Sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka mulai sejak saat itu merupakan titik awal bagi perkembangan politik hukum bangsa Indonesia. Dengan telah dinyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 pemerintah negara Indonesia membentuk Undang- Undang Dasar Negara sebagai dasar konstitusional pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bangsa dan negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya titik awal pem- bangunan hukum nasional kita. Show
Persoalan agraria adalah persoalan yang memerlukan perhatian dan pengaturan yang khusus, jelas dan sesegera mungkin. Oleh karenanya, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menentukan sebagai berikut: ”Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini menjadi landasan dasar bagi pemerintah Indonesia untuk membentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan/agraria. Persoalan hukum agraria atau hukum pertanahan di negara kita sejak masa penjajahan hingga negara kita merdeka merupakan persoalan yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian yang utama bagi pemerintah Indonesia. Betapa tidak, bahwa ± 80% penduduk bangsa Indonesia pada saat itu bermata pencarian pertanian, sementara tanah- tanah pertanian yang subur dan tanah-tanah perkebunan yang sangat luas dikuasai oleh segelintir orang, yaitu penguasa dan pengusaha. Pengusaha-pengusaha besar dan penguasa-penguasa menguasai tanah dengan seluas-luasnya. Akibatnya terjadi kesenjangan yang luar biasa antara penguasa dan pengusaha yang menguasai tanah dengan seluas- luasnya dengan masyarakat petani yang semakin miskin. Pada masa ini aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu: 1. Hukum Barat yang tertuang dalam Buku II KUH Perdata, khusus mengenai tanah, Agrarische Wet 1870, Agrariche Besluit dengan S 1870-118 tentang Domein Verklaring (pernyataan domein negara). 2. Hukum Adat tentang tanah. Berlakunya dua macam aturan hukum tersebut mengakibatkan tetap munculnya persoalan antargolongan, dan persoalan antaradat. Persoalan antargolongan dan persoalan antaradat tersebut pada era kemerdekaan ini sangat menghambat pelaksanaan pembangunan, terutama pembangunan hukum pertanahan. Sehingga dengan demikian aturan-aturan hukum tersebut diupayakan disesuaikan dengan cita-cita kemerdekaan dan amanat UUD 1945. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia sedikit demi sedikit melakukan penyesuaian aturan-aturan hukum tersebut dengan kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia yang merdeka dengan mempergunakan kebijakan dan tafsir baru. Beberapa aturan hukum yang disesuaikan adalah sebagai berikut. 1. Hubungan antara domein verklaring dan hak rakyat atas tanahnya, khusus hak ulayat. 2. Negara bukan sebagai pemilik akan tetapi hanya diberi wewenang untuk menguasai. 3. Penghapusan hak-hak konversi. 4. Semua tanah milik raja, rakyat hanya sebagai pemakai dan wajib menyerahkan kepada raja 1/2 atau 2/3 hasil kepada raja. Selain itu pemerintah membuat perangkat-perangkat hukum guna menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan tersebut, yaitu pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. Penye- lesaiannya dilakukan dengan cara: 1. Terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antara pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap; 2. Apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersebut akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan: a. kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan yang bersangkutan; b. kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomian negara. Dengan dibentuknya perangkat hukum tersebut maka diupayakan sudah tidak ada lagi pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat. Selain ketentuan tersebut di atas, dalam upaya menata kembali penguasaan pertanahan di Indonesia, pemerintah membuat kebijakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1956 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi; 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan; 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan Peme- rintah dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah Perke-bunan; 4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda yang kembali ke negerinya. Namun demikian, perangkat-perangkat hukum inipun tidak dapat menyelesaikan persoalan pertanahan yang ada di negara Indonesia merdeka ini, sehingga pemerintah sejak terbentuknya UUD 1945 berusaha untuk membentuk hukum agraria nasional yang berdasarkan kepada hukum nasional Indonesia (hukum asli Indonesia), dan akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, Lembaran Negara 1960-104, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan UUPA. Dengan lahirnya UUPA maka dengan jelas-jelas mencabut keten- tuan Buku II KUH Perdata khusus tentang tanah, dan Agrarische Wet beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya yang mengatur masalah tanah. Terbentuknya UUPA maka terjadi kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang agraria. Dengan adanya kodifikasi dan unifikasi hukum agraria tersebut diharapkan dapat menghapus persoalan- persoalan hukum agraria yang dualisme dan pluralisme tersebut. Lahirnya UUPA merupakan era perombakan dan pembaruan di bidang hukum agraria di Indonesia. Semua aturan hukum yang mengatur persoalan agraria, lebih khusus mengatur masalah tanah diatur sedemikian rupa sehingga menjamin hak-hak semua pihak dan perlindungan hukum bagi para petani. Dengan demikian diharapkan adanya penegakan hukum yang tegas dan konsistem tanpa adanya diskriminatif. Dengan lahirnya UUPA maka: 1. Menjamin adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menguasai dan memiliki tanah; 2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak atas tanah dengan jalan pembatasan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah oleh seseorang atau badan hukum; 3. Penentuan batas maksimum dan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dengan melaksanakan program landreform; 4. Diupayakan agar semua jenis hak atas tanah didaftarkan oleh pemerintah maupun pemegang haknya guna memperoleh kepas- tian hukum dan hak dalam rangka perlindungan hukum dan hak pemegang hak atas tanah. 5. Melakukan konversi semua hak-hak atas tanah yang sebelum yang berdasarkan hukum Barat dan hukum adat; 6. Melakukan pengaturan kembali sistem gadai tanah pertanian, sistem bagi hasil tanah pertanian; 7. Larangan penguasaan tanah pertanian secara absentee; dan 8. Redistribusi tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh negara kepada para petani yang memiliki tanah kurang dari dua hektar. Sumber bacaan buku hukum agraria indonesia karya Dr. H.M. Arba, S.H., M.Hum.
Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa-untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran-Negara No. 104 tahun 1960) disahkan Presiden Sukarno pada tanggal 24 September 1960 di Jakarta dan mulai berlaku setelah diundangkan pada hari itu juga oleh Sekretaris Negara, Tamzil. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disusun oleh Pemerintah pada saat itu dan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaMencabut
Latar belakang UU 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah:
Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. I/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya. Sungguhpun undang-undang itu formil tiada bedanya dengan undang-undang lainnya - yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat - tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas-azas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang- Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.
Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di-dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts-kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilahah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama sekali. Berikut isi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) (bukan format asli):
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Pasal 4
Pasal 5Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Pasal 6Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 7Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 8Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang. Bagian IIPendaftaran tanahPasal 19
Bagian IIIHak MilikPasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan. Pasal 25Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 26
Pasal 27Hak milik hapus bila:
Bagian IVHak guna-usahaPasal 28
Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah. Pasal 32
Pasal 33Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 34Hak guna-usaha hapus karena:
Bagian VHak guna-bangunanPasal 35
Pasal 36
Pasal 37Hak guna-bangunan terjadi:
Pasal 38
Pasal 39Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 40Hak guna-bangunan hapus karena:
Bagian VIHak pakaiPasal 41
Pasal 42Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
Pasal 43
Bagian VIIHak sewa untuk bangunanPasal 44
Pasal 45Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
Bagian VIIIHak membuka tanah dan memungut hasil hutanPasal 46
Bagian IXHak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikanPasal 47
Bagian XHak guna ruang angkasaPasal 48
Bagian XIHak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosialPasal 49
Bagian XIIKetentuan-ketentuan lainPasal 50
Pasal 51Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna- bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang. BAB IIIKETENTUAN PIDANAPasal 52
BAB IVKETENTUAN-KETENTUAN PERALIHANPasal 53
Pasal 54Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonenesianya mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1). Pasal 55
Pasal 56Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Pasal 57Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190. Pasal 58Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. KEDUAKETENTUAN-KETENTUAN KONVERSIPasal I
Pasal II
Pasal III
Pasal IV
Pasal VHak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun. Pasal VIHak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang- undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Pasal VII
Pasal VIII
Pasal IXHal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria. KETIGAPerubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri. KEEMPAT
KELIMAUndang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Pasal 1. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian ..bumi" dan "tanah", sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan "tanah" ialah permukaan bumi. Perluasan pengertian "bumi" dan "air" dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan ke- mungkinan-kemungkinannya dalam waktu- waktu yang akan datang. Pasal 2. Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2). Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu. Pasal 3. Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3). Pasal 4. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Pasal 5. Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1). Pasal 6. Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4). Pasal 7. Azas yang menegaskan dilarangnya "groot-grondbezit" sebagai yang telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya. Pasal 8. Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung didalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya. Pasal 9. Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2. Pasal 10. Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata- kata "pada azasnya" menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian sebagai yang disebutkan sebagai misal didalam Penjelasan Umum itu. Tetapi pengecualian- pengecualian itu perlu diatur didalam peraturan perundangan (Bandingkan penjelasan pasal Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur. Pasal 11. Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warganegara asli keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III angka 2). Pasal 12. Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk koperasi dan bentuk- bentuk gotong-royong lainnya. Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan diadakannya suatu "usaha bersama" antara Negara dan Swasta dalam bidang agraria. Yang dimaksud dengan "fihak lain" itu ialah pemerintah daerah, pengusaha swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan "domestic capital" yang progresip. Pasal 13. Ayat 1, 2 dan 3. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6). Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria. Pasal 14. Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat. Pasal 15. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum ((II angka 4). Tanah wajib dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-Jawatan yang bersangkutan. Pasal 16. Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna- usaha dan hak-guna-bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53). Pasal 17. Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang di- tentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu. Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga. Pasal 18. Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak. Pasal 19. Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat Penjelasan Umum IV). Pasal 20. Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang "terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata "terkuat dan terpenuh" itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter" (artinya : paling)-kuat dan terpenuh. Pasal 21. Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara- cara yang diserbut dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu. Sudah selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan dari warganegara Indonesia lainnya. Pasal 22. Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Pasal 23. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV). Pasal 24. Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentuk-bentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa, bagi-hasil, pakai atau hak guna-bangunan. Pasal 25. Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya. Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Didalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai. Pasal 26. Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah. Dalam Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah. Fihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat memiliki tanah. Pasal 27. Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Pasal 28. Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Bedanya dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan diatas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan hak pakai maka hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada fihak lain dan dapat dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun tidak dapat diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal 55. Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan secara yang tidak baik, karena didalam hal yang demikian hak guna-usahanya dapat dicabut (pasal 34). Pasal 29. Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah hak yang waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka-waktu 35 tahun misalnya mengingat pada tanaman kelapa sawit. Pasal 30. Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing hak guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana (pasal 55). Pasal 31 s/d 34. Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV). Pasal 35. Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Pasal 36. Penjelasannya sama dengan pasal 30. Pasal 37 s/d 40. Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38 sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (angka IV). Pasal 41 dan 42. Hak pakai adalah suatu "kumpulan pengertian" dari pada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang- orang dan badan- badan hukum asing dapat diberi hak-pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas. Pasal 43. Tidak memerlukan penjelasan. Pasal 44 dan 45. Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah. Pasal 46. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan. Pasal 47. Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai air yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada diluar tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang- orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing. Pasal 48. Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari. Pasal 49. Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan- keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal 14 ayat 1 hurub b. Pasal 50 dan 51. Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini hanya dimuat pokok-pokoknya saja dari hukum agraria yang baru. Pasal 52. Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-peraturan serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana sebagai yang ditentukan dalam pasal ini. Pasal 53. Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16. Pasal 54. Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26. Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C. tetapi pada tanggal mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan terkena oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan didalam pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang. Pasal 55. Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30. Ayat 1 mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal asing baru. Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan oleh undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana.
Termasuk Lembaran-Negara No. 104 tahun 1960. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria |