, peternak dan nelayan mempunyai justifikasi yang sangat kuat. Pertama, para pelaku ekonomi pertanian adalah para pengusaha skala kecil dengan basis ekonomi rakyat, yang terdiri-dari berjuta-juta usaha di seluruh Wilayah Nusantara. Usaha pertanian skala kecil ini secara individu seringkali dicirikan oleh inefisiensi dalam pengelolaan faktor produksi, lemah dalam permodalan, dan tidak mempunyai kemampuan dalam menjangkau pelayanan yang disediakan pemerintah atau dunia usaha. Di pihak lain, usaha kecil pertanian merupakan penopang ekonomi pedesaan dan sumber pendapatan bagi sebagian besar masyarakat pedesaan. Kedua, sektor pertanian Indonesia yang sebagian besar diopang usaha kecil dan menengah telah terbukti mempunyai daya tahan yang sangat lentur dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi beberapa kali, pada dekade 1960-an, 1970-an dan 1990-an. Faktor utama yang menopang ketahanan pertanian ialah karena sektor ini didukung oleh kekayaan sumberdaya domestik, yang menciptakan struktur biaya produksi dengan kandungan sumberdaya domestik/lokal yang tinggi. Ketiga, pemberdayaan usaha kecil dan menengah merupakan kehendak rakyat yang diformulasikan dalam Ketetapan MPR No. XV/1998. Dalam Ketetapan MPR tersebut telah ditetapkan bahwa prioritas dukungan diberikan kepada pengusaha ekonomi lemah, dan kesempatan pengelolaan sumberdaya alam secara luas diberikan kepada usaha kecil, menengah dan koperasi.

Operasionalisasi pelaksanaan pembangunan pertanian yang difokuskan kepada ketiga program tersebut di atas, dalam rangka peningkatan produksi komoditas-komoditas unggulan diformulasikan dalam bentuk Gerakan Mandiri (Gema). Sementara itu, kegiatan pembangunan pertanian secara umum tetap dilaksanakan sesuai dengan program-program utama dan penunjang pembangunan pertanian. Konsep Gema ini disosialisasikan sebagai ciri ataupun tema dalam memobilisasi pemanfaatan seluruh sumberdaya pembangunan (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, modal dan kelembagaan). Konsep Gema ini dipakai pula sebagai alat untuk menggalang dukungan dari berbagai fihak terkait dalam bentuk koordinasi di tingkat perencanaan di pusat sampai daerah dan pelaksanaannya di lapangan.

Sejak TA 1998/1999 telah diluncurkan tiga Gema dan satu program peningkatan ekspor, yaitu : 1) Gema Palagung 2001, yaitu Gerakan Mandiri

Peningkatan Produksi Padi, Kedelai dan Jagung untuk mencapai swasembada tahun 2001;

3) Gema Hortina 2003, yaitu Gerakan Mandiri

Peningkatan Produksi Hortikultura Tropika Nusantara dengan sasaran sampai tahun 2003;

4) Protekan 2003 yaitu Program Peningkatan

Ekpor Hasil Perikanan dengan sasaran nilai ekspor sebesar US $ 10 milyar pada tahun 2003.

Berikut adalah uraian ringkas intisari dari konsep berbagai Gema tersebut.

(1) Gema Palagung 2001

Gema Palagung 2001 adalah gerakan mandiri menuju swasembada padi, kedelai dan jagung pada tahun 2001. Sasaran Gema Palagung ini didasarkan atas prediksi permintaan atau kebutuhan terhadap ketiga komoditas pangan tersebut yang meliputi konsumsi pangan manusia, benih, pakan, bahan baku industri, serta kehilangan hasil. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut melalui swasembada (on trend), dirumuskan sasaran produksi padi sebesar 54,3 juta ton, jagung 12,0 juta ton dan kedelai 2,2 juta ton pada tahun 2001. Untuk itu direncanakan luas panen komoditas tersebut berturut-turut 12,2 juta ha, 4,4 juta ha dan 1,7 juta ha (Lampiran Tabel 1).

rakatan penggunaan benih unggul, meningkatkan pembinaan dan pengawasan mutu, serta meningkatkan pelayanan pelepasan varietas, perijinan dan sertifikasi benih; (b) peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi melalui perbaikan teknologi cara tanam, pemupukan dan penggunaan air; (c) peningkatan kemampuan petani menerapkan teknologi rekomendasi melalui peningkatan ketersediaan dan keterjangkauan kredit usahatani (KUT), peningkatan kemampuan dan kemandirian petani dalam penyusunan Rencana Definitif Kerja Kelompok (RDKK), pemanfaatan kredit modal kerja dan pengembalian KUT; dan (d) pengamanan penyaluran dan mutu sarana produksi terutama pupuk dan benih melalui kegiatan koordinasi pengadaan, monitoring

penyaluran, mutu dan harganya. 2) Perluasan areal tanam melalui : peningkatan

Indeks Pertanaman (IP), dengan (a) rekayasa teknologi yang antara lain dilakukan melalui pengaturan pola tanam, penerapan alsintan pra dan pasca panen, pengaturan penyediaan air; dan rekayasa sosial/budaya dilakukan antara lain dengan gerakan dan penyuluhan, serta peningkatan ketrampilan petani; (b) perluasan lahan baru, dilakukan pada lahanlahan yang belum termanfaatkan secara optimal seperti pada lahan di daerah transmigrasi, lahan PIRBUN, area kehutanan, pengembangan pasang surut, daerah irigasi baru (Lampiran Tabel 2); (c) pengembangan penerapan alat dan mesin pertanian guna mempercepat pengolahan tanah, pompanisasi dan panen/pasca panen dilaksanakan melalui pola pengembangan kelompok Usaha Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA).

Dengan produksi padi sebesar 54,3 juta ton (34,3 juta ton setara beras), Indonesia pada tahun 2001 akan mencapai kembali swasembada beras. Pada tahun tersebut, penduduk Indonesia diperkirakan sebesar 213,6 juta jiwa dengan perkiraan konsumsi sebesar 134,44 Kg/kapita/ tahun, sehingga kebutuhan konsumsi beras nasional mencapai 28,7 juta ton. Kebutuhan lainnya terdiri atas benih, industri, dan penyusutan/kehilangan sebesar 1,7 juta ton dan sisanya berupa stok di Bulog, pedagang dan masyarakat.

Pencapaian sasaran tersebut diupayakan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1) Peningkatan produktivitas melalui : (a)

peningkatan ketersediaan dan pemasya

3) Pengamanan produksi tanaman pangan

melalui (a) Gerakan Tanam Serentak dengan pemantapan pola tanam sesuai dengan agroekosistem, dan penyediaan sarana produksi secara 6 tepat; mengembangkan pergiliran tanam dan varietas untuk


Page 17

Kegiatan pokok untuk mencapai sasaran areal seperti pada Lampiran Tabel 3 dan 4 dilaksanakan melalui pengembangan Sentra Agribisnis Hortikultura yang dalam pelaksanaannya dijabarkan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu Penumbuhan Sentra dan Pemantapan Sentra melalui upaya penumbuhan serta pemantapan sentra, dengan demikian diharapkan produksi hortikultura dapat dikembangkan lebih pesat lagi. Untuk tahun 1999 sasaran produksi hortikultura utama untuk buah-buahan sebesar 7,10 juta ton dan sayuran sebesar 1,07 juta ton (Lampiran Tabel 5).

* Kelembagaan, melalui pengembangan

Usaha Jasa Pelayanan Saprotan, pengemasan dan Alsin, pengembangan kelompok usaha dan pengembangan jaringan komoditas Buah-buahan Pra Panen, melalui pengembangan sistim perbenihan, penerapan tek- nologi pemupukan dan irigasi, manajemen pembungaan, dan pe- nerapan manajemen kesehatan tanaman terpadu. Pasca Panen, melalui pengembangan standar mutu buah dan pengembangan teknologi kemasan Pemasaran, melalui pengembangan informasi pasar, pembangunan termi- nal dan subterminal agribisnis, serta pengembangan UPA (Unit Pengem- bangan Agribisnis) Kelembagaan, melalui pengembangan jaringan informasi komoditas, pengembangan penangkar benih, pengembangan kelompok usaha, pengembangan usaha jasa saprotan,

kemasan dan alsintan Tanaman Hias dan Tanaman Obat

Pra Panen, melalui penerapan tek- nologi pemupukan dan irigasi, pengembangan media tanam, pe- nerapan manajemen kesehatan tanaman terpadu, Pasca Panen, melalui pengembangan teknologi perpanjangan daya tahan bunga, dan pengembangan teknologi

kemasan * Pemasaran, melalui pengembangan

informasi pasar, pembangunan terminal dan sub terminal agribisnis Kelembagaan, melalui pengembangan usaha jasa pelayanan saprotan, pengemasan dan alsin, pengembangan kelompok usaha

1) Penumbuhan Sentra

Sayuran, dilaksanakan melalui pemanfaatan lahan tidur potensial dan peningkatan Indeks Pertanaman (IP) Buah-buahan, dilaksanakan melalui pemanfaatan lahan tidur potensial dan pemanfaatan kebun-kebun terlantar Tanaman Hias dan Tanaman Obat, dilaksanakan melalui pemanfaatan lahan tidur potensial, pengembangan pola perguliran, pengembangan TOGA,

tabulapot, dan tabulakar. 2) Pemantapan Sentra Melalui Peningkatan Produktivitas Sayuran

Pra Panen, melalui pengembangan varietas unggul bermutu, pengem- bangan pemupukan berimbang dan irigasi yang efisien, pengembangan manajemen kesehatan tanaman terpadu dan pengembangan mana- jemen pola tanam. Pasca Panen, melalui pengembangan standar mutu sayuran dan pengem-

bangan teknologi kemasan * Pemasaran, melalui pengembangan

informasi pasar, pembangunan terminal dan sub terminal agribisnis, pengembangan UPA (Unit Pengembangan Agribisnis)


Page 18

4) Pengembangan Pendekatan Partisipatif

Dalam Pengelolaan Pembangunan Pertanian

Dalam paradigma pembangunan pertanian yang baru, pada dasarnya pembangunan pertanian dilaksanakan oleh petani dan untuk keuntungan/bermanfaat bagi petani itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari paradigma tersebut, pemerintah lebih berperanan sebagai fasilitator, yaitu memudahkan, memperlancar, mendukung para petani melaksanakan kegiatan-kegiatan usahanya. Bidang usaha yang akan dilaksanakan oleh petani haruslah ditetapkan oleh petani. Untuk itu petani dibimbing untuk menganalisis risiko/keuntungan dari usaha yang akan mereka jalani dan mengambil keputusan mengenai bidang usaha yang akan mereka laksanakan. Hal ini dimulai dengan peningkatan komunikasi, saling mengerti mengenai peranan dan kegiatan masingmasing pihak. Untuk itu, pendekatan perencanaan pembangunan pertanian yang lebih partisipatif (artinya juga lebih terbuka/ transparan) dan metodologi perencanaan

yang disepakati bersama yang berorientasi pada kepentingan petani akan mewarnai perencanaan pelaksanaan pembangunan pertanian di masa akan datang. Langkah-langkah yang telah dan akan terus di-laksanakan dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah diantaranya adalah:

Penyerahan perencanaan dan pembahasan pe-manfaatan anggaran sektoral di daerah. Departemen Pertanian memberikan arahan kebijakan dan strategi pembangunan serta sasaran-sasaran nasional. Proses perencanaan tahunan dilaksanakan dengan metoda kombinasi antara “bottom-up” dan “top-down”, dengan porsi yang lebih banyak pada perencanaan “bottom-up”, mengingat pelaksana pembangunan pertanian berada di daerah dan menyadari adanya keragaman potensi pembangunan di masing-masing daerah. Meningkatkan kemampuan aparat pertanian di daerah untuk menyusun perencanaan secara partisipatif.

Beras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam era reformasi ini, Departemen Pertanian telah mencanangkan Program Gerakan Mandiri Padi, Kedelai dan Jagung 2001 (Gema Palagung 2001). Dengan keberhasilan Gema Palagung ini maka pada tahun 2001, Indonesia akan kembali mencapai swasembada beras, seperti yang pernah diraih pada tahun 1984


Page 19

Hasil-hasil Pembangunan Pertanian

Tanaman Pangan dan Hortikultura

Peningkatan produksi padi yang cukup besar pada tahun 1998 maupun perkiraan tahun 1999 tersebut, telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam penyediaan pangan nasional, dan berdampak pada penurunan kebutuhan jumlah impor beras tahun 1999 yang cukup berarti dalam rangka menghemat devisa negara.

(1) Produksi Komoditi Pangan Utama

(Padi, Jagung, Kedelai)

Pada awal pelaksanaan program pembangunan Kabinet Reformasi, produksi padi, jagung dan kedelai berdasarkan angka ramalan II BPS, untuk padi diperkirakan hanya mencapai 46.290.461 ton GKG, jagung 9.170.178 ton pipilan kering, dan kedelai 1.394.101 ton biji kering

Namun dengan berbagai program yang disusun dan strategi pelaksanaan yang ditempuh, tingkat produksi ketiga komoditi tersebut mengalami kenaikan. Berdasarkan angka tetap BPS 1998, produksi padi meningkat menjadi 49.236.692 ton GKG atau naik 6,36 % , dan jagung 10.169.488 ton pipilan kering atau naik 10,89 %. Namun untuk kedelai sedikit mengalami penurunan, yakni hanya mencapai 1.305.640 ton biji kering (Lampiran Tabel 10).

Produksi tahun 1999, berdasarkan ramalan II BPS untuk padi diperkirakan mencapai 49.533.584 ton GKG, atau mengalami peningkatan 7,05 % dibanding perkiraan produksi Aram II 1998 ( perkiraan produksi pada awal kerja Kabinet Reformasi). Untuk jagung diperkirakan akan mencapai 9.134.404 ton pipilan kering, dan kedelai 1.275.115 ton biji kering.

Diantara ketiga komoditas tersebut, produksi kedelai baik tahun 1998 (Atap) maupun perkiraan tahun 1999 (Aram II), masih belum menunjukan peningkatan hasil yang cukup menggembirakan sesuai dengan sasaran. Hal tersebut terutama disebabkan karena pengaruh iklim yang kurang menguntungkan (La-Nina), kelanggkaan bibit varietas unggul, dan penerpan paket teknologi yang belum optimal akibat mahalnya harga sarana produksi.

(2) Gema Palagung 2001

Pelaksanaan Gema Palagung 2001 yang dimulai sejak MK II 1998 dengan mendapat dukungan Proyek PKPN-MPMP TA 1998/1999 dilaksanakan di 26 propinsi dan 195 kabupaten. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan berupa kegiatan pokok yang terdiri dari Perluasan Areal Tanam (PAT) dan Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI), dan kegiatan penunjang berupa

, pendampingan dan pengembangan rancang bangun model agribisnis.

Realisasi tanam perluasan areal tanam (PAT) hingga Bulan Juni 1999 untuk padi mencapai 521.091 ha atau 68,1 % dari target 766.000 ha, jagung mencapai 247.115 ha atau 70,6% dari target 350.000 ha, dan kedelai 186.471 ha atau 48,6 % dari target 384.000 ha. Dari realisasi perluasan areal tanam tersebut diperkirakan diperoleh tambahan produksi padi sebesar 2,12 juta ton GKG, jagung 0,71 juta ton pipilan kering dan kedelai 0,21 juta ton biji kering.

Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perluasan areal tanam (PAT) Gema Palagung 2001 antara lain : (1) pengadaan benih padi, kedelai dan jagung belum bisa memenuhi 6 tepat, (2) di beberapa daerah curah hujan tinggi dan sebagian di tempat terjadi bencana banjir, (3) di beberapa daerah terjadi pergeseran pola tanam sebagai akibat dari musim hujan yang panjang, (4) di beberapa daerah ketersediaan pupuk tidak sesuai dengan prinsip 6 tepat.

(3) Sector Program Loan ( SPL-OECF)

Dalam rangka mendukung Gema Palgung 2001, sejak akhir tahun anggaran 1998/1999 sampai tahun anggaran 2000/20021 juga dilaksanakan kegiatan-kegiatan penunjang melalui Programa sector Loan-OECF. Melalui program SPL-OECF ini dilaksanakan pengembangan sarana prasarana untuk mendukung pencapaian peningkatan produksi tanaman pangan secara nasional.

Pengembangan usaha hortikultura dalam bentuk pengembangan sentra-sentra produksi buah-buahan melalui bantuan OECF pada TA 1998/1999 telah direalisasikan pembangunan kebun buah-buhan seluas 10.460 ha, tersebar di 31 kabupaten di 15 propinsi. Jenis komoditinya disesuaikan dengan unggulan daerah masing-masing dan mempunyai nilai ekonmis tinggi antara lain jeruk, pisang, mangga, salak, rambutan, durian, markisa dan melinjo. Di samping pembanguanan kebun, juga telah dibangun fasilitas pendukung seperti pengembangan sarana kebun (sumur, pompa, embung/bak penampung, jaringan pipa pengairan, jalan usaha tani, bangunan pengumpul dan pengepakan), serta peningkatan SDM ( petani, penangkar benih, dan petugas). Pengembangan agribisnis tanaman anggrek di tiga propinsi sentra, yaitu Sumatera Barat, DI yogyakarta, dan Bali. Jenis anggrek yang dikembangkan antara lain Sakura, White, Water Omae X Waipahu Beauty, Dirlon Pink, dan Sonia 28.

Program ini dilaksanakan di 25 propinsi dan mencakup 194 kabupaten dengan sasaran penambahan areal tanam seluas 927.758 ha pada tiga tipologi lahan, yaitu lahan irigasi, rawa dan tadah hujan. Dari target tambahan luas tanam tersebut, diharapkan akan menghasilkan tambahan produksi pada tahun 2001 masingmasing untuk padi mencapai 2,1 juta ton GKG, jagung 300.000 ton, dan kedelai 400.000 ton.

Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan difokuskan pada pengembangan sarana dan prasarana pertanian dan dikelompokkan atas lima kelompok kegiatan, yaitu : (1) perbaikan infrastruktur pertanian ( saluran drainase, fasilitas penyediaan air, dan jalan usahatani), (2) penyediaan alsin pertanian pra dan pasca panen dalam rangka percepatan pengolahan lahan dan perbaikan kualitas hasil, (3) pemasyarakatan teknologi usahatani, (4) pemantapan kelembagaan, dan (5) penyediaan jasa konsultan. Melalui penyediaan sarana dan prasarana pertanian termasuk alat mesin pertanian pra dan pasca panen diharapkan dapat memacu percepatan optimalisasi pemanfaatan lahan baik melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP) maupun Perluasan Areal Tanam (PAT) dalam konteks pendekatan agribisnis.

Pengembangan intensifikasi seluas 2.790 ha dengan memanfaatkan dana KUT sebesar Rp. 8.087.537.000,- atau 105 % dari maksimum CO TA 1998/1999 sebesar Rp. 7.656.919.000,- .

Pengembangan cabe merah dan bawang merah di luar musim (off season) dalam rangka penyediaan produksi sepanjang tahun guna mengatisipasi kelangkaan dan gejolak harga terutama pada hari raya besar di kota besar. Untuk TA 1998/1999 telah berhasil dikembangkan penanaman bawang merah (off season) seluas 550 ha di Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan cabe merah seluas 350 ha di Jawa Barat dengan tujuan memasok kebutuhan Ibukota Jakarta dan sekitarnya.

(4) Pengembangan Hortikultura

Dalam rangka menunjang pengembangan hortikultura, beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan terutama dalam TA 1998/1999 antara lain meliputi :

Pembinaan pengembangan usaha hortikultura di Lembaga Mandiri dan Mengakar di masyarakat (LM-3) di 23 Pondok Pesantren di 15 propinsi, dengan kegiatan usaha dan

Perkembangan realisasi tanam intensifikasi padi, kedelai, jagung dan hortikultura MT 1998/1999 dibandingkan dengan MT 1996/ 1997 dan MT 1997/1998 seperti tertera pada (Lampiran Tabel 13). Dari Lampiran Tabel 13 terlihat bahwa perkembangan realisasi areal tanam intensifikasi umumnya meningkat kecuali buah-buahan yang mengalami penurunan. Realisasi MT 1998/1999 lebih tinggi dibanding-kan dengan musim yang sama tahun sebelumnya disebabkan dampak dari Gema Palagung 2001 secara gencar dilaksanakan oleh masing-masing daerah. Realisasi tanam intensifikasi padi, jagung, kedelai, buah-buahan, sayuran dan obatobatan MT 1999 sampai 17 Juni 1999 seperti tertera pada (Lampiran Tabel 14). Dari Lampiran Tabel 14 tersebut terlihat bahwa realisasi tanam intensifikasi belum mencapai sasaran karena masih dalam pelaksanaan.

(5) Bimbingan Masal (BIMAS)

Realisasi tanam intensifikasi padi, kedelai, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran dan obatobatan Tahun 1998/1999 sampai akhir Maret 1999 seperti tertera pada Lampiran Tabel 11.

Dari tabel tersebut dapat kita lihat : Padi realisasinya mencapai 107,81% dari rencana. Hal ini disebabkan terdorongnya

petani untuk menanam padi lebih luas karena

musim sebelumnya mengalami kekeringan, iklim cukup mendukung dan gerakan Gema

Palagung 2001 yang lebih gencar. b. Kedelai realisasinya hanya 73,90 persen dari

rencana. Hal ini disinyalir akibat petani takut resiko gagal panen karena curah hujan cukup tinggi, disamping karena kurang tersedianya

benih bermutu. C. Jagung realisasinya 100,88 persen dari

rencana., yang sesuai rencana. d. Tanaman buah-buahan, sayuran dan obat

obatan masing-masing hanya terealisir 68,41 persen, 54,18 persen dan 22,73 persen. Perkembangan Realisasi Areal Tanam.

Dengan masih berlanjutnya krisis ekonomi, pertumbuhan populasi, produksi, dan produktivitas ternak tahun 1998 masih mengalami penurunan. Pada tahun 1996 produksi daging mencapai 1,6 juta ton, telur 779,8 ribu ton, dan susu 441,2 ribu ton, sedangkan pada tahun 1998 turun menjadi 1,3 juta ton daging, 597,8 ribu ton telur, dan 405,5 ribu ton susu. Penurunan produksi tersebut telah berpengaruh terhadap pertumbuhan subsektor peternakan yang semula diharapkan naik 6,4%, ternyata turun 2-3% pada tahun 1997, dan pada tahun 1999 diperkirakan turun 0,65%.

Usaha peternakan yang sangat terpengaruh dan terpuruk oleh krisis moneter dan ekonomi adalah usaha peternakan ayam ras dan industri sapi potong. Terpuruknya usaha perunggasan disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya biaya produksi, sedangkan keterpurukan industri sapi potong disebabkan karena usaha ini mengandalkan pasokan impor sapi bakalan. Namun demikian masih ada komoditas ternak yang relatif tidak terpengaruh, yaitu ternak ayam buras, itik, kambing, dan domba. Untuk usaha ternak sapi perah justru memiliki peluang yang cukup besar dikembangkan, karena sebagian besar bahan baku untuk konsumsi susu di dalam negeri masih impor.

Untuk mengantisipasi krisis tersebut, pada tahun 1998 telah dilakukan upaya pengembangan komoditi ayam buras, itik, kambing/domba, dan sapi melalui pemberdayaan usaha peternakan rakyat yang dikenal dengan Gerakan Mandiri Produksi Protein (Gema Proteina 2001). Dipilihnya komoditi ternak ini untuk dikembangkan, karena sebagian besar konsumsi daging pada tahun 1997 berasal dari daging ternak tersebut, yaitu 36,3% dari daging ayam ras pedaging, 21,5% dari daging ayam buras, 23% dari daging negeri, dan 7% dari daging domba/ kambing Perikanan

Berbagai program pembangunan perikanan yang telah dilaksanakan pada era reformasi ini, secara keseluruhan menunjukkan hasil yang nyata dan menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya produksi, yang pada gilirannya meningkatkan pula konsumsi ikan, ekspor hasil perikanan, pendapatan petani nelayan dan menunjang pembangunan daerah. Keberhasilan tersebut telah diupayakan tetap menjamin pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Dalam dua tahun terakhir ini (1997-1998), perkembangan PDB perikanan menunjukkan peningkatan sebesar 6,21% yaitu dari Rp.6.610,1 milyar menjadi Rp. 7.020,8 milyar. Perkembangan ini sangat menggembirakan dibandingkan dengan perkembangan PDB sub sektor lain dalam sektor pertanian. Meningkatnya PDB perikanan tersebut tidak terlepas dari keberhasilan dalam mengupayakan peningkatan produksi perikanan.

Pada periode yang sama, produksi perikanan meningkat 5,62% yaitu dari 4.579,77 ribu ton menjadi 4.837,00 ribu ton. Untuk memenuhi ekspor, konsumsi dalam negeri dan bahan baku industri tepung ikan, produksi ditargetkan sebesar 5.721,81 ribu ton pada tahun 1999 atau meningkat cukup tinggi yaitu 18,29% dari produksi tahun sebelumnya. Produksi perikanan laut diharapkan juga meningkat sebesar 14,45% guna memenuhi ketiga permintaan tersebut. Peningkatan ini jauh lebih besar dibanding peningkatan pada tahun 1997-1998 yang besarnya 6,20%. Produksi penangkapan di perairan umum yang selama ini digunakan untuk konsumsi dalam negeri, masih tetap diarahkan untuk keperluan yang sama di masa mendatang, bahkan lebih ditingkatkan lagi karena sebagian produksi dari usaha budidaya di darat diarahkan untuk ekspor. Meskipun pada tahun 1998 produksi dari usaha ini hanya meningkat relatif kecil, yaitu hanya 0,57% dari produksi tahun 1997, namun pada tahun 1999 diharapkan bisa meningkat dibandingkan dengan produksi tahun 1998 dengan adanya kegiatan restocking di perairan umum yang lebih digalakkan dan dilakukan oleh balai-balai benih ikan milik pemerintah. Produksi budidaya tambak juga diharapkan meningkat sebesar 35,28% pada periode tahun 1998 - 1999. Peningkatan ini juga jauh lebih besar dari peningkatan pada periode tahun 1997-1998, karena hasil budidaya ini terutama diarahkan untuk ekspor. Untuk produksi budidaya di air tawar, peningkatannya juga mengikuti pola yang sama, karena mulai tahun 1999, hasil dari usaha budidaya ini tidak saja diarahkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri tetapi juga diarahkan untuk ekspor. Selain kodok lembu yang sudah lama masuk dalam pasar ekspor, ikan nila dan labi-labi diharapkan dapat menembus pasar luar negeri.

Meningkatnya produksi perikanan tersebut, tidak terlepas dari meningkatnya sarana produksi. Jumlah perahu/kapal penangkap ikan pada tahun 1998 meningkat 2,61% dibandingkan dengan tahun 1997 yang sebesar 402.104 buah. Pada tahun 1999, jumlah perahu/kapal diperkirakan

dan hotel. Pada tahun 1997, impor komoditi ini masih sebesar 11.876 ton, akan tetapi pada tahun 1998 turun menjadi 4.236 ton atau turun 64,33%. Hal ini menghemat penggunaan devisa.

Dengan perkembangan produksi, ekspor dan impor hasil perikanan seperti diuaraikan di atas, penyediaan ikan untuk konsumsi per kapita penduduk Indonesia masih tetap meningkat setiap tahunnya meskipun sangat kecil, yaitu hanya 0,42%. Dalam kondisi seperti sekarang ini, dimana daya beli masyarakat menurun tajam, ikan merupakan alternatif yang baik untuk memenuhi kebutuhan protein hewani karena harga daging relatif lebih mahal. Pada awal tahun terjadinya krisis ekonomi, yaitu tahun 1997, penyediaan ikan untuk konsumsi per kapita sebesar 19,05 kg/ kapita/tahun. Kemudian pada tahun 1998 meningkat menjadi 19,13 kg/kapita/tahun dan pada tahun 1999 diharapkan menjadi 19,21 kg/ kapita/tahun.

akan meningkat 1,35% dari tahun 1998. Luas areal budidaya pada tahun 1998 juga meningkat dibandingkan dengan areal pada tahun 1997 yaitu sebesar 5,65%. Pada tahun 1999, luas areal ini diharapkan meningkat untuk menghasilkan produksi yang telah ditargetkan. Peningkatan ini diharapkan bisa mencapai 28,30% dari tahun sebelumnya.

Perkembangan volume ekspor pada tahun 1997 - 1998 terlihat cukup menggembirakan, kecuali rumput laut yang pertumbuhannya negatif. Namun dilihat dari segi pemasukan devisa, peningkatan volume tersebut kurang menggembirakan, karena meskipun volumenya naik 14,33% namun nilainya hanya meningkat 0,89%. Hal ini mencerminkan bahwa mutu komoditas yang diekspor masih belum memenuhi harapan negara pengimpor sehingga harga rata-ratanya rendah. Pada tahun 1999, mutu produk ekspor akan lebih ditingkatkan agar dapat memberikan nilai tambah yang tinggi. Oleh sebab itu, pada tahun ini diharapkan perolehan devisa hasil perikanan meningkat 45,62% dibandingkan tahun sebelumnya dan volume ekspor meningkat 24,57%. Pada tahun 1999, volume ekspor udang dan mutiara mengalami penurunan, namun dengan perbaikan mutu, nilainya diharapkan dapat meningkat karena kenaikan harga.

Seperti diperkirakan, impor hasil perikanan telah menunjukkan kecenderungan menurun,

baik volume maupun nilainya. Bahkan tepung ikan yang masih merupakan bagian terbesar impor hasil perikanan, dalam periode tahun 1997-1999 menunjukkan penurunan yang antara lain disebabkan harganya yang menjadi mahal akibat penurunan nilai tukar rupiah. Penurunan tersebut secara dratis terjadi pada tahun 1998, yaitu mencapai 69,36% dari impor tepung ikan pada tahun 1997. Pada tahun 1997, impor tepung ikan yang digunakan sebagai bahan baku pakan ternak mencapai 115.180 ton. Pada tahun berikutnya menurun tajam menjadi hanya 35.291 ton. Begitu pula dengan impor ikan segar/beku yang umumnya diperuntukan bagi konsumsi restoran

Berbagai kegiatan pembangunan yang diselenggarakan melalui pengembangan agribisnis, diarahkan untuk mengubah pendekatan pembangunan pertanian yang berorientasi produksi menjadi pembangunan pertanian pedesaan yang berorientasi agribisnis.

Adapun hasil yang telah dicapai dan pelaksanaan kegiatan mutu produk adalah sebagai berikut :

Sampai dengan bulan April 1999 telah tersusun 641 buah Standar Mutu (SM) sektor pertanian yang mencakup standar mutu untuk produk akhir maupun standar-standar lain seperti standar bahan baku, standar metode pengolahan, standar peralatan dan standar metode pengujian. Tersusunnya Rencana Kerja Jaminan Mutu (RKIM) bagi Kelompok Tani agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas sistem penanganan pasca panen; dan meningkatkan kemampuan Kelompok Tani untuk


Page 20

mengembangkan sistem jaminan mutu secara mandiri. Perwujudan jaminan mutu yang menerapkan prinsip-prinsip jaminan mutu adalah dalam bentuk dokumen RKJM atau Quality Plan sebagai panduan mutu bagi kelompok usaha tani dalam memberikan jaminan mutu kepada mitra bisnis. Pengembangan akreditasi dan sertifikasi yang difokuskan kepada pengembangan kelembagaan sertifikasi dan kelembagaan petani sebagai pengguna sertifikat agar mempunyai kemampuan dalam memberikan jaminan mutu hasil pertanian yang kredibel dan terakreditasi dan secara efisien dan mandiri. Potensi kelembagaan yang dapat melayani sertifikasi mencakup 119 laboratorium penguji, dan 6 Lembaga sertifikasi sistem mutu baik HACCP maupun SNI 19-9000 yang tersebar di seluruh Indonesia.

dijadikan pula sebagai sumber informasi peluang pasar, indikasi perubahan selera konsumen dan harga serta sarana promosi. Sub terminal yang sama juga akan dibangun di Kota Surabaya dan Ujung Pandang.

Dalam hal pengembangan usaha dan kelembagaan telah dicapai hal-hal berikut adalah:

Telah berhasil diuji coba model pengembangan UPJA di 7 (tujuh) propinsi, yang mewakili 5 (lima) tipe agroekosistem pertanian, yaitu lahan irigasi teknis, lahan tadah hujan, lahan kering, lahan pasang surut dan lahan rawa dalam. Di samping itu juga sedang diupayakan pengembangan model UPJA untuk Subsektor Perikanan dan Peternakan.

Adapun hasil dari pelaksanaan kegiatan pengembangan dan informasi adalah :

Terbentuknya home page Agribisnis Indo-
nesia On-line dengan alamat http://www.
fintrac.com/indoag sebagai medium untuk menghadirkan pasar, mempertemukan penjual dan pembeli sehingga biaya transaksi dapat ditekan. Dengan demikian akan terjadi link and match antara pembeli dan penjual. Agribisnis Indonesia On-line dapat diakses

gratis 24 jam/hari, 365 hari/tahun.

Diterbitkannya informasi berkala tentang agribisnis yang datanya diolah dan dianalisis dari internet serta referensi lainnya, dan telah didistibusikan kepada unit ketja yang terkait dalam pengembangan agribisnis, baik di pusat maupun di daerah. Terbangunnya sub terminal agribisnis di Cicurug Sukabumi yang dapat dijadikan sebagai tempat kegiatan pengolahan pasca

panen/seperti sortasi, grading dan


pengemasan serta kegiatan magang untuk anggota, kelompok tani. Di samping itu dapat

Telah dilakukan identifikasi terhadap 128 pondok pesantren di 7 propinsi yang memiliki potensi sebagai pengembangan agribisnis bagi masyarakat disekitarnya. Dari sejumlah pondok pesantren yang ada dalam propinsi telah ditunjuk satu pondok pesantren percontohan. Di antara pondok pesantren yang mempunyai potensi tersebut adalah Al Qomariah dan Al Ittifaq di Bandung-Jawa Barat, Sabilil Muttaqin di Magetan-Jawa Timur, Attohiri-yah Alfadiliyah Bodak di Lombok Tengah-Nusa Tenggara Barat, Al Kautsar AlGontory Aikmel di Lombok Timur-Nusa Tenggara Barat serta Hidayatullah di Balikpapan-Kalimantan Timur.

Terbentuknya inkubator agribisnis percontohan di Denpasar Bali sebagai hasil kerjasama dengan Universitas Udayana dan Pemerintah daerah Tingkat I Bali sebagai wadah yang dapat memfasilitasi pelaku agribisnis skala kecil dalam hal penguasaan managemen dan teknologi, serta akses terhadap sumber informasi pemasaran dan pembiayaan. Adapun hasil yang telah dicapai dan pelaksanaan kegiatan investasi dan permodalan agribisnis.

Skim Kredit Taskin Agribisnis yang bersumber dari yayasan Dakab telah disalurkan melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) di 6 propinsi, yaitu melalui BPD Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, D.I Yogjakarta dan Nusa Tenggara Timur sebesar Rp.7,8 milyar (52%). Telah direalisasikan penyaluran KKPA Unggas sampai dengan bulan April 1999 sebesar Rp. 304.500.000,-, kepada 21 orang peternak yang ter-gabung dalam Koperasi Darussalam di Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Adapun yang diangkat sebagai Perusahaan Inti adalah PT. Japfa Mitra Sentosa dan selaku bank pelaksana adalah Bank IFI. Pada saat masih menunggu 22 koperasi di 4 Dati I untuk mendapatkan KKPA Unggas. Berdasarkan laporan PT. Bahana Artha Ventura, sampai dengan 31 Desember 1998 PMV yang disalurkan modal ventura kepada pengusaha agribisnis berjumlah 26 PMV mencapai jumlah sebesar Rp. 114,8 milyar, dengan jumlah terbesar disalurkan oleh PT Sarana NTB Ventura yaitu sebesar Rp. 11,7 milyar. Modal ventura tersebut telah disalurkan untuk usaha sub sektor tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan.

2) Pelepasan varietas unggul jagung tahan

penyakit bulai, toleran terhadap penyakit karat daun, daya hasil 11,0-11,7 ton/ha, beradaptasi baik pada penanaman musim kemarau dan penghujan : BISI-5, BISI-6, BISI-7 dan BISI-8. Untuk menyediakan benih jagung hibrida dengan harga murah (50% dari harga benih hibrida swasta) telah dihasilkan dua hibrida jagung yakni Semar-2 dan Semar3 yang benihnya sudah diproduksi oleh BUMN. Untuk wilayah jagung lahan kering marginal telah disediakan varietas jagung bersari bebas yakni yaitu Wuisanggeni, Bisma, Lagaligo, Antasena, dan Surya yang

daya hasilnya mencapai 5 ton/ha. 3) Pelepasan 4 varietas unggul kedelai toleran

penyakit karat daun, tahan rebah, polong tidak mudah pecah, sesuai untuk produksi susu atau pembuatan tahu, produktivitas 2 ton/ha yaitu Argo Mulyo, Leuser, Kawi, Bromo, Meratus.

Pelepasan 2 varietas unggul kacang tanah toleran penyakit layu, karat dan becak daun, beradaptasi luas termasuk di lahan masam, produktivitas 2,6 ton/ha yaitu Panther dan Jerapah. Pelepasan 4 varietas unggul kacang tunggak tahan hama polong dan agak tahan terhadap virus CAMP, daya hasil rata-rata 1,1 ton/ha, beradaptasi luas di berbagai ekosistem.yaitu KT-6, KT-7, KT-8, KT-9.

Penelitian dan Pengembangan

Penelitian di bidang tanaman pangan dalam periode reformasi telah menghasilkan teknologi sebagai berikut : 1) Penyediaan varietas unggul tanaman pangan

pada tahun 1998/99 meliputi : padi tahan hama wereng biotipe 2 dan 3, penyakit bakteri hawar daun (kresek) dan virus tungro. Varietas unggul baru tersebut adalah : Way Apo Buru.

4) Pelepasan satu varietas kacang hijau tahan

terhadap penyakit bercak daun, toleran penyakit karat dengan produktivitas tinggi 1,38 ton/ha yaitu Kenari. Pelepasan 2 varietas ubi jalar tahan hama lanas dan penyakit kudis, bentuk dan kualitas umbi bagus, rasa umbi manis dan cocok ditanam pada tegal atau sawah tadah hujan setelah padi atau pada tanah yang tidak terlalu subur, produktivitas 30 ton/ha yaitu Sewu, Cangkuang

Pelepasanan satu varietas ubi kayu dengan potensi hasil tinggi yaitu 100 ton/ha, kadar HCN rendah (< 40 mg/Kg) rasa kenyal seperti ketan.yakni Darul Hidayah (lokal spesifik).

I yang mempunyai rasa manis legit, berserat halus dan tidak berair, warna buah putih susu, aroma harum, kulit buah tipis, berat per buah 0,5-2,3 kg.

(1) Aparat Departemen Pertanian

Jumlah aparat Departemen Pertanian di seluruh Indonesia (31 Maret 1996) sebanyak 105.248 orang, terdiri dari 86.446 orang pegawai negeri sipil PNS dan 18.802 orang pegawai honorer. Dari 86.446 orang PNS tersebut terbagi kedalam:

Penelitian hortikultura telah berhasil melepas varietas-varietas unggul hortikultura pada tahun 1998/99 yaitu :

8 varietas bunga krisan yakni Saraswati, Sekartaji, Purbasari, Retno Dumilah, Dewi Sartika, Kartini, Larasati dan Candra Kirana yang mempunyai diameter bunga lebar (> 6 cm) dan tangkai bunga panjang (< 80 cm); 1 varietas bunga gladiol yaitu Dayang Sumbi yang mempunyai kumtum bunga rapat, susunan bunga simetris, tangkai bunga keras; 1 varietas rambutan yaitu Tangkur Lebak dengan daging buah ngelotok, rasa manis sedikit asam, tahan terhadap embun tepung, dan produksi per pohon 300 kg; 1 varitas kelengkeng yaitu Selarong yang mempunyai rasa buah manis legit, harum, daging buah tebal, jumlah buah per tandan 150 buah, dan produksi buah per pohon 250 kg; 2 varietas belimbing yaitu Dewi Murni dan Dewa Baru yang mempunyai rasa manis segar agak berserat, aroma harum, umur simpan 10-14 hari, umur panen 90-110 hari, produksi per pohon per tahun 400-700 kg berbuah sepanjang tahun; 3 varietas jeruk yaitu Siem Banjar, Keprok So E dan Manis Kisar yang mempunyai rasa manis segar, aroma lembut, diameter buah 6,5 - 7,5 cm, tahan pengangkutan, produksi buah 500-1000 buah/pohon/tahun; 1 varietas durian yaitu Soya dengan rasa daging manis, tidak berserat, warna kuning,

tahan pengangkutan, produksi 100-150 buah/


pohon/musim; 1 varietas sirsak : Sirsak Ratu-

Pegawai Pusat : 32.890 orang (38%)
Pegawai Pusat DPK : 21.844 orang (25,3%)
Pegawai Pusat DPB : 31.712 orang (36,7%)

Dilihat dart segi pendidikan, dari 86.446 orang pegawai Deptan terbagi atas:

Lulusan SD berjumlah 1.357 orang (1,57%) Lulusan SL’IP berjumlah 2.787 orang (3,22%) Lulusan SLTA berjumlah 62.709 orang

(72,54%)

Lulusan Diploma I Sd. III dan perguruan tinggi 19.593 orang (22,66%).

Dilihat dari segi kepangkatan, pegawai Deptan terbagi atas :

Golongan : 2,88% Golongan II : 69,63%

Golongan III : 24,97%

Golongan IV : 2,50%

Aparat pertanian Dati I di seluruh Indonesia berjumlah 16.876 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 1996, keragaannya adalah sebagai berikut:

Lulusan SD berjumlah 1.180 orang (6,99%) Lulusan SLTP berjumlah 1.395 orang (8,26%)

agribisnis. Pada BIPP Model tersebut disediakan ruang pameran/promosi dan penyuluh/konsultan agribisnis, serta dilengkapi berbagai informasi seperti data potensi wilayah, teknologi, pasar dan lain-lainnya dengan menggunakan sarana modern seperti komputer dan jaringan internet.

Lulusan SLTA berjumlah 9.927 orang
(58,8%) Lulusan Diploma I Sd. III dan perguruan tinggi 4.274 orang (25,31%).

Dilihat dari segi kepangkatan, aparat pertanian Dati I adalah sebagai berikut:

Golongan I : 9,81% Golongani II : 54,18% Golongan III : 32,59% Golongan IV : 3,41%

Aparat pertanian Dati II di seluruh Indonesia berjumlah 24.524 orang. Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 1996, keragaannya adalah sebagai berikut:

Perkembangan jumlah tenaga Penyuluh Pertanian relatif tetap, perubahan terutama hanya berupa peralihan status dari Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil dan perpindahan dari atau ke Jabatan Struktural. Secara khusus pelatihan Penyuluh Pertanian juga dilaksanakan dalam mensukseskan program-program Gerakan Mandiri untuk peningkatan produksi pangan, yaitu GEMA PALAGUNG 2001, GEMA PROTEINA 2001, GEMA PROTEKAN 2003 DAN GEMA HORTINA 2003. (Lampiran Tabel 15)

Lulusan SD berjumlah 1.483 orang (6,05%) Lulusan SLTP berjumlah 2.493 orang

(10,17%)

Lulusan SLTA berjumlah 16.424 orang (67,01%) Lulusan Diploma I sd. III dan perguruan tinggi 4.174 orang (16,82%).

Dilihat dari segi kepangkatan, aparat pertanian Dati II adalah sebagai berikut:

Sampai dengan triwulan I tahun 1999/2000 terdapat 37.333 orang Penyuluh Pertanian di seluruh Indonesia, yang sebagian besar berada di lapangan, yaitu di Kecamatan (BPP) 30.586 orang (81,93%), dan di Kabupaten 5.994 orang (16,06%), sedangkan di Propinsi hanya ada 703 orang (1,88%) dan di Pusat 50 orang (0,13%).

Golongan I : 5,32% Golongan II : 61,49% Golongan III : 32,11% Golongan IV : 1,08%

Sementara itu, kegiatan-kegiatan penyuluhan di lapangan telah dapat menghasilkan perkembangan jumlah dan kemampuan serta peranan kelompok tani-nelayan dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian yang meningkat dengan cukup baik, dan telah turut berperan dalam mendorong keberhasilan program-program peningkatan produksi pangan yang dilaksanakan dalam menghadapi krisis ekonomi sejak Tahun 1998/1999

(2) Penyuluh

Dengan ditetapkannya BIPP sebagai kelembagaan pelaksana penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota, sampai dengan triwulan I tahun 1999/2000 telah terbentuk 299 BIPP atau 97,08% dari seluruh Kabupaten/Kota dan 3.560 BPP atau 91,47% dari seluruh Kecamatan di seluruh Indonesia. Dalam rangka mendukung pengembangan usahatani yang berwawasan agribisnis, dalam tahun 1997/1998 juga telah dikembangkan 5 BIPP Model sebagai sentra informasi dan promosi

Sampai dengan triwulan I tahun 1999/2000 tercatat 357.618 kelompok tani-nelayan di seluruh Indonesia, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlahnya terus meningkat, di samping itu kemampuannya juga terus meningkat. (Lampiran Tabel 16)

(3) Petani-nelayan

Dari segi tingkat pendidikan pada tahun 1996, dari total 32,94 juta orang tenaga kerja petani-nelayan, keragaannya sebagai berikut:

Berpendidikan SD kebawah berjumlah 28,74 juta orang (87,24%) Lulusan SLTP berjumlah 2,81 juta orang (8,55%

pokok dan fungsinya, melalui program pembiayaan yang meliputi: Program Pembinaan Pertanian Rakyat Terpadu, Usaha Pertanian, Pendidikan Kedinasan, Pengkajian dan Penelitian Terapan, Aparatur Negara, Penyelenggaraan Pimpinan Departemen/ Lembaga dan Pendayagunaan Sistem dan Pelaksaaan Pengawasan.

Lulusan SLTA berjumlah 1.32 juta orang (3,99%)

Lulusan Diploma I Sd. III dan perguruan tinggi berjumlah 69.000 orang (0,21%).

Dari segi curahan waktu kerja pada tahun 1996, keragaannya adalah sebagai berikut :

74,94% tenaga kerja petani-nelayan tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain berusahatani.

62,83% merupakan tenaga ketja setengah menganggur (under employed). 7,97% merupakan tenaga kerja penuh.

Trend Anggaran Belanja Rutin selama Repelita VI menunjukkan kenaikan, namun kenaikan ini belum memadai untuk membiayai tugas pokok dan fungsi masingmasing satuan kerja. Hal ini disebabkan antara lain karena sebagian besar anggaran belanja rutin dialokasikan untuk belanja pegawai (80%), sehingga masalah yang timbul dalam pelaksanaannya setiap tahun anggaran antara lain: terjadi tunggakan langganan daya dan jasa (listrik, telepon, gas dan air), terbatasnya keperluan sehari-hari perkantoran, tertundanya pemeliharaan/ perawatan gedung, inventaris kantor, peralatan laboratorium dan lapangan yang pada satu sisi senantiasa dihadapkan pada pengingkatan volume sebagai akibat hasil pembangunan yang telah diserahkan ke rutin. Hal ini menunjukkan belum sinkronnya antara anggaran rutin dan pembangunan. Keadaan ini diperparah oleh krisis moneter, ekonomi dan keuangan yang dialami Indonesia sejak Juli 1997 dimana harga dan biaya langganan daya dan jasa meningkat tajam.

39.82% berusahatani dibantu buruh tidak tetap

31,09% merupakan pekerja keluarga.

Hanya 0,6% berusahatani dengan buruh tetap.

b. Anggaran Penerimaan Negara Bukan

Pajak (PNBP)

Penerimaan negara bukan pajak yang ditargetkan oleh Departemen Pertanian selama Repelita VI adalah sebesar Rp.130.899.455.000,- yang bersumber dari pendapatan pendidikan, penjualan sewa dan jasa, dan pendapatan lain-lain yang dialokasikan kepada 10 (sepuluh) Eselon I di 27 propinsi.


Page 21

Dari tersebut terlihat bahwa rata-rata penyimpangan setiap tahunnya mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan antara lain karena adanya upaya represif dalam pelaksanaan pembinaan kepada obyek pemeriksaan.

Rata-rata penyimpangan tersebut didasarkan atas kriteria dari 49 jenis penyimpangan administrasi yang digunakan dalam menilai tertib administrasi.

Dalam rangka kerjasama Bilateral terdapat beberapa proyek bantuan yang meliputi :

Bidang tanaman pangan dan hortikultura, melalui bantuan Jepang (OECF Loan, Um

brella Cooperation III); b. Bimbingan Massal, melalui bantuan Jepang

dalam menciptakan kelompok petani yang mandiri (Umbrella Cooperation III); Perikanan, melalui bantuan Jepang, Korea, Australia dalam proyek kerjasama meningkatkan produktivitas dan mutu hasil

perikanan; d. Peternakan, melalui bantuan Australia dalam

proyek-proyek penggemukan sapi serta perbaikan makanan ternak dalam upaya peningkatan mutu dan produksi daging serta susu; Pendidikan dan Pelatihan, melalui bantuan scolarsip dari negara-negara Jepang, Austra- lia, Jerman, Kanada, New Zealand, Belanda, Inggris, Perancis, dalam upaya peningkatan Sumberdaya Manusia tenaga pertanian, serta melatih peserta luar negeri di Indonesia (training dan magang) dalam upaya

peningkatan hubungan kerjasama; f. Penelitian, melalui kerjasama dengan

Perancis (CIRAD), dalam upaya peningkatan

mutu dan produktivitas komoditi pertanian; g Perkarantinaan, melalui kerjasama dengan

Australia dalam rangka peningkatan mutu karantina di Indonesia (peningkatan SDM dan pendirian Laboratorium untuk

kepentingan karantina). Pengawasan

Dari hasil pemeriksaan reguler, di samping ditemukan adanya penyimpangan yang bersifat administratif, ditemukan pula adanya penyimpangan yang menyebabkan timbulnya kerugian negara (1) Penyimpangan Administratif

Penyimpangan selama Pelita VI, seperti terlihat pada Lampiran Tabel 20.

Dari jenis penyimpangan tersebut terdapat 5 jenis penyimpangan yang menonjol pada setiap periode pemeriksaan yaitu : . Pimpro tidak melakukan pemeriksaan kas

sesuai ketentuan Pembuatan dan pengiriman laporan wajib tidak dilakukan dengan tertib

Pembuatan tanda bukti pengeluaran tidak

memenuhi syarat Tata usaha perlengkapan tidak tertib

Pertanggungjawaban persekot tidak tertib. (2) Temuan Kerugian Negara

Dari hasil pemeriksaan ditemukan penyimpangan yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara dengan berbagai jenis penyimpangan antara lain kegiatan fiktif, ketekoran kas, denda, kelebihan pembayaran dll, selama Pelita VI seluruhnya senilai Rp. 9.294.294.810,59,- terjadi pada 1.060 OP atau rata-rata sebesar Rp. 8.768.202,65,

Jumlah kerugian negara yang terjadi selama Pelita VI disajikan pada Lampiran Tabel 21

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa selama Pelita VI pada setiap tahunnya penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara cenderung mengalami penurunan pada setiap Obyek Pemeriksaan.

Dari hasil pemeriksaan dapat diketahui bahwa rata-rata 32,18 % dari obyek yang diperiksa, terjadi penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara, pada setiap tahunnya.


Page 22

Tabel 1. Sasaran Produksi, Rata-rata Hasil dan Luas Panen padi, dan Kedelai Tahun 1999,

2000 dan 2001.


Page 23

Tabel 3. Sasaran Areal Pengembangan Hortikultura Melalui Penumbuhan Sentra dalam

Gema Hortina 2003

Kentang Kubis Cabe Bawang Merah Tomat Jamur Pisang Margga Jeruk Nenas Manggis Anggrek Jahe Kunyit

15,235 24,048

0 1,348 36.483

515 9.468

0

19,044 30.060

0 1,685 45.604

644 9,468

0

18.241

257 9,468 6.630 21.658 1.368

1,011 27,362

386 9,468 6,630 21.658

1.368 11,577

9,120

128 9,468 6.630 21.658

1.368 11.577

100 11.340 2.571

Tanaman Hias Tanaman Obat

Tabel 4. Sasaran Areal Pengembangan Hortikultura Melalui Pemantapan Sentra dalam

Gema Hortina 2003

4,240,095 1,470,540 1,488,220

668,360 591,720

21,255 4,547,497

958,985 1,251,762 1,071,336

611,043 606,082 48,289 6,755 6,755 7,600 3,200 4,400

2,812,277 1,470,570

595,288 439,219 295,860

11,340 2,214,309

480,945 678,245 435,677 320,749 276,469 22,224

0

7,103,073 2,950,578 2,090,138 1,129,237 888,948

44,172 7,074,801 1,500,104 2,065,875 1,507,013

934,454 991,082 76,273 8,755

Ternak Domba Lokasi

Propinsi/Kabupaten
Target Group : KK/KT Populasi

Rataan/KK/Th

4-6

Kawasan (ekor) 120-180 Produksi Kawasan - Daging (kg/th)

5/9 1.200/80

11-20 9.240-11.760 80.500-100.800

460-580 10.000

40

5/14 1.800/120

-20 12.900-16.460 112.700-141.120

640-820 14.000

60

Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kambing Domba Babi Kuda Ayam Buras Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik

2.918 13.949 7.488 8.813

575 271.488

Tabel 8. Sasaran Volume dan Nilai Ekspor Hasil Perikanan Tahun 1999-2003.

Volume (ton) Penangkapan di laut - Tuna - Cakalang - Udang - Ikan Demersal - Ikan Pelagis kecil - Ikan lainnya

677,517 49,517 82,850 33,605 156,645 224,700 130,200

803,666

63,675 102,346

34,125 187,020 285,200 131,300

926,413

77,829 119,968

34,645 215,871 345, 700 132,400

Budidaya laut - Rumput laut - Kakap putih - Kerapu - Mutiara

76,033 70,560 4,320 1,152 1.32

Tabel 10. Perbandingan Ramalam II 1999, R II 1998, ATAP 1998 Produksi

Padi, Jagung dan Kedelai

Tabel 11 : Rencana dan Realisasi Tanam Intensifikasi Tahun 1998/1999

(000 Ha) VT 1998 MT 1998/1999

Tahun 1998/1999 No. Tomodiu

Komoditi buah-buahan, sayuran dan obat-obatan yang memperoleh

KUT.


Page 24

Tabel 20. Rata-rata jumlah penyimpangan administratif per obyek

yang diperiksa.

N Tahun Jumlah Obrik Penyimpangan Anggaran OP

Temuan rata-rata 1 1994/1995 1.308

442 3.852

8,71 2 1995/1996 1.527

647
2.757

4,23 3 1996/1997 1.623

688 3.322

4,83 4 1997/1998 1.680

651 2.936

4,51 5 1998/1999 *) 1.680

831

1,44

1.198 Keterangan : *) Posisi Bulan Mei 1999 (angka sementara)

Jumlah Kerugian Negara yang terjadi Selama Pelita VI

PELITA Jumlah Obyek Jumlah Kerugian

Rata-rata (Banyaknya Yang diperiksa Negara (Rp)

Obrik) PELITA VI 1994/1995

492 OP

4.758.225.107,84 13.108.058,14

(363) 1995/1996

647 OP

2.006.830.360,54 9.334.094,70

(215) 1996/1997

688 OP

756.810.546,68 4.300.059,92

(176) 1997/1998

548 OP

893.910.199,53 3.663.566,39

(244) 1998/1999 816 OP

878.518.596 14.169.654,77

(62) Jumlah 3.294 OP 9.294.294.810,59

8.769.202,65

(1.060) Rata-rata

3.294 OP 7.563.023.585,28 3.197.895,81 Keterangan: *) sisi Bulan Mei 1999 (angka sementara)


Page 25

Dalam waktu dekat Pemerintah Kabinet Reformasi Pembangunan akan mengakhiri masa bhaktinya. Selanjutnya tugas dan wewenang diserahkan secara bulat dan utuh kepada Pemerintah yang baru hasil Pemilu tahun 1999.

Sehubungan dengan maksud tersebut diatas Menteri Pertambangan dan Energi membuat Buku X Memori Masa Bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan yang merupakan laporan kemajuan pelaksanaan tugas dan kontribusi sektor pertambangan dan energi selama periode tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan 15 Agustus 1999. Buku ini disusun agar dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi Pemerintah Pasca Pemilu tahun 1999 dalam pengambilan kebijaksanaan dan strategi sektor pertambangan dan energi guna membangun kembali Indonesia Baru abad 21.

Selain dalam bahasa Indonesia, buku ini juga ditulis dalam bahasa Inggris sehingga dapat dimanfaatkan secara internasional.

Mudah-mudahan buku ini bermanfaat dan dapat digunakan oleh Pemerintah Baru hasil Pemilu tahun 1999.

Buku ke X Memori Masa Bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan merupakan Laporan Menteri Pertambangan dan Energi yang disusun sebagai laporan akhir masa tugas pada Kabinet Reformasi

yang berlangsung mulai 21 Mei 1998 s.d. 15 Agustus 1999. Tugas pokok Departemen Pertambangan dan

Energi adalah membantu

Presiden

dalam menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang Pertambangan dan Energi, sesuai Keppres No.61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen. Buku ini menggambarkan perkembangan kegiatan sektor pertambangan dan energi yang meliputi Bidang Geologi dan Sumberdaya Mineral, Bidang Pertambangan Umum, Bidang Minyak dan Gas Bumi, serta Bidang Energi termasuk kelistrikan.

ekonomi. Permasalahan lain yang dihadapi adalah terdapatnya kecenderungan pasar dalam bentuk merosotnya term of trade berbagai mata dagang tambang Indonesia seperti minyak bumi, gas bumi, batubara dan mineral

mineral serta masih terdapatnya ketergantungan kepada modal dan teknologi luar negeri sehingga neraca perdagangan sektor pertambangan semakin lama semakin terbebani oleh barang modal luar negeri.

Sesuai perkembangan situasi dan kondisi ekonomi nasional, sektor pertambangan dan energi harus melakukan koreksi atau reformasi dalam mempertahankan perannya untuk pemulihan ekonomi.

Selama kurun waktu 25 tahun terakhir, sektor pertambangan dan energi telah berperan cukup besar dalam perekonomian nasional melalui penghasilan devisa dari migas. Keadaan ini terus berlangsung walaupun terjadi krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997. Namun sebagaimana sektor-sektor lain, berbagai permasalahan harus dihadapi oleh sektor pertambangan dan energi dalam masa tersebut.

Dengan adanya globalisasi, isu pokok yang sedang dan akan dihadapi sektor pertambangan dan energi dalam jangka panjang adalah isu mengenai hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Di samping itu isu kemiskinan dan kesenjangan, lapangan kerja, kebijaksanaan pengolahan sumberdaya alam, penegakan dan kepastian hukum, peningkatan kemamp!ian sumberdaya manusia, swastanisasi untuk meningkatkan efisiensi,

efisiensi, dan ekspansi perusahaan nasional ke luar negeri merupakan aspek-aspek yang

akan mempengaruhi bentuk kebijaksanaan pengembangan sektor pertambangan dan energi yang akan datang.

Kontribusi sektor pertambangan dan energi bertumpu pada ekspor bahan tambang tanpa

diolah atau diolah terbatas menyebabkan tidak optimalnya peran sektor ini dalam mendorong pertumbuhan

Selain mengantisipasi isu-isu pokok, kebijaksanaan pengembangan sektor pertambangan dan energi juga memperhatikan hal-hal lain seperti rencana umum tata ruang, pengembangan kelautan, deregulasi dan debirokratisasi, otonomi daerah, kerjasama Asia-Pasifik, kerjasama ASEAN, pengembangan wilayah pertumbuhan, dan pengembangan wilayah pertambangan.

Reformasi Sektor Pertambangan dan Energi yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian pokok, yaitu peraturan perundangundangan, kelembagaan, dan praktekpraktek yang tidak sehat. Jumlah seluruh permasalahan yang tercakup dalam Agenda Reformasi Departemen Pertambangan dan Energi sebanyak 103 masalah yang terdiri dari 59 masalah peraturan perundangundangan, 20 masalah kelembagaan dan 24 masalah praktek-praktek yang tidak sehat.

Pelaksanaan reformasi di sektor pertambangan

dan energi dilakukan melalui suatu konsep sesuai dengan pepatah "tempalah besi selagi panas”. Untuk itu harus berani keluar dari pemikiran-pemikiran konvensional yang selama ini dipatuhi dan pemikiran ekstrapolatif yang selama ini dipegang. Prinsip yang dilakukan dalam pelaksanaan reformasi di sektor pertambangan dan energi adalah menyusun a level and fair playing field dan the best government is the least government.

Kebijaksanaan Pemerintah yang penting di sektor pertambangan dan energi sejak tahun

1998 adalah melakukan restrukturisasi di bidang minyak dan gas bumi serta restrukturisasi di bidang ketenagalistrikan. Upaya restrukturisasi dimulai dengan penyempurnaan peraturan dan perundang-undangan selain tetap menjaga pemenuhan kebutuhan masyarakat akan bahan mineral industri maupun kebutuhan energi seperti BBM dan listrik.

Melalui rapat kerja tanggal 17 s.d. 18 Juni 1998 telah disusun kegiatan Agenda


Page 26

Organisasi Departemen Pertambangan dan Energi disusun berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 yang telah diperbarui dengan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1992 dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1748 Tahun 1992. Dalam melaksanakan

tugasnya yaitu menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang pertambangan dan energi, Menteri Pertambangan dan Energi dibantu oleh Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Direktur Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi, serta 6 orang Staf Ahli Menteri. Di daerah, Departemen Pertambangan dan Energi mempunyai Kantor Wilayah. Namun baru terdapat 16 Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi untuk menangani seluruh propinsi, yaitu ditempatkan di Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Bengkulu, Palembang, Pontianak, Palangkaraya, Banjarbaru, Samarinda, Manado, Ujung Pandang, Ambon, Jayapura, Mataram, dan Dili. Di samping itu, Departemen Pertambangan dan Energi juga memiliki 6 Kantor Pusat yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan sumber daya manusia, yaitu Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral (PPPTM), Pusat Penelitian dan

Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPPTMGB) “Lemigas”, serta Pusat Pengembangan Tenaga Pertambangan (PPTP), dan Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi (PPTP Migas). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di bawah pengelolaan Departemen Pertambangan dan Energi dan dibentuk dalam rangka mengusahakan kekayaan alam berupa barang tambang, menyediakan tenaga listrik, dan mengupayakan konservasi energi adalah PT PLN (Persero), PT PGN (Persero), PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Koneba (Persero), dan Pertamina. Pembinaan ke 6 BUMN tersebut, terutama yang berkaitan dengan masalah pengusahaan, dilakukan oleh Kantor Menteri Pendayagunaan BUMN. Pengusahaan dan pengelolaan sektor pertambangan dan energi mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Adapun pembangunannya ditujukan untuk menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri, meningkatkan ekspor dan penerimaan negara, menyediakan energi dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang wajar, serta memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Secara geologi, lokasi sumberdaya minyak bumi dan gas bumi (migas), panas bumi, dan bahan galian tambang yang beragam tersebar di berbagai daerah. Sejumlah bahan galian tambang yang penting dan memiliki potensi yang cukup besar adalah batubara, timah, nikel, bauksit, emas, sebagai sumber energi dalam negeri antara lain di pembangkitan listrik, industri semen, dan industri kecil serta industri rumah tangga.